Minggu, 28 Februari 2010
TROWULAN (10)
KUBUR PANGGUNG.
Matahari bersinar terik. Jalan berbatu yang panjang menuju Kubur Panggung terasa membuat kulit kian tersengat. Aryo membenamkan topi ke wajah. Langkahnya besar-besar ke arah gundukan tanah setinggi dua setengah meter yang dibatasi dinding-dinding yang membujur dari Utara ke Selatan, dari Timur ke Barat, dan terbuat dari susunan batu bata kuno yang direkatkan tanpa menggunakan semen.
Konon, Kubur Panggung adalah bangunan peninggalan Ratu Tribuwanatunggadewi Wishnuwardhani (ibunda Hayam Wuruk). Tempat itu dibangun untuk menjamu tamu-tamu yang datang agar bisa melihat pemandangan sekitar kerajaan dari ketinggian. Para ahli mengatakannya sebagai salah satu pendopo keraton yang disebut dengan Bangsal Witana. Aryo Wangking menuju ke sana. Setelah dari Bangsal Witana, dia akan ke Pendopo Agung. Dulu, sebelum tahun 1966, di situs Kubur Panggung terdapat duapuluh enam umpak batu yang berjajar dari arah Timur ke Barat. Kini sejumlah enambelas batu umpak kuno telah digunakan untuk tiang-tiang Pendopo Agung. Satu diantaranya untuk tempat Candrasangkala pendirian bangunan Pendopo Agung. Sedangkan sisanya diletakkan begitu saja di halaman.
“Mas!” sebuah suara memanggilnya.
Aryo menghentikan langkah, menengok ke belakang, dan melihat juru kunci Sikan berlari-lari kecil mengejarnya. Aryo berbalik dan menunggu hingga Sikan benar-benar mendekat.
“Ada apa?” tanya Aryo.
“Ada tamu tengah menunggu di Siti Hinggil. Katanya dari Banyuwang8i. Saya sudah coba menyusul ke Musium, tetapi kata orang-orang yang ada di Musium, mas Aryo sedang menuju ke Kubur Panggung. Syukurlah saya bisa mengejar sampeyan, Mas.”
“Siapa tamu itu?”
“Namanya doktorandus Bondan Kejawan.”
“Oh.”
“Mereka menunggu sejak pagi-pagi sekali, di Pendopo Siti hinggil. Bagaimana, apa mas Aryo bisa menemui sekarang atau disuruh menunggu?”
Aryo tersenyum.
“Jauh-jauh datang masa disuruh menunggu,” ujarnya. “Kita temui saja beliau. Yuk!”
Aryo mengurungkan niatnya ke Kubur Panggung. Bersama-sama dengan Sikan, dia kembali ke mobil dan mengendarainya menuju pendopo Siti Hinggil.
Benar juga, di pendopo ternyata sudah banyak orang menunggu. Diantaranya, tamu-tamu dari Banyuwangi itu. Rupanya beliau datang bersama keluarganya. Kedatangan Aryo Wangking mereka sambut dengan uluran tangan dan salam. Mereka dipersilakan duduk kembali di lantai pendopo. Setelah berbasa-basi sebentar, Aryo Wangking mengarahkan pembicaraan ke pokok masalah.
“Begini,” kata drs Bondan Kejawan. “Kakak perempuan saya menderita penyakit kulit menahun. Penyakit itu sudah dideritanya sejak dia berusia sepuluh tahun. Mula-mula gatal-gatal biasa. Tapi lama-lama tumbuh bercak-bercak pada kulitnya yang menyerupai sisik. Dan itu terus berlanjut, tidak pernah sembuh hingga sekarang. Saya sudah mencari obat kemana-mana, dari usaha ke dokter spesialis kulit hingga ke orang-orang pinter. Tapi hasilnya nol besar. Saya hampir putus asa. Hingga pada suatu malam saya bermimpi didatangi seseorang…”
“Seorang perempuan cantik?” potong Aryo.
“Ya. Seorang perempuan yang sangat cantik. Perempuan itu bilang pada saya, coba kau temui seseorang berdarah Majapahit. Dia yang akan menolongmu.”
Aryo wangking tersenyum samar.
“Begitukah katanya?”
“Ya. Lantas saya berpikir. Berdarah Majapahit. Apakah itu artinya saya harus ke Trowulan? Saya bingung lagi, kepada siapa saya harus bertanya untuk menemukan orang yang dimaksud? Maka mulailah saya berburu. Dari satu orang, ke orang yang lain. Saya bertanya tanya dimana bisa saya menemukan seseorang yang dimaksudkan perempuan dalam mimpi saya itu.”
Aryo mendengarkan sambil terus memejam. Seakan merekam dalam alam pikirannya semua kisah yang dituturkan drs. Bondan Kejawan kepadanya.
“Hampir dua bulan lamanya saya mencari, hingga akhirnya saya bertemu dengan Ki Sumari di Troloyo. Beliau yang mengatakan pada saya, bahwa yang dimaksud itu kemungkinan besar adalah mas Aryo Wangking dari desa Temon, dukuh Keraton, tanah pelataran Majapahit. Ki Sumari mengatakan pada saya bahwa andika adalah titisan…”
“Stop. Jangan diteruskan.”
“Oh, maaf.”
“Saya sudah tau semuanya. Sekarang katakan, berapa umur kakak perempuan Bapak?”
“Sekitar limapuluh tahun.”
“Hmm.” Aryo tersenyum. “Cukup lama beliau menderita. Dan sekarang bagaimana keadaannya? Masih bisa jalan?”
Drs. Bondan Kejawan menunduk, tak kuasa menjawab pertanyaan itu.
Aryo Wangking membuang asap rokok ke langit.
“jadi beliau sudah tidak bisa apa-apa,” kata Aryo menjawab pertanyaannya sendiri.
“Bapak percaya kepada Allah?” tanya Aryo selang kemudian.
“Ya, saya percaya kepada Allah.”
“Maka Bapak percaya, hanya Allah yang dapat meletakkan jariNya pada batas antara kebaikan dan keburukan. Batas baik dan buruk pada hakikatnya dapat merasakan rahasia semua ciptaanNya. Kedok kehidupan hanya merupakan topeng misteri yang lebih dalam. Tak ada suatu jalan untuk membebaskannya kecuali dengan bersedekah. Bersedekahlah sebatas puncak kemampuannya.”
“Maksudnya…?”
“Selama ini Bapak berenang dalam kemewahan. Sangat berlebih-lebihan. Maaf, saya ingin tau, seringkah bapak bersedekah kepada fakir miskin dan kepada anak-anak yatim piatu?”
Drs. Bondan Kejawan kembali menundukkan wajah dalam dalam.
“Kalau tidak, maka harus diganti dengan bersedekah seekor kerbau bule pancal panggung. Kepalanya dilabuhkan ke Pantai Selatan, sedangkan daging dan jerohannya untuk fakir miskin. Mengapa harus dilabuhkan ke Pantai Selatan, tentu Bapak sudah mengerti maksudnya.”
Semua yang hadir di pendopo segera bisa melihat betapa drs. Bondan Kejawan menitikkan airmata. Aryo tau, lelaki separuh baya itu tau betul mengapa harus demikian. Kekayaan yang berlimpah itu darimana asalnyapun, dia tau. Jadi penyesalannya itu sesungguhnya tidak ada artinya lagi. Beberapa orang dari beberapa generasi terdahulu, hampir seluruhnya meninggal dengan cara yang aneh. Selalu mengidap penyakit yang tak bisa disembuhkan hingga mereka tewas. Menurut trawangan Aryo, generasi drs. Bondan Kejawan adalah generasi terakhir, yakni generasi ke tujuh. Artinya, perjanjian yang dilakukan nenek moyangnya, sudah harus berakhir sampai disini. Semua itu sudah ginaris oleh suratan takdir. Bahwa kemewahan yang diberikan penguasa Segara Kidul sudah harus selesai sampai disini, dan tumbal-tumbal yang dikorbankanpun sudah mencukupi. Hanya Aryo yang tau, sesungguhnya dirinya hanyalah sebagai pemicu saja. Sebab disukai atau tidak, memang sudah waktunya bagi anak-anak drs. Bondan Kejawan untuk tidak akan bisa hidup mewah lagi seperti generasi sebelumnya.
Aryo kembali memejamkan mata.
“Adik perempuan Bapak, bagaimana?” tanya Aryo tiba-tiba.
Drs. Bondan Kejawan tersentak mengangkat wajah dengan terperanjat.
“Apakah juga mulai ada tanda-tanda penyakit kulit yang sama dengan kakak perempuan Bapak? Hati-hati. Saya lihat, kalau adik Bapak ini lebih bisa diselamatkan. Tolong perhatikan dia sebelum terlambat.”
Kini drs. Bondan Kejawan benar-benar menangis. Dia terisak-isak dengan bahu yang terguncang-guncang. Suasana di pendopo jadi mencekam. Orang-orang yang hadir baik itu keluarga dari Banyuwangi maupun para penghayat yang ada, jadi merasa ikut prihatin. Mencari pesugihan dari Pantai Selatan, ternyata berat akibatnya. Tujuh turunan! Bayangkan.
Aryo mengulurkan saputangan miliknya, namun dengan halus drs. Bondan Kejawan menolak dan mengambil saputangannya sendiri dari saku celana.
“Maafkan saya,” kata Aryo lembut.
“Ssssayyya pasrahhh kepppada mas Arrryo,” jawab drs. Bondan Kejawan tersendat-sendat.
Aryo mengerutkan kening.
“Maksud Bapak, apa?”
Drs Bondan Kejawan menghapus mukanya dengan saputangan, lama baru menjawab,:
“Saya pasrah. Semua uba rampe saya serahkan saja kepada mas Aryo.”
“Apakah Bapak percaya kepada saya?”
“Saya percaya. Saya pasrahkan semuanya kepada mas Aryo. Mimpi saya itu mungkin merupakan sebuah petunjuk dari Yang Maha Kuasa dalam bentuk seperti itu. Dan inilah jalan terakhir yang harus saya tempuh dalam usaha menyelamatkan keluarga saya. “
“Maaf,” kata Aryo. “Maafkanlah saya kalau saya harus berterus terang kepada Bapak bahwa sebetulnya, pembebasan pada penderitaan itu bukanlah hanya sekadar penyembuhan.”
Wajah drs. Bondan Kejawan memucat tiba-tiba.
“Itulah yang saya maksud. Saya tegaskan sekali lagi, bahwa pembebasan dari penderitaannya bukanlah penyembuhan.”
Suara Aryo mengalun tenang, mantap dan kharismatik. Beberapa orang penghayat yang sudah lama menjalankan tirakatan dan memiliki sedikit mata rangkap bisa melihat bahwa yang tengah berbicara itu bukanlah sekadar sosok manusia biasa. Ada aura terang berwarna kebiru-biruan yang melingkari sekujur tubuh Aryo pada saat itu. Cahaya aura itu sangat benderang dan menyilaukan mata. Seakan akan tengah bersaing dengan bias cahaya matahari siang setengah sore yang menyengat.
“Jadi…?” sepasang mata drs. Bondan Kejawan menatap bingung.
“Memang sudah terlambat,” ujar Aryo. “Tapi yang terpenting, beliau bebas dari sangkala. Perjanjian antara nenk moyang Bapak dengan Penguasa Laut yang dipuja, telah larut bersamaan diterimanya labuhan yang dilakukan nanti. Nanti saya yang akan mengantarkannya ke laut. Bapak yang melakukannya.”
Drs. Bondan Kejawan kembali menghapus wajah dengan saputangan, membersit hidung, dan menghela nafas panjang.
“Lantas, bagaimana dengan adik saya?”
“Kalau yang itu, belum terlambat.”
“Jadi bagaimana?”
“Sedekahnya sama. Seekor kerbau bule pancal panggung. Cari yang mulus tanpa cacat.”
Kemudian mereka mencari hari yang baik, dan disepakati melabuhkannya di pantai Balekambang.
(Bersambung).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar