Sabtu, 06 Februari 2010

BADAI PASTI REDA (5)


Hadi mempersilakan Abi duduk lebih enak di sofa ruang kantornya. Suasana ruang kerja terasa sejuk karenaq air conditioning bekerja dengan baik. Kursinya empuk. Udaranya membaurkan wangi jeruk lemon. Namun semua itu tidak terasa nyaman bagi Abi. Dia bahkan merasa pengap dan sumpek. Masalahnya, lelaki di depannya yang kebetulan adalah ipar baginya itu, seakan seorang jaksa yang siap menterorkan beberapa pertanyaan yang bakal menjerumuskannya ke penjara.
Hadi berdehem. Sesungguhnya dirinya tak lebih nyaman daripada Abi. Diapun bingung akan memulai dari mana pembicaraan itu. Selama ini hubungannya dengan ipar yang satu ini baik-baik saja. Mereka tidak pernah sangat akrab, pun juga tidak pernah jelek. Biasa saja. Mereka kan juga sama-sama sibuk. Abi sibuk dengan usaha property, sedangkan Hadi bekerja sebagai karyawan berposisi bagus di sebuah kantor BUMN. Kalaupun kebetulan mereka berdua bertemu di rumah mertua, mereka cukup bicara yang ringan-ringan saja. Obrolan mereka selama ini hanya di sekitar diri mereka, anak-anak, maupun perkembangan politik di negera ini. Hanya itu. Tetapi kini, Hadi seakan mengemban sebuah misi besar. Misi keluarga.
“Ehem,” Hadi kembali berdehem. “Begini, dik Abi. Sebelumnya saya minta maaf kalau nanti kata-kata saya ada yang menyinggung perasaanmu. Maklumlah, kita ini kan manusia yang tak pernah luput dari kesalahan.”
Abi mengangguk takzim.
Rasanya dia sudah bisa mengira-ngira kea rah mana percakapan itu nanti. Dan dia sudah siap!
“Saya mendengar selentingan yang negative tentang diri Adik,…maaf ya Dik, mengenai hubungannu dengan seorang karyawati Bank Swasta. Apakah betul itu?”
Abi kembali mengangguk. Takzim.
“Betul, Mas.”
“Ohhh…”
“Tetapi itu sudah lewat.”
“Maksudnya?”
“Hubungan itu sudah saya putuskan.”
“Alhamdulillah, syukurlah kalau begitu.”
“Tapi rupanya dia tidak menyukainya. Sekarang dia mengancqm akan menghancurkan keluarga kami dan menculik anak-anak. Saya sendiri…saya sendiri sedang kalut, Mas.”
Sepasang mata Hadi mendadak kelam.
“Bagaimana bisa begitu?” tanyanya.
“Mas, saya sangat menyesal. Sungguh! Saya menyesal mengapa saya harus menjerumuskan diri sendiri ke dalam sebuah hubungan seperti itu. Dia itu benar-benar seorang professional. Bukan tandingan Intan kalau harus berbaku hantam secara kasar. Kini8 yang saya pikirkan adalah bagaimana saya harus melindungi isteri dan anak-anak saya.”
“Seharusnya itu sudah Adik pikirkan sejak awal. Kalau saja kita bisa mengendalikan diri, pasti kejadian seperti ini tidak akan terjadi pada diri kita, kan?”
“Ya, Mas. Saya khilaf.”
Hadi menghembuskan nafas berat.
“Saya maklum. Itulah kekurangan kita. Sangat manusiawi.”
Mereka teerdiam cukup lama.
“Kalau boleh saya bicara,…” ujar Hadi akhirnya.
“Silakan, Mas.”
“Saya akan bicara padamu sebagai sesama laki-laki, bukan sebagai seorang kakak kepada seorang adik, bahwa sebenarnya sebagai lelaki, bukan hanya dik Abi saja yang pernah melakukan perselingkuhan semacam ini. Kalau saja semua orang sejujur dik Abi, maka semua laki-laki pasti akan mengatakan hal yang sama. Bahwa benar, hampir semua lelaki suka sekali melakukan perselingkuhan meski hanya perselingkuhan mata. Namun ada caranya. Kalau memang perlu sekadar sebuah pengalaman atau sekadar main-main, kita beli saja. Tidak usah kita melibatkan emosi di dalamnya. Orang mengatakan,
Kalau ada penjual sate di luar sana, kenapa juga kita mesti membeli kambing? Kita beli saja satenya. Kita makan, kita bayar, beres!”
Hadi mengulas senyum di bibir.
“Jangan kita melibatkan diri dengan seorang wanita begituan lebih dari satu jam. Selain beayanya besar, risikonya juga tinggi. Gimana menurut pendapatmu?”
Kali ini Hadi tertawa lebar.
“Saya harap dik Abi benar-benar telah melupakan dia. Tak adaa yang bisa diharapkan dari perempuan begituan sebuahb ketenangan batin. Salah-salah kuta malah dirongrong, dibuat sapi perahan. Ini betul lho! “
Abi tertawa.
“Jangan tertawa, Dik. Itu kenyataan. Apalagi kalau kita sudah memiliki sebuah mahligai rumah tangga yang harmonis, yang tenteram. Kita sudah memiliki isteri yang setia dan berbakti, serta ada anak-anak yang manis, ah, masa semua itu akan kita sia-siakan? Kalau mau peerempuan cantik saja gampang, Dik. Amat mudah. Tapi untuk memiliki isteri yang setia, tidak cerewet, aduuuhh, sulitnya setengah mati!”
Abi tertawa makin lebar. Lucu juga kakak ipar ini, pikirnya. Dengan cara berbicara seperti itu kesan tegang tidak nampak sama sekali. Mereka membicarakan masalah itu dengan santai. Pertemuan itu membuat Abi bertekad untuk kembali membina ketenteraman dalam istananya sendiri. Ada yang harus dibenahi kembali, tetapi rasanya itu tidak terlalu sulit.
Intan beergegas masuk ke kamar karena tangisan Irin.
“Adik minta minum, Mama!” teriak Andre dari sudut ranjang adiknya.
“Tapi Irin baru saja minum,” sahut Intan sambil mengamati bayinya.
“Kalau dikasih minum lagi?”
“Perutnya akan meletus, …taarrr…”
“Ih, Mama!”
Irin terus manangis, menghentak-hentakkan kakinya yang bulat. Intan membuka selimutnya, dan meraba pantatnya.
“Ooh, adik pipis, sayang,” katanya sambil tersenyum pada Andre.
Digantinya popok bayi itu dengan pempers yang baru. Andre mengamati dengan cermat semua yang dilakukan ibunya.
“Adik jorok,” ujarnya. “Mengompol terus. Lama-lama uang Mama habis untuk beli pempers ya, Ma?”
Mamanya tersenyum.
“Nggaklah. Uang Mama kan masih banyak.”
“Oya?”
“Iya dong.”
Intan berbicara terus dengan si sulung sementara tangannya menepuk-nepuk pantat Irin hingga anak kecil itu tertidur lagi.
“Adik sudah tidur, Ma! Tuh, matanya sudah merem.”
“Ya.”
Andre tersenyum.
“Mama pinter menidurkana adik,” ujarnya lucu.
“Menidurkan Papa juga pinter, apalagi cuma menidurkan adik,” tiba-tiba Abi nyeletuk dari tengah bingkai pintu.
“Papa!”
Andre menjerit riang sambil terus melompat ke dalam gendongan ayahnya. Mereka saling menggelitik dan tertawa-tawa dengan senang. Intan meletakkan bayinya di ranjang sambil berpikir keras.
“Sejak kapan Abi jadi ramah begitu?”
Sudah dua tahun ini lelaki itu tiba-tiba berubah jadi gunung es. Dia tak pernah mengajaknya bicara, sepulang dari kerja, dia akan duduk di depan tivi sambil membuka Koran lebar-lebar. Kalau semua sudah pergi tidur, dia akan memadamkan lampu dan merebahkan diri diam-diam di ranjang satunya, bukan lagi seranjang dengan Intan. Atau lebih parah lagi, dia akan kembali pergi, dan baru pulang keesokan sorenya. Kemana semalaman dia tidur? Itu yanag Intan tidak pernah tau, dan tidak mau tau. Dia akan diam. Dia akan membiarkan suaminya itu berkelana kemana saja dia suka. Intan seakan sudah tidak membutuhkan Abi lagi. Kini melihat betapa akrab dia dengan Andre, Intan malahan jadi curiga. Apa yang dikehendaki laki-laki itu sekarang? Kalau dia mau membawa Andre untuk hidup bersama si Hapsari itu, …oo tunggu! Langkahi dulu mayatku!!
Ingat akan hal itu, muncul kembali kemarahannya pada Abi. Namun ditekannya perasaan itu dan membiarkan Abi menatap wajahnya yang tetap tenang dan rata bagai permukaan kaca. Heran, pikir Abi. Si Intan ini manusia yang terdiri dari darah dan daging, bukan? Atau dia semacam patung lilin?
Abi menunduk, menurunkan Andre dari gendongannya. Diciumnya kedua pipi anak itu sekali lagi, kemudian meluruskan punggung, dan memandang Intan dengan sorot mata penuh kerinduan. Sekilas Intan membalas tatapan matanya. Mendadak pula hatinya bergetar aneh. Seakan dia melihat kelembutan dalam mata Abi. Kelembutan yang selalu dirindukannya, yang hampir saja dia tak berani mengharapkannya didapatkan kembali dari suaminya.
“Kau kelihataan lebih cantik setelah melahirkan,” kata Abi tiba-tiba
Intan melangkah keluar kamar, diikuti Abi di belakangnya.
Kini mereka duduk di depan televisi menemani Andre yang sedang asyik menonton acara di chanel kesayangannya.
“Aku sudaha pasrah” sahut Intan.
“Apa maksudmu?”
“Pasrah ya pasrah. Aku sudah meletakkan semua keinginanku di bawah keinginanmu. Irin sudah keluar dari perutku. Jadi aku bebas sekarang. Kau boleh pergi, atau tidak, itu terserah kamu. Aku sudah siap menerima kenyataan sepahit apapun tanpa harus kuatir akan perkembangan janin dalam perutku.”
“Kenyataan apa?”
“Seandainya saja…”
Intan mengerling sejenak kearah suaminya. Seperti sudah diduga, Abi terlihat biasa saja. Intan lantas berpikir, seperti itukah dia bila sedang bersama Hapsari? Pasti tidak, pikirnya sinis. Mana mungkin orang yang beerpacaran tetap beku saja seperti daging dalam freezer. Namun kali ini Intan salah duga. Abi terdiam karena sedang menyusun kalimat. Dia sedang ingin bicara banyak dengannya.
“Tumben hari Minggu berada di rumah, kau tidak pergi? Biasanya sudah menghilang sejak kemarin,” sindir Intan pedas.
Abi merasa diri terhempas. Suara sindiran itu disampaikan dengan nada datar. Namun bagi Abi seakan menggeluduk di telinganya.
Abi membasahi bibirnya sejenak. Lalu katanya:
“Terkadang aku berpikir, cintakah kau kepadaku atau tidak. Apa yang menyebabkan selama ini kau acuh tak acuh kepadaku? Aku hanya tidak mengerti mengapa seakan-akan kau samasekali tidak perduli padaku. Tidak marah, tidak mengusirku, atau minggat sekalian padahal aku sudah jahat kepadamu. Aku menyakiti hatimu. Aku melukai harga dirimu. Aku…”
“Siapa bilang? Aku mencintai kamu”
Abi terlonjak, menoleh cepat kearah Intan.
“Apa kau bilang?”
“Aku mencintamu, tetapi kamu yang tidak mencintai kami. Itu terbukti dengan rencana kalian untuk menikah, bukan? Dengan begitu perjalanan kita sampai disini, kan?”
“Aku cinta padamu, Intan. Juga pada anak-anak kita. Apakah kau masih tidak juga bisa merasakannya?”
Intan tidak menjawab, hanya tetap menyungging senyum tipis di bibirnya.
“Percayalah padaku,” kata Abi seperti memohon. “Aku ingin kita kembali seperti dulu.”
Abi menatap wajah cantik itu dari samping. Betapa inginnya dia memeluk dan mencium bibirnya. Tetapi… ah! Sungguh rasanya tidak sanggup. Abi merasa betapa saat ini dia sedang menjadi serigala jahat yang tak mungkin bisa dipercaya lagi kejujuran kata-katanya.
“Walau benar aku isterimu,” jawab Intan pelan, “…aku tidak berhak membatasi kebebasanmu. Kau sendirilah yang mempunyai hak itu. Dan sejauh mana kau akan memakainya tergantung kepada dirimu sendiri.”
Abi menghela nafas. Dadanya sesak.
“Kawinlah kalau kau mau kawin, tetapi ceraikan aku dulu. Dan aku akan segera angkat kaki dari sini bersama anak-anak kalau kalian menghendaki rumah ini. Aku tidak memerlukan belas kasihan darimu, percayalah, aku sanggup menjaga diriku sendiri dan anak-anak.”
Wajah Abi memerah saga.
“Aku tidak akan kawin lagi!” tegasnya dengan bibir kering.
“Aku tidak akan kawin lagi, tidak akan pernah. Aku mencintai kalian bertiga. Amat sangat!”
Intan tak bergeming. Tubuhnya kaku bagai arca batu. Bibirnya kelu. Rasanya telinganya sudah salah dengar. Dirinya baru terbangun dari lamunan kelu saat dirasakannya bibir Abi menyentuh pipinya, lembut. Kedua matanya memanas tiba-tiba. Dirasakannya gunung e situ mencair dan membasahi hatinya yang selama ini kering bagai gurun.
“Intan, “ Abi berbisik di telinganya. “Aku cinta padamu, sama seperti saat kita menikah dulu.”
Intan tertunduk. Setetes air jatuh menggelinding ke pipi. (Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar