Rabu, 06 Oktober 2010

SUATU HARI DALAM HIDUP SITA


EPISODE SATU
PERPUSTAKAAN FAKULTAS TEKNIK.
Perpustakaan terasa lebih sepi dari biasanya. Barangkali karena sedang musim liburan akhir semester, tak banyak dijumpai teman-teman sefakultas disini. Sutan membuka beberapa lembar buku tebal di hadapannya, namun….busyet! Tak satupun huruf masuk di kepalanya. Pada saat Sutan ingin segera pergi, seseorang masuk dan mendatangi mejanya.
“Hai!” sapa gadis itu melempar sejumput senyum.
Entah kenapa dada Sutan sedikit berdebar.
“Hai juga!” sahutnya.
“Boleh duduk di sini?”
Sutan menyingkirkan sebagian bukuku dari atas meja.
“Silakan. Ini kan milik umum,” tawa Sutan.
Gadis berambut panjang dan ikal itu duduk dengan manis. Bibirnya yang dipoles lipstik warna merah jambu tipis-tipis itu, tersenyum padanya, sama manisnya dengan tatapan mata yang diarahkannya tepat ke manik mata Sutan.
“Gimana kabar Syam?” tanya gadis itu.
“Syam?” Sutan mengerutkan kening. Mengapa pula gadis itu bertanya tentang Syam, abangku? pikirnya.
“Ya, Syam. Dia abang kamu kan?”
“Oh, Syam. Ya, ya. Dia itu abangku satu-satunya. Memang, kau kenal dengannya?”
Gadis itu tertawa.
“Jelas kenal dong,” ujarnya dalam tawa. “Dia itu kan….”
“Teman lama?” potong Sutan dengan gaya sok akrab.
“Lebih dari itu.”
“Sahabat?”
Gadis itu melebarkan tawa. Oh, betapa tololnya aku, pikir Sutan. Menebak dua kali, dua-duanya salah pula! Pastilah gadis itu tertawa karena dia adalah…
“Kami berpacaran sejak sebulan yang lalu,” katanya.
Ya Tuhan! Begitu, ya?
Sutan menggaruk kepala yang tidak gatal.
Betapa lucunya saat dia mengakui bahwa Syam adalah pacarnya. Sungguh, apakah dia yang keterlaluan, ataukah aku yang bodoh? Siapa di dunia ini yang tidak tau bahwa Syam adalah play boy kampung? MasyaAllah! Naifnya gadis ini…pikir Sutan.
“Oh, sori, …” kata Sutan kemudian, seraya memperbaiki posisi duduk agar lebih tegak.
“Nggak apa-apa. Kami juga baru saja kok. Pastinya Syam belum bilang apa-apa padamu tentang aku, kan?”
“Oh,…aku bahkan belum tau namamu.”
”Namaku Sita.”
Dia mengulurkan tangan, Sutan menyambutnya dengan sebuah genggaman erat yang cukup kuat. Ada setitik kemarahan menodai perasaan Sutan yang sebenarnya telah sejak awal tadi mengagumi parasnya. Gadis itu mirip seekor angsa yang manis, tapi kenapa mendadak Sutan benci sekali saat dia mengakui Syam sebagai pacarnya? Syam yang angkuh, arogan, kasar dan …cilakanya, banyak diminati para gadis! Sutann merasa, dirinya yang selalu penuh hormat pada orang lain, lembut dan baik hati kata teman-temannya, dan pandai di kelas kata dosen, alangkah sulit memiliki satu saja penggemar seorang gadis secantik angsa.
“Aku Sutann,” Sutann membiarkan dia menarik tangan dari genggamanku. Sakit, rupanya!
“Kau juga kuliah di sini?” tanya Sita.
“Ya.”
“Ambil Mipa juga?”
Oh, rupanya dia sudah tau, Syam kuliah di Mipa.
“Aku di Arsitektur.”
Sita kembali tersenyum manis dan lembut. Seakan-akan senyumnya itu terbuat dari agar-agar.
“Kau sendiri, kuliah dimana?”
“Aku masih di SMU, namun aku juga menulis.”
“Menulis?”
Kepalanya yang cantik, mengangguk lucu.
“Kau…seorang jurnalis juga?” tanya Sutan mulai dirambati rasa kagum. Gadis sekecil itu, sudah bisa menjadi seorang jurnalis? Pikir Sutan
“Bukan. Aku penulis cerita fiksi.”
“Fiksi?”
Oh betapa tololnya aku, pikir Sutan. Selalu mengulang perkataannya, mirip seekor burung beo!
“Aku menulis novel.”
“Wah…hebat. Sudah pernah diterbitkan?”
“Lumayan, ada beberapa yang sudah dipublikasikan, di majalah atau di Koran.”
“Kau hebat.”
“Apa yang hebat. Lebih hebat kalian, anak-anak eksak yang pandai dan…mmmm…ganteng.”
Sutan tertawa.
“Maksudmu, …Syam?”
“Bukan hanya Syam. Tapi ternyata dia juga punya adik yang ganteng kayak kamu.”
Terus terang Sutan jadi kepengen ngakak.
“Ala…jangan berbasa-basi deh!” kata Sutan geli.
“Enggak. Aku serius. Kaupun ganteng, sama seperti Syam. Hanya saja…mmmm…apa ya?”
Sutan mengerutkan kening menyaksikan Sita mempermainkan bibirnya sambil senyum-senyum.
“Hanya saja….Apa?” tanya Sutan tak sabar.
“Sori ya, sebagai cowok kau terlalu tampan.”
“Apa sih maksudmu dengan ‘terlalu tampan’? Apa aku mirip perempuan, gitu?”
“Nggaklah! Kau terlalu tampan. Itu saja.”
“Ah, lucu!”
“Apa yang lucu?”
“Kata-katamu itu, kata-kata bersayap.”
“Maksudmu?”
“Ya seperti kelelawar gitu…bersayap. Bersayap….terbang kemana-mana.”
Sita tertawa. Renyah sekali tawa gadis itu. Giginya nampak semua, putih dan amat rata. Kedua matanya menyipit, terdesak oleh pipi yang menyembul ke atas karena tawa besarnya itu. Andai saja dia belum jadian dengan Syam….
“Kau boleh menertawakan aku,” kata Sita setelah tawa kami reda.
Sutan hanya tersenyum, membiarkan gadis itu melanjutkan kalimatnya.
“Karena aku sudah terbiasa ditertawakan orang. Setiap kali aku mengaku bahwa diriku adalah seorang pengarang cerita, mereka akan selalu tertawa. Mereka bilang, profesi yang tengah kutekuni ini bukan pekerjaan, tetapi pengkhayalan. Padahal, bukankah menulis sebuah cerita, bagaimanapun jeleknya, juga membutuhkan tenaga, pikiran dan financial? “
Sutan meringis mendengar kata-katanya. Bagi Sutan yang tak paham soal tulis menulis,, menulis adalah….apa ya? Mnulis novel! Ah, sulit membayangkan bagaimana proses kreatifitasnya. Bukan bidangnya sih! Namun adalah sebuah kenyataan bahwa gadis muda nan cantik itu adalah seorang penulis. Seorang novelis! Kayaknya menarik berpacaran dengan seorang novelis. Pastilah dia amat romantis.
“Tapi sungguh, aku menghargai semua profesi. Termasuk profesi seperti yang kau jalani.” Kata Sutan sekenanya.
Keningnya terjungkit ke atas.
“Oh ya?”
“Akupun sebenarnya pecinta seni. Kalau tidak punya rasa seni, mana mungkin bisa betah di teknik arsitektur?”
“Tetapi seorang arsitek bukankah lebih membanggakan?”
“ Menurutku, semua profesi sama saja membanggakannya, asalkan benar-benar ditekuni dengan sepantasnya.Sejujurnya, apa kau sakit hati karena orang memandang sebelah mata profesimu?”
“Oh, tidak. Tidak samasekali. Untuk apa sakit hati? Adalah menjadi hak semua orang untuk tidak menyukai profesi orang lain. Semua orang bebas berpendapat mengenai pekerjaan orang lain. Terserah saja. Yang penting aku merasa happy berada dalam ranah kepenulisan, dan menjadikannya bagian dari jiwaku, …bagiku, it’s okay.”
“Kau bertekat menjadikannya bagian dari jiwamu, artinya kau akan menulis sampai tua?”
“Kalau bisa sampai mati. Tetapi masa-masa produktif seseorang tidak sama. Siapa tau, nanti aku kehilangan rasa dan tak bisa menulis lagi? Maka aku akan mengisi masa-masa dimana aku masih produktif dengan terus menerus membuahkan karya-karya yang diminati pembacaku.”
“Selain menulis, apa yang kau lakukan?”
“Banyak.”
“Apa?”
“Makan, tidur,, mandi, be’ol….” Sita tertawa ngakak.
“Hahaha…” Sutan tertawa terbahak-bahak.
“Tapi kadang aku juga mewawancarai orang,” potong Sita meredam tawaku.
“Kalau begitu kau sudah melanggar garis batas, bukankah itu sudah termasuk ranah jurnalis?”
“Bisa, bisa. Toh kadang-kadang menyenangkan mendatangi seorang tokoh masyarakat lalu bertemu dalam suatu tempat yang menarik, di taman misalnya, atau di pantai, atau di lobby kantor mereka.”
“Menarik dong!”
“Ya, menyenangkan juga sih.”
“Tentu menyenangkan cara hidup seperti itu. Bebas melakukan apa saja, bebas terbang kemana-mana.
Tanpa ikatan, tanpa target. Kalaupun boleh aku tau, sebagai wartawan , bidang apa yang kau jadikan sasaran?”
“Budaya.”
Sutan mengangguk-angguk.
“Tadi,.. begitu masuk, kau segera mengenaliku sebagai adiknya Syam. Bagaimana bisa?”
“Semua orang akan tau, karena kau amat mirip dengannya.”
“Cuma karena mirip?”
“Syam juga pernah bercerita tentang dirimu.”
“Apa katanya?”
“Bahwa dia amat bangga padamu. Kau hebat, katanya.”
“Dia bohong. Aku tidak ada apa-apanya dibanding dia. Dialah yang hebat. Syam membesarkanku setelah kedua orangtua kami pergi. Dia yang memberiku makan, minum, …semuanya!””
“Bisa juga karena itu aku menyukainya.”
“Semoga kau tidak salah memilih orang, Sita.”
Sita meraih tasnya, kemudian berdiri.
“Mau kemana?” tanyaku.
“Syam. Aku janji menemuinya di bengkel.”
“Oh.”
Rupanya Sita juga sudah tau selain kuliah di Mipa,Syam juga bekerja di bengkel mobil milik Abah Umar. Sebenarnya, seberapa jauh mereka saling mengenal? Satu bulan berpacaran, kata Sita. Tetapi Sutan yakin mereka saling kenal sudah lebih dari itu. Dan selama ini Syam tidak pernah bercerita tetang Sita. Tak seperti biasanya, kali ini Sita seperti disembunyikannya.
“Yuk ah! Senang bisa ngobrol denganmu.”
“Senang juga bisa mengenalmu, Sita.”
Sita tersenyum, meninggalkan Sutan dalam keadaan ngilu di hati. Entah, apa yang membuatku ngilu. Yang jelas Sutan tak ingin Sita mengalami sesuatu yang menyakitkan berdekatan dengan Syam! Sebab dari semua orang di dunia ini, Sutanlah yang paling tau siapa Syam, dan bagaimana Syam…!
DI RUMAH KOS.
Syam menyedot rokoknya dalam-dalam. Sambil berbaring di dipan, dia menatap Sutan dari balik kepulan asap tipis yang dihembuskannya lewat mulut.
“Jadi kau sudah bertemu dengan Sita?” tanya Syam datar.
“Ya. Dia yang mendatangiku. Bagaimana bisa dia tau aku kuliah di Arsitektur? Kau yang bilang padanya?”
“Aku pernah bercerita tentangmu ke dia. Bagaimana menurutmu, dia cantik, kan?”
Sutan cuma tertawa kecil. Tak ada keinginannya untuk menyatakan pendapat tentang Sita.
“Ayahnya sudah meninggal,” kata Syam lagi sambil menjentikkan abu rokok ke lantai. Satu hal yang paling tak disukai Sutan adalah caranya mengotori lantai dengan abu rokok.
“Ibunya bekerja sama dengan salah satu kawan ayahnya. Namanya Alex. Sangat kaya. Dia punya pabrik emas di Rungkut Industri. Dia juga punya toko emas di TP Tiga.” Lanjut Syam tetap asyik dengan batang rokoknya.
Sudah kuduga! Pikir Sutan.
Kedekatannya dengan Sita, sepertihalnya kedekatannya dengan gadis-gadis lain, adalah selalu punya kaitan dengan harta dan kekayaan. Maunya apa sih, dia?
Syam tersenyum. Sepasang matanya menerawang ke langit-langit kamar.
“Seandainya kita bisa sekaya Alex!” ujarnya penuh makna.
“Apa maksudmu?” tanya Sutan tak suka.
Syam mengalihkan pandang ke arahnya..
“Kau tak ingin jadi orang kaya seperti Alex itu?”
“Aku mau.”
“Nah. Itu dia!”
“Tapi dengan cara halal, Bang! Bukan dengan cara seperti yang sedang Abang pikirkan saat ini.”
Syam tertawa keras. Sutan tau, dia bahkan merasa, bahwa Syam sudah mulai tersinggung.
“Apa kau tau yang sedang aku pikirkan, hah? Kau tau?”
“Aku bisa merasakannya.”
“Sok tau! Anak kecil tau apa kau tentang semrawutnya hidup. Cari duit yang banyak, itu penting, Sutann. Kita kan butuh makan, butuh tidur nyaman, nggak kepanasan, nggak kehujanan. Kau pikir, darimata kau dapatkan motor kau itu? Dari langit?”
“Aku tau itu semua Abang yang berikan, tetapi kalau dengan cara yang tidak benar, bagaimana aku bisa diam, Bang?”
Syam kembali menghisap rokok kreteknya dalam-dalam.
“Sejak orangtua kita pergi menelantarkan kita berdua di tengah pasar, aku sudah bersumpah kepada dunia ini, bahwa akulah yang akan menjagamu. Memberimu kehidupan yang layak dan pendidikan yang bagus. Namun setelah kita hidup sekian tahun, kurasakan betapa sulitnya hidup di kota besar seperti ini. Mencari yang haram saja susah, apalagi yang halal!”
“Masya Allah, Bang!”
Perih kedua mata Sutan mendengar semua yang dikatakan Syam. Pedih dan sakit pula jantung Sutan bagaikan ditusuk seribu jarum.
“Maafkan aku kalau selama ini telah membuat Abang susah.”
“Hm.”
“Bagaimana kalau aku ikut Abang kerja di bengkel Abah Umar saja?”
Syam menoleh. Matanya menyipit saat menatapku. Terlihat dia tengah berpikir keras. Setelah lama tak menyahut, akhirnya dia mengangguk.
“Kau mau?” tanyanya.
“Kalau ada tempat di sana, aku mau Bang.”
“Ada. Selalu ada tempat di bengkel. Kami memang tengah kekurangan tenaga. Kau mengerti mesin?”
“Sedikit-sedikit taulah, Bang. Kan Abang yang ngajarin .”
“Oke. Deal!”
Kami bersalaman.
“Kau bisa kerja setelah kuliah. Sore, sampai malam kalau bisa.”
“Bisa, bisa. Makasih, Bang.”
“Yap.”

TEMPAT PARKIR MOTOR FAKULTAS TEKNIK.
Siang-siang Sutan sudah harus pulang. Menurut kesepakatannya dengan bang Syam, hari ini Sutan sudah bisa mulai kerja di bengkel mobil Abah Umar. Kemarin tak ada sekalipun k mereka membicarakan soal gaji. Selama ini Sutan percaya saja pada apa kata bang Syam. Karena bagi Sutan dialah suluh bagi kehidupannya. Mati dan hidupnya seakan tergantung pada tali yang dipegang Syam, ditarik, diulur, terserah pada maunya saja. Itu mungkin, yang membuat teman-temannya mengatakan betapa bego’nya Sutan, yang mau dan mandah saja abang satu-satunya itu mengatur hidupnya.
Ya, Sutan memang selalu menurut saja pada Syam. Siapa yang mau memberiku makan, minum, dan uang SPP kalau tiba-tiba aku memberontak dan menentangnya? pikir Sutan selalu. Sejak dari ingusan, sampai bisa naik motor begini, siapa yang mengajarkannya? Dari cuma makan nasi bungkus, hingga bisa menikmati spaghetti, siapa yang memberikan uangnya? Semua orang di dunia ini bisa saja mengatai Sutann sebagai apa saja, seperti monyetlah, bego’lah, atau apapun. Bahkan ada yang bilang ‘banci loe’! Oho…terserah saja. Sutan bisa cuek. Bisa menutup telinga dan mata, meski terkadang ---terkadang saja-- dia punya pemikiran yang bertentangan dengan abangnya. Namun segala macam perbedaan pendapat atau apapun itu namanya, segera saja bisa disingkirkan begitu Sutan ingat bahwa dialah satu-satunya saudara yang lebih dari sekadar pengganti orangtua. Jelas, bagi Sutan. Bahwa dirinya bukanlah seseorang yang lupa kacang pada kulitnya. Dirinya bukan seseorang yang tidak bisa membalas budi. Maka dengan sepenuh hati, dia serahkan hidup dan matinya untuk bang Syam.
Sutan naik ke atas motor, mengenakan helm ..dan siap menghidupkan mesin tatkala Rio, teman sefakultas Syam juga sedang mendorong motornya keluar dari areal parkir.
“Hai Sutann!” sapanya.
“Siang bang Rio! Pulangkah?”
“Ya, mau apa lagi? Sepi di sini. Kau?”
“Ya pulang juga sih, Cuma tidak terus ke rumah.”
“Mau kemana lagi, ke rumah pacar?”
Sutan tertawa lebar.
“Mana ada sih Bang, yang mau sama aku?”
“Hooo…selalu saja nggak pe-de kau ‘ni. Kenapa? Kau tak seperti Syam. Kau terlihat halus, lembut, kayak agar-agar.”
“Itulah yang membuatku tak laku.”
“Bisa juga begitu. Eh, tapi sudah lama Syam tidak masuk kuliah. Kemana dia? Kerja?”
Beberapa saat Sutan susah menelan ludah. Dilepaskannya helm dari kepala. Rambutnya yang agak gondrong dan ikal, terburai begitu saja layaknya rerumputan tertiup angin kencang.
“Apa katamu, Bang?”
“Sudah tulikah kau, Sutann? Abangmu itu sudah satu semester ini nggak nampak batang hidungnya di kampus. Aku sendiri heran, kemana saja anak itu ya? Kudengar dia kerja di sebuah bengkel mobil. Apa kau tidak tau bahwa sudah lama dia tidak kuliah?”
“Yang aku tau, memang bang Syam bekerja di bengkel. Akupun mulai harini mau kerja juga Bang. Separuh hari saja. Tapi kalau bang Syam tidak kuliah lagi…mana aku tau?”
Rio menstarter motor sambil tertawa.
“Nah, sekaranglah kau tau, Sutann. Bilang padanya, suruh kuliah. Sayang kan, orang seperti abangmu itu harus mandeg kuliah?”
“Ya, ya. Akan kusampaikan kepada bang Syam.”
“Sampaikan juga salamku. Yuk, aku duluan Sutann!”
“Ya, Bang.”
Lama setelah bayangan Rio menghilang, Sutan masih saja terhenyak di parkiran motor. Rasanya tak percaya, mana mungkin bang Syam mandeg dari kuliahnya? Bagaimana mungkin? Mendadak saja Sutan merasa, abangnya itu sedang tenggelam dalam kesulitan ekonomi. Sedang sudah mencari uang untuk mengongkosi kuliah mereka berdua. Lantas dialah yang mengalah, tidak kuliah, Abangnya itu memilih kerja saja dari pagi sampai sore. Ah! Sungguh durhaka aku kalau diam saja membiarkan dia tenggelam dalam kerja dan kerja melulu demi aku, demi kelangsungan hidup kami, demi kesejahteraan dan berharap dengan begitu bisa menyelesaikan semua hutang kredit atas motor-motor kami. Sutan merasa dadanya sesak.
Seperti kalap, Sutan menghidupkan mesin motor, dan meraung keluar dari halaman kampus. Lalu lintas yang amat padat tak lagi dihiraukan. Motornya melaju bagai alap-alap. Membuat beberapa pengguna jalan terpaksa minggir dan bahkan melontarkan caci maki atas kelakuannya. Masa bodoh! Yang ada dalam benaknya hanya ingin secepatnya bertem Syam dan bertanya mengapa harus begini kejadiannya.
Hampir tiga-perempat jam dia di jalan, sampailah di depan bengkel mobil nan mewah milik Haji Umar yang biasa mereka panggil Abah. Motor dimatikan. Sutann melompat turun sambil melepas helm. Dilihatnya Syam tersenyum. Bibirnya yang membentuk garis tipis dan matanya yang setajam rajawali terlihat lebih ramah saat melihatadik semata wayangnya itu berjalan ke arahnya.
“Gimana, kau siap bekerja?” tanya Syam begitu Sutan berdiri di depannya.
“Tadi aku bertemu Rio,” jawab Sutan tanpa prolog.
“Rio?”
Syam seperti berpikir sejenak. Lantas tertawa sambil melanjutkan kalimat, :
“Oh…Rio yang itu?”
“Dia titip salam sama Abang.”
“Walaikumsalam, kuterima salamnya.”
Bang Syam berbalik dan berjalan lebih ke dalam bengkel, meninggalkan Sutan begitu saja. Seakan tak ingin lagi mendengar cerita tentang Rio.
“Bang!” Sutan memanggilnya agar kembali.
Saym berhenti, berbalik dan menatap adiknya dengan mata menyipit.
“Tadi Rio bilang, Abang sudah lama nggak ke kampus.” Lanjut Sutan.
Syam tidak memberikan reaksi apa-apa. Tetap saja menatap adiknya dengan menyipitkan kedua matan, seakan orang yang silau menatap matahari.
“Apa benar, Abang lama nggak kuliah?” desak Sutan lagi.
Bibir Syam mengembang, tersenyum tipis.
“Ya,” jawabnya pendek.
“Kenapa, Bang?”
“Kenapa? Kenapa tanyamu? Hehehe…kau ‘ni! Kadang pandai, tapi kadang keterlaluan juga bodohnya.”
“Aku tanya, kenapa Abang nggak kuliah lagi?”
“ Siapa bilang aku sudah nggak kuliah lagi. Aku masih kuliah.”
“Tapi kata Rio…”
“Ah dia tuh, tau apa? Aku mengajukan cuti selama setahun. Memang kenapa?”
“Betul, Abang memang cuma cuti? Nggak berhenti kuliah?”
Syam berbalik, meninggalkan Sutan menuju ke arah mobil yang tengah dibuka kap mesinnya oleh seorang temannya. Acuh tak acuh dia bilang pada Sutan,:
“Kau bisa mulai kerja dengan membantu Tarjo. Sini! Biar kau juga bisa sekalian belajar padanya. Jo’, itu adikku. Namanya Sutan. Tolong kau ajari dia soal mesin. Aku mau ke Bank bersama Abah,”
Tarjo, menyalami Sutan. Dalam sekejab saja mereka sudah mulai terlihat akrab.
Sungguh Sutan jadi benar-benar salah tingkah. Di bengkel, dia lihat Syam seakan bukan lagi abang, tetapi boss. Sama seperti kepada Tarjo, sikapnya jadi lebih keras dan dingin. Mukanya tak lagi ramah seperti pada saat Sutan datang pertama kali, namun wajah itu seakan topeng, yang tak pernah terlihat berekspresi, datar saja bagaikan kaca. Dingin dan seakan-akan sulit diterka. Kadangkala Sutan mencuri-curi pandang, namun tak sekalipun dia menoleh kepada Sutan. Hingga sore, saat Syam pulang, tak juga terucap kata apa-apa. Dia hanya bilang,:
“Sutan, kau kerja sampai jam sembilan. Sesudah itu kau dan Tarjo menutup semua pintu, menggemboknya, dan menyerahkan semua kunci kepada Abah di rumahnya, di belakang bengkel. Tarjo akan memperkenalkanmu pada Abah. Tadi sudah kuberitaukan bahwa kau adalah adikku. Jadi baik-baiklah kau jaga perilakumu.”
Lalu kepada Tarjo, Syam berkata pula nyaris sama dengan kalimat-kalimat yang diutarakannya pada Sutan.
“Jo’, selesai menutup bengkel, antarkan Sutan ke rumah Abah.”
“Ya, Pak,” kata Tarjo.
“Sutan?”
Sutan mengangguk kaku.
“Ya,…Bang.”
“Oke, semua jadi tanggungjawab kalian sekarang. Kau dan Tarjo. Besok pagi kau datang lebih pagi, Jo’. Awas kalau terlambat lagi!”
“Beres, Pak.” Sahut Tarjo.
Hanya itu, Syam kemudian pergi. Suara motornya masih terdengar, tetapi makin lama semakin jauh.
“Aku baru tau, pak Syam punya adik,” kata Tarjo. “…Sampeyan juga kuliah to, Mas.” sambungnya.
“Iya.”
“Dimana?”
“Sama dengan Bang Syam. Di Fakultas teknik.”
“Oh, jadi pak Syam itu juga kuliah to? Ck…ck…ck…tidak kelihatan bahwa dia seorang mahasiswa. Penampilannya sudah sangat mantap, mapan, seperti layaknya bapak-bapak.”
Sutan tertawa dalam hati. Namun dengan tetap membisu dia membereskan semua peralatan dan memasukkannya ke dalam kotak perkakas.
“Jangan semua diberesin, Mas,” kata Tarjo “Kita kan belum selesai. Ini mobil bu Hasyim, belum selesai. Kita harapkan besok sore sudah bisa diambil, Mas.”
“Oh ya, maaf.”
Tarjo tertawa lepas.
“Ndak apa-apa, Mas Sutann kan belum terbiasa kerja di sini. Nanti pelan-pelan juga biasa. Yuk, mas. Sini! Kita benahi kabel-kabel mesinnya ini.”
Kami bekerja tanpa banyak bicara hingga jam sembilan malam. Kemudian bersama-sama pula kami menutup bengkel. Menyerahkan semua kunci ke bagian belakang bengkel, rumah Abah Umar. Sayangnya, Abah tengah tafakur di mushallanya.
“Mas Sutan mau makan dulu, atau terus pulang?” tanya Tarjo sambil mendorong motor keluar.
“Saya terus pulang saja, mas Tarjo.”
“ Nggak makan dulu? Saya biasanya makan di warung depan situ loh, Mas. Rawon setannya enak. Pedas! Lagian malam-malam begini makan yang hangat, nikmat juga loh Mas.”
Sutan tertawa sambil menepuk pundak Tarjo.
“Terimakasih. Saya pulang saja. Capek. Belum terbiasa membongkok-bongkok ke bawah mobil, sih.”
Tarjo tertawa semakin lebar. Pemuda ini memang terlihat baik, dan rasanya Sutan bisa segera menyukainya. Akhirnya mereka berpisah. Tarjo menyeberang jalan, sementara Sutan terus melaju ke rumah kos yang selama ini ditinggalinya bersama Syam. Hari ini rasanya merupakan hari terpanjang dalam hidupnya. Tak bisa dia membayangkan, apakah seperti ini hari hari yang selama ini dijalani abangnya Syam? Baru dia sadar, beginilah susahnya mencari uang. Ya Allah,…dihelanya napas dalam-dalam. Kasihan kau Bang,…kasihan kau.



BENGKEL ABAH UMAR
Pukul satu siang.
Siang terasa menyengat. Keringat mengucur deras, namun kerja harus terus berlanjut. Menjelang sore, Syam baru datang ke bengkel. Tarjo bilang, sudah sejak pagi Syam keluar, kebetulan Abah Umar tengah pergi ke luar kota.
“Jadi beginikah kalau Abah nggak ada?” tanya Sutan sambil lalu pada Tarjo.
“Maksud sampeyan pak Syam? Mungkin karena Abah sudah amat percaya pada pak Syam, maka seluruh urusan diserahkannya padanya. “ sahut Tarjo panjang lebar.
“Justru kalau sudah dipercaya, menurut aku nggak bisa seperti ini, Mas.”
“Apa mas Sutan juga tau, bahwa bengkel ini bisa seperti ini karena pak Syam?”
“Dia yang membuatnya jadi besar. Begitu maksud mas Tarjo?”
“Yah, begitulah. Pak Syam yang jadi boss disini. Abah sih, tau beresnya saja Mas. Bahkan sepagi tadi, pak Syam mudah saja membawa mobil pak Hardono yang tengah diservis di sini. Saya sih, ndak bisa bilang apa-apa, Mas. Abah sendiri tidak berkomentar, masa saya harus begini begitu sama pak Syam?”
Sutan terdiam. Keningnya berkerut, berpikir lama, naumun ujung-ujungnya jadi buntu. Tak tau harus bilang apa lagi. Lama setelah mereka saling terdiam, Sutan bertanya pada Tarjo.
“Pernah, nggak. Ada tamu yang mencari bang Syam kemari, Mas?”
“Banyak, mas.”
“Maksud saya, seorang gadis cantik berambut panjang.”
“Gadis cantik berambut panjang? Apa yang selalu mengenakan seragam sekolah itu?”
“Ya, ya.”
“Oooh, yang itu. Setau saya sering. Bahkan kalau datang selalu pada waktu makan siang, mereka lantas keluar. Balik lagi sekitar jam dua. Siapa dia, mas? Apa Mas Sutan mengenalnya?”
“Gadis itu bernama Sita. Pacar bang Syam.”
Tarjo melebarkan senyum.
“Mereka itu sangat serasi, Mas. Kayaknya,…mesra sekali.”
“Apakah begitu menurut pendapat sampeyan?”
“Malah Abah juga suka pada gadis supel itu.”
Sutan mengelap tangan yang berlepotan oli dengan lap.
“Saya juga menyukainya.”
“Mas Sutan juga mencintainya?”
“Suka, bukan cinta.”
“Oh.”
Tarjo tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Pak Syam itu orang hebat,” katanya kemudian.
Sutan terdiam lama. Tangannya kini semakin trampil membetulkan segala sesuatu yang rusak dalam bongkahan mesin di depannya. Kini seakan makin cepat dan trampil pula setelah tau bahwa gadis itu sering menjemput Syam. Namun, kenapa mendadak ada rasa tak nyaman dalam hati Sutan? Kenapa ada debaran jantung yang lebih cepat? Cilaka kalau tiba-tiba dia juga jatuh cinta pada gadis itu! My God! Sutan mengeluh dalam hati dengan dada kian berdebar. Jangan biarkan hati ini tumbuh makin kuat ingin merengkuhnya. Jangan biarkan aku jatuh cinta pada Sita!
Apa yang Sutan takutkan akhirnya terjadi. Pada sekitar jam dua siang Syam datang ke bengkel bersama Sita. Memang benar kata Tarjo, mereka datang mengendarai mobil mewah milik salah satu pelanggan bengkel, yang tak bakal terbayangkan dalam benakku berapa ratus juta harganya. Kabarnya pula, pemilik mobil itu adalah seorang pejabat tinggi di kota ini.
Sutan jadi gerah saat Sita berjalan ke arahnya.
“Halo, Sutan!” suara Sita terasa sebening telaga. “Apa kabar?”
Sutan tersenyum kaku. Wajahnya malah terlihat seperti orang meringis kesakitan.
“Kau tinggalkan Tracker Drafting Machine hanya untuk membiarkan tanganmu berlepotan oli?” sambung gadis itu sambil memegang tangannya, membalikkan telapak tangan Sutan dan mengelapnya dengan kertas tissue.
“Seorang arsitek tak boleh kotor begini, Sutan. Lebih baik kau merancang saja gedung-gedung daripada membolak balik onderdil mobil,” lanjut Sita.
Syam menyulut sebatang rokok. Mematikan batang kayu korek api dengan sekali kibas. Matanya tajam di balik asap rokok yang mengepul deras. Sutan segera menjauhi Sita, berpura-pura membereskan peralatan. Demi Tuhan, dia tau bahasa tubuh Syam bila tak suka pada sesuatu. Dan kini, dia pasti sedang tak suka melihat Sita bersikap sedikit mesra pada Sutan
“Jangan salah,” kata Syam kemudian. “Seorang arsitek tak hanya merancang gedung-gedung, dia juga bisa merancang model terbaru Mitzubishi!”
“Oh ya?” mata indah itu membelalak.
“Dia akan cepat selesai kuliah, dan lihat saja, aku akan segera mengirimnya ke Jepang.” Kata Syam lagi.
Sita mendekati Syam, bertolak pinggang di depannya sambil mencibir.
“Hmmm….sombong!” katanya. “Dari mana kau dapatkan uang untuk menyekolahkannya ke Jepang?”
“Itu urusan nanti, yang penting niatnya dulu.”
“Niat terus sampai tua?”
“jangan merendahkan aku, Sita. Kau tak pernah tau isi kepalaku, kan?”
“Apa?”
“Rahasia.”
“Asalkan bukan rencana jahat saja, Syam!”
“Semua yang ada di kepalaku adalah jahat. Termasuk keinginanku untuk menjahatimu!”
“Idih!”
Syam meraih pinggang Sita dan secepat sambaran kilat, dia menancapkan bibirnya ke bibir Sita. Menggilasnya dan menekankan bibir manis itu kuat-kuat ke bibirnya. Sita menggeliat, Syam makin ganas meremas dadanya yang kecil. Mereka itu serupa dua ekor lintah yang saling pagut dan saling menggigit.
Sutan hampir pingsan menyaksikannya. Peluh dingin mengaliri punggungnya. Dilihatnya di sudut sana, Tarjo berpaling muka. Ya Tuhan! Ampuni aku. Dan Sutan benar-benar marah pada ketiadaan daya dalam dirinya untuk mencegah semuanya terjadi begitu saja di depan matanya. Tangannya gemetar saat memegang ember, dan ember itupun jatuh bergedombrangan, memisahkan mereka yang sedang berpagut ria.
“Oh, maaf…” Sutan gemetar berdiri sambil membuang muka ke luar.
Syam menghapus bibir, Sita berusaha menutup kancing blus yang terbuka sebagian.
Lelaki tinggi besar dan kekar itu segera menyeret Sita masuk ke dalam kantoran yang hanya dipisahlan selapis kaca bening dari ruang bengkel. Di sana dia merebahkan tubuh gadis itu dengan kasar ke sofa dan menindihnya. Jeritan jeritan kecil Sita segera tenggelam dalam busa asmara yang amat kotor dimata Sutan. Sutan meludah, bergegas keluar dan mengendarai motornya menghilang entah kemana. Meninggalkan Tarjo yang berdiri kaku bak patung Sudirman di depan pintu pagar. Sutan tak bisa membayangkan, bagaimana kalau Abah tau kantor bengkelnya dikotori oleh perbuatan mesum karyawan kepercayaannya? Mungkin saja Haji yang sudah berusia enampuluh tahun itu langsung stroke karena serangan jantung. Atau bahkan bisa meninggal sekalian.
Di tikungan jalan ada sebuah rumah makan. Kesanalah ASutan menuju. Distandardnya motor, melepas helm dan mengaitkannya pada kaca spion. Rambutnya yang ikal disisirnya dengan jemari, lalu dipesannya es campur . Saat ditawarkan nasi, pemuda itu menggeleng. Tak ada lagi nafsu makannya siang itu. Ludes sudah oleh bayangan yang menggantung di pelupuk mata.
Sambil mengaduk-aduk es campur dalam gelas besar Sutan terus berpikir. Apa yang terjadi sekarang di kantor Abah Umar? Apakah Syam sudah berhasil memerawani gadis itu, atau…memang gadis itu sudah tidak virgin lagi sejak awal? Kalau saja Sita adalah gadis baik-baik, pastilah takkan terjadi perilaku mereka semacam itu. Apalagi dilakukan di tempat yang tidak tepat, dan persis di depan mata karyawan lain. Betapa bedebahnya mereka, pikir Sutan. Masihkah hal yang seperti itu bisa ditolerir? Masihkan bisa dirinya mengakui bahwa Syam, abangnya, adalah satu-satunya panutan baginya?
Sutan meletakkan sendok es. Gelas yang masih utuh isinya itu cuma dipandanginya tanpa kedip. Bibirnya terkatup keras. Keningnya saling bertemu. Dan keringatnya jatuh serupa pipilan jagung.
Sutan berdiri. Meletakkan lembaran uang di meja, kemudian pergi. Motornya meraung-raung sesaat sebelum melaju kembali ke bengkel. Dilihatnya Sita dan Syam sedang bersenda gurau di bengkel. Tak ada tanda-tanda pergumulan. Mereka terlihat baik-baik saja dan tetap rapi seperti semula.
“Hei Sutan! Ayo kita keluar sebentar!” kata Syam setengah berteriak ketika Sutan memarkir motor di depan bengkel.
Sutan diam saja.
“Kita mengantar Sita pulang,” kata Syam lagi tanpa terlihat bersalah, atau tanpa tanda-tanda yang memperlihatkan bahwa dia merasa bersalah.
Sutan menoleh sejenak ke arah mereka. Namun bibirnya masih tetap terkatup.
“Nih, kau yang bawa. Aku dan Sita di belakang,” kata Syam lagi sambil melemparkan kunci mobil. Sutan menangkapnya, dan menatap tajam wajah mereka. Dilihatnya kemudian Sita yang masih tertawa-tawa, saling berpelukan dengan Syam menuju mobil.
Tarjo mendekati Sutan, dan berbisik.
“Pergi saja, Mas. Ndak apa-apa, ada saya di sini.”
“Betul, tidak apa-apa?”
“nanti kalau ada konsumen, bisa saya tangani. “
Sita dan Syam sudah duduk di jok belakang saat Sutan mulai memasukkan gigi satu dan meluncur pergi.
“Kemana ini, Bang?” tanya Sutan di tengah perjalanan.
“Kau bawa saja terus, nanti kupandu.”
Busyet! Ternyata mereka menuju ke daerah dingin tak jauh dari Pasuruan. Mereka naik ke daerah perbukitan dan berhenti pada sebuah motel. Sutan hampir saja berteriak-teriak dan minta turun saja dari mobil mereka, namun mereka tentu tak perduli lagi sebab sejauh perjalanan dari Surabaya ke tempat itu, keduanya begitu berasyik masyuk, berciuman dan saling berhimpit-himpitan tak henti-hentinya di jok belakang.
Sutann menggigit bibir kuat-kuat. Mengatupkan geraham sampai sakit. Dan selalu menatap ke depan tanpa berani mengalihkan pandang ke kaca spion.
“Kau tunggu disini, atau boleh pergi mencari warung. Nih, duit. Makan sana!” kata Syam.
Sutann merasakan nafasnya berhenti.
Sebegitu rusakkah dunia ini, Tuhan? Keluhnya. Dan rupanya gadis itu juga sama rusaknya dengan abangnya. Bagaimana bisa? Sutan mungkin tak pernah membayangkan sebrengsek itulah abangnya. Namun hari itu, semuanya jadi jelas. Abangnya bukan saja ahli merayu wanita karena hartanya, namun juga pandai pula merogoh milik wanita dengan ketegapan tubuhnya. Ya ampun….semoga dijauhkanlah aku dari hal-hal kotor seperti itu Tuhan….!!
Jam delapan malam, mereka keluar dari motel. Perjalanan menuju Surabaya memakan waktu kurang lebih satu jam. Maka bisa dipastikan, sampai di rumah Sita jarum jam tangan Sutan sudah menunjukkan setengah sepuluh malam.
Rumah megah yang ada di daerah elit sebelah Barat Surabaya itu terlihat masih terang benderang. Pintu pagar besi tebal setinggi hampir tiga meter tertutup rapat dengan pos penjaga di sisi kanan pagar, dan segera pula dua orang satpam menyongsong mereka. Menjengukkan kepala ke kaca jendela yang gelap, hingga kaca itu diturunkan.
“Aku, pak! Tolong bukakan pagarnya!” teriak Sita dari dalam mobil.
Satpam itu segera membungkuk memberi hormat dan cepat-cepat membukakan pagar. Mobil yang dikemudikan Sutan meluncur pelan, masuk ke sebuah halaman yang luas dengan pepohonan dan taman yang mahal. Mobil dianjurkan terus meluncur ke depan teras.
Sita dan Syam turun. Namun belum sempat mengetuk pintu kayu berukir itu, tiba-tiba pintu rumah itu terbuka. Seorang ibu, masih nampak muda dan terawat, cantik pula, muncul dari dalam rumah.
“Darimana saja, malam-malam?” tanya perempuan itu yang tak lain adalah orangtua Sita.
“Ma, kami baru saja pulang latihan tari di sekolah.”
“Oya?”
“Ini temanku, namanya Syam.”
Orangtua Sita menatap tajam. Uluran tangan Syam tidak disambutnya.. Wanita cantik itu bahkan membukakan pintu lebih lebar dan menyuruh Sita masuk.
“Masuk!” katanya.
Sita menyentuh tangan Syam, mengajaknya masuk. Namun wanita itu menarik lengan Sita dan mendorongnya masuk ke rumah. Pintu besar itupun kemudian ditutup keras,..blam!
Untuk beberapa saat Syam terpaku di depan daun pintu berukir yang tak ramah itu. Namun Sutan melihat, ada segaris senyum sinis pada bibir abangnya itu. Syam memasukkan tangan ke saku celana dan langsung balik kiri, kembali naik ke mobil. Kali ini dia duduk di samping Sutan.
Mobil meluncur keluar dari halaman rumah megah, yang menurut Sutan cukup tidak ramah pada abangnya. Mereka jalan begitu saja, hingga tiba-tiba Syam berkata datar pada Sutan,:
“Kita pulang.”
“Maksud Abang,kita pulang ke rumah?”
“Ya.”
“Tapi Bang…”
“Nggak apa-apa, Tarjo juga paling sudah pulang, bengkel sudah ditutup. Besok kita berangkat lebih pagi, kau turunkan aku di bengkel, lantas kau naiki motor kamu yang masih di bengkel, ke kampus.”
“Ya, Bang.”
Malam merambati kota. Namun Surabaya serasa tak pernah tidur. Lampu bergemerlapan sepanjang jalan. Banyak toko yang sudah tutup. Namun ada beberapa yang belum. Mereka melewati Pubs, Karaoke and Café. Namun Syam tak lagi bicara. Suasana sepi diantara mereka berdua. Hingga akhirnya mereka memasuki sebuah jalan kecil, tidak terlalu sempit, namun hanya cukup dilewati dua mobil bersimpangan, kemudian dari sekian rumah yang berjajar, mereka menemukan rumah mereka. Lebih jelasnya, rumah tempat kos mereka!
RUMAH SITA.
Mama menutup pintu besar berukir itu dan menarik Sita ke kamarnya.
“Katakan,” kata Mama. “Siapa dia?”
“Kan sudah Sita bilang tadi, namanya Syam.”
“Syam. Syam siapa? Apa pekerjaannya? Mama yakin dia bukanlah teman sekolahmu. Kok bisa kau bareng sama dia? Ketemu dimana? Teman apa?”
Sita merebahkan diri di ranjang empuk miliknya.
“Aduh, Mama. Pelan-pelan dong!”
“Lihat dirimu. Apa’an ini, semrawut semua. Rambut dan wajahmu kotor sekali. Dan baumu….”
Mama mengendus-endus, mengerutkan kening.
“Baumu aneh!” katanya.
Sita, si bocah delapan belas tahun itu, tertawa lebar. Samasekali tidak menampakkan kegelisahan atau rasa bersalah kepada orangtua.
“Ya jelas aneh, Mama. Kan seharian ini Sita belum mandi. Aduh, capek Mama. Kita ngobrolnya besok pagi aja, ya?”
“Dengar, Sita. Mama tidak mau kamu bergaul dengan orang-orang yang nggak bener.”
“Siapa yang nggak bener itu, Ma? Syam? Dia itu anak kuliahan, Ma. Dia kuliah di Mipa semester Sembilan. Udah? Mama nggak usah kuatir deh. Bener!”
“Tapi Mama tetap nggak suka. Kelihatannya dia tidak seperti mahasiswa.”
“Ya udah. Sekarang Sita mau mandi dulu. Boleh ya?”
“Ingat Sita, kita harus bicara lagi. Besok!”
“Ya, ya. Besok! Oke mama…selamat malam.”
Mama menatapnya tajam, setengah ragu. Ada sesuatu yang dia rasakan aneh pada putrinya. Tetapi apa?
Tak ada sesuatupun bisa disembunyikan. Namun kali ini dugaan buruk yang tiba-tiba muncul sengaja ditepis oleh Mamanya Sita. Sungguh, dia tak ingin percaya pada kebenaran naluri seorang ibu. Dia ingin yang baik-baik saja. Dibunuhnya prasangka jelek, dan ditumbuh-suburkannya prasangka terbaik bagi putrinya. Mungkin benar, Syam, pemuda tinggi tegap dan berwajah tampan itu adalah orang baik-baik, seorang mahasiswa Mipa, yang…yang…kaya, barangkali? Mobilnya tadi,…mewah bener! Anak siapa dia ya? Ah, wanita itu segera menggeleng keras mengusir sebongkah dugaan yang dirasakannya tidak terlalu baik.
Perlahan dia melangkah pergi, menutupkan pintu kamar dan turun ke lantai bawah. Sesekali masih menengok ke atas, siapa tau ada yang dilihatnya disana. Sebuah kebenaran, mungkin? Yah…wanita itu menghela nafas dalam-dalam,…semoga saja firasatku salah. Semoga!

(bersambung)

Sabtu, 02 Oktober 2010

TROWULAN (32) - TAMAT


Di beranda rumahnya, Niken terisak, didepannya duduk Darji sambil menundukkan kepala. Sungguh, situasi yang sulit bagi Darji, sebab gadis didepannya sejak tadi tak pernah berhenti menangis. Sudah berpuluh lembar kertas tissue dihabiskannya dan kini masih juga airmatanya mengalir deras.
“Sudahlah, Niken. Apa yang kau tangisi?” sesal Darji.
Lagi-lagi Niken sibuk mencabut kertas tissue dari kotaknya, membersit hidung sebentar, kemudian mencoba menatap wajah Darji.
“Aku menyesal, Ji. Sungguh. Kalau saja dia mati saat itu….” sahutnya tersendat.
“Tetapi dia masih hidup.”
“Kalau saja,…bukankah aku yang menanggung dosanya?”
Darji tersenyum.
“Sekarangpun kau sudah memikul dosamu, Nik. Kau sadar dengan siapa kau melakukannya hingga kejadian ini harus ada?”
Niken kembali membuang ingus.
“”Sekarang, katakana padaku dengan sejujur-jujurnya, benarkah kau tengah mengandung?”
“Ap…apa Aryo tidd…tidak bilang apa-apa mengenai diriku, Ji?”
“Maksudmu, apa?”
“Anak dalam perutku ini,…tidakkah dia mengatakannya padamu siapa ayahnya?”
Darji menggeleng pelan.
“Dia tidak ingin mencoreng namamu bahkan denganku sekalipun.”
Niken kembali membersit hidung.
“Katakan padaku, siapa ayahnya?” tanya Darji.
“Banyak.”
Darji tersentak kaget. Untuk beberapa saat pikirannya mendadak buntu. MasyaAllah!
Dilihatnya Niken tersenyum kecut.
“Ya, aku melakukannya dengan banyak orang…” katanya seraya menyibakkan rambut ke belakang.
“Apa katamu?”
“Sejak Aryo menghilang ke Surabaya, aku mendadak jadi menyimpan kebencian yang amat sangat kepadanya. Dendam kesumat yang tak bisa kuucapkan pada siapapun. Rasanya bagai sampah diriku ini, Ji. Sakit sekali….”
“……………”
“Untuk melampiaskan kekesalan itu, aku…”
“Cukup, jangan diteruskan lagi ceritamu itu. Hanya saja aku tidak mengerti mengapa kau membuat semuanya jadi kacau seperti ini. Seolah-olah kau tengah menuntut pertanggungjawaban dari Aryo. Bukankah itu merupakan corengan yang tak termaafkan bagi masyarakat kita di sini terhadap Aryo wangking? Setega itu, kau Niken. Seolah kau ingin mencemarkan namanya. Kau korbankan tahun-tahun persahabatan kalian?”
“Maafkan aku, Ji.”
Darji berdiri dengan kesal.
“Jangan minta maaf padaku, mintalah maaf pada Aryo Wangking, meski menurutku itu belumlah cukup bagimu.”
“Jadi,…apa yang harus kulakukan?”
“Ikhlaskan dia menikahi Rayun Wulan.”
“Tapi aku mencintainya, Darji. Sangat!”
“Kalau benar kau mencintainya, buktikan dengan keikhlasanmu melepaskan dia memilih jalannya sendiri.”
Kembali Niken mengucurkan airmata.
Darji kembali duduk, kali ini dia mengambil tempat di samping Niken. Lengannya memeluk pundak gadis itu dan berbisik pelan di telinganya,:
“Aku mengerti bagaimana perasaanmu saat ini, Niken. Tetapi ketauilah, bahwa semua ini adalah buah dari perbuatanmu sendiri. Seharusnya kau tetap tegar dan berani, sama seperti saat kau memutuskan untuk mengambil langkahmu saat itu.”
“Pasti dia sudah amat jijik kepadaku. Pasti dia sudah bisa melihat apa yang kulakukan saat itu…”
“Ssshh…sudah, sudah. Tak ada gunanya lagi menangisi yang sudah lalu. Sekarang, kuminta kau ikut denganku.”
“Kemana?”
“Menjenguk Rayun.”
“Tidak,…aku tidak mau. Aku tidak sanggup!’
“Harus. Kau harus sanggup mengatakan semuanya ini dengan jujur kepadanya. Tidakkah kau tau, Rayunpun hampir saja tewas karena perbuatan Dewa Pamugaran. Untung saja, pelurunya tak tepat pada jantung, meleset sedikit saja, entah apa jadinya.”
Niken tersedak.
“Takkah kau sadari semuanya bisa saja berakibat sangat fatal?”
“Tetapi bukankah Raki Keleng dan Pamugaran ….”
“Bisa saja Raki Keleng jadi kejam karena takut kehilangan dirimu, Niken. Dia amat mencintaimu, sama seperti kau mencintai Aryo. Apapun kau lakukan untun mendapatkannya, bukan? Sama, Raki Keleng juga akan melakukan apa saja demi dirimu. Akibatnya mereka kini sama-sama berada di rumah sakit, sama-sama tidak bisa bertemu. Bahkan menurut keluarganya, hubungan mereka sudah putus.”
“Putus?”
Sepasang mata Niken terbelalak.
“Ya. Mereka putus. Karena Rayun sudah tidak bisa lagi memaafkan Aryo atas perbuatannya kepadamu. Dia beranggapan Aryo telah membohonginya.”
“Seharusnya dia bisa memaafkan Aryo.”
“Nyatanya tidak.”
“Kalau dia benar-benar mencintainya, pasti bisa memaafkan.”
“Semuanya tergantung dirimu.”
“Tergantung diriku?”
“Katakan kepadanya apa yang terjadi, dengan siapa kau melakukan hubungan, dan mintalah maaf kepadanya.”
“Apakah,…dengan begitu mereka bisa kembali…?”
“InsyaAllah.”
Niken meremas jemarinya sendiri. Lama terdiam, seakan berpikir dan menimbang-nimbang.
“Baiklah,” ujarnya kemudian dengan suara gemetar. “Kapan kau mau pergi menjenguk Niken?”
“Sekarang?”
“Sekarang?”
Darji tersenyum menatap mata yang masih berselimut airmata itu, mengangguk pelan seraya meremas pundaknya perlahan.
“Sore ini?” masih juga Niken menawar.
“Ya, sore ini.”
“Baik, aku ikut.”
“Alhamdulillah….”

Sore itu di rumah sakit, Rayun sudah kelihatan segar. Dia menerima kedatangan Niken Pratiwi dan Darji dengan seulas senyum yang cukup manis. Wajahnya memang masih terlihat pucat, namun menurut Darji, mungkin itu dikarenakan gadis itu tidak memakai make-up di wajahnya. Darji membiarkan Niken meminta maaf dan menjelaskan semuanya kepada Rayun. Ada terbersit rasa kasihan dan iba terhadap Niken di hati Darji, namun itulah sesungguhnya tanggungjawab Niken atas semua trik yang pernah dilakukannya untuk merebut kembali kekasih hatinya. Kenapa dia harus melakukan itu? Menurut Darji sungguh tidak masuk akal, walaupun kadang orang bisa membuat kita kecewa, tak semestinya Niken membabi-buta, sama seperti Raki. Kita tau, bahwa semua dari kita memiliki kelemahan. Seharusnya pula kita bisa memahami dan memaafkan orang lain. Namun, pernyataan Rayun sungguh mengejutkan Darji.
“Sebetulnya,… “ kata Rayun. “….aku sudah menerima tawaran untuk bekerja pada sebuah majalah di Jakarta. Kuterima tawaran itu karena sudah sejak lama aku ingin bekerja pada sebuah majalah. Apalagi majalah besar di Jakarta. Aku tak ingin melepaskan kesempatan ini. Aku tak ingin melepaskan kemerdekaanku memilih jalan hidupku sendiri. Tanpa campur tangan orang lain, tanpa harus dipengaruhi oleh segala macam tetek bengek yang tidak penting untuk mengubah pilihanku.”
Darji memasukkan tangan ke saku. Sombong bener kedengarannya, pikir Darji.
“Namun ada seseorang yang membutuhkanmu saat ini, Rayun.” Kata Darji.
“Siapa? Aryo Wangking?” Rayun Wulan tertawa. “Dia tidak membutuhkan siapa-siapa, apalagi membutuhkanku. Dia orang yang mandiri. Dan bukankah ada kalian? Kenapa pula harus ada aku?”
“Kau masih marah kepadanya?”
“Oh, sama sekali tidak, Darji. Maafkan kata-kataku kalau itu kau anggap cetusan dari perasaan marah seseorang pada orang lain. Tidak, aku tidak lagi merasakan apa-apa. Yang kupikirkan justru kalian. Kalian membutuhkan dia, jadi apa gunanya semua ini dibicarakan?”
“Rayun, dengarkan aku,…” kata Darji. “….dia amat membutuhkanmu. Saat ini. Mungkin sedang sekarat, mungkin justru akan sembuh seperti sediakala. Tidakkah kau ingin bertemu?”
“Lakukanlah, Rayun. Demi aku, maafkan dia.” Sahut Niken.
Rayun tertawa kecil.
“Waktu berjalan seperti sungai, Darji. Akan mengalir terus dan tak pernah kembali. Ambillah apa yang masih dapat kau ambil. Jangan dibiarkan lewat dengan sia-sia. Berpikirlah. Jangaan hanya dua kali, tapi berpikirlah ribuan kali. Maka setelah kupikir ribuan kali, aku memutuskan, menerima pekerjaan pada majalah terkenal itu.”
“Rayun, kau mencintainya?” tajam tatap mata Darji menusuk ke hati Rayun.
Setelah terdiam beberapa saat, Rayun menjawab dengan suara gemetar.
“Dulu aku sangat mencintainya,…”
“Sekarang?”
“Sekarang,…rasanya tidak lagi.”
“Astaghfirullah….” Darji menutup wajah dengan telapak tangan. Betapa keras hati kamu, Rayun. Betapa dalam pikiranmu cuma ada hitam dan putih!
“Rayun….” Niken mendesah kelu.
“Dunia yang kumiliki barangkali berbeda dengan dunia kalian,” kata Rayun getas. “Terus terang, aku tak tau apa yang harus kulakukan bila berada bersama kalian, dimana tiada lagi batas-batas, semuanya tampak rancu, mana sahabat mana kekasih, mana teman tidur…”
“Dia tidak meniduriku!” sentak Niken lebih pedas.
“Oh ya?”
“Memang nasibku jauh lebih jelek disbanding nasibmu, Rayun. Tapi jujur, anak dalam kandunganku ini bukan milik dia!”
“Aku sudah tak peduli lagi anak itu milik siapa. Tapi sudah jelas bagiku bahwa kalian pernah saling memiliki.”
“Itu dulu sebelum bertemu dirimu, Rayun!”
“Ya, itu dulu. Apakah tidak mungkin semuanya berjalan melingkar bagai roda? Kembali dan kembali lagi? Bagiku ujung dari pembicaraan ini semacam bentang panjang padang kesepian dimana kita ini jadi seperti orang-orang bodoh yang sia-sia memaknai hidup dan tak mengerti akan arti mencintai.”
Darji menggigit bibir.
“Tega sekali kau bicara seperti itu, Rayun,” ujarnya kehilangan simpati.
Dilihatnya kemudian, Rayun melepas cincin belah rotan yang melingkar di jari manisnya. Ditariknya tangan Darji, dan meletakkan cincin itu pada telapak tangannya.
“Ini,…” ujarnya. “…berikan kepadanya, dan katakan bahwa aku bukan Rara Ireng seperti yang diyakininya selama ini. Aku adalah manusia masa kini yang tak terbawa arus moral papa.”
“Rayun, kau sadar dengan yang kau lakukan ini?”
“Sepenuhnya aku sadar.”
“Sungguh, tak pernah kusangka kau….”
“Sebaiknya kalian segera menemuinya,” potong Rayun . “Katakan juga aku sudah pulih seperti sediakala, dan besok sudah bisa keluar dari rumah sakit. Segera luka yang ada di dalam sini sudah mulai mengering dan emosiku sudah kembali stabil.”
Darji sungguh terpana. Tak tau lagi harus mengatakan apa pada gadis selembut angsa, namun berhati baja, keras dan dingin, yang tengah tersenyum di depan matanya itu. Digenggamnya cincin belah rotan dalam telapak tangannya kuat kuat, diremas, seakan ingin meluluh-lantakkannya jadi debu. Perlahan-lahan dia melangkah mundur diikuti langkah Niken yang berwajah seputih kapas menahan amarah.
“Ada keadilan yang lebih tinggi dari keadilan manusia,…” desis Darji tertahan.
Rayun membuka telapak tangan ke udara, tersenyum manis tanpa beban.
“Ya,…” sahutnya. “…Dia yang akan mengadili kita semua!”
Darji mengusap muka dan beristighfar. Satu lagi kekejaman dia saksikan. Kekejaman yang dilakukan tanpa senjata, namun tikamannya jauh lebih mematikan.
Ya Allah….
Dia berpaling sekali lagi. Ingin melihat atau mendengar imbauan Rayun untuk bisa kembali menyatukan hatinya dan hati Aryo Wangking sahabatnya. Namun yang dilihatnya adalah gadis cantik itu bahkan sudah memejamkan mata, tidur laksana malaikat. Siapa akan menyangka, ternyata dia bukan sekadar malaikat, namun manusia berhati singa.
Di rumah sakit lainnya, Darji melihat Aryo terbaring apatis. Beberapa selang infuse seakan lengan-lengan octopus, mencengkeram tangannya yang terikat ke pinggir ranjang tanpa daya.
“Gimana keadaanmu, Yok?” tanya Darji.
“Seperti yang kau lihat. Sudah kautemui Niken?”
Darji mengangguk.
“Rayun juga?”
Darji kembali mengangguk. Dilihatnya Aryo tersenyum seraya menatap langit-langit kamar. Mendesah lirih seakan ada yang pedih di dadanya.
“Kenapa, Yok?”
“Aku merasa aku bakal kehilangan dia, Ji.”
“Maksudmu?”
“Kami tak bisa lagi bertemu, seakan ada tembok yang tiba-tiba berdiri kaku diantara kami. Kami tak bisa saling bicara. Komunikasi terputus total. Kubayangkan, seandainya aku bertemu dengannya, apa yang akan kukatakan?”
“Ya, menurutmu apa?”
“Rasa-rasanya tidak ada lagi yang bisa kukatakan kepadanya. Sejak awal aku tau, dia adalah gadis yang keras hati. Namun ada sesuatu dalam dirinya.”
“Apa?”
“Rara Ireng.”
Darji tertawa perlahan.
“Dia bukan Rara Ireng,” ujar Darji.
“Itu yang dikatakannya? Bahwa dia adalah manusia masa kini yang tak terbawa arus moral papa?”
“Kau sudah mendengarnya sendiri?”
“Tidak. Aku hanya mendengar bisikan di telinga hati, bahwa itulah yang dia katakan padamu untuk menolakku. Lantas, apa lagi katanya?”
“Dia akan bekerja di sebuah majalah. Di Jakarta, katanya.”
“Kapan?”
“Katanya, dia berangkat ke Jakarta Minggu depan. Oh ya, ini ada titipan untukmu.”
Darji merogoh saku celananya, dan meletakkan cincin itu di tangan Aryo yang kemudian menatap kosong benda itu seakan tak mengerti dari mana asalnya.
Aryo mengelus dada yang mendadak sesak. Kedua matanya memejam beberapa lama. Kelopak mata itu memanas. Bibirnya terkatup kuat mencoba menahan raungan yang nyaris meledak. Kulit wajahnya memutih kapas. Perlahan dia mendesah. Mohon diampuni segala dosa yang pernah digoreskan memenuhi lembaran kehidupannya. Barangkali inilah hukuman Tuhan atas semua perbuatannya di masa lalu. Meniduri isteri orang, memerawani seorang gadis, dan semua itu dianggapnya tidak berakibat apa-apa. Nyatanya? Sumirah bunuh diri karena kecewa, Niken hamil tanpa ketauan siapa laki-laki yang menghamilinya. Bukankah itu dosa besar? Ya Allah…masihkah mampu mengaku bahwa dia adalah titisan Nambi?
Kesedihannya kini sudah tak mampu lagi dia atasi atau sembunyikan. Pada akhirnya manusia sendirian saja menanggung rasa sedih. Rasa sedih memang tak bisa dibagi dan tak bisa diminta dari seseorang. Pada akhirnya manusia sendiri seorang yang terpencil, tanpa kawan, tanpa pengawal. Dan bila manusia punya pengawal di belakangnya, yang mengawalnya adalah kesepian juga pada akhirnya.
Minggu ini adalah minggu penghabisan yang hilang batas. Kalau benar Rayun akan segera pergi, itu artinya mereka memang hanya mampu menjangkau rakit hitam yang terdampar pada putaran pitam. Mata Aryo membatu. Masih dapatkah kedua hati mereka berdekapan kalau sudah begini?
Hati Aryo menjeritkan sebuah rintih pilu. Pedih bagai disayat sembilu. Dengan cepat disadarinya bahwa sesungguhnya dunia ini tidak kekal. Disimpannya seluruh cinta untuk dirinya sendiri, dilipatnya hati. Kedua matanya memejam, basah.
Darji menghela nafas panjang. Sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana, perlahan dia melangkah keluar dari ruang rawat inap itu. Di ujung lorong rumah sakit dia bertemu beberapa perawat yang menyapanya dengan lemparan senyum. Di tepi jalan, Darji mencegat angkot, dan segera naik ke dalamnya. Dibalasnya lambaian tangan anak-anak jalanan yang berlarian di belakangnya. Suara adzan maghrib teramat jernih terdengar dari arah masjid di ujung jalan. Matahari kian tenggelam.Langitpun tak lagi bening.
Mungkin benar kata orang, bahwa dunia ini alangkah komplit. Senantiasa bergerak antara kepuasan dan kekecewaan. Amat banyak yang kita tidak tau. Adalah bahagia, sebenarnya, orang yang sederhana dan wajar dalam arti proporsional terhadap keterbatasannya. Bagi Darji, Aryo wangking adalah kesenjangan. Merupakan awal dari simpang berbelok lepas. Dia memang harus memilih untuk dijemput anugerah panjang yang meresap melalui kisi-kisi dan cukup bahagia berada pada lantai dunia. Tak penting lagi haruskah ada Rayun Wulan atau tidak. Tak penting lagi. Karena semuanya memang kembali kepada yang di atas, Robb Yang Maha Kuasa.(kupersembahkan untuk suami, anak2, dan cucuku Dipa).


SELESAI

Senin, 06 September 2010

TROWULAN (31)


DENDAM KESUMAT.

Sepertinya hampir semua bangunan museum berwajah suram dan samasekali tidak menarik. Barangkali memang demikianlah keadaannya, seakan-akan disengaja untuk menjauhkan tamu yang sekadar iseng, tanpa tau apa makna sebuah sejarah.
Sebagai arkeolog yang benar-benar mencintai pekerjaannya, Aryo Wangking sebenarnya juga tak suka pada tamu-tamu yang hanya berkunjung karena iseng atau kurang kerjaan saja. Mereka masuk, melihat-lihat sekilas, lalu berceloteh sendiri bersama teman serombongannya. Sesudah itu, mereka pulang tanpa kesan. Samasekali tak mengerti, untuk apa sebenarnya mereka datang. Aryo berharap akan semakin banyak orang mencintai sejarah bangsa sendiri. Dengan menelusuri untaian rantai sejarah dari masa ke masa, Aryo berharap mereka semakin tau akan sejarah nenk moyangnya. Dan akan semakin mencintai tanah airnya.
Siang itu Aryo datang. Langkahnya terhenti sejenak di serambi. Hidungnya tiba-tiba mengerut saat menatap sebuah Kawasaki hitam di parkir di halaman musem. Entah mengapa, mendadak saja ada getaran aneh di dadanya. Seakan merasakan sebuah bahaya tengah mengintip. Padahal, apalah artinya sebuah motor warna hitam yang berdiri bisu di situ? Lantas, bagaimana dengan pemiliknya! Aryo mendesah. Yakin, Raki Keleng sang pemilik sedang ada di dalam.
Suasana di dalam museum dirasakan teramat sepi.
Tak ada lagi senyum Rustam menyambut setiap kedatangannya. Dia tewas beberapa waktu yang lalu karena bom yang ditanam orang di mobilnya meledak. Juga tak terdengar gurau dan kenyinyiran Niken Pratiwi. Sepi sekali. Mencekam. Aryo duduk di kursi lobby. Lama terpekur disitu memikirkan beberapa peristiwa yang sudah terjadi di dalam gedung tua itu. Banyak hal telah dialaminya bersama orang-orang terdekat, seperti Rustam maupun Niken. Juga terlintas dalam benaknya, pertikaiannya yang seru dengan Raki Keleng. Semuanya seakan suatu kejadian yang tidak masuk akal. Bagaimana mungkin semuanya terjadi dalam kehidupannya? Percintaan, pertengkaran, bahkan senjata api ikut bicara.
Saat ini Rayunpun masih terbaring di rumah sakit. Beberapa kerabat dekat gadis itu mengatakan bahwa Rayun tak mau bertemu dengannya, tak mau menerima kunjungannya, bahkan ponselnya selalu offline. Rupanya gadis itu sudah terlalu marah dan tidak percaya lagi kepadanya. Lantas, untuk mengembalikan kepercayaan Rayun kepadanya, apa yang harus dia lakukan? Apakah dia harus memaksa Niken mengijinkan dokter memeriksa DNA bayinya bila orok itu terlahir nanti? Aryo tidak pernah ragu akan trawangan yang dilakukannya, bahwa bayi itu memang milik orang banyak. Entah siapa yang pertama bersama Niken saat itu, dialah yang memilikinya. Selebihnya,…menurut gurauan orang-orang, hanya akan menambah tahi lalat atau rambut saja pada janin itu. Brengsek! Itu adalah sebuah gurauan yang sangat tidak manusiawi. Kejam dan sarkastik.
Tiba-tiba Darji masuk.
“Assalamualaikum,” Darji ber-uluk salam.
“Walaikumsalam.”
“Sudah lama. Yok?”
“Baru saja. Tumben kau kemari. Ada angin apa, nih?”
“Aku kesepian di Pendopo Agung. Semua orang telah pergi. Tau nggak, semakin tua ini aku semakin merasa betapa hidup ini merupakan kumpulan perpisahan. Besar maupun kecil.”
Aryo tersenyum kecil, mencabut sebatang rokok dan menyulutnya sekalian dengan geretan Zippo.
“Sentimentil sekali kedengarannya omonganmu itu, Ji!” katanya setelah menghembuskan asap ke udara.
“Yah….rasanya makin hari aku makin peka saja dengan yang namanya perpisahan.”
“Hm…” Aryo makin melebarkan senyum.
“Pernah suatu kali, aku lewat di sebuah jalan sempit dan melihat buah jeruk yang mengundang liur. Penjualnya, seorang ibu tua yang ramah sekali. Aku membelinya beberapa buah, kemudian pergi. Dan tiba-tiba saja hati ini tertusuk perasaan sedih dan merasa bahwa aku tak akan bisa melihat ibu tua itu lagi karena aku jarang sekali datang ke daerah tersebut dan mungkin tak akan pernah ke sana lagi. Karena semua keperluanku dapat di beli di sekitar tempat tinggalku. Itu hanya sebuah contoh, betapa perpisahan itu begitu mudah terjadi. Sepertihalnya dengan Rustam, kita tak dapat lagi bertemu. Aku tak akan menjumpainya lagi di sini maupun di tempat lain.”
Aryo tetap tersenyum mendengarkan kata-kata Darji. Tak sekalipun dia ingin menyela atau berkomentar.
“Aku rasa,..” kata Darji lagi, “…ada yang salah dengan masyarakat modern kita ini. Kenapa orang semakin tidak mau mendekatkan diri dengan sesamanya? Kenapa harus saling menyakiti?”
Aryo mengetukkan jemari ke samping, membuang abu rokok yang telah memanjang.
“Ji,…” katanya. “…itu tidak berlaku bagi kita. Kau kan tau, pintu hatiku akan selalu terbuka bagi setiap orang, terutama untukmu. Datanglah padaku setiap saat kau membutuhkanku.”
“Aku tau, kaulah satu-satunya teman yang bisa kupercaya. Kau punya rasa social yang teramat tinggi, karena itu aku jadi heran, kok masih ada saja orang menjahilimu. Seperti si raki Keleng itu.”
“Itu dikarenakan dirinya sudah dirayapi setan cemburu.”
“Rasaku bukan hanya itu. Ada sesuatu yang lain. Kulihat kedengkian teramat dalam menggerogoti kewarasannya. Orang-orang di sini bilang, sebetulnya bukan Rustam target peledakan itu. Targetnya adalah kau. Sayangnya, polisi tidak bisa membuktikan bahwa dialah pelakunya, padahal ada seseorang yang berani bersumpah telah menyaksikan Raki Keleng mondar-mandir saja di dekat jip sebelum jip itu meledak. Apakah itu hanya karena cemburu, iri atau dengki terhadapmu?”
“Wallahu a’lam. Aku tak berani bilang apa-apa. Bisa jadi fitnah.”
“Boleh kutanyakan sesuatu?”
“Silakan.”
“Apakah… benar…Niken sedang hamil?”
“Menurutmu, bagaimana?”
“………….”
“Apakah sama seperti Niken, kau ingin mengatakan bahwa akulah pelaku utamanya?”
“Maaf, maaf. Bukan maksudku….”
“Aku tau, Ji. Sebetulnya kau tak ingin dirasuki pemikiran seperti apa yang dikatakan Niken kepada orang-orang. Aku tidak menyalahkannya, meskipun hampir gila memikirkannya. Bayangkan, hubunganku memburuk setelah Niken bekoar bahwa aku pelakunya. Rayun Wulan sudah tidak lagi mau percaya padaku.”
“Lantas, apa yang akan kau lakukan?”
“Tidak ada. Kau tau Ji, baik buruknya sesuatu, semuanya hanyalah selisih waktu. Waktulah yang akan membuktikannya. Kita tak harus melakukan klarifikasi apapun , sudah tak ada gunanya lagi. Tidak akan mengubah Rayun menjadi percaya lagi kepadaku. Barangkali hanya Tuhan yang bisa memperbaiki semuanya. Sementara itu, Raki Keleng semakin ganas saja di mataku. Bergentayangan kesana kesini. Kadang, kalau aku mau jujur pada diri sendiri, timbul rasa takutku kepadanya, kepada kenekatannya, keganasannya, kepada nafsu serigalanya.”
Darji menghela nafas panjang. Ya, siapa sih yang tidak keder menghadapi kegilaan Raki Keleng? Bagi Raki tak ada lagi undang-undang, yang ada dalam benaknya adalah hukum rimba.
Seseorang mendadak menerobos masuk. Dia, yang baru saja dibicarakan kini berdiri garang di tengah bingkai pintu. Sepasang matanya yang lebar dan hitam, memandang tajam. Bertolak pinggang dan melempar senyum miring kepada Darji maupun Aryo.
“Wah wah… lagi ngegossip nih!” ujarnya seraya melangkah masuk.
“Siapa yang sedang kalian omongin? Aku?” tambahnya, diikuti tawa mengejek.
Aryo menjawabnya dengan hunjaman tajam lewat sorot mata. Dia tak ingin membuat jahanam itu kembali naik pitam seperti tempo hari. Karena otaknya memang sudah tidak beres, bisa saja nekat dan berbuat jahat meledakkan kepala orang.
Raki Keleng duduk bersama mereka. Sengaja menaikkan kaki ke atas meja sambil menyulut rokok bermerk mahal. Dilemparkannya bungkus rokok ke meja dengan sikap jumawa.
“Rokok, Ar?” tawarnya sambil menghembuskan asap rokok kuat-kuat ke udara.
“Aku baru saja dapat komisi besar dari seseorang,” imbuhnya sambil cengengesan.
Aryo diam tak menjawab.
“Siapa yang memberimu hadiah?” tanya Darji kalem.
“Ada saja.”
“Seseorang telah membayarmu atas satu kejahatan?”
Raki Keleng menggebrakkan kaki ke lantai, matanya mendelik ganas.
“Diamput! Kau ini selalu saja ngomong jelek tentang aku, kenapa sih? Kaupikir aku siapa? Preman, gitu?”
Darji tetap tenang, menatapnya tanpa kemarahan atau kemuakan di matanya.
“Semua orang tau apa pekerjaanmu, Raki. Tentu, kalau nggak judi, mainin perempuan, minum, ngompas…”
“Omonganmu Ji! Bau kentut melulu. Lihat dulu yang bener. Jelek-jelek begini aku punya otak untuk memilih pekerjaan. Kalau Cuma terima gaji cukup buat beli rokok, buat apa? Bagaimana bisa menghidupi anak dan bini? Masa harus mencari cewek konglomerat, baru bisa kawin? Uuuu,…nggak lah yao! No way! Gengsi meck! Harga diri, tauk! Itu namanya en-u. Alias numpang urip, hahahah…”
Aryo mencoba meredam kemarahan dan menyabar-nyabarkan hati. Dia tau, Raki sedang menyindir-nyindirnya. Mengipas-ngipas agar timbul rasa tersinggungnya, dan …ya, itulah yang ditunggu Raki. Perkelahian! Agar dia punya alasan untuk menikamkan belatinya ke perut lawan. Kalau saja Aryo terpancing, maka akan timbul ilham di balik kepala si brengsek itu menyulutkan api dalam lorong gelap.
Aryo berdiri.
“Kemana, Yok?” Darji bertanya.
“Ke perpustakaan.”
Raki Keleng tak ingin memberinya kesempatan untuk lolos.
“Kenapa kau ini, Brewok!” tandasnya. “Apa kau tak suka aku ikut mengobrol bersama kalian? Kau benci padaku, hah? Kau takut aku mengatakan padamu kalau aku tau anak dalam perut Niken adalah hasil permainan kalian, hah? Atau kau pikir, ada andilku di dalam perut cewek itu?”
Aryo menoleh kepadanya. Sepasang mata rajawali itu kini penuh jilatan api kemarahan, berkobar menjilati wajah Raki Keleng. Rasa-rasanya dirinya sudah cukup sabar menghadapi tekanan-tekanan dari lelaki berkulit hitam itu demi menjaga ketenangan tempatnya bekerja. Namun kesabarannya rasanya sudah setipis sarang laba-laba. Barangkali inilah yang dirasakannya saat dia menapak di serambi tadi. Serupa seringai serigala yang akan membahayakan keselamatannya!
“Kuperingatkan kau, Raki,” kata Aryo geram. “Jangan mencoba mencari-cari masalah denganku. Dan perlu kau ketaui, aku tidak perduli dengan ucapan-ucapanmu yang penuh intrik. Dengan siapapun Niken mau, itu bukan urusanku. Kau mengerti?”
“Oh ya? Gimana kalu dia bilang itu anakmu, kau percaya tidak?”
“Kutekankan sekali lagi agar otakmu bisa merekam lebih jelas, bahwa antara aku dan dia tidak ada hubungan apa-apa. Kalau kau meng8inginkannya, ya silakan saja. Buktikan pada semua orang bahwa janin yang dikandungnya itu adalah darahmu. Kuharap kau mau sedikit menaruh kasihan kepadanya. Seburuk apapun dia, jangan kau cemarkan namanya dengan dalih-dalihmu sendiri.”
“Dasar pinter ngomong!”
“Terserah.”
Aryo melangkah pergi, tetapi tungkai Raki Keleng menghalanginya dengan sengaja. Aryo menendangnya dengan kesal. Itu yang membuat Raki Keleng mencapai tujuannya. Diapun berdiri menghadang di depan Aryo sambil melotot.
“Brengsek! Merasa jagoan, ya?!”
Aryo mengatupkan geraham kuat-kuat.
“Aku memang bukan jagoan seperti kau, Raki. Tetapi menghadapi keroco sepertimu, siapa takut?”
“Setan alas. Rasakan ini….!”
Raki melayangkan tinju, dan ditangkis dengan manis oleh Aryo. Merekapun berkelahi seperti biasanya. Kali ini Darji tak ingin melerai, dia bahkan dengan gemas menonton. Dia ingin, kali ini Raki keok di tangan Aryo. Agar dia jera berkelakuan sok jagoan di daerah Trowulan ini.
Namun tiba-tiba Darji terkesiap melihat tangan Raki menarik sebilah pisau besar bergerigi dari balik kemejanya. Aryo mendadak juga berdebar-debar. Bukan ini yang dia inginkan. Namun kalau harus dihadapkan pada situasi seperti ini, apa lagi yang bisa dilakukan selain mempertahankan nyawa sendiri?
Raki terus menerus menyabet-nyabetkan pisaunya kea rah perut dan dada Aryo. Aryo lencah mengelak. Hingga suatu saat tangannya bisa ditelikung ke belakang oleh Aryo. Pisau besar itu terlepas. Tubuhnya terdorong menjauh.
“Sudahlah,..” kata Aryo. “…jangan lagi diteruskan. Tak ada artinya. Kalau jatuh korban, korban itu korban yang sia-sia.”
“Ya, betul,” timpal Darji. “…pulanglah Raki. Lupakan perselisihan tak berguna ini!”
Raki keleng berdiri sambil meringis menahan sakit pada pangkal lengan yang terpelintir oleh Aryo. Dilihatnya Aryo mengambil tas ransel dan melangkah pergi meninggalkannya tanpa menoleh-noleh lagi. Diikuti Darji di belakangnya. Siapa yang mau menyerah? Pikir Raki Keleng. Dipungutnya belati dari lantai, dan tanpa aba-aba, dia maju menerjang, berusaha menancapkan benda tajam itu ke punggung Aryo yang tampak lengah. Darji berteriak mengingatkan, tapi terlambat. Belati itu menghunjam telak di pinggang belakang Aryo Wangking. Aryo mengaduh, terhuyung sesaat, sebelum benar-benar jatuh.
Raki tertawa menyeringai.
“Rasakan balasan atas kematian Pamugaran!” Desis Raki Keleng.
“Kka…mu…?”
“Ya, akulah dan Pamugaran yang merencanakan kebinasaanmu, Jagoan! Sekarang kaulah yang tersungkur, rasakan,…rasakan…! Terimalah kematianmu. Sekarang!”
Raki Keleng kembali menerjang, berkehendak menghunjamkan belati ke dada Aryo Wangking.
“Jangaaaannn!” Darji berteriak keras tanpa mampu mencegah.
Aryo mencoba bertahan. Ditahannya tangan Raki yang menggenggam belati bergerigi itu sekuat tenaga. Tubuh Raki menindihnya dan mengangkat belati tinggi-tinggi siap menancapkannya ke tubuh lawan. Aryo terus bertahan, dan berhasil membuat Raki terguling. Kini mereka saling bergulingan di lantai, saling berebut belati, saling mempertahankan diri….
Darji lari ke meja telepon. Diputarnya beberapa nomor.
“Halo! Pos polisi…Tolong pak, ada perkelahian di sini…”
Darji menjelaskan kejadiannya secara singkat, menjelaskan juga tempat kejadian, dan minta agar polisi segera datang, sebab kalau tidak, akan terjadi pembunuhan di Museum Trowulan.
Ketika dia menoleh, lantai sudah dipenuhi bercak darah. Aryo sudah kelihatan di bawah angin. Derasnya darah yang keluar membuat tubuhnya semakin melemah. Darji berteriak-teriak minta pertolongan. Suasana gedung yang teramat sepi sempat membuatnya bingung, kemana saja sih orang-orang? Aneh!
Bagi Aryo, inilah perkelahian antara hidup dan mati. Kebencian Raki Keleng yang muncul sejak lama, iri dan dengki yang berlebihan, ditambah cemburu yang mambabi buta, membuat nafsu membunuh menguasai dirinya. Aryo sadar tak boleh ada yang mati di sini. Dia tak ingin melukai Raki Keleng. Namun kekuatan dan kenekatan Raki Keleng membuatnya tak bisa bernafas. Enerjinya seakan tersedot habis bersamaan dengan mengalirnya darah dari luka yang menganga di belakang pinggangnya. Aryo tak lagi mampu mempertahankan diri.
Sekali lagi pisau besar itu menggores lengannya. Sebuah luka yang cukup dalam membuat lengan kirinya lumpuh. Aryo benar-benar jatuh tersungkur. Terjerembab sambil menahan nyeri yang teramat sangat akibat luka tak rata yang disebabkan tepi belati yang bergerigi. Dalam sepenarikan nafas, Aryo terkejut saat ujung belati itu mendadak menancap di ulu hatinya. Aryo menggeliat dan mengerang panjang. Tangan kokoh Raki Keleng mendorong kuat hulu belati, berusaha menancapkan lebih dalam ke sasarannya.
Aryo menyerah. Siap meregang nyawa. Saat itulah beberapa sosok berpakaian polisi datang bagai air bah. Kaget menyaksikan lantai berlumur darah. Mereka melihat ada seorang pria berbadan besar tergeletak tak bergerak di ujung lantai. Pria lainnya, lebih kecil, tengah duduk diatasnya, menindih sambil memegang belati yang tenggelam dalam darah.
Tak sabar, mereka menarik Raki Keleng dan memborgol tangannya, menyeretnya keluar, dan membawanya pergi tanpa perlawanan. Raki Keleng sudah puas. Bibirnya menyungging senyum yang mengandung ejekan. Tertawalah dia dalam hati, mengakak-ngakak! Sementara itu sebagian lain melihat Aryo masih bernafas, tersengal-sengal, dengan mata melek yang berkedip lemah.
“Cepat bawa dia ke rumah sakit!”
Darji tergopoh ikut bersama mereka. Naik ke atas mobil pick-up terbuka, duduk di samping tubuh Aryo yang terguncang-guncang saat kendaraan bergerak. Dirasakannya tangan Aryo menyentuh tangannya.
“Ji…” bisik Aryo.
Darji mendekatkan telinga ke bibir Aryo.
“Temui Niken. Temui Rayun. Sampaikan permintaan maafku pada mereka.”
Darji menganggukkan kepala. Berusaha menahan gumpalan kesedihan yang ingin meledakkan tenggorokan. Dia hanya mampu mengangguk, tak mampu lagi mengucapkan kata-kata.
Aryo tersenyum tipis.
Sepasang mata rajawali itu meredup, kemudian memejam perlahan. Darji menjatuhkan kepala, tertunduk, dan merasakan cairan asin masuk ke mulutnya. Ya Allah,…bisiknya sambil menghapus cairan di pipi. Ampuni aku yang Kau beri kesempatan untuk menyaksikan kekejaman ini….Betapa dekat kematian itu bagi kami, sedekat urat nadi di leher kami. Maka tolonglah sahabat kami ini, karena kuyakin tugasnya sebagai manusia belum lagi selesai…. (: by indrawati poerbosisworo basuki)

(Bersambung ke episode 32)

Minggu, 05 September 2010

TROWULAN (30)


BUKIT GUA MACAN.

Udara pagi setengah siang, masih juga menebarkan bau harum daun cemara yang tumbuh di sela sela batang pohon karet yang mulai tua. Angin semilir membuat Rayun jadi mengantuk. Ditutupnya laptop, dan mencoba berbaring di lereng bukit. Sepasang matanya menatap redup bentang langit biru jernih yang kadang menyeruak di antara kerimbunan dedaunan di atasnya.
Seindah apapun berada di bukit itu, Gua macan adalah suatu tempat yang mulai jarang dijamah orang.
Buruh perkebunan rasanya sudah enggan mendaki sampai ke ujung bukit untuk menoreh getah. Paling juga hanya sampai ke lereng. Maka sebetulnya, yang dikuatirkan oleh Om Harso adalah munculnya binatang melata di situ. Kelengangan, kelembaban, membuat tempat itu jadi terasa lebih wingit dari bukit-bukit lainnya. Memang, kesunyian bukit itu terasa sekali bagi Rayun Wulan. Orang-orang, para ‘penderes’ itu tak lagi ditemukannya berseliweran di sekitarnya seperti dulu. Seperti kata Om Harso, pepohonan di tempat itu sudah tak lagi berproduksi. Getahnya sudah kering. Pohonnya sudah tua. Hutan di bukit itupun nyaris gundul.
Rayun menggeliatkan punggung.
Teringat dia akan Rudy dan Putri, dua teman sebaya, putra dan putri Om Harso yang masih terbilang saudara sepupu baginya. Mereka bertiga sering sekali datang ke tempat itu, bermain, atau berharap kedatangan ‘tarzan’.
“Mana ada Tarzan disini,” kata Rudy mencemoh.
“Pasti ada,” tangkisnya.
“Ada, tetapi cuma dalam cerita komik.”
“Aku yakin kok, pasti ada. Dan suatu saat akan datang menculikku.”
“Ih, diculik kok dijadikan cita-cita,” sahut Rudy lagi tertawa ngakak.
“Kalau Tarzannya ganteng, kenapa enggak? Boleh dong…”
“Lantas kau digituin. Mau?”
“……….??.”
“Lantas kau hamil.”
“Ih!”
“Padahal dia nggak mungkin bisa mengawinimu.”
“Kenapa, memang?”
“Mana ada Tarzan punya uang untuk mengawinimu?”
“Tarzannya Rayun lain,” potong Putri. “Tarzannya Rayun kaya raya dong….!”
“Orang hutan, mana ada yang seperti itu!” jengkel sekali Rudy.
“Siapa tau, ada.”
“Lebih baik kau jadi isteriku saja.”
“Hiiiii…..”
Lantas saja mereka bertiga tertawa tawa, membayangkan Rudy jadi suami Rayun, Rayun menjadi isterinya Rudy……
Angin lembut bertiup menempiaskan rasa kantuk yang kian berat. Rayun membiarkan kedua matanya terpejam, menyungging seulas senyum di bibir, dan mulai jatuh ke alam mimpi. Tubuhnya terasa ringan menapak rerumputan yang terasa lebih subur ketimbang sebelumnya. Sosok lelaki muda, tampan berkulit bersih datang kepadanya dengan senyumdi bibir. Pakaiannya dari kain katun tipis,berwarna putih dan berpotongan lebar. Demikian juga dengan celananya. Kedua kakinya tanpa alas. Lelaki itupun menyapanya, seakan kawan lama yang lama tak berjumpa.
“Sedang apa kau ada disini?” katanya.
Rayun membiarkan lelaki itu memeluk pinggangnya, mereka kemudian duduk berdampingan seakan-akan sepasang kekasih.
“Aku sedang berpikir,” sahut Rayun sambil terus mengingat-ingat,…. siapa ya nama lelaki ini? Pernah mereka akrab, tetapi kapan,…dan siapa dia….?
“Kenapa sih, perempuan selalu pergi ke luar kota utuk berpikir?”tanya laki-laki itu.
“Aku hanya ingin suasana tenang yang tak terganggu siapapun.”
“Kau sedang gelisah.”
“Ya, mungkin saja.”
“Kau sedang bingung memilih sang Senapati, ataukah sang Juru Sungging? Sebetulnya ada tiga perkara yang membuatmu gelisah seperti ini.”
“Apa itu?”
“Satu, kau merasa terbelenggu dalam kerapuhan jiwamu. Yang sering menjadi ajang pertarungan seru dimana akal pertimbanganmu berperang melawan hati dan dera napsu. Dua, mencintai, sekaligus membenci. Marah, dan cemburu. Sakit hati yang berlebihan, membuatmu tak bisa bergerak lagi. Tiga, berkeinginan untuk menguasai orang lain.”
Rayun menggoreskan senyum sinis di bibir. Orang ini sok tau bener sih! Pikirnya.
Orang itupun kembali bicara:
“Karena kau merasa tidak dapat menguasai pergumulan itu, maka timbul rasa putus asa, enggan, malas, bosan, dan ingin menyudahi semuanya. Kau ingin bebas. Lepas dari semua hal yang mengikat. Lepas dari semua komitmen. Ingin mematahkan belenggu perasaan marah, kecewa, sakit hati karena cemburu yang membakar jiwa. Kau ingin bersultan di mata, ber raja di hati. Kakimu ingin bebas melangkah tanpa hambatan. Tak perlu lagi mencemaskan waktu atau laku. Bebas tanpa batas. Barangkali inilah saat kau tau siapa Senapati, siapa Juru sungging. Sebagai teman, aku hanya mampu mengawasi, dan menunggu di kejauhan.”
Rayun beringsut menjauh, dan menatap tajam wajah cakap di sebelahnya.
“Begitukah pikirmu? Siapa kau ini sebenarnya, paranormal, dukun, atau apa?” ujarnya tajam.
“Aku ini temanmu, Rayun. Aku….Naga Tatmala.”
Rayun membelalakkan mata. Bumi seakan amblas di bawahnya. Ringan dirinya jatuh dari langit. Halilintar seakan pecah membelah angkasa, menggelegar, berkilat kilat bagai pedang terhunus.
Rayun tersentak kaget, terbangun dari kelelapannya yang hanya beberapa menit berselang.
Yang pertama dilihatnya adalah….
“Ar…yo…?”
Aryo Wangking tersenyum. Dia duduk bersila di sampingnya, seraya menangkupkan kedua telapak tangan dengan takzim.
“Ap…apakah aku tertidur?”
“Sepertinya lelap sekali,” sahut Aryo.
“Aku bermimpi…”
“Bertemu Naga Tatmala?”
“Bagaimana kau tau?”
Aryo tertawa. Aku, kok!.. kata Aryo dalam hati.
Rayun membenahi duduknya. Kini mereka duduk berhadapan.
“Sudah lama kau berada di sini?” tanya Rayun.
“Beberapa menit. Kulihat tidurmu nyenyak sekali, jadi aku tak berani membangunkanmu.”
“Naga itu, Ar. Naga itu datang lagi.”
Aryo menghela nafas panjang.
“Itu janjinya, Rayun. “
“janji apa?!”
“Janjinya padaku, untuk terus menjagamu. Sampai….”
“Sampai…..?”
Aryo menundukkan wajah, mempermainkan jemarinya sejenak, kemudian kembali membalas tatap mata keingintauan di depannya.
“Sampai tiba waktunya kau kembali kepada penciptamu.”
“Uuuts! Aku nggak percaya segala omongan macam itu, kau tau itu Aryo!”
Aryo tersenyum tipis.
“Kau boleh tidak percaya, tetapi ketauilah, bahwa tak boleh kita bermain-main dengan siluman. Kita tak boleh bilang begini, lalu dilain waktu bilang begitu. Mereka itu tidak sama dengan kita. Yang suka bohong atau ingkar janji.”
“Seperti dirimu?” jeling Rayun setengah mengejek.
Aryo masih tetap memainkan ibujari kiri dan kanan, diputar-putar seakan dengan berbuat begitu dirinya bisa meredam kegugupan yang mendadak menyedak.
“Aku bukan pembohong, pun bukan seorang yang suka ingkar janji.”
“Oh ya?”
“Ya.”
“Aku tidak percaya!”
“Kamu harus.”
“Ah!”
“Dengar Rayun, kamulah satu-satunya wanita yang aku cintai dan kukehendaki menjadi ibu dari anak-anakku. Kau boleh percaya boleh tidak tentang cerita reinkarnasi, bahwa sebenarnya dirimu adalah calon isteriku di masa yang lampau, di masa pemerintahan Prabu Brawijaya Pertama. Namun nasib berkata lain. Dirimu terbunuh, dan hingga aku tewas, aku tak pernah melakukan ‘palakrama’.”
Rayun tertawa.
“Kau pasti kebanyakan baca buku komik.”
“Tidak. Ini kenyataan. Namamu pada waktu itu Ni Rara Ireng, dan aku Mpu Nambi”
“Begitu ya?”
“Kau masih tidak percaya?”
“Kalau benar begitu, ceritakan padaku, siapa Niken itu?”
“Niken? Maksudmu,…gadis di museum itu?”
“Gadis yang tengah hamil itu, kau tau kan, dengan siapa dia hamil?”
Aryo Wangking tertawa tanpa suara.
“Niken itu teman waktu kuliah di Jogja dulu.”
“Mmm….maksudku, dulunya. Pada jaman dulunya, dia itu siapa?”
“Dia? Ya,…bukan siap-siapa. Dia hidup di jaman kini, aku tak pernah tau dulunya dia itu siapa. Dan itu tidak ada hubungannya dengan kita. Bagiku tidak penting.”
“Tapi sekarang dia ada hubungannya denganmu, kan?”
“Tidak. “
“Masa?”
“Sekali lagi: ti…dak!!”
“Terus, anak siapa itu yang ada di perutnya.”
“Entahlah. Mana aku tau?”
“Katamu kau bisa melihat apa saja yang orang lain tidak bisa melihat.”
“Memang. Itu adalah takdirku. Namun, sungguh tak layak kalau aku menyebutkan nama, bisa menjadi fitnah.”
“Ah, nonsens!”
“Ayolah, Rayun. Apakah belum cukup bila kukatakan aku benar mencintaimu? Sungguh, kalau ada tindakanku yang membuatmu sakit, aku minta maaf. Aku sayang padamu, maka tak mungkin bisa aku menyakiti perasaanmu. Demi Allah…!”
“Jangan lagi bersumpah seperti itu, cukup dengan permintaan maaf. Seingatku, kau tak pernah minta maaf padaku. Maka kuhargai permintaan maafmu itu.”
“Terimakasih.”
Aryo tersenyum. Ya Allah, bisiknya dalam hati. Semoga kau jaga hati dan cintanya untukku. Meskipun kian hari kian tampak olehku kekerasan hatinya, ketegasannya maupun kegarangannya. Sama sekali tak sama dengan penampilannya yang selembut angsa.
Namun, rupanya Tuhan sedang tak ingin mengabulkan permohonan Aryo karena tiba-tiba saja, ponsel di saku celananya berdering.
Matik aku!
Aryo menggigit lidah. Dari nalurinya, dia tau, itu adalah Niken. Angkat tidak, ya? Angkat…tidak…., angkat…tidak…
“Tuh, kenapa nggak diangkat?” suara Rayun terdengar sumbang.
Enggan, Aryo terpaksa membuka ponselnya.
“Ada apa, Ken?”
“……….”
“Kau hamil beneran atau tidak, nggak ada hubungannya denganku!”
“………”
“Terserah. Cuma kau yang tau.”
“……….”
“Berapa banyak laki-laki yang terlibat di dalamnya, demi Tuhan, itu urusan kamu Ken, sorry….”
Rayun mengambil ponsel dari tangan Aryo. Percakapan yang tidak jelas antara Niken dan Aryo membuat kepalanya nyaris meledak. Rasa-rasanya sudah tak perlu lagi berpura-pura lembut dan baik hati. Rayun sudah amat benci berada dalam situasi seperti ini.
“Halo, Niken?” kata Rayun getas.
“Ya. Oh, sori. Terganggu ya?”
Di sana, Niken tertawa ngakak dalam hati. Ini waktunya kamu semaput Rayun. Kau, si bocah manis yang kaya raya…! Rupanya tertarik juga kamu mendengar apa yang kubicarakan dengan Aryo, ….haha….!
“Sebenarnya ada apa sih?” tanya Rayun gemas.
Tawa Niken semakin lebar.
“Barusan aku tes ke laboratorium. Hasilnya, positif.”
“Lantas, maksudmu apa?”
“Suruh Aryo bertanggungjawab.”
“ …………!!!....”
Rayun merasa dirinya seperti dicekik, mulutnya mengering dan suaranya menghilang tiba-tiba. Matanya nanar menatap Aryo yang berada di sisinya. Wajah brewok itu mendadak berubah jadi seperti setan, di matanya. Senyumnya, menyeringai dan mulutnya bertaring. Tanpa kata, ponsel itu dilemparkannya tepat mengenai jidat Aryo.
“Rayun….apa-apaan?” Aryo berteriak kesakitan.
“Dengarkan sendiri apa katanya!” Rayun ikut berteriak.
“Halo, Niken. Apa mau kamu sih?” suara Aryo tak lagi pelan. Namun terdengar seperti guntur. Lelaki brewok itupun rupanya sudah kehabisan stok kesabaran. Ingin rasanya menggampar Niken, seperti yang pernah dilakukan Raki Keleng saat itu. Benar, perempuan ini ternyata nyinyir juga! Busyet!
Rayun berdiri, berjalan menjauh dengan tangan bersidekap menahan dada yang mau meledak. Kesetiaan, kejujuran, moralitas! Apaan? Semuanya bullshit! Apa yang dikatakan Aryo barusan mendadak jadi busuk semua. Sampah! Tak perlu lagi dibahas. Kepercayaannya terhadap lelaki yang mengaku titisan itu terkikis habis. Barusan dia merasa, mereka akan bisa menjalin kembali hubungan dengan baik, tetapi perempuan itu mendadak saja menghancurkan semuanya. Hancur cur cur!
Aryo tak sudi lagi mendengar suara Niken yang ‘ngalor ngidul’, melantur kemana-mana. Padahal bagi Aryo sudah jelas, janin dalam perutnya itu milik orang banyak! Naudzubillah……Kok ya ada perempuan seperti itu! Ditutupnya ponsel, dan melihat Rayun sudah tak nampak lagi didekatnya. Celingukan, Aryo mencari-cari. Berlari-lari kecil mengejar bayangannya. Namun….
“Sampeyan…!” desis Aryo merandek, berhenti tepat di depan sosok Pamugaran yang mengacungkan pistol.
Pamugaran tertawa menyeringai.
“Ya, saya. Kaget melihat saya ada di sini?”
“Saya hanya tak merasa perlu memprediksi keberadaan sampeyan.”
“Kalau kamu ada disini, kenapa saya tidak?”
“Sampeyan datang untuk apa? Saya yakin, Rayun tidak akan mengundang sampeyan. Saya rasa, sampeyan telah bersekongkol dengan Raki dan Niken….”
“Tepat! Kami memang bersekongkol untuk membinasakan kamu.”
Aryo tertawa. Dibukanya dadanya lebar-lebar, sambil merentangkan kedua lengan ke samping, dia berkata mengejek,:
“Silakan, silakan membinasakan saya. Saya tidak akan menghindar, apapun yang akan sampeyan lakukan dengan keyakinan sampeyan. Silakan! Kalau saya mati, sampeyan mau apa? Mau mengambil Rayun? Dengan paksa, atau dengan cara perdukunan? Dengan pellet? Dengan….apa?”
“Diam! Tutup mulut kamu!”
“Oke,…oke…”
“Mana gadis itu!”
“Rayun? Hahaha…cari sendiri dong!”
“Setan alas! Mati kowe Aryo, mati kowe!”
Pamugaran merapatkan gigi, jemarinya tegang menarik pelatuk, namun dengan sigap, entah bagaimana caranya, tiba-tiba Aryo melompat, menarik tangan Pamugaran ke atas. Pistol meledak, sekali, dua kali,…tiga kali,….semuanya melenceng tak tentu arah. Sebuah jeritan kecil membuat Aryo tercekat. Namun pergumulannya dengan Pamugaran belum selesai. Lelaki keturunan Cina Bali dan Itali itu ternyata terlalu tangguh untuk dikalahkan dalam satu gebrakan. Tubuh keduanya bergulingan, nyaris jatuh ke ceruk penuh semak di lereng bukit. Dan….seperti apa yang dikuatirkan Om Harso, seekor ular putih keluar dari persembunyiannya. Bergerak cepat di antara semak, dan seakan terbang ke arah leher Pamugaran.
Pamugaran menjerit keras, setengah kesakitan setengah kengerian. Ular itu sudah menancapkan bisanya ke urat nadi di leher Pamugaran. Kini lelaki itu menggelepar sendirian, menuju jurang, menggelinding bersama si ular putih. Teriakannya menggema panjang, membuat bulu kuduk Aryo merinding. Beberapa saat, Aryo bagai terkesima. Nafasnya tersengal, lututnya gemetar. Membayangkan perasaan Pamugaran pada saat menyadari lehernya dibelit ular, sementara taring hewan itu sudah meancap ke urat nadi dengan kuat.
Astaghfirullahaladzim….
Ular itu…!
Aryo Wangking yakin, bukan ular biasa. Dirinya sangat yakin, bahwa ular itu adalah ular jelmaan. Kali ini Naga Tatmala telah mempertontonkan kekuatannya. Dia sudah bisa menjelma apa saja, menjelma menjadi seekor naga besar, maupun menjadi seekor ular sebesar kelingking. Bukan hanya di alam ghaib, namun sudah berhasil ‘mengejawantah’ di alam nyata. Allahu Akbar. Semua itu terjadi adalah karena atas ijin dan kekuasaan Tuhan.
Tiba-tiba saja dia teringat akan suara jeritan di tengah pergumulannya dengan Pamugara tadi. Jeritan kecil… !! Suara jeritan siapa?
Ya Allah. Rayun! Dimana gadis itu? Rayun,…Rayuuuun….
Bagaikan kesetanan, Aryo berlari mengitari bukit. Dan …disitulah, di bawah sebatang pohon karet tua yang telah kropos, gadis itu terbaring dalam lumuran darah di dada kanannya!.
Aryo memeluknya, mendekapkan kepala cantik itu ke dadanya. Lelaki tinggi tegap dan brewokan itu kini terisak, sama seperti saat dia menerima penyerahan ruh Rayun di Pantai Selatan dulu.
Rayuuuun,…ratapnya. Kenapa juga semua kejadian beratus tahun itu kembali datang sama persis seperti ini? Jangan pergi Rayun, jangan. Sungguh aku tidak ikhlas, aku tidak terima atas takdir yang dijatuhkan Tuhan kepada kita, sungguh….!
“Nakmas….”
Sebuah teguran yang disertai tepukan di pundak, membuat Aryo menoleh. Dilihatnya Om Harso dan Supeno menatap tertegun ke arah Rayun.
“Ada apa ini,….ada apa?” tanya Om Harso.
Aryo tak mampu menjawab. Bibirnya kelu, lidahnya kaku. Gemetar menahan isak. Dia hanya mampu menunjukkan keadaan Rayun kepada lelaki tua berkacamata itu. Om Harso memeriksa denyut nadi di leher, hal yang samasekali tidak dilakukan Aryo sejak tadi.
“Dia masih hidup. Walau denyutnya sangat lemah,” kata Om Harso. “Ayo segera kita bawa ke puskesmas setempat sebagai pertolongan pertama. Sesudah itu kita bawa ke rumah sakit di kota.”
Aryo tengadah, menatap langit yang mulai rembang. Ya Allah,…bisiknya. Terimakasih. Dikecupnya kening Rayun sepenuh cinta. Tak ada lagi kelegaan serupa saat itu dirasakan Aryo selama hidupnya. Semoga Engkau menyelamatkan nyawanya, ya Robb!
(Masih nyambung ke episode 31 berikutnya.)
*Catatan : novel ini pernah dimuat di majalah Fakta, dg nama Indrawati Poerbosisworo. Dengan perbaikan di sana sini. Terimakasih.

* palakrama : menikah
* mengejawantah : menampakkan diri di bumi

Senin, 16 Agustus 2010

TROWULAN (29)


TENGAH HARI DI CURAHMAS.
Saat ‘laut’, demikian istilah yang digunakan di perkebunan untuk jam istirahat siang hari bagi para karyawan, seseorang tampak masuk ke halaman rumah kepala perkebunan. Om Harso yang kebetulan adalah kepala perkebunan, menatap tajam pendatang bermotor dan berjaket kulit itu. Ditunggunya sampai lelaki itu mematikan mesin. Dilihatnya kemudian orang tersebut menanggalkan helm, mengangguk takjim kepadanya. Om Harso membiarkan orang tersebut turun dan menstandard motor, melangkah tegap namun sopan, mendatanginya. Rambutnya yang ikal sedikit gondrong, mengenakan topi. Berjanggut dan berkumis lebat, namun tampak teratur rapi. Senyumnya manis menghiasi bibirnya saat mereka berdiri berhadapan.
“Assalamualaikum,” sapa lelaki muda itu.
“Walaikumsalam.”
“Maaf, saya Aryo Wangking dari Surabaya, Pak.”
“Oh,…temannya Rayun ya?”
Lelaki muda berbrewok itu merekahkan senyum lebar.
“Maaf, Pak. Saya mendengar Rayun ada disini. Apa benar, Pak?”
“Benar sekali, nak Aryo. Tapi dia kini sedang berada di bukit sana itu, lagi nyepi, katanya.”
Om Harso tertawa, Aryo ikut tertawa. Dia tau, itu hanya sebuah canda penuh keakraban dari lelaki tua berkacamata di depannya itu.
“Mari, silakan masuk. Pasti melelahkan menempuh perjalanan dari Surabaya dengan mengendarai motor,” ujar Om Harso lagi.
Mereka mengambil tempat duduk masing-masing di ruang tamu.
“Dan panggil saja saya Om. Kita ngobrol sebentar sambil beristirahat. Pukul berapa berangkat dari Surabaya, Nak?”
“Sekitar jam tujuh.”
Seorang pelayan muncul dengan dua cangkir teh hangat dan dua toples kue-kue.
“Silakan diminum, Nak.”
“Terimakasih.”
Merekapun menikmati hidangan sambil mengobrol panjang lebar, sekadar berbasa-basi, atau saling menceritakan jati diri masing-masing yang berhubungan dengan Rayun. Hingga percakapan itu menyentuh masalah yang sedang dihadapi Rayun saat ini. Aryo mencoba meyakinkan Om Harso bahwa hubungannya dengan Niken itu sudah lewat. Dia tidak mengingkari bahwa mereka memang pernah berpacaran.
“Tetapi itu dulu, saat saya belum mengenal Rayun,” kata Aryo.
“Maaf Nak Aryo, apakah benar gadis itu sedang mengandung?”
Lama Aryo terdiam.
“Saya belum tau betul, apakah dia memang sedang hamil,” sahutnya kemudian.
“Kata Rayun, itu adalah hasil hubungan kalian. Apa betul begitu?”
Beberapa saat Aryo terkesiap.
“Apakah…Rayun mengatakan hal itu kepada Om?”
“Ya.”
“Ada seorang laki-laki bernama Raki Keleng yang sangat kasmaran dengan Niken,” kata Aryo mencoba menjelaskan. “Laki-laki itu begitu benci kepada saya, bahkan mungkin kebencian itu sudah mendarah sungsum, hingga membawa korban jiwa.”
“Maksudnya?”
“Laki-laki itu memasang bom di mobil saya, mencoba melenyapkan saya.”
“Lalu?”
“Jip saya meledak, namun bukan saya korbannya.”
“Siapa yang menjadi korbannya, nak?”
“Teman akrab saya, yang sedang ingin meminjam jip saya. Dia tewas seketika.”
“Astaga! Sampai seperti itu?”
“Ya, Om. Raki Keleng inilah yang memfitnah saya, melontarkan kata-kata yang sangat mempengaruhi pikiran Rayun. Barangkali itulah yang akhirnya membuat Rayun pergi meninggalkan saya tanpa pamit.”
“Tetapi, betulkah itu bukan karena dirimu?”
“InsyaAllah, bukan saya.”
Om Harso menghembuskan napas panjang. Melepaskan kacamata dan memasukkannya ke saku. Sepasang matanya berkedip-kedip memperhatikan raut muka Aryo, seakan-akan ingin menemukan kebenaran dari setiap ucapannya.
“Nak Aryo, saya ini orangtua, memang bukan orangtua kandungnya, namun bagi saya Rayun adalah lebih dari sekadar keponakan. Saya tau betul karakternya. Anak ini, sekali bilang merah, maka merah pula katanya sampai mati. Hatinya keras. Namun dia sangat jujur pada orang lain, terlebih pada hatinya sendiri. Soal apakah kau yang benar, atau dia, saya tidak tau. Hanya saja, saya yakin dirimupun sama tersiksanya dengan dirinya. Kalian pernah saling mencintai, namun kejadian itu bisa saja membuat kalian tak bisa bersama lagi kecuali…”
“Kecuali…?”
“Kecuali kau bisa membuktikan bahwa itu bukan perbuatanmu.”
“……….…”
“Nak, kau pasti sangat menyesalinya. Penyesalan itu seakan-akan merupakan pengadilan yang langsung dijatuhkan Tuhan pada kalian. Tanpa diminta. Sesal yang pedih datang menyelinap dan membangunkan kalian agar terjaga dan mulai mawas diri dalam-dalam.”
Raut wajah Aryo sebentar pucat sebentar merah. Perasaan galau dalam hatinya seakan terbaca secara terang benderang oleh tatap mata Om Harso. Dikupas, ditelanjangi.
“Sekarang susullah dia,” kata Om Harso kemudian.
“Saya?”
“Ya. Kau lihat di sebelah Selatan rumah ini ada sebuah bukit. Disitu biasanya dia bermain. Ada gua bernama Gua Macan. Kau bisa naik kuda kesana, sebab tempat itu tidak bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor.”
Tanpa menunggu jawaban, Om Harso mengajaknya ke belakang. Memerintahkan pelayan bernama Supeno untuk menyiapkan seekor kuda berbulu abu-abu untuk Aryo.
“Kau pernah berkuda?” tanyanya tersenyum.
Aryo jadi jengah menerima pertanyaan itu.
“Sebetulnya belum pernah tapi saya akan coba,” sahutnya.
“Itu kan hal yang mudah dipelajari, yang gaib-gaib saja bisa kok.”
Aryo tertawa.
“Kabarnya dirimu seorang supranatural. Betulkah itu?”
“Ah. Saya jadi malu, Om.”
“Kanapa musti malu. Itu sebuah anugerah yang tak semua orang mendapatkannya.”
“Jujur, saya tidak mempelajarinya. Saya mendapatkannya begitu saja sejak saya kecil. Seakan-akan sebuah takdir bagi saya.”
“Ya, mungkin itu memang sebuah takdir. Asalkan kau bisa mengendalikannya dan tidak terbawa hasrat yang tidak benar maka semuanya akan jadi baik bagimu maupun bagi orang lain.”
“InsyaAllah, saya selalu ingat pesan Om.”
“Hm.”
Kuda dawuk sudah siap. Om Harso mempersilakan Aryo segera berangkat. Saat menyaksikan Aryo naik ke atas punggung kuda, Om Harso seperti melihat seorang kesatria yang tiba-tiba saja menjelma di depan matanya. Lelaki brewok itu sama sekali tak terlihat canggung. Bahkan dengan penampilannya, dia seakan-akan seperti seseorang yang telah menyatu dengan kudanya.
Om Harso tersenyum. Dia tau, barangkali inilah sosok Aryo yang sebenarnya. Tak disangkal lagi, dia memang pantas menjadi titisan Mpu Nambi, seorang panglima perang pada jamannya.
Aryo mengangguk, tersenyum sambil meyentuh tepi topinya sesaat. Om Harso terpana sejenak, dan membisikkan sebuah pujian atas kekuasaan Tuhan. Subhanallah…! Dia memang benar titisan!
Kuda dawuk itu meringkik panjang sebelum benar-benar melesat pergi. Seakan Aryo sengaja memacunya kencang menuju bukit Gua Macan.
Tiba-tiba Om Harso mendengar sebuah derum kendaraan bermotor lain memasuki halaman. Bergegas dia menuju halaman depan, dan melihat sebuah sedan mewah berhenti di sana. Seorang laki-laki tampan turun. Mengunci pintu, dan melangkah ke beranda.
“Selamat siang.” Katanya sambil mengulurkan tangan.
Om Harso menerima jabat tangannya.
“Selamat siang. Mencari siapa ya?”
“Saya Pamugaran, teman baik Rayun. Apakah Rayun ada disini, Pak?”
Jadi ini lelaki bernama Pamugaran itu! pikir Om Harso. Lelaki yang sudah berumur, namun terlihat muda dan berkulit bagus. Pasti sangat terawat. Dan sangat mapan. Lihat saja cara dia berpakaian. Necis dan modis. Lelaki yang sukses. Tetapi….ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Om Harso merasa tidak suka. Entah apa. Mungkin pada sorot matanya, atau pada segaris senyum yang menorehkan segores kesombongan dan rasa percaya diri yang berlebihan.
“Memang Rayun ada disini. Ada keperluan apa, ya?”
“Ada yang harus saya sampaikan kepadanya.”
“Katakan saja, nanti akan saya sampaikan.”
“Oh, maaf. Kalau boleh tau, Bapak ini siapanya Rayun?”
“Saya Omnya.”
“Oh, sekali lagi saya mohon maaf.”
“Tidak apa-apa.”
“Tetapi saya harus bertemu sendiri dengan dia, Om.”
Om Harso tertawa miring. ‘Om’, katanya! Memangnya kapan kau jadi keponakanku? Umurnya saja cuma berbeda sedikit, kok memanggilku ‘Om’.
“Kalau begitu susul saja.”
“Kemana? Apakah dia sedang tidak berada di rumah?”
“Dia sedang jalan-jalan ke bukit.”
“Sendirian?”
“Tidak. Dia bersama Aryo Wangking.” Sengaja Om harso menekankan ucapannya untuk memanas-manasi lelaki yang terlihat sok itu. Dan Om Harso senang saat melihat mata sipit itu mendadak menyorotkan kemarahan.
Cemburu kan kamu? Cemburu kan? Pikir Om Harso nakal.
“Anda kenal Aryo, kan?”
“Ya, saya mengenalnya dengan baik.”
Pamugaran melihat ke arah motor yang tadi dikendarai Aryo.
“Itu motor milik Aryo, Om?” tanya dia.
“Ya.”
“Biar saya pinjam, Om.”
“Silakan saja. Kunci kontaknya masih nyantol disitu kok.”
Pamugaran sedikit merasakan ketidaksukaan Om Harso kepadanya. Dia meletakkan kunci mobil ke tangan Om Harso sambil mengangguk.
“Ini kunci mobil saya.”
“…………..”
“Arah bukit Macan di sebelah mana, ya?”
“Tuh, lewat saja ke jalan makadam itu, terus ke Selatan sana. Bukitnya yang itu, terlihat dari sini.”
“Terimakasih, Om.”
“Ya, sama-sama.”
“Saya pamit dulu.”
“Silakan.”
Lelaki bertopi sofbol itu langsung saja memacu motor menuju bukit Macan. Om harso menatap kepergiannya dengan dada manyun. Seperti ada sesuatu yang tidak beres. Sepertinya dia melihat ada sesuatu yang menyembul dari balik jaket lelaki itu. Apa ya…kok seperti…! Ya Ampuuuun. Bukankah itu selempang kulit semacam sarung pistol, yang sering dilihatnya dalam film detektif,yang selalu dikenakan para polisi? Ah, jangan-jangan…
“No, Supeno!” Om Harso berteriak memanggil pelayannya.
“Ya nDoro Kakung…”
“Siapkan kuda untukku dan kamu. Kamu ikut aku ya, ke bukit Macan.”
“Lho…, nDoro? Bukankah tadi…?”
“Wis, ojo kakeyan ngomong. Sana, siapkan dua kuda untuk kita. Cepetan, No!”
“Inggih, inggih….”
“Ciloko! Ciloko tenan kalau terjadi apa-apa disana…!”

(Wah, tembak2annya ada di episode berikutnya)