Sabtu, 06 Februari 2010
BADAI PASTI REDA (4)
Pagi itu Meta bermaksud mengunjungi Mama. Meta dan suaminya sudah mendengar semua kelakuan Abi main gila di luaran. Hati Meta panas bukan main. Sambil berbenah rumah, seharian kemarin Meta mengolmel terus. Dan rupanya masih juga diteruskannya hingga pagi ini.
“Laki-laki itu minta di bom, barangkali,” ujarnya uring-uringan. “Adikku mencintai dia mati-matian, eh malah main gila di luar rumah. Gila!”
Duduk di ruang makan, Hadi melihat istrinya dengan wajah bingung. Sementara sambil terus marah-marah Meta mengganti pakaian anak-anaknya, Astrid dan Siska.
“Kau jangan diam saja, Mas,” kata Meta pada suaminya.
“Aku harus bagaimana?”
“Ngomong kek, sama Abi. Barangkali kalau kau yang bicara dia mau dengar.”
“Ah kau ini! Kau kan tau bagaimana Abi? Mana mau dengar dia sama aku.”
“Bagaimana sih, sebagai kakak ipar mustinya kau harus juga punya suara. Jangan diaaaam saja kalau ada apa-apa di keluarga kami!”
“Lebih baik Reza saja.:”
“Reza? Reza, katamu? Mana bisa begitu, Mas! Reza kan belum menikah, tau apa dia tentang masalah suami dan isteri?”
“Dia ‘tuh, saudara kamu laki-laki satu-satunya, Meta. Ya pastilah dia tau masalah hubungan suami isteri dan perselingkuhan nya si Abi itu. Dia kan sudah sarjana sekarang. Jangan mentang-mentang anak bungsu, kau ninabobokkan dia terus. Wajib bagi dia membela kakak-kakak perempuannya dong!”
“Ngomong kok selalu tidak fokus,” gerutu Meta. Rupanya dia sudah selesai mendandani anak-anak. Digaetnya sebuah tas besar dari atas kursi, kemudian menggiring anak-anak ke mobil.
“Ayo sudah, kita berangkat, “ katanya pada Hadi.
“Mau kemana kita?” tanya Hadi sambil melipat Koran yang sedang dibacanya.
“Antarkan aku ke rumah Mama.”
“Sekarang?”
Meta mendelik.
“Ya sekarang!” teriaknya tak sabar. “Memang, tahun depan?”
“Ya, ya.”
Cepat-cepat Hadi meletakkan koran pagi yang tengah dibacanya, lalu mengambil kunci mobil dari gantungan di dinding. Saat menstarter mobil Hadi berpikir, betapa beda antara Meta dan Intan. Seperti bumi dan langit, rasanya. Meta sangat tidak sabaran, keras, meskipun hatinya baik. Atau barangkali karena dia anak sulung yang merasa punya kewajiban melindungi adik-adiknya ? Entahlah. Kalau saja Meta seperti Intan, yang lembut, lemah gemulai, dan cantik seperti Cinderella,…apakah dia akan berbuat seperti Abi, mencari perempuan lain yang lebih punya greget? Ho ho, sudah gila juga aku ini rupanya, berpikir yang tidak-tidak!
“Hayooo, ngelamun lagi! Apa? Ingin punya pacar seperti Abi?” Meta mengejutkan Hadi. Kini mobil sudah meluncur di jalan raya menuju ke rumah Mamanya Meta.
“Bicaramu itu selalu ngawur,” jawab Hadi.
“Habis, sejak kemarin kau ngelamun terus. Awas kalau kau berani main-main denganku. Nih, jotos!”
Hadi tertawa lepas. Kata-kata Meta samasekali tidak dimasukkan ke hati. Baginya, hidup bersama Meta lebih hidup dibanding kalau harus punya isteri seperti Intan.
Dirumah Mama, Meta segera saja membuka siding,
“Harus ada sesuatu yang dilakukan,” katanya bersemangat. “Kita tidak boleh diam saja melihat Intan diperlakukan seperti ini!”
Mama menghela nafas panjang.
“Aku harus bicara apa kepada mereka?” keluh mama.
“Apa sajalah, Ma! Intan kan anak Mama, masa Mama mau acuhin saja anak itu diperlakukan seperti itu oleh suaminya?”
“Baik, baik<” sahut Mama. “Besok Mama akan ke rumah mereka. Biar Reza yang mengantar Mama.”
“Kamu juga harus ikut bicara, Za.”
Reza menatap kakaknya dengan pandangan lucu. Bibirnya mengulum senyum. Reza dengan wajah tampannya itu memasang wajah heran.
“Aku?” tanya Reza tertawa. “Apa yang musti kulakukan? Mama saja bingung, tadi. Apalagi aku. Kamu kan tau, Intan itu orangnya tertutup. Mana mau dia kalau aku ikut campur urusannya? Lagian, dia nggak pernah minta saran padaku.”
“Alah, kamu!” Meta menepis tawa adiknya dengan tangannya yang bergerak seperti mengusir lalat.
“Sudahlah,” kata Reza lagi. “Apa istimewanya Abi jatuh cinta lagi? Biasa, kan? Namanya juga laki-laki. Intan juga kalau7 mau, bisa saja tau-tau jatuh cinta lagi. Iya, kan? Hanya saja, norma ketimuran kita ini yang tidak bisa menerima seorang perempuan bersuami, jatuh cinta lagi pada laki-laki lain. Dan tidak pantas kalau ada perempuan kegatelan jatuh cinta pada suami orang. Itu kurang ajar namanya.”
“Itu kalau benar ada cinta sejati antara mereka.”
“Lhah! Pastilah bukan cinta sejati. Yang ada mungkin Cuma cinta perhitungan, hahaha.”
“Hush!” Mama membentak Reza.
Cepat-cepat Reza memperbaiki duduknya, dan dengan nakal bertingkah lebih serius.
“Ma,” kata Meta pada Mama. “Apa Mama sudah mendengar bahwa Abi mulai menjual barang-barang investasi mereka?”
“Apa saja yang sudah dijualnya?”
“Rumah yang di Pakuwon, mobil terbaru mereka, ..”
“Astaghfirullah, Meta…apa iya seperti itu kelakuan Abi?”
“Aku mendengar satu hal lagi mengenai perempuan itu.”
Suara Meta terdengar sangat tertekan. Bibirnya gemetar menahan amarah. Dua pasang mata tertuju kepadanya, menunggu kalimatnya selesai dengan dada berdebar.
“Perempuan itu minta dinikahi oleh Abi. Padahal..”
“Ya Allah…” suara Mama dan Reza bersamaan menyebut asma Allah.
“Padahal, sebelum ini dia sudah pernah menikah dengaan suami suami orang sebanyak empat kali!”
“Waduh, hebat ‘kali dia!” seru Reza.
“Perempuan itu,…siapa namany?” celetuk Hadi.
Meta menoleh ke arahnya dengan mata seram. Cepat Hadi mengalihkan pandangan kea rah lain. Oho..takut juga si Meta kalau aku ikut-ikutan menjadi seperti Abi, pikir Hadi geli.
“Perempuan ini,” lanjut Meta, “Telah membuat Abi memanipulasi uang proyek.”
“Ini sudah keterlaluan,” Reza berdiri dari duduknya. Wajahnya tak lagi terlihat nakal dan lucu, namun sudah berubah merah padam dan garang.
“Yang terakhir kuketaui, mobil Intan juga ikut terjual untuk menutup manipulasi itu.”
“Mereka punya apa sekarang?” tanya Mama getir.
“Aku tidak tau, Mama.”
“Laki-laki,..” gumam Mama. “Kalau sudah tergoda perempuan , habislah dia!”
“Jadi perempuan ini sudah berhasil menguras pundi-pundi Abi,” kata Hadi.
“Bagaimanapun, perkawinan mereka harus diselamatkan. Kalau sampai terjadi apa-apa, kasihan Andre dan Irin.”
Mereka terdiam cukup lama, masing-masing tenggelam dalam alam pikiran masing-masing. Kesunyian mendadak dipatahkan oleh suara Hadi.
“Kalau Mama setuju, ijinkan saya menemui Abi.”
Mama, Meta dan Reza menatapnya lama, seakan tidak percaya akan usul itu.
“Apa yang akan kau katakan padanya?” tanya Meta.
“Asalkan Mama percaya pada saya, saya yakin, Allah akan membimbing lisan saya.”
Mama tersenyum tipis mendengar ucapan menantunya itu. Kepalanya segera mengangguk pasti dan menepuk bahu Hadi tanda memberikan restu.
Meta hampir tak percaya suaminya puny ide brilian, biasanya…heh! Menggaruk kepala yang gatal saja minta tolong.
Pagi itu Abi harus ke Bank. Namun sesungguhnya sudah menjadi tekadnya untuk tidak menginjakkan kakinya lagi ke Bank itu kalau tak ingin berjumpa lagi dengan Hapsari di bagian giro. Entahlah, dia sendiri tidak tau apa yang membuatnya tiba-tiba membenci perempuan itu. Selama hampir dua tahun perempuan itu sudah membuatnya mabuk kepayang. Laksana seorang nahkoda kapal yang lupa mata angin, lupa keluarga, lupa pada Andre, lupa pada Irin. Maka diperintahkannya Agus pergi ke Bank tersebut untuk kliring. Lalu dia pergi ke lokasi. Proyek jembatan sudah tinggal sedikit lagi, itu memerlukan dirinya untuk selalau hadir minimal dua atau tiga jam di lokasi.
Dulu semasa masih ada Tommy, rasanya semuanya akan beres dengan sendirinya. Tommy laksana tangan kanan yang serupa dengan belahan dirinya. Orang sering bilang, Tommy adalah kembarannya. Mereka sama-sama tegap sama-sama jangkung, sama-sama cakap, dan last but not least, mereka sama-sama tampan. Barangkali jabatan saja yang beda. Semua itu barangkali hanya karena perbedaan nasib.
Tommy!
Ingatan Abi kembali terbang kepadanya. Anak itu baik, pikir Abi sambil memindah persneling. Cuma teerlalu usil, pikirnya lagi. Selalu mau mengaturku, ini boleh atau itu tidak boleh. Tommy sendiri seakan-akan sangat sentiment pada Hapsari. Sebaliknya, Hapsari juga taak pernah merasa menyukai Tommy. Seringkali Hapsari harus mengumpat pada Tommy yang selalu dirasakannya memandang rendah dirinya. Bagaimana tidak rendah? Tanya Tommy suatu ketika. Dia itu perempuan yang tidak beres, katanya berapi-api. Sorry, Mas, dia itu seperti perempuan…
Bila sudah seperti itu, Abi Cuma tertawa dan memintanya untuk tidak meneruskan kalimatnya. Ya, tentu. Tommy membenci Hapsari karena dia amat menyayangi Intan. Ini Abi tau betul. Tommy sendiri merupakan anak emas bagi Intan dan paman yang amat dipuja bagi Andre. Setiap makanan istimewa yang mereka miliki, pastilah mereka akan menyisihkan sebagian untuk Tommy. Tidak boleh tidak. Hal dan kebiasaan itu rupanya sudah menjadi aksioma bagi Intan dan Andre. Pernah suatu ketika Abi menemukan sebatang coklat dibawah bantal Andre, dan ketika Abi mau menggigitnya, Andre berteriak histeris:
“Jangaaan! Itu untuk oom Tommy!”
Yadalah!
Kenapa bukan untuk Papa? Tanyanya ketika itu.
Andre Cuma memberengut dan menyembunyikannya di tempat lain.
Abi menghela nafas panjang. Suasana jalanan agak sedikit macet. Sambil menjalankan kendaraan lebih pelan, Abi terus berpikir.
Perlukah aku merasa cemburu pada Andre? Anak sekecil itu? Anak kandungku sendiri? Apakah selama ini aku merasa dihadapkan pada persaingan? Lalu merasa disisihkan, dan kemudian mencari perhatian diluar rumah? Alalu tenggelam dalam dekapan wanita lain yang memberikan seluruh perhatian kepadanya? Apakah…apakah betul, Tommy merupakan saingan berat bagi dirinya?
Betulkah seperti itu? Sinting aku kalau punya pikiran seperti itu. Pasti bukan itu penyebabnya. Pasti karena sikap Intan kepadanya yang selalu datar. Perempuan itu terlalu lembut baginya, terlalu baik, dan terlalu setia. Astaga! Separah itukah aku menilai isteriku sendiri? Bagaimana tidak? Intan tidak pernah nyinyir, tidak pernah mengumpatku, tidak pernah bermuka masam, apalagi berkata jorok seperti Hapsari. Dia sangat bening. Sangat cerlang. Seakan-akan tidak ada satupun noda atau dosa melumuri kulitnya yang selicin kaca. Betapa membosankan! Aku bosan, aku ingin sesuatu yang lebih manusiawi.
Seperti Hapsari?
Ya Allah, salahkah aku kalau aku kemudian menenggelamkan diri dalam sebuah selokan kotor hanya karena isteriku seperti malaikat? Aku tau, dia pasti sudah tau aku melacur. Ya, Hapsari itu adalah seorang pelacur kelas tinggi. Setinggi apapun, dia tetap pelacur bukan? Tetapi sungguh ampuni aku kalau aku merasa lebih jadi laki-laki bila bersama pelacur itu ketimbang bersama seorang malaikat..
Ampuni aku ya Allah, ampuni aku!
Mobilnya berbelok dan berhenti di depan direktie keet. Beberapa mandor dan pelaksana terlihat sedang berbincang-bincang. Mereka menghentikan pembicaraan begitu melihat Abi keluar dari mobil. Seorang pelaksana datang menghampiri.
“Ada tamu, Pak. Didalam,” katanya tanpa prolog.
“Siapa? Leveransir?”
“Bukan.”
Abi mengunci mobilnya dan perlahan-lahan berjalan menuju kantor lapangan. Pelaksana itu mengikutinya dari belakang.
“Sudah lama?” tanya Abi sambil lalu.
“Kira-kira sejam yang lalu. Tamu istimewa, Pak.”
“Jangan berbelit belit. Katakan saja siapa tamu itu.”
“Ibu Hapsari, Pak.”
Blap!
Tanpa sadar Abi menghentikan langkah. Mendadak kepalanya jadi pening. Ingin rasanya berbalik langkah dan lari dari tempat itu. Namun akal sehatnya lebih dominan. Betapa memalukan bila para mandor dan perlaksana-pelaksana semuanya masih muda-muda itu melihatnya lari terbirit-birit bagai anjing yang mengaitkan ekor diantara kedua kaki belakang. Maka dengan langkah tegap, Abi langsung masuk ke kantor lapangan.
Dalam sedetik kemudian dia berhadapan dengan Hapsari. Perempuan itu tidak mengenakan seragam kantor melainkan sebuah T-Shirt warna hitam yang amat ketat, dengan leher rendah sehingga terlihat belahan dadanya yang menggelayut. Kalau saja mata mau melihat lebih lama kea rah dadanya, maka akan nampak jelas bahwa dia tidak lagi memakai bra. Celana panjang warna biru membalut kedua kakinya yang panjang. Perempuan itu berdiri dari duduknya begitu melihat Abi masuk. Segera dia bergelayut pada lengan lelaki itu dengan manja.
Abi meletakkan agenda keatas meja dan melepas kacamata raybennya. Ditatapnya perempuan yang tengah memeluk ketat lengannya dengan wajah seakan melihat binataqng langka.
Hapsari tertawa manja dengan bibirnya yang basah. Semua itu membuat Abi terbayang kembali pada malam-malam dimana mereka bersama di sebuah kamar hotel bintang lima. Bibir itu pernah melumatnya habis. Bibir itu juga telah membuatnya merasakan satu kenikmatan luar biasa yang bagi Intan teramat jorok dan memalukan. Intan terlalu sopan untuk mau melakukannya. Namun Hapsari ini teramat suka! Gila, perempuan ini memang benar-benar perempuan gila yang pernah ditemuinya sepanjang hidupnya. Kegilaannya memang pernah membuatnya lupa segala, namun Abi bukanlah seorang yang Cuma dilahirkan untuk hal-hal seperti itu. Darah yang mengalir ditubuhnya bukan darah para pria yang kerasukan bila hidup dalam dunia seperti itu. Dan kini, kesadarannya, panggilan darahnya mengatakan bahwa semua ini salah. Semua ini serupa lumpur yang akan menenggelamkannya dalam dosa tak terampuni.
“Buat apa kau datang,” tegur Abi dingin.
“Memang kenapa kalau aku datang, tidak boleh?”
“Disini tempat orang kerja, bukan tempat kencan. Seharusnya kamu tau itu. Sekarang lebih baik kamu pulang saja. Kamu membolos lagi?”
Senyum di bibir basah itu menghilang saat mendengar dan merasakan betapa dingin suara Abi.
“Beberapa hari ini kau tidak ke kantor, gtidak juga datang ke tempat kosku. Kenapa? Kau mau mengambil jarak denganku?” ujarnya.
Abi menghempaskan nafas kuat-kuat.
“Keluargaku sudah tau”
“Bagus kan, kalau mereka sudah tau?”
“Aku ingin kita menyudahi saja hubungan gelap ini. Lupakan aku.”
“Apa?”
Mata indah itu mengerjap kaget. Api segera membakarnya menjadi sorot tajam yang siap membakar sekujur tubuh Abi.
“Kamu sudah mendengarnya, tak perlu kuulang lagi kata-kataku.”
“Enak saja! Sesudah kau nikmati maduku, kau lempar aku begitu saja? Oh, No! Laki-laki macam apa kau ini. Kau bilang hubunganmu dengan isterimu telah membuatmu bosan. Kau bilang akulah gairahmu. Sekarang, seenakmu saja kauputuskan hubungan ini hany6a dengan alas an keluargamu sudah tau. Apa-apaan kau ini!”
Abi duduk selunjur tanpa membalas tatap mata Hapsari.
“Kau takut? Kenapa? Biar aku saja yang bilang pada isterimu kalau kita sudah mau menikah. Kita sudaha merencankannya jauh-jauh. Seharusnya dia dong yang tau diri kek, mundur teratur, kalau perlu…”
“Cukup!” suara Abi terdengar gemetar menahan amarah. Parasnya menjadi merah padam. Kebenciannya mendadak muncul tanpa dapat disembunyikannya lagi. Tiba-tiba saja dia merasa muak.
“Kau marah?” ejek Hapsari.
“Aku tidak suka kamu menjelek-jelekkan isteeriku. Bagaimanapun dia adalah ibu dari anak-anakku. Betapa jahatnya aku, tidak akan kusangkal bahwa aku masih mencintai mereka. Lebih daripada kamu. Itu yang kamu harus tau!”
Mata Hapsari membelalak. Lidah api makin tinggi menjilat garang.
“Lantas, bagaimana dengan janji kamu?”
“Janji apa?”
“Janji apa, katamu? Kamu lupa?!”
“Ya, janji apa?”
“Janji mengawiniku,..”
“Maaf, kubatalkan.”
“….membelikan mobil, rumah…”
“Itu sih, gampang. Pasti kuberikan.
Mata membelalak itu kini memicing dengan kejam.
“Jadi begitu ya? Tak kusangka, ternyata kamu sama saja dengan pria-pria hidung belang lainnya yang datang Cuma ingin melahap tubuhku saja, lalu…”
Kali ini Abi menatapnya tajam.
“Seharusnya kamu sadar, kejadian yang selam ini kita alami adalah karena kita sama-sama suka menjalaninya. Tidak ada factor paksaan. Aku pembeli, dan kamu penjual. Sudah. Apalagi yang perlu kamu tuntut? Perkawinan? Itu terlalu sakral untuk orang macam kamu, kamu tau? Barangkali banyak laki-laki hidung belang berhasil kamu paksa untuk meninggalkan keluarga hanya untuk memenuhi hasrat keduniawian kamu, namun tidak untukku. Aku punya satu kekuatan yang mungkin tidak dimiliki pria-pria idamanmu yang lain. Kamu mau tau? Cinta. Cinta Intan kepadaku sangat kuat sehingga kamu tidak akan pernah berhasil memilikiku seutuhnya, karena diri dan hatiku sudaha seutuhnya dimiliki orang lain: Intan dan anak-anakku.”
Kegeraman merajai hati Hapsari. Seburuk apapun dirinya, dia tetap memiliki harga diri yang tak mau dilecehkan begitu saja. Dia tak mau dianggap perempuan murahan yang bisa dipermainkan dan dicampakkan lelaki begitu menyakitkan seperti ini.
“Kau pikir, kau satu-satunya lelaki sejati, begitu?”
“Tidak. Aku bahkan tau masih banyak lelaki baik dan setia di dunia ini. Cuma saja, dalam duniamu tidak akan ada lelaki seperti itu bisa kamu temukan. Laki-laki yang kebanyakan ada dalam duniamu adalah laki-laki pemuas napsu. Yah…sayangnya, aku pernah terjerumus masuk ke duniamu yang hitam. Tpi hanya sampai disini, sebaiknya kita berpisah saja sejak hari ini.”
“Kurang ajar, bangsat kamu Abi!!”
“Jangan berteriak. Kalau kamu kalap, lebih baik kamu keluar secara baik-baik dari sini sebelum dikeluarkan oleh security.”
“Baik. Kalau kau mengajakku bermain, aku mau main denganmu. Jaga isteri dan anak-anakmu baik-baik. Aku punya banyak body-guard yang bisa saja mencelakai mereka.”
“Terserah kamu.”
Hapsari mengambil tasnya, kemudian membuka dan membanting pintu kuat-kuat. Abi membiarkannya pergi dengan hati kecut. Siapa yang tidak tau wanita macam Hapsari selalu dikelilingi preman-preman?
Mereka semua adalah pelaku kriminal. Mau tak mau, ada kegelisahan merambati hati Abi. Mendengar ancaman yang disertai kemarahan seperti itu hatinya keder juga, ternyata. Kalau saja preman-preman itu menculik anak isteerinya, bagaimana? Perasaan bersalah membuat Abi duduk dengan mendekapkan telapak tangan ke wajahnya.
Ya Allah, apakah aku telah menjerumuskan keluargaku dalam kesengsaraan? Kalau saja waktu bisa diputar kembali…!
(bersambung)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar