Jumat, 26 Februari 2010

TROWULAN (7)


PERJANJIAN KANJENG RATU.

Hampir lewat dua pertiga malam ketika Aryo Wangking menghentikan kendaraannya di pelataran Siti Hinggil. Mendung kelabu menggantung di langit seperti menggantung di hati. Seakan menangisi sesuatu yang tiada berguna. Sesekali langit dibelah petir dan guntur.
Aryo Wangking menapak anak tangga ke atas Candi Kedungwulan yang tersisa berupa bujur sangkar berukuran sepuluh kali sepuluh meter persegi. Setelah menaiki anak tangga, Aryo harus pula melewati dua pohon tua, Kesambi dan Trenggulun, di kaki candi. Setelah itu Aryo harus membungkukkan punggung saat harus melalui gapura makam.
Di atas candi Kedungwulan itulah terdapat makam yang oleh masyarakat setempat dipercaya sebagai makam Raden Wijaya, raja pertama Majapahit yang bergelar Prabhu Jayakatyengrati Ripujaya atau Kertarajasa Jayawardhana, Brawijaya Pertama. Di depan makam Sri baginda Kertarajasa Jayawardhana itulah, Aryo wangking duduk bersimpuh, menaburkan sekar arum alias bunga rampai, ke atas makam. Dia membaca doa sebentar, kemudian menepuk batu nisan Sang Prabhu tiga kali.
Cukup lama Aryo Wangking bertafakur disitu. Tidak dihiraukannya angin malam berhembus kencang, mengguncang ujung daun pohon Trenggulun dan pohon Kesambi yang menaburkan percikan air di setiap guncangannya ke persada petilasan. Petir yang menggelegar memecah langit, sama sekali tidak membuat Aryo wangking terkejut. Hatinya seakan digayuti rindu. Rindu? Aryo tersentak. Rindukah dia akan sesuatu?
Dalam memejam, Aryo seakan sampai pada jalan setapak. Sendiri dia meniti jalan setapak itu. Mendaki bukit bukit sunyi. Gerimis turun seperti enggan putus. Jauh di sana, dia melihat sebuah bangunan kuno. Bukan, bukan bangunan tua yang menakutkan. Tetapi sebuah puri kecil yang indah.
Aryo meneruskan langkah kaki yang terayun. Tanpa menghiraukan gerimis yang kian rapat, dengan mantap dia mendaki bukit lewat jalan setapak. Sampai di depan puri, Aryo mendorong pintu dan masuk kedalamnya. Segera dia melihat begitu banyak orang berkumpul, duduk di tengah ruang yang sangat luas, mengelilingi seorang wanita cantik berpakaian aneh.
Lampu yang temaram membuat wajah semua orang hanya bagai bayang-bayang yang tidak jelas. Mereka saling berbisik, berbicara dengan suara pelan. Seakan-akan tengah membicarakan sesuatu yang amat rahasia. Menurut perkiraan Aryo, mereka tengah mengadakan sebuah sarasehan. Wanita cantik yang berada di tengah kerumunan itu duduk dengan anggun di atas sebuah dampar kencana. Kedua matanya bersinar terang, rambutnya yang hitam legam terurai menutup hampir seluruh punggung. Dia mengenakan jamang keemasan di kepalanya yang bertahtakan batu permata dan berlian. Setiap kali kepalanya bergerak, jamang emas itu menebarkan sinar terang berkilau-kilauan dibawah sorot lampu yang temaram. Diam-diam, Aryo ikut duduk di antara orang-orang yang samasekali tidak dikenalnya itu. Dia sengaja menyelinap dan mulai memperhatikan wajah-wajah di sekitarnya. Ketika dia tengadah, dia melihat ada balkon di sana, dimana ada beberapa perempuan dan laki-laki muda duduk berkumpul. Aryo memperhatikan mereka dengan seksama dan tiba-tiba darahnya berdesir kencang. Hatinya bagai disentakkan oleh tali yang kuat saat dia mengenali salah seorang diantara mereka adalah Rayun Wulan.
Seakan tak mau percaya begitu saja, Aryo menajamkan mata, mendekatkan wajah lebih dekat kea rah balkon. Ya benar. Itu memang Rayun Wulan. Gadis itu duduk ditempat paling pinggir, menguraikan rambut dan mengenakan kimono warna biru mengkilat.
Aryo tertegun lama. Benarkah itu Rayun, dan kenapa pula dia ada di tempat semacam ini? Perlahan-lahan Aryo berdiri, dan berjalan mendekat kearah tangga yang meliuk menuju balkon. Tetapi tiba-tiba wanita berjamang emas berlian itu menegurnya. Suaranya lembut diucapkan dalam bahasa yang halus. Namun seakan mengandung kekuatan magis yang kuat.
“Kau mau apa ke sana, Ngger? Kau tidak boleh naik tanpa ijin!” katanya.
Aryo berhenti melangkah.
“Dia temanku. Aku ingin menemuinya,” sahut Aryo.
“Aku tau, tetapi tidak berarti kau boleh datang kepadanya tanpa ijin dariku. Sebab sekarang temanmu itu berada dalam kekuasaanku. Dia milikku.”
Sebelah alis mata Aryo naik ke atas.
“Apa? Mengapa bisa begitu? Dia bukan milik siapa siapa. Dia milik Allah.”
Suara orang-orang yang hadir bergaung bagai suara dengung lebah. Puripun seakan terkena gempa. Wanita cantik itu mengangkat tangan, dan suasana kembali reda.
“Kau keliru,” senyum wanita itu. “Seseorang telah memujaku dan aku berkenan memberinya suatu imbalan sesuai dengan keinginannya. Sebagai rasa terimakasihnya diapun memberikan seseorang kepadaku sebagai hadiah. Sekarang, kau sudah mengerti mengapa aku mengatakan bahwa dia sudah menjadi milikku, bukan?”
Akal waras Aryo Wangking bekerja cepat. Dia asegera tau dengan siapa dia berhadapan. Namun rasa marah dan geram membuatnya jadi tak peduli lagi dengan siapa dia sedang bertutur kata. Sambil mengatupkan rahang, Aryo mendesis.
“Katakan kepadaku, siapa manusia tidak tau diri itu.”
Wanita berjamang itu berdiri perlahan. Pakaiannya yang terbuat dari kain yang lembut berkibar bagai ditiup angin. Melamabai lambai bagai sayap sayap transparan. Berjumbai-jumbai, berwarna hijau, biru, putih, berlapis lapis dan berselang seling. Rambutnya yang panjang dan indah, meriap kemana-mana. Seakan berjalan di dalam air, wanita itu melayang kea rah Aryo Wangking. Dia kemudian menggamit tangan Aryo dan mengajaknya ke sebuah meja besar dengan buku besar di atasnya.
“Pandang diriku baik-baik, Wangking. Kau lupa siapa aku?”
Aryo menatapnya tajam. Dia tau siapa wanita di hadapannya itu. Dia sadar akan akibatnya bila dia membangkang. Selama ini, wanita itulah yang sering ditemuinya dalam samadinya, wanita itu pula yang memberikan wewenang baginya untuk mengobati calon-calon korbannya. Ya, dialah Kanjeng Ratu Kidul yang amat ditakuti oleh masyarakat pesisir. Dalam samadinya, Aryo selalu memanggilnya Ibu, karena dia bukan pemuja, namun dia adalah seseorang yang telah dianggap kerabat keraton Laut Kidul. Bagi Aryo, karena dia bukan pemuja Laut Selatan, dia berhak marah atau tidak setuju dengan sesuatu yang dilakukan Kanjeng Ratu Kidul. Namun untuk membangkang terang-terangan, rasanya tidak pantas bagi seorang Aryo Wangking. Diapun menjatuhkan diri, bersila di depan ratu yang ternyata berkaki ular. Dengan hormat,dia menyapa, beruluk salam sebagaimana mestinya.
“Assalamualaikum, maafkan saya, Ibu.”

“Wa alaikumsalam. Kenapa baru sekarang kau mengenaliku. Kau marah? Atau terlalu sombong untuk menyapaku lebih awal? Dalam setiap persemedianmu dan setiap permasalahan, kau selalu datang untuk minta pencerahan. Tapi mengapa tiba-tiba kau datang dalam keadaan penuh amarah seperti ini? Bahkan tanpa kulonuwun kau datang dan masuk ke wilayah terlarang. Kalau saja kau bukan titisan Nambi, pasti sudah kuhajar. Sekarang tanpa basa-basi kau malah ingin menemui calon istri adikku begitu saja. Bagaimana kau ini, Wangking!”
Aryo Wangking terpana seketika. Segera dia menyembah dan meminta maaf atas kelancangan dan kecerobohannya. Ya, semua itu karena kecerobohan. Mana mungkin dia masuk begitu saja secara grusa grusu padahal seharusnya sudah tau tentang aler-aler dan tata krama yang berhubungan dengan alam ghoib?
Kanjeng Ratu Kidul menghela nafas panjang. Sesungguhnya, Nambi adalah kesatria yang telah dianggap sebagai putra baginya. Tentu, kesalahan yang diperbuat oleh anak cucu Nambi juga menjadi cucu kesayangan baginya.
“Baiklah, sekarang kau sudah kumaafkan,” ujarnya. “Kalau kau ingin tau orang yang kukatakan tadi, tengoklah buku besar di meja besar itu, maka kau akan tau dengan siapa kau bakal berhadapan.”
Aryo Wangking menuju meja besar berlapis kain beludru warna hijau di tengah ruang besar itu. Dibukanya buku besar diatasnya. Lalu dibacanya huruf huruf Jawa itu dengan sangat hati-hati. Jemarinya gemetar saat menelusuri barisan nama demi nama yang tercantum di dalamnya. Biasanya nama-nama yang telah tercantum di buku besar itu, pada manusianya di dunia nyata akan ada stempel ghoib di pundak masing-masing, sebagai tanda bahwa nantinya mereka akan pulang bukan kepada Allah melainkan,…
Astaga! Nafas Aryo berhenti. Ternyata benar, nama Rayun Wulan ada di dalamnya.
Darah Aryo Wangking menggelegak. Apalagi saat dia juga menemukan nama lain yang dia kenal ada di samping nama Rayun Wulan. Orang yang menghadiahkan Rayun kepada adinda Kanjeng Ratu Kidul adalah…Dewa Pamugaran. Ya Allah yang Maha Agung dan Perkasa! Pandangan mata Aryo serasa gelap. Seakan disambar halilintar.
Aryo berbalik dengan cepat menatap tajam wajah ayu Kanjeng Ratu Kidul yang dengan arif tersenyum kepadanya.
“Ya, benar,” katanya. “Memang laki-laki itulah yang memujaku. Naga Tatmala memintanya padaku namun bukan untuk korban, melainkan untuk istri. Ketauilah Wangking, kutukan atas Naga Tatmala telah berakhir. Dia sudah bisa menikah dengan siapapun yang dia kehendaki. Kebetulan, seleranya jatuh pada Rayun Wulan. Dia akan mengawasi sukma gadis itu di alammu hingga batas waktu yang ditentukan. Setelah itu Naga Tatmala akan menjemputnya dan akan menikahinya secara baik-baik sesuai dengan aturan alamnya.”
Kepala Aryo seakan berputar. Berpusing bagai gasing. Mana mungkin itu terjadi, mana mungkin?
Dia kembali menjatuhkan diri, lemas di kaki Sang Ratu.
“Saya mohon, Ibu” katanya terbata-bata. “Batalkan saja perjanjian itu. Kasihanilah gadis itu. Bebaskan dia dari kekuasaan Naga Tatmala. Bukankah mereka itu berbeda alam? Gadis itu manusia biasa, sementara Naga Tatmala adalah siluman. Bagaimana mungkin mereka bisa bersatu?”
“Batas waktu, Wangking. Selalu ada batas waktu. Kalau alam mereka sudah sama, mengapa tidak bisa?”
“Saya mohon, bebaskan dia demi saya.”
“Baru sekali ini kulihat kau demikian gugup. Ada apa denganmu? Kau mencintai gadis itu, Wangking?”
“Maaf, saya sendiri belum terlalu yakin. Saya hanya merasa bahwa dia adalah jelmaan Rara Ireng, kekasih Mpu Nambi. Kisah cinta mereka tak pernah sampai. Terus terang, saya memang menginginkannya.”
Kanjeng Ratu Kidul tersenyum.
“Kau boleh saja minta kepadaku untuk membatalkannya, namun ada syarat tertentu yang harus kau jalani.”
“Saya akan memenuhinya.”
“Syaratnya cukup berat, Ngger. Apa kau sanggup?”
“Insya Allah, Ibu.”
“Baiklah. Syaratnya, sebelum kau bebaskan sukma gadis itu kau harus mampu merebutnya sendiri dari genggaman Naga Tatmala dengan cara mengalahkannya lebih dulu. Kedua, kau harus berjanji akan menjaganya dari kekuatan Dewa Pamugaran. Sebab apabila dia gagal mempersembahkan tumbalnya kepadaku, taruhannya adalah jiwanya sendiri. Sudah barang tentu dia tidak akan tinggal diam menyaksikan tumbalnya kau bebaskan dari perjanjian yang dilakukannya. Bagaimana? Kau sanggup?”
Tanpa pikir panjang, Aryo Wangking menjawab:
“Sanggup.”
“Ingat, Wangking. Seorang lelaki sejati harus bisa menjaga janjinya.”
“Saya ingat, dan saya akan memegang janji saya.”
“Bagus. Kalau begitu ijinkan ingsun mengundurkan diri. Assalamu’alaikum.”
“Terimakasih, Ibu. Wa’alaikumsalam.”
Kanjeng Ratu Kidul bergerak cepat. Kali ini dia pergi dalam wujud aslinya, seekor ular hijau yang mengenakan jamang emas di kepalanya. Aryo menunduk dalam-dalam, seakan mengucapkan selamat jalan kepadanya. Sebelum dia menyadari sesuatu, tiba-tiba sebuah hantaman membuatnya terjungkal. Aryo Wangking berdiri dengan geragapan. Segera dia melihat seekor naga amat besar bergelung di depannya.
Naga Tatmala!
Ya, naga besar bersisik putih keperakan itu kini Nampak bersiap-siap menyabetkan ekornya yang besar itu kembali. Sadar akan siapa yang menjadi lawannya, Aryo tak berani bertindak gegabah. Dia segera duduk bersila, mengempos seluruh tenaga dalam, mengumpulkan semua kekuatan ghoibnya, dan membaca mantera berulang-ulang. Bibirnya mengatup keras. Matanya memejam. Lalu setelah semua kekuatan ghoib menyatu dalam dirinya, dia mengangkat tangan kanan lurus ke atas.
Naga Tatmala melihat sinar biru melingkari sekujur tubuh Aryo Wangking. Naga itu meliuk liuk berusaha menembus sinar yang menyelimuti tubuh lawannya. Namun segera dia merasakan sebuah sengatan panas yang membutanya mundur kembali. Beerjurus-jurus serangan dilancarkannya melalui ekornya yang pipih maupun cakarnya yang tajam, namun tak mampu sedikitpun menggoyahkan Aryo Wangking dari samadinya. Aryo bahkan terus merapal. Lidahnya basah oleh beberapa kalimat ghoib. Di atas, langit mendadak kian menghitam. Titik berkumpul membagi mendung. Awan bergerak perlahan. Naga Siluman itu menjadi gelisah. Tubuhnya panas bagaikan dipanggang diatas perapian. Sementara itu, bibir Aryo terus bergerak. Kalimat-kalimat berisi mantera dan doa yang dahsyat terus dilantunkan.
Hujan turun deras bagai amarah. Berpacu. Guntur menggelegar. Petir menyambar nyambar membelah langit. Membahana seakan merobohkan pohon-pohon. Kekuatan Sang Ghoib mulai bicara mengalahkan segala angkara murka. Naga Tatmala berputar, berpiuh di tengah gemuruh hujan dan badai. Dedaunan yang menebar oleh hempasan angin menyatu dengan diri sang siluman. Tatmala menggeram. Melawan dengan amarah semua kekuatan yang terpancar dari diri musuhnya. Namun seakan selembar daun kering, Naga Tatmala tersingkir jauh, menghilang kembali ke dasar samudera.
Pada saat itulah Aryo Wangking melihat sebuah benda biru berkilau jatuh dari langit. Meluncur dengan amat cepat ke bawah. Secara reflex Aryo berdiri. Kakinya menjejak bumi. Sambil berteriak keras tubuhnya dengan ringan melompat tinggi menyambar benda biru yang jatuh bagai meteor ke arahnya. Dengan mendekapnya kuat, Aryo meluncur turun. Di bawah, dirinya baru sadar bahwa benda biru yang jatuh itu bukan meteor, melainkan sukma Rayun Wulan.
Aryo jatuh terduduk di tanah sambil tetap memeluknya. Jadi seperti itulah Sukmanya diserahkan oleh Naga Tatmala kepadanya. Atau bisa saja jatuh secara otomatis begitu kekuatan Naga Tatmala harus kalah oleh kekuatan Aryo Wangking. Entahlah. Yang jelas, hati Aryo terasa bagai disayat sembilu menyaksikan betapa sukma berwujud wadag aslinya itu kini seakan selembar kain biru yang tak berdaya.
Aryo menggigit lidah agar tidak berteriak menyumpahi laknat sang Naga. Hujan yang turun deras menyatu dengan tetesan airmatanya. Rayun, desisnya pelan dalam hati. Seburuk inikah nasibmu?
Teringat Aryo akan janjinya kepada penguasa Laut Kidul. Dia menundukkan wajah, memejam dan membenamkan tangisnya dalam-dalam di dada. Dia tidak ingin karma terus berjalan sama. Dia berjanji dalam hati akan mengubahnya jadi lebih baik dan lebih manis. Pertemuannya dengan Rayun Wulan adalah sebuah jelmaan damba atas takdirnya sebagai Nambi yang menemukan Rara Ireng. Dia bertekad mengubah diri menjadi lebih baik, melupakan semua yang buruk yang dijalaninya selama ini bersama Sumirah maupun Niken Pratiwi. Dia akan mempersembahkan hati dan kehidupan yang bersih bagi Rayun Wulan.
Suara kokok ayam jantan membangunkan Aryo dari tafakur panjang di Candi Kedungwulan Siti Hinggil. Adzan subuh sebentar lagi akan terdengar. Seseorang mendatangi dan ternyata itu adalah Sikan, juru kunci. Ketika dilihatnya Aryo menyulut rokok, dia duduk bersila di sebelahnya.
“Semalaman mas Aryo samadi disini?” tanya Sikan.
Aryo tersenyum dan menoleh kepadanya.
“Sampeyan memohon apa, Mas?” tanya Sikan lagi.
“Seperti yang pernah saya katakan kepada pak Sikan, saya ini sedang mencari keberadaan kekasih saya.”
“Apakah Niken Pratiwi yang mas Aryo maksud?”
Aryo tertawa kecil.
“Bukan dia,” katanya. “Saya dan dia cuma berteman baik. Kenapa? Pak Sikan mengira bahwa dia kekasih saya?”
“Orang-orang bilang begitu, nimas Niken juga bilang begitu kepada saya.”
“Itu gosip.”
“Kalau begitu, gosip lebih santer daripada air terjun. Sebab, sepertinya berita itu sudah bukan rahasia lagi disini. Apalagi Raki Keleng…”
“Raki Keleng memang suka mencemburui hubungan baik saya dengan Niken. Dia iri dan suka marah-marah bila mendapati saya dan Niken berada dalam satu ruang di kantor. Ah, sudahlah. Kekasih yang saya cari itu sekarang sudah saya temukan. Namanya Rayun Wulan. Seorang penulis dari Surabaya. Cuma sayangnya, saat ini dia sudah terlanjur menjadi kekasih orang.”
“Ah, mas Aryo ini. Saya kok makin nggak ngerti.”
“Saya bertemu Rayun Wulan ini di Pantai Puger, dua hari yang lalu. Kacamata spiritual saya mengatakan bahwa dia itu reinkarnasi dari Rara Ireng, kekasih Mpu Nambi.”
“Mpu Nambi, maksud mas Aryo, Mpu Nambi…”
“Ya, Senapatinya Brawijaya Pertama.”
“Oh. Kemudian…?”
“Mungkin takdir telah mempertemukan kami. Mempertemukan Nambi dan Rara Ireng melalui wadag wadag Aryo Wangking dan Rayun Wulan. Kalau sudah seperti ini, apakah saya harus melupakannya begitu saja? Tidak, tentu saja tidak. Saya tidak akan melepaskannya begitu saja. Barusan ini tadi saya bisa menmbus alam Segara Kidul dan bertemu dengan Ibu Kanjeng Ratu Kidul. Ternyata Rayun ada di alam sana, dan ketika saya memintanya, beliau mengijinkan.”
“Jadi begitu ya, ceritanya?”
“Ini bukan cerita. Ini sungguhan.”
“Oh ya. Tentu saja maksud saya, sungguhan. Tetapi saya nggak heran kalau semua keinginan mas Aryo selalu dituruti oleh Kanjeng Ratu Kidul. Kalau saja mas Aryo ingin cepat kaya, pasti beliau juga akan…”
“Eits!” potong Aryo cepat. “Jangan sekali-kali kita meminta hal-hal seperti itu. Taruhannya berat, pak Sikan. Saya pernah ditawari sebongkah emas oleh Ibu Ratu Kidul, tetapi saya tolak mentah-mentah. Sebab apa? Sebab beliau mengatakan kalau saya mau, saya diberi kesempatan selama tujuh belas tahun untuk menikmatinya.”
“Tujuh belas tahun?”
“Ya, sesuai dengan rakaat sholat kita dalam sehari.”
“Setelah itu?”
“Setelah tujuh belas tahun menikmati harta itu, saya mati.”
“Hah?”
“Jadi apa artinya hidup seperti itu? Tidak usahlah seperti itu, dengan benda-benda kuno penemuan saya di situs-situs purbakala itu saja, kalau saya mau menjualnya, saya bisa kaya. Tetapi saya tidak akaan pernah mau melakukannya. Kalaupun saya ini orang bejat, saya tidak akan pernah jadi maling seperti itu. Kanioyo itu namanya, Pak.”
Sikan mengangguk-anggukkan kepala.
“Si Rayun ini orangnya baik,” lanjut Aryo. “Cuma agak keras kepala. Bukan cuma agak, namun benar benar keras. Menurut trawangan saya, hari kelahirannya, Rebo manis.”
“Wah, orang kelahiran Rebo Mani situ termasuk gampang-gampang susah, Mas.”
“Saya tau.”
“Tapi sepertinya adiluhung.”
“Ya, menurut sayapun demikian. Ada kemungkinan dia masih berdarah biru.”
“Ya, Mas. Saya sarujuk dengan pandangan mas Aryo. Yah,…semoga berhasil, Mas. Siapa tau takdir kali ini benar-benar mendapat ridho Allah.”
“Hahaha,…ya semoga saja pak Sikan. Semoga saya bisa menjaganya agar tidak kecolongan ki Naga Tatmala saja.”
“Naga Tatmala? Bukankah dia itu siluman yang pernah mendapat kutukan untuk tidak laku kawin selama beribu-ribu tahun?”
“Benar. Karena dulu dia pernah kepergok sedang berkasih-kasihan dengan Dewi Mumpuni, istri Yamadipati. Seharusnya dia dihukum mati karena perbuatan itu, namun karena dia adalah putra Anantaboga, maka dia cuma dikutuk saja untuk tidak laku kawin selama ribuan tahun. Rupanya, kutukan itu sudah berakhir. Menurut Ibu Ratu Kidul, Naga Tatmala sudah bisa jatuh cinta pada siapa saja, entah manusia atau sesama siluman. Saya kuatir, dia malah jatuh cinta sama Rayun Wulan.”
“Apa bisa, Mas?”
“Bisa saja, kenapa tidak? Ada banyak manusia yang kawin dengan siluman. Ini nyata lho, bukan cuma karangan saja.”
“Ya, ya. Saya tau.”
Aryo mematikan sisa rokok ke lantai candi dan bersiap-ssiap untuk meninggalkan Siti Hinggil.
“Baiklah, saya pulang dulu pak Sikan.”
“Oh, silakan Mas, silakan.”
Aryo mengulurkan salam. Mereka berjabat tangan sejenak sebelum Aryo berjalan ke gapura lalu turun ke pelataran. Langit sudah mulai terang. Ada harapan dan impian bermunculan dan tumbuh di hati Aryo Wangking. Kendati ada rasa kantuk datang menyergap, seyuman tipis tetap nampak tersungging di ujung bibirnya.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar