Senin, 08 Februari 2010
ANTARA AKU, JO DAN AAY
Tanganku mengaduk-aduk es dawet di kantin kampus tanpa minat. Minuman itu masih utuh. Entahlah hari ini seleraku mati. Ingatanku hanya pada isi sms yang dikirimkan Jo pada Nana, adikku. Kenapa musti dikirimkannya curahan hatinya pada Nana dan bukan kepadaku? Apakah dia sudah benar-benar memutuskan siapa yang akan dia pilih antara aku dan Aay? Lagian, rasanya dia lebih akrab dengan Nana daripada denganku. Dan untuk bertanya langsung kepadanya…ih, amit-amit deh. Mendingan membentangkan jarak antara kami.
Masih terbayang diingatan, bagaimana dengan tengil dia menulis sms pada Nana.
“Bersamaan dengan sms yang kau kirimkan, aku juga tengah menerima sms dari Aay. Maka setelah ini, aku akan segera membalas smsnya. “
Disambung dengan sms berikutnya,:
“Uh, Aay mangkel sekali kalau aku telat membalas smsnya. Kalau teringat kepadanya, kepalaku jadi pusing tujuh keliling jadinya, Soalnya aku sudah kangen banget sama dia. Sayang, rumahnya jauh dari sini.”
Aay!
Dadaku mendadak gemuruh. Siapakah Aay? Mengapa baru sekarang Jo berceloteh tentang Aay?
Ada lagi sms yang lebih panjang dia kirimkan ke Nana.
“Eh, kau ingin melihat fotonya ya? Aku menyimpan fotonya cukup banyak. Namun kalau menatapnya, pusing di kepalaku malah menjadi delapan atau sembilan keliling. Tapi kalau tidak memandang , selalu ingin memandang. Payah jadinya. Beginilah rasanya seorang yang…mmm…yang apa? Yang sakit rin…so!”
Aku bangkit dan membayar es dawet yang masih utuh. Entahlah, selera makanku akhir-akhir ini jelek sekali. Mungkin semenjak Nana dan Jo getol main kirim-kiriman sms. Apa sih, maksud Jo menceritakan gadis bernama Aay itu kepada Nana? Apakah dia tau bahwa setiap sms yang masuk ke telepon seluler milik Nana, aku selalu ikut membacanya?
Dan yang membuatku resah adalah smsnya yang berikut,:
“Senang berdekatan dengan Aay. Sebab dia selalu berceloteh macam-macam. Matanya bening dan berkilau bagai rembulan. Dulu, di Bandung, ada tiga rembulan. Di langit satu, dan di mata Aay ada dua.
Na, aku memang akan mendatangi dia, tapi bukan sekarang. Masih lama. Kau mau kan kubawakan roti unyil dari sana?”
Kuhela nafas berat. Pelan-pelan namun pasti, kurasakan hatiku retak. Kekalutan menyeruak dari kepura-puraan bisu di bilik sepi dalam dadaku. Muncul kemurkaan bercampur keangkuhan dan kepasrahan yang selama ini membuatku gelisah.
“Kalian sering berkirim-kiriman sms seperti ini, ya?” tanyaku pada Nana setelah ikut membaca sms yang dikirimkan Jo padanya.
Nana tertawa. Dia mungkin saja tau aku pernah hampir jadian dengan Jo, atau bisa juga dia tidak tau. Namun dari cara ketawanya itu, aku merasa bagaikan diejek oleh adikku sendiri.
“Sering juga sih,” jawabnya enteng. “Habis membaca smsnya rasanya asyiiik banget. Humornya segar. Lucu. Aku senang bersahabat dengan mas Jo.”
“Dan dia selalu membalas smsmu?”
“Oh…tentu dong! Dia rajin lho mengirim sms. Bisa dikatakan sehari tiga empat kali deh!”
“Hah?”
Nana tertawa lebar sambil menimang-nimang Hape miliknya.
“Itu sih, luar biasa, Na,” kataku berpura-pura tidak pernah terjadi apa-apa antara aku dan Jo.
“Bukankah dia itu teman Kakak?”
“Mmm…ya. Dia teman Kakak di kampus.”
“Mas Jo bilang, dia sering bertemu Kakak di kampus. Satu Fakultas ya, Kak?”
“Ya.”
Nana tidak tau, kami bukan hanya teman di kampus. Tapi lebih dari itu. Tetapi itu dulu. Sebelum ada Aay masuk ke topic pembicaraan Jo. Hampir setiap pagi kami saling berpapasan di koridor Fakultas . Dan selalu saja. dulu, kami akan berhenti, saling berbicara, bercanda, bahkan sering Jo memeluk bahuku dan mengantarkan sampai ke pintu ruang kuliahku.
Namun ketika kemudian nama Aay muncul, kami hanya akan saling melempar senyum sambil menyapa sekadar basa-basi,:
“Hallo Pris, apa kabar?”
“Hallo juga Jo, kabar baik. Kamu?”
“Baik. Yuk ah, aku duluan.”
Aku merasakan dadaku makin sesak setiap kali kami bertemu. Padahal dulu, betapa menyenangkan melihat senyumnya, bahkan cara dia membawa tas ranselnya, bagiku dia nampak keren sekali. Sudah berapa lama kulewati waktu yang sangat menekan perasaan seperti ini? Ya, sudah berapa lama kami saling menjauh dan berusaha saling menghindar setiap kali kami bertemu?
Dua tahun kami sempat berpacaran, sejak kumasuki kampus berlogo warna orange itu. Johan sebagai seniorku, kelihatan tertarik padaku sejak hari pertama masa orientasi. Belakangan aku mendengar dia adalah salah satu asisten dosen merencana, yang kebetulan banyak digandrungi gadis-gadis . Jo begitu baik kepadanya, begitu ramah, kendati beberapa teman mengatakan bahwa dia termasuk orang yang selalu formil dan membatasi diri dalam pergaulan dengan gadis-gadis. Saat itu aku merasa menjadi gadis yang istimewa bagi dia. Tak lama sesudah masa orientasi, kami jadi tampak seperti sepasang kupu-kupu. Dimana ada Johan, di situ ada Priska. Begitulah kata mereka.
Hingga kemudian…
Aku tidak tau apa yang membuat hubungan kami jadi begitu kaku. Bahkan ketika salah satu teman akrabnya mendatangiku dan bertanya,;
“Ada apa antara kalian, kau dan Jo…”
Aku tak bisa menjawab dengan benar.
Apa yang harus kujawab? Aku sendiri tidak tau mengapa Jo tiba-tiba berubah sikap.
Arif, sahabat Jo, menatapku dengan pandangan menyelidik. Berkali-kali dia bertanya padaku, bukan hanya sekali ini saja, mengenai hubungan kami yang kian memburuk.
“Apakah ada orang ketiga?” tanya Arif.
Kugelengkan kepala kuat-kuat.
“Lantas apa dong, yang membuat kalian seperti ini?”
“Aku tidak tau.”
“Kau pasti tau, tapi berusaha menyembunyikannya dariku.”
“Sudahlah. Mengapa tidak kautanyakan saja pada Jo? Dia yang punya masalah, bukan aku!”
Arif terdiam, lama. Sepasang matanya bagai mata rajawali yang siap mematuk, mencari-cari jawaban yang diinginkannya keluar dari mulutku. Tidak ,..tidak akan kukatakan padanya bahwa ada Aay yang tiba-tiba membentangkan jurang diantara kami. Untuk apa? Kalau kukatakan pada semua orang bahwa Jo jatuh cinta lagi pada pacar lamanya, apakah akan menerbitkan iba dalam hati Arif dan teman-temannya yang lain? Oho, itu yang sungguh aku tidak suka. Dikasihani orang hanya karena putus cinta! Tabu bagiku.
Namun kadang aku teringat bagaimana dia menulis sms untukku dengan begitu indah. Selalau diawali dengan kata-kata, : Priska yang punya mata bintang…
Hah!
Kini aku sadar itu semua cuma rayuan gombal. Apa? Kini dia juga mengatakan bahwa sepasang mata Aay adalah sepasang bulan kembar yang berkilauan dan sangat disukainya. Dasar!
Aku hanya menyadari bahwa belakangan ini sebelum hubungan itu makin memburuk, kami sering bertengkar karena hal-hal yang menurutku sepele. Jo memang sudah berubah. Dia tak sama lagi dengan Jo yang dulu kukenal Aku tidak bisa lagi memahami, apa yang dia inginkan dariku. Rupanya dia juga mulai kesulitan untuk mengerti keinginanku. Untuk itu, barangkali, kami jadi sering berselisih paham. Kami jadi merasa sama-sama paling benar. Dan kalau dikatakan kami adalah manusia-manusia yang keras kepala, itu mungkin benar. Dia keras, akupun sama. Dan yang paling utama, kami sama-sama mempertahan keangkuhan kami mati-matian. Aku tidak mau terlihat lemah didepannya. Sejak kecil aku telah dididik untuk menjadi seseorang yang mandiri dan punya prinsip. Mungkin itu yang tidak disukai Jo. Dia lebih menyukai gadis-gadis manja yang selalu bergantung kepadanya, yang bisa dibelai-belai seperti membelai-belai kucing anggora miliknya.
Hingga suatu hari aku jadi merasa benar-benar lelah.
“Sudahlah, Jo,” kataku mengeluh. “Untuk apa kita selalu bertengkar? Semua itu hanya akan menambah keruwetan-keruwetan baru yang kian menekan perasaan kita. Pertentangan-pertentangan semacam ini kurasa tidak ada manfaatnya sama sekali. Aku sudah bosan bertengkar.”
“Sama Pris. Aku juga sudah mulai bosan!” jawabnya garang.
Dan memang. Dia sudah bosan denganku. Menurut dia, aku sudah tidak menarik lagi. Rewel. Cerewet. Dan mulai mengekang. Jangan begitu Jo, jangan begini Jo… ! Menurutnya, aku terlalu mendikte.
“Aku tidak mau didikte,” katanya suatu ketika. “Masa untuk datang kerumahmu saja aku musti diatur, kapan boleh datang dan kapan tidak boleh. Ya nggak mau dong! Kita kan sama-sama bebas menentukan saat mana kita mau datang atau tidak. Ya, nggak?”
Saat itu dadaku serasa mau pecah.
Siapa mendikte siapa? Apa dia tidak sadar bahwa sebagai koordinator keseniana dan vocal grup di kampus, waktuku sudah hampir tersita habis? Belum lagi tugas-tugas seperti merencana, perpektif, atau yang lain. Semua itu harus diatur waktunya agar efektif. Kalau terus-terus pacaran, mana bisa beres semuanya?
Tetapi, ah.
Mana mau dia mengerti kalau akupun ikut berbicara panjang lebar. Seperti membangunkan macan tidur, jadinya. Karena itu aku memilih diam. Biarlah dia mau bicara apa diluar, aku akan tetap diam.
Kini aku makin yakin kalau dia benar-benar sudah berniat meninggalkanku. Namun, kuakui, betapapun aku berusaha, tak sedikitpun pernah berhasil mengubur kenangan lamaku bersama Jo. Tidak. Aku tidak bisa membencinya. Kendati sms-smsnya melalui hape nana semakin gencar membakar perasaanku.
Sebenarnya dia bukan pria yang tampan. Dia biasa-biasa saja. Kata orang standardlah. Namun Jo punya senyum yang amat menarik. Tatap matanya gagah dan memikat. Dan pesonanya seakan menebar kemana-mana. Gadis-gadis selalu bersorak riang bila dia lewat dan melambaikan tangan sambil tersenyum. Seakan mendapat durian runtuh saja. Bleh!
Aku bahkan sering membayangkan, bel rumahku berdentang. Dan seraut wajah muncul di kisi-kisi pagar sambil berseru seperti biasa:
“Tampang yang membosankan datang lagi…”
Dan seperti biasa aku akan membukakan pintu pagar lebih lebar sambil tertawa senang.
Kini hal itu tak akan pernah terjadi lagi. Dia laksana bola yang sudah menggelinding terlalu jauh dan tak mungkin dikejar lagi. Jo seakan seseorang yang sangat asing bila kebetulan bertemu di koridor kampus. Seperti siang itu, mereka kembali bertemu di tempat yanag sama.
Suasana kampus sudah sangat sepi. Diluar hujan turun cukup deras. Angin dingin meniup masuk dengan bebas menerpa apapun yang melintas dibawah curahannya.
Dari jauh aku sudah bersiap-siap menata debur jantungku. Aku sendiri bingung, kenapa sih setiap bertemu Jo, dada ini selalu bergedebak gedebuk tak keruan? Padahal sudah jelas, dia bukan untukku lagi. Tidak itu saja. Bahkan dengan menyaksikan Nana membaca sms di hapenya saja, jantungku ini sudah melompat-lompat ke leher. Sialan!
Jo menghentikan langkah begitu kami saling bersimpangan.
“Hai!” sapanya tersenyum tanpa beban.
“Kau masih disini, Pris?” lanjutnya.
‘”Kau juga. Menunggu siapa?”
“Aku sengaja menunggumu.”
“Aku?”
Aku seakan-akan jadi dungu. Seolah kutatap oase yang indah berlimpahan air bening, namun yang kurasakan adalah sayatan pedih di dalam dada.
“Ya. Ijinkan aku pamit padamu.” Katanya.
Darahku beku seketika. Kukatupkan bibir kuat-kuat agar tidak terlalu gemetaran. Kubalas tatap matanya dan kutekan perasaan yang menggejolak dihatiku.
“Aku akan ke Bandung, nanti sore,” lanjutnya. Begitu tenang dia mengatakannya. Begitu biasa. Seakan diantara kami tidak pernah terjadi sesuatu. Seperti bibirnya itu tidak pernah menyentuh bibirku. Seperti…ah, Tuhan! Bagaimana dia bisa melupakan semua itu? Sedangkan aku yang pernah melukai hati orang paling tidak akrabpun tak bisa melupakan dan bersikap biasa seperti ini bila bertemu di jalan.
Kubiaskan senyum tipis di bibir.
“Begitu tiba-tiba?” tanyaku datar.
Diapun tersenyum. Tipis. Sama sepertiku. Disandaarkannya punggungnya ke dinding. Hujan kian deras. Butiran air hujan dibawa angin bertempias ke lorong koridor dimana kami berdiri.
“Sebetulnya sudah lama kurencanakan. Nana sering kuberitau tentang rencana ini. Apa dia tidak mencderitakannya padamu?”
Aku berpura-pura berpikir dan mengingat-ingat. Ya, untuk apa aku berterusterang kepadanya bahwa hubungan sms antara dirinya dan Nana sangat sangat melukai hatiku? Kalau itu kukatakan, apakah akan membawa dia kembali padaku karena iba? Akankah dia merasa betapa aku mencintanya amat sangat, lalu membuat dia berbalik langkah dan membalas cintaku? Aku tidak percaya itu. Bahkan aku lebih percaya seandainya dia tahu betapa aku terluka karena cintaku tak terbalas, dia justru akan tertawa ngakak dan menebah dada dengan sombongnya!
“Tidak. Dia tidak mengatakan apa-apa,” kataku tetap datar.
Johan tertawa getir.
“Sayang sekali, ternyata kau tetap tegar dengan keangkuhanmu. Aku tau, kau bukan saja mendengar dari Nana soal ini, kau bahkan membaca seluruh smsku padanya. Kau tau soal Bandung, soal Aay, semuanya. Dan kaupun terbakar oleh perasaan cemburu. Ah, kau tetap saja angkuh!”
Kini dada ini benar-benar meledak.
“Kalau kau sudah meyakini ucapanmu itu, kenapa pula kau pertanyakan padaku? Buang-buang waktu saja kamu, Jo.”
“Aku ingin kau tau, aku akan bertunangan dengan Aay.’
“Oh ya? Baguslah kalau begitu. Aku ucapkan selamat.”
Kulihat Jo menelan ludah. Kecewakah dia melihatku tidak meraung dan memohon-mohon dalam isak tangisku untuk dia membatalkan pertunangan itu? Kini hati ini benar-benar beku sudah. Mengapa mendadak saja aku merasa ringan? Tidak ada beban, tidak ada penyesalan mengapa kami harus terus menerus bertengkar.
Aku menyalaminya, kemudian meneruskan langkahku menuju areal parkir. Johan menyisih, membiarkanku lewat tanpa mengatakan apa-apa lagi. Jadi beginilah akhirnya, pikirku. Ternyata perpisahan itu sangat mudah. Tidak seperti yang kubayangkan semula, ternyata melepaskan Jo justru membuat langkahku ringan. Ya, dia memang bukan untukku. Dia untuk Aay yang masih suka manja dan aleman. Tidak untuk Priska yang sekeras karang.
Selamat tinggal Jo.
Semoga kau akan mendapatkan yang kau idamkan dengan gadis belia kelas duabelas itu.
Hujan masih juga deras, mengguyur kepalaku, membasahkan sekujur tubuhku. Dingin. Tapi tatkala aku menoleh sekali lagi sebelum mencapai kendaraan pribadiku, kulihat Jo masih berdiri bagai patung es disana. Dingin. Sama dingin dengan udara kala itu.
Kulambaikan tangan sambil memutar kunci pintu mobil. Aku melebarkan tawa hangat. Sehangat hatiku kala itu. Meninggalkan Jo untuk Aay, ternyata bukan apa-apa bagiku. Tak ada yang berkurang, atau retak lagi. Begitu mudah, begitu ringan. Ajaib, kupikir begitu. Ajaib,apakah kau pikir begitu juga? Kedamaian akan terbang bersama mega, mencarimu Jo. Disana, bersama Aay.
(By indrawati basuki, untuk Johan, Dea, dan Frida)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar