Sabtu, 22 Oktober 2016

DONOROJO 6

Pagi2 Suti sudah bangun. Ingin sekali dia menjenguk Ambar di rumahnya. Bagaimana keadaan kakinya? Luka yang kemarin, pagi ini pasti akan terasa lebih sakit, atau mungkin malah membengkak. Kalau dipikir-pikir, masih beruntung kemarin ada mas Wo, yang dengan senang hati bersedia mengantar Ambar sampai ke rumah. Kalau tidak, bagaimana caranya mengantar Ambar? Lantas, siapakah mas Wo itu, dan darimana? Sejak semalam pertanyaan otu secara sadar melingkar-lingkar terus do nenak Suti. Seseorang seperti mas Wo, selama ini tidak pernah ditemui di Kalak. Seseorang dengan kulit sebersih itu dan dengan pakaian serapi dan seapik yang dikenakan.mas Wo. Jarang ada pria muda segagah mas Wo di desa kecil sperti Kalak, kecuali mas nDung. Sudah barang tentu bagi Suti, mas nDung adalah pujaan, karena dia adalah mas kebanggaan keluarga.

"Sut,..." tiba-tiba yu Min datang menghampiri. "Boleh minta tolong?" ujarnya.
Suti tertawa kecil. Biasa, pikir Suti geli. Selalu saja minta tolong dengan suara lembutnya yang rasanya sulit ditolak.
Sambil meneruskan mengepang rambut, Suti balik bertanya, :
"Minta tolong apa sih, yu?"
"Gula ibu habis. Tadi memintaku ke toko oom Yan, tapi..."
"Tapi.... Apa."
"Kamu saja ya yang kesana."
"Kenapa sih yu, keliatannya yu Min wegah banget ke toko oom Yan?"
"Kan ada kamu."
"Apa hubungannya antara 'ada aku dan toko oom Yan', hayo." Suti tertawa menggoda.
Ia tau, oom Yan yang masih muda itu cukup menarik dengan mata birunya. Meskipun dia orang bule, tapi cukup fasih berbahasa Jawa. Dia tidak sombong dan suka sekali menanyakan kabar yu Min pada Suti.
"Kamu kan bisa lebih cepat daripada aku," Mintorini berkilah.
"Makanya, belajar naik sepeda to Yu. Biar bisa lebih sering bertemu oom Yan."
"Hush, maumu! Sudah sana. Ini uangnya. Beli kopi sekalian ya. Rokok Oepet buat kang Triman jangan lupa."
"Aduh aduh, banyak banget titipannya. Aku kan mau ke rumah Ambar sih, Yu. Mumpung hari libur."
"Ya nanti, sesudah dari oom Yan."
"Bisa kesiangan, yu!"
"Halah."
Walau dengan bersungut-sungut, Suti akhirnya mau juga mampir dulu ke toko oom Yan.
Oom berwajah menarik itu tersenyum menyambut pelanggan.kecilnya.
"Butuh apa kowe cah ayu," sapanya.
"Gula, oom. Kopi dan Oepet."
Oom yang baik itu segera meladeninya.
"Bagaimana kabar mbakyumu, non?"
Suti tersenyum sambil menerima belanjaannya.
"Dia baik2saja, oom."
"Bakyumu itu kerasan sekali di rumah. Sekali2ajaklah dia ke toko oom. Nanti kuajarin kalian berbahasa Belanda. Kamu mau kan belajar bahasa Belanda?"
Suti malu2.
"Saya mau oom, tetapi saya tidak tau apa yu Min mau juga? Yu Min susah diajak keluar rumah."
"Lhoh, memang kenapa? Takut disambar elang?"
Suti tertawa geli.
"Malu, oom"
"Malu kepada siapa?"
"Malu, tidak bisa bersepeda."
"Hahaha....." si oom tertawa ngakak.
"Ini, kubawakan permen coklat buat mbakyumu, mudah2an dengan ini, besok sudah bisa bersepeda kesini."
"Halah, oom Yan ada2 saja! "
Suti ikut tertawa.  Cepat2dia bebalik keluar dari toko oom Yan.
Tetapi....uts!
Hampir saja dia bertabrakan dengan seseorang yang juga ingin belanja di toko satu2nya yang ada di Kalak.
"Mas Wo!" Suti memekik senang.
"Kamu?"
"Mas Wo mau kemana?"
"Kamu sendiri, sedang apa disini?"
"Beli gula, mas. Sekarang  mau membawa pulang belanjaan ke rumah."
"Rumah kamu dimana, jauh tidak?"
"Sangat dekat mas, tuh yang di sudut pertigaan.,"
Mas Wo melihat ke arah pertigaan tak jauh dari tempat itu.
"Bukankah itu tempat tinggal pak 'sten'?"
Suti mengngguk. Istilah sten sudah umum di daerah Kalak , Donorojo. Kebanyakan orang menggunakan nama panggilan itu untuk menyingkat kata Asisten Wedana.
"Ya.mas Wo, saya putrinya."
Jiwo menatap wajah Suti lekat2.
"Kamu putrinya pak Yudo?"
Suti mengngguk kencang. Kuatir tidak dipercaya oleh Jiwo.
"Mas Jiwo ndak percaya saya putrinya bapak?"
"Oh.... Bukan. Bukan ndak percaya, saya hanya merasa takjub bahwa pak sten memiliki putri seberani kamu. Berani, dan pinter. Boleh saya mampir ke rumahmu?"
"Untuk apa?"
"Kebetulan saja, saya ada perlu dengan beliau. Kemarin itu saya baru datang dari Madiun,  mengunjungi Patih Prawirohadi di Kabupaten, terus ke pak Wedana. Saya juga ingin bertemu pak Yudonegoro. Beliau ada di rumah, kan?"
Suti mengangguk ragu. Namun akhirnya  setuju mengajak Jiwo ke rumahnya.
"Sebentar ya, mas Wo beli sesuatu dulu untuk oleh2."
"Ah, ndak usah mas Wo!"
Jiwo tersenyum. Tetapi tetap saja dia mendekati oom Yan dan berbicara dalam bahada Belanda dengan oom Yan. Segera saja Suti melihat mereka asyik mengobrol panjang lebar dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Suti. Sesekali Jiwo menoleh kepadanya dan mengangguk-angguk, seakan tengah membicarakannya. Jiwo juga membeli beberapa kaleng biskuit dan gula2. Akhirnya mereka bersalaman. Jiwo memeluk bahu Suti dan berkata sambil tersenyum,:
"Suti, saya tadi bilang sama oom Yan, bahwa sejak minggu depan kamu boleh belajar bahasa Belanda kepadanya dengan gratis. Kamu mau kan?"
Suti terperanjat bukan main.
Sungguh dia tidak pernah bermimpi untuk bisa belajar bahasa secara gratis di rumah oom Yan.
"Sini, kubawakan barangmu," kata Jiwo. Begitu mereka berjalan pulang ke rumah Suti.
"Ndak usah, mas. Terimakasih. Ndak berat kok."
Bagi Suti, naik lagi nilai Jiwo dimatanya, bahwa seorang pribumi begitu fasih berbahasa Belanda, itu menunjukkan sesuatu kelebihannya di mata Suti.
Jiwo menatap mata bola Suti sambil tersenyum.  Entah kenapa, timbul rasa sayangnya pada Suti. Mungkin karena dipandangnya anak itu pinter, polos, dan spontanitasnya cukup tinggi. Jiwo berpikir, apakah mbakyunya  juga seperti yang sudah dia dengar dari paklik R Prawirohadi, sama cerdas seperti adiknya ini ?  Jiwo memang telah banyak mendengar tentang keluarga Yudonegoro dari pakliknya, Patih R. Prawirohadi,  pemangku bupati Pacitan. Bahkan beliau  cenderung mendorongnya untuk lebih mengenal putra putri bapak sten sebelum dirinya dipromosikan sebagai walikota Madiun. Mengapa harus mengenal putra putri pak sten? Mungkin hanya Patih R. Prawirohadi yang tau ada maksud apa  dibalik  semua itu.
(Betsambung)

Jumat, 21 Oktober 2016

DONOROJO 5

Sore hari sesudah ashar, Suti mengambil sepedanya keluar dari pintu samping. Saat siap meluncur, yu Min menjulurkan.kepala dari jendela.
" Hayo, mau kemana kamu!"
"Aduh yu! Kaget aku!"
"Ke Klayar ? Hati2, jangan lewat maghrib!"
"Iyo yo, yu."
"Wis pamit ibu, durung?"
"Wis. Beres yu."
Mintorini ngedumel. Melihat Suti sok meremehkan etika keluarga, itu yang sering membuat Mintorini jengkel.
"Beres.. beres.... Selalu itu jawabnya. Hhhh!!"
Dia hanya bisa membiarkan Suti pergi dengan sepedanya, meluncur kencang sampai hilang dari pandangan.
Tanpa beban Suti memacu sepedanya ke arah selatan. Kemana lagi kalau bukan.ke pantai Klayar. Ditempat sunyi yang hanya dipenuhi suara ombak, adalah tempat dimana Suti sering  membangun fantasinya sendiri.
Pernah suatu malam dibulan Suro, Suti ikut bapak ke pantai. Yang dilakukan, menurut Suti, hanyalah duduk2 saja dipantai sambil menatap ombak. Samasekali tidak terbayang di benaknya bahwa bapak tengah melakukan suatu lelaku spiritual. Sepertinya bapak tengah menghitung debur ombak yang menempias ke pasir pantai. Pada suatu hitungan, Suti melihat bapak melemparkan sesuatu ke laut. Air laut yang tenang mengalun, tiba2 saja mengalun.lebih deras. Yang tadinya hanya mencapai tepi pantai, mendadak kini datang menempias hingga mencapai tempat duduk bapak. Namun tak sedikitpun bapak ingin bergeser dari tempat duduknya.  Celana panjang bapak basah hingga ke lutut. Bapak seakan tidak peduli. Suti  menengok ke wajah bapak. Tetapi wajah bapak yang beku membuatnya takut untuk bertanya. Suti kedinginan saat lidah ombak mulai membadahi gaunnya. Dia ingin surut ke belakang, namun tangan bapak memegang telapak rangannya lebih erat.
"Diam disitu," desis bapak. "Jangan bergerak."
"Pak..."
"Hush. Diam kata bapak ya diam. Jangan menoleh. Dibelakangmu ada ular."
Namun secara refleks, Suti menengok. Dan benar, seekor ular besar menjalar perlahan melewati belakang mereka.
Pias kulit wajah Suti. Namun tangan bapak telah memeluknya erat dan.menjaganya untuk tidak melompat dan lari dari tempat itu.
Ombak yang semakin besar datang bersamaan dengan berhembusnya angin kencang. Kini pakaian bapak dan Suti sudah basah kuyup. Suti merasakan dingin luar bisa. Giginya gemeletuk dan tubuh kecilnya gemetar.
"Lihat," kata bapak sambil menunjuk ke arah laut yang bergelora dengan isyarat gerakan dagu.
"Sudah kau lihat, ada apa di laut sana itu?"
Suti membelalakkan mata. Namun yang nampak hanya air laut yang membuncah ganas. Kekelaman langit tanpa bintang. Dan hempasan angin kencang.
"Sudah bisa kau lihat?"
"Ya."
"Apa yang nampak.olehmu?" Senyum bapak membias, seakan tau  kebingungan Suti.
"Gombang besar?" Jawab Suti ragu.
Bapak meletakkan ujung ibu jarinya ke kening Suti, dan menekannya perlahan.
"Sini, bapak bukakan indera ke enammu supaya kau bisa melihat lebih jelas apa yang bapak maksud."
Demi Tuhan Yang Maha Perkasa..... kini Suti bisa melihat dengan sangat jelas, seekor naga besar - atau ular?-  tengah menjalar diantara lidah-lidah ombak yang menjulur tinggi
Suatu pemandangan yang sangat menakjubkan dari alam yang samasekali tidak.pernah terjamah oleh pikiran Suti pada saat itu. Yang samasekali tidak pernah disadarinya bahwa bapak bisa melakukan itu semua, melihat dengan mata telanjang apa yang selama ini tak berbayang olehnya. Bapak memang luar biasa. Bagi Suti, bapak adalah segalanya.
"Kamu takut?" tanya bapak.
Suti menggeleng cepat.
"Yakin, kamu tidak takut?"
"Kan ada bapak."
"Kalau sendirian?"
Suti bersandar ke dada bapak.
"Suti ndak mungkin sendirian kesini malam2 , pak."
"Hahaha..... " bapak uertawa lebar. Memburai kepala Suti dengan gemas.
"Pinter anak bapak " ujarnya.
Kejadian  bersama bapak pada malam sasi suro itu, sungguh tidak akan pernah Suti lupakan sampai kapanpun.. .
Kini Suti seringkali mengajak beberapa temannya bersepeda ke pantai. Kendati ada pemandangan khusus bisa dilihatnya dari arah segara kidul, tak sekalipun dia menceritakannya pada teman2 bermainnya. Bahkan kepada yu Min pun tidak. Biarlah itu menjadi rahasianya bersama bapak.

Beberapa teman sudah ikut bergabung dengan sepeda masing2 . Seperti biasa, Sutilah juru komando diantara mereka. Sepefa dipacu sekencang-kencangnya dari arah timur ke barat. Baru berhenti bila sudah sampai di tebing tertinggi di sisi barat. Sepeda akan berhenti dengan sendirinya saat roda depan menumbuk batu karang. Tak lupa selalu diiringi pekikan  perang ala indian. Lalu beramai-ramai balik lagi ke timur. Sepeda meliuk liuk kadang sampai menyentuh laut yang tenang menemani. Tak ada takut samasekali. Kadang, ada yang iseng berteriak memanggil poleng.
Kegembiraan  seperti itulah yang bagi Suti tiada bandingannya. Hingga tiba-tiba salah seorang diantaranya jatuh. Kaki kirinya masuk ke jeruji roda. Teriakannya menyadarkan Suti bahwa hari sudah mulai gelap. Maghrib.
"Sutiii....! " teman2nya memanggil. Terkesiap Suti menghentikan sepeda, berputar balik menghampiri.
"Ambar jatuh. Kakinya luka!"
Suti melemparkan sepeda begitu saja. Mati aku pikirnya. Bagaimana kalau patah?
Kaki Ambar memang luka pada nagian mata kakinya. Pasti sakit sekali. Ambar mulai melelehkan airmata.
"Tenang, mBar. Tenang,"kata Suti.
"Aduh bagaimana ini, Sut?"
Teman2 nakal itu mulai gelisah.
"Ada yang bawa saputangan, ndak?"
Mereka semua menggeleng.
"Kita gendong aja Sut.,"
"Gendong gimana, dia lebih besar dari kita."
"Kita tandu."
"Tandu ko ngendi !"
"Masih bisa jalan, mBar?"
Ambar cuma meringis menahan sakit. Oh, dia sudah sangat kesakitan, pikir Suti. Mana mungkin dia sanggup jalan kaki atau bersepeda pulang ke rumah.
Ditengah kebingungan itu tiba2 ada yang lewat. Seorang pria muda dengan pakaian sangat rapi tersenyum menghampiri.
"Ada apa ini, adik2?"
Anak2 itu saling berpandangan tak ada yang berani menjawab.
Mereka hanya bergeser ke pinggir memberi ruang  agar pria itu bisa melihat luka Ambar.
Setelah memeriksa kaki Ambar, pria itu mengambil sehelai saputangan dari dalam saku celananya,  dan dengan tenang dia membalut luka Ambar dengan saputangannya. Lalu tersenyum.
Katanya,
"Sudah beres, kan?"
Anak2 bernafas lega.
"Terimakasih, pak," cetus Suti. Teman2nya juga ikut berterimakasih.
"Ah, jangan panggil pak. Panggil saja mas Wo. Nama saya Jiwo.Kalian siapa?"
"Saya Sutiarsih."
"Saya Dinuk."
"Ambar."
"Kalian tinggal dimana?"
"Donorojo."
"Hmm jauh ya? Baiknya saya antar kalian. Ada boncengannya, ndak? Bagus kalau ada. Ambar biar saya bonceng, yuk. Sekalian saya numpang salat di rumah kalian."
(Bersambung lagiii)

Kamis, 20 Oktober 2016

DONOROJO 4

Betapa kaget bapak, ketika ibu menceritakan peristiwa itu kepadanya
"Aneh sekali, " kata bapak. "Besok, pagi2 sekali bapak akan kesana. Ikut menyampaikan.keprihatinan kita atas kejadian itu. Bagaimana Sindung, sudah pulang?"
"Itulah yang kupikirkan. Sudah dua hari lhoh pak, dia pergi. Mudah2an ndak apa2."
"Bukankah dia pergi bersama teman2nya seperti biasanya?"
Sebelum.menjawab ibu terdiam beberapa saat.
"Maaf ya pak, aku baru tau bahwa ternyata Sindung kesana sendirian saja."
Bapak mengerutkan kening. Katanya, :
"Ibu tau? Ada beberapa jalur untuk pendakian. Kalau kita kurang memahami, bisa2 kita salah memilih jalur yang rawan begal."
"MashaaAllah, pak...."
"Itulah makanya, tidak mudah mendaki gunung Lawu. Tidak boleh sembarangan. "
"Terus piye iki, pak?"
"Biar besok bapak susul dia."
"Bapak tau dimana bisa menemukan Sindung?"
"Berdoalah, bu. Mudah2an sebelum gelap bapak sudah bertemu dengannya."

Maka pagi2, setelah mengunjungi Mangundirejo,  bapak bersiap siap ke Plaosan bersama salah seorang pembantunya, Triman.
"Ayo, ngancani aku Man. Ke gunung Lawu."
"Lhah lhah. Belum suro kok ndoro kakung sudah mau nyepi kesana?"
Bapak tertawa lebar.
" Ngawur! Sing arep nyepi ki sopo! Aku ajak kamu menyusul mas Sindung. Gelem po ra?"
"Oalaa ndoro, mana berani saya menolak. Monggo, saya sopiri. Kemanapun, saya sanggup."
"Ya sudah, sana. Siapkan mobilnya Man."
Tanpa banyak bertanya, Triman segera berlari lari kecil menyiapkan kendaraan. Bapak berharap, sebelum malam, Sindung sudah ditemukan. Nalurinya bicara, pastilah Sindung pergi ke Cemoro Sewu.
Sebagaimana pengetauan bapak selama ini kebanyakan orang2 ,pelaku spiritual lebih memilih jalur melalui  Candi Cetho karena beranggapan bahwa pintu masuk ke gunung Lawu arah depannya adalah dari atas Candi Cetho. Sedangkan sebagian orang meyakini bahwa Cemoro Sewu adalah pintu belakang.
Disebutkan, jika melewati jalur Candi Cetho orang akan.melewati berbagai lokasi yang masih disakralkan. Antara lain Candi Cetho dan Candi Kethek. Dari sana akhirnya pendaki akan memasuki wilayah yang dipercaya masyarakat setempat sebagai pintu masuk kerajaan makhluk ghaib yang diwujudkan dalam bentuk dua batang pohon cemara besar yang saling berdampingan selayaknya pintu gerbang yang dikenal dengan nama Cemoro Kembar. Konon, disitulah letak pintu masuk pasar setan di letrng gunung Lawu.
Secara misterius ditempat ini bisa saja secara tiba2 api muncul . Karena itulah, bapak sangat mengkhawatirkan mas mbarep. Sindung masih terlalu  muda, dan awam dalam hal menelusuri sudut2 gunung Lawu yang penuh misteri.

Bapak melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju puncak gunung Lawu yang diawali dari pintu gerbang Cemoro Sewu. Berdua dengan Triman, abdi setianya, bapak berjalan menelusuri  jalan setapak berbatu yang tertata dibawah keteduhan pohon cemara yang tumbuh di kanan kiri jalur pendakian.
Setelah melewati gerbang pendakian bapak memasuki wilayah dimana pepohonan pinus  tumbuh lebat, udara yang dingin dan sejuk, serta berbagai bongkahan tebing yang apik. Bapak bahkan mendapati suasana kabut tebal yang indah disertai kicau burung Lawu yang sangat merdu.
Indah sekali, pikir bapak. Tempat seperti inikah yang bisa menghapus semua kepedihan hati seseorang?
Agak kedalam lagi bapak dan Triman berjalan, ketika tiba2 Triman menunjuk kearah sesuatu."itu denmas Sindung!"
Benar.
Bapak melihat Sindung duduk bersandar ke batang pinus sambil memeluk tas kulit miliknya. Sepertinya tertidur. Atau kelelahan? Pingsan? Ya Allah!!
Bapak menghampirinya, mengguncang gincang agar terbangun.
"Saya menemukan buah ini bergulir dekat kaki denmas," kata Triman tiba2.
Bapak menengok.
"Buah apa."
"Jeruk."
Bapak menerima uluran buah dari tangan Triman. Melihat berkeliling seakan.mencari dari mana asal buah itu jatuh.
"Disini cuma ada pohon cemara, ndoro."
"Ya. Tidak ada tumbuh pohon jeruk. Lantas, darimana buah ini jatuh?"
"Dari dalam tas denmas, mungkin?"
Bapak mengalihkan tatapan.matanya ke wajah Sindung yang mulai menggeliat.
"Ndung....Sindung. Bangun ngger. Kau tidur atau pingsan?"
Perlahan Sindung membuka mata, dan begitu tau ada bapak didepannya, dia beringsut lebih tegak. Bapak tersenyum.lega ketika dengan wajah malu, Sindung mengulas senyum di bibirnya.
"Kau tidur atau pingsan?" bapak mengulang pertanyaannya.
"Saya mungkin tertidur,. Capek. Pak"
"Hmm. Terbukti kamu itu masih bayi ingusan. Begitu saja sudah capek. Kalah sama bapakmu. Nih. Kamu sampai tidak merasa jerukmu ngglundung keluar dari tas"
Sindung menerima jeruk dari tangan bapak, menatap heran, dari wajah bapak ke jeruk bergantian.
"Kenapa, kamu masih bingung?"
"Pak,... Saya kan ndak suka jeruk. Mana mungkin saya bawa2 jeruk dalam tas."
Lama bapak terdiam. Berpikir tentang keanehan itu.
"Mungkin,..." kata bapak, :"ada maksud atau pesan melalui jeruk itu. Makanlah. Suka atau tidak, makanlah. Kekuatanmu akan segera pulih."
Dengan ragu, Sindung mengupas dan mencicipnya. Biasanya Sindung akan menolak mentah2 mengkonsumsi buah itu, tetapi karena bapak yang memerintahkan. maka.....
"Bagaimana, enak?" Tanya bapak.
Sindung mengangguk. Ya, tak bisa dipungkiri. Jeruk itu manis sekali. Lembut dan dingin seperti baru saja keluar dari lemari es.
"Seger ya?"
Sindung tertawa. Buah itu tidak habis dimakannya, walau terasa sangat segar dan manis. Mendadak dia ingat pada Triman.yang duduk bersila didekatnya.
"Man, ini masih ada sisanya ...Kamu mau?"
Triman malu2.
"Sudah, terimalah Man."
Bapak kemudian menarik tangan Sindung untuk berdiri. Tapi rupanya Sindung masih ingin menyampaikan sesuatu pada bapak.
"Bapak,.... Bagaimana dengan pernikahan Tining?" tanyanya.
"Apa itu penting buatmu untuk mengetauinya?"
"Tadi saya sempat tertidur pulas."
"Ya, bapak tau. Kamu bermimpi?"
"Saya bermimpi Tining datang pada saya, cantik sekali,... Lalu..dia memberi saja jeruk manis. Jeruk, pak. Seperti yang tadi bapak berikan pada saya ."
"Allahu Akbar."
"Tining baik2 saja, kan pak? Dia bahagia kan?"
Cukup lama bapak terdiam. Bapak harus menenangkan gejolak batinnya sejenak, karena kalau dipaksa berbicara, bapak tak ingin suaranya terdengar bergetar. Tidak juga ingin.membalas tatap mata memohon didepannya. Mata bapak terasa panas. Pilek, tiba2. Tenggorokan kering. Oalah, ngger..... Bagaimana bapak harus ngomong tentang gadis idamanmu,  sekaligus teman bermainmu semasa kecil dulu?
"Bapak..... Apa yang terjadi dengan Tining?"
Bapak mengangkat wajah.
"Apa yang kau rasakan, nDung?"
"Saya merasa...ada yang hilang dari hati saya."
"Kemudian, apalagi?"
"Seakan.... Seperti kata bapak tadi, ada pesan yang ingin disampaikan."
Bapak menjentikkan jari,
"Pas seperti itu."
"Pas?"
"Memang ada yang harus bapak sampaikan. Biarlah bapak mewakili pesannya untukmu."
Sindung memandang bapak tanpa kedip. Jauh dilubuk hati, Sindung merasakan kesedihan yang amat dalam. Kesedihan, kekecewaan, rasa kehilangan, rasa dikhianati, berbaur jadi satu. Ingin ditepis jauh, namun justru ditempat sepi seperti ini, kenangan  bersama Tining seakan akan cakar yang mencengkeram batok kepalanya, siap meremukkan benaknya sekaligus.
"Dengar ngger. Menurut bapak, apa yang ada antara dirimu dan dia, total, sudah selesai."
"Kenapa bapak  bilang begitu? "
"Dia sudah menikah.  Kau sadar akan hal itu?"
"Saya hanya sekadar ingin tau pak, apakah..."
"Yakin, kau hanya ingin tau?"
"Ya pak. InshaaAllah."
Bapak menegakkan punggung.
" Bapak tau, kamu sudah merasa sebelumnya. Bahwa dengan pernikahan itu..."
Sindung menukas cepat. "Benarkah dia dikehendaki Ronggo?"
Bapak mengangguk.
"Benar."
Luruh bahu Sindung. Luruh semua harapannya bersama hempasan sebilah pedang yang menebas hati. Apalagi kini yang harus ditangisi? Bukankah semua seakan terpapar jelas di matanya?
"Sudah dimakamkan?"
"Kemarin,"
Sindung memejam. Terbayang kembali mimpinya barusan, bahwa dengan sangat jelas dilihatnya Tining datang dengan membawa  benerapa buah jeruk dalam pelukan, dan mengulurkan sebuah yang paling besar  dan ranum kepadanya sambil melepas senyumnya yang manis. Jadi inilah maksudnya. Tining ingin meninggalkan suatu kenangan dan cinta, mungkin, kepadanya. Sebuah cinta sejati, cinta yang tumbuh sejak masa kanak2 yang manis dan tulus. Kasih sayang yang tak tertandingi.
Bapak merengkuh bahunya dan.menenggelamkan  kepala Sindung dalam2 kedadanya.  Dirasakannya kemudian tubuh tinggi lampai itu bergetar. Tak terdengar isak,  hanya semacam desah halus menyebut asma Allah berkali kali dari mulut Sindung.
Disampingnya, Triman menghapus mata yang basah.
"Menangislah, biar lega dadamu." Bisik bapak ditelinganya. Lupa sudah akan pesannya dulu pada Sindung kecil bila anak itu menangis. Dulu, bapak selalu membentak,  :"Jangan nangis, anak laki2 pantang menangis!"
Sindung melepaskan diri dari pelukan bapak. Mendesah halus:
"Astaghfirullahal afziim...."
Lama sesudah itu, bapak berhasil mengajaknya berdiri, berjalan ke areal parkir yang lumayan.jauhnya untuk pulang.
(Bersambung)

Sabtu, 01 Oktober 2016

DONOROJO 2

Pagi hari di tahun 1933. Bisa dikatakan udara di Kalak Donorojo, amat cerah. Matahari pagi bersinar ramah. Lingkungan hijau membiaskan.ketenteraman dan kedamaian di hati. Menurut hitungan Jawa, hari ini amat baik untuk hajatan. Untuk itulah sejak tadi malam semua kegiatan perhelatan mulai nampak di rumah keluarga Mangundirejo.
Putri sulungnya akan melakukan ijab kabul pada pukul delapan pagi ini.
Perias pengantin bergegas masuk kamar menemui sang pengantin, Tining Respati.
"Piye, Ning? Sudah siap lahir batinmu, nduk?"
" Pangestunya, bu Dewo. Saya siap."
"Bagus. Alhamdulillah. Sini, kubetulkan sanggulmu."
Tining membiarkan tangan2 trampil bu Dewo. bekerja. Sambil membenahi bunga hiasan sanggul gelung, ibu Dewo meneruskan mengobrol dan sedikit memberikan wejangan.
"Jam berapa masmu Ronggo datang?" Akhirnya beliau bertanya.
"Rencananya pukul delapan, bu Dewo."
Perias menengok arloji ditangannya.
"Setengah jam lagi. Hmmm.mudah2an tepat waktu. Semua sudah dihitung njlimet, kalau terlambat iso ciloko."
"Ciloko bagaimana to bu."
"Yo wislah, ndak perlu was2. Kita berdoa saja."
Tining tersenyum. Ditatapnya cermin yang memantulkan wajah dan riasannya yang sangat cantik.
"Kamu cantik sekali, Ning. Belum pernah aku mendapat pengantin secantik ini dalam riasanku. Sebentar, kupanggilkan fotografernya dulu."
Diluar kamar beliau bertemu bu  Yudo, orangtua Sindung.
Mereka bersalaman, menanyakan.kabar masing2.
Percakapan mereka tiba2 terputus oleh suara petir yang dahsyat.
"Aduh, keras banget petirnya. Ada apa ini?"
Para tamu yang sudah berdatangan, berhamburan keluar. Langit yang tadinya biru bersih, mendadak gelap. Awan hitam datang selapis demi selapis. Angin yang berhembus tak.lagi hangat dan ramah. Namun sedikit menghempas. Daun2 gugur. Pintu dan.jendela terbanting, menutup keras. Orang2 mulai cemas. Ada yang berlari pulang, ada yang mencoba masuk.lebih dalam ke rumah  Mangundirejo.
Begitu terdengar suara gemuruh dari arah selatan ,  seseorang berteriak:
"Kalian dengar itu?  Suara gemuruh seperti.ombak..oh. Bukan....!!  itu bahkan seperti suara derap kaki kuda. Beratus ratus kuda seakan berlari berderap derap memasuki Donorojo. Ayo tutup semua pintu. Pukul kentongan! Itu lampor!"
"Lampor?"
"Ya. Itu lampor!"
"Pukul kentongan!!"
Orang mulai memukul kentongan, atau pantat panci, atau piring, atau apa saja asalkan menimbulkan bunyi yang hiruk pikuk. Sambil berteriak teriak mereka memukul kentongan bertalu talu:  "Lampor....lampor...!"
Suara gemuruh telapak kaki kuda kian dekat. Kini bahkan disertai turunnya hujan lebat, angin kencang, dan awan tebal yang menutup matahari.  Para ibu bergegas mengambil daun janur kuning, dan mengikatkannya pada pintu2 pagar rumah. Inilah yang pernah dipesan oleh Tining. Janur kuning!
Tining mendengar semua keributan itu. Bahkan dia melihat dari jendela kamar,  bagaimana ganasnya badai menguliti tenda di halaman.
Bu Dewo masuk dengan bibir pucat.
"Ada, apa?" Tining bertanya.
Bu Dewo menutup jendela, kemudian menyahut dengan suara gemetar:
"Udan bledek angin ribut!"
(Hujan badai yg disertai petir)
"Pertanda apa?"
"Nduk,.." kata bu Dewo. "Sekarang duduklah. Aku mau bertanya dan kau harus menjawabnya dengan jujur."
"Apa yang akan ibu tanyakan?"
"Sebenarnya dengan siapa kau akan  menikah?"
"Dengan mas Ronggo."
"Kau tau tidak, siapakah dia? Putra siapakah Ronggo itu?"
Ragu, Tining menggeleng.
"Kau tidak tau? Lantas siapa yang datang melamarmu tempo hari?"
Tining menunduk malu namun kedua bilah pipinya memerah, saat membalas tatapan bu Dewo.sepasang matanya berbinar.
"Mas Ronggo sendiri  yang datang memintaku."
"Oalaaah....nduk....! Sudah takdirmu diperistri Raden Ronggo. Maka tidak mengherankan bila saat ini kau dijemput oleh pengawal2nya. Sekarang, kuijinkan kau membuka.jendela kamarmu, berdirilah di ambang jendela. Tataplah langit, dan bersyukurlah atas semua kehendak Yang Maha Kuasa." Tanpa memahami apa yang dimaksud ibu perias pengantin, perlahan Tining berjalan.ke jendela. Membukanya lebar2. dan menatap langit kelam di luar sana.
Tak tahan melihatnya, ibu perias mendekap wajah dan.menangis.
Angin kencang menerobos masuk. Mengguncang semua perabotan seakan dilanda gempa. Tirai berkibar hingga ke langit2 kamar. Gemuruh kaki kuda yang berderap perlahan menjauh. Badaipun mulai reda. Langit tak lagi gelap. Angin diam seakan berubah menjadi timbreng. Suasana mendadak sepi. Nyenyet nggremet.
Ibu perias membuka mata, dan melihat Tining tergeletak di lantai.
"Astaghfirullahal adziim.... duh Gustiiiiii....."
Beliau berteriak  sekencang kencangnya, memanggil semua orang. Kepanikan segera mewarnai pagi. Ibu perias menengok  arloji di pergelangan tangannya. Jarum jam bergerak pasti.  Pas pukul delapan. Ya Allah......ini kekuasaanMu. Apapun  yang terjadi di alam ini adalah atas ijin dan kehendakMu juga.
Ibunda sang pengantin pingsan seketika. Seseorang membawa Tining ke dipan. Menepuk nepuk pipi dan memanggil manggil namanya.
"Raba nadinya,"
"Kosong."
"Kosong? Kosong bagaimana!"
"Sudah berhenti bapak. Sudah tidak  berdetak lagi. Tining sud ...sud ..."
"Sudah ndak ada?"
Tangis kerabatpun pecah.
"Innalilahi wa innailaihi rojiuuun..."
"Bagaimana bisa?"
"Panggil mbah Jimat!"
Dunia kecil itu mendadak seperti kiamat. Tangis. Gumam. Sesal. Semuanya berbaur bersama kemarahan  Mangundirejo yang tiba2 membuncah tanpa arah. Kalau saja tidak dihalang halangi  hampir saja dia memporakporandakan kamar pengantin dengan keris pusaka yang dihunusnya. Baru saja disadarinya, bahwa Ronggo yang selama ini selalu datang dengan senyum tampannya, adalah bukan.manusia biasa.
Mbah Jimat yang dikenal sebagai ahli tirakat, datang. Memeriksa jenazah Tining dengan cara memijit ujung ibu jari kaki dan membaca doa. Orangtua itu menghela nafas panjang.
"Maaf, mana orangtuanya?"
Mangundirejo mendekat.
Mbah Jimat berbisik lirih ditelinganya, :
"Jisim ini bukan anakmu, nakmas"
Mangundirejo menatap tak mengerti.
"Jisim ini bukan tubuh manusia seperti yang terlihat. Ini batang pisang."
Mangundirejo medekap dada kirinya yang dirasakannya mendadak nyeri luar biasa. Laki2separoh baya itu terhuyung. Namun dengan sigap mbah Jimat menahannya agar tidak jatuh. Diusapnya wajah Mangundirejo dengan telapak tangan dan diajaknya duduk di kursi.
"Kamu harus ikhlas. Ini semua sudah suratan. Kuatkan dirimu menerima semuanya ini, nakmas. Tanggungjawabmu bagi keluargamu masih dibutuhkan. Ketauilah, bagimu anakmu itu tidak mati. Dia pindah. Dari dunia kita ini ke dunia ghaib. Sewaktu waktu, dia akan.pulang menengokmu. Percayalah."
"Bagaimana itu bisa tetjadi, mbah?"
Mbah Jimat tersenyum..
"Anakmu dikehendaki putra ibu Ratu Kidul. Itu putra kesayangannya, putra yang diberi oleh kanjeng Panembahan Senopati saat beliau2 bertemu di watu gilang. Kau pernah mendengar itu kan? Maka, adalah suatu kehormatan bagimu apabila ternyata putrimu diperistri Raden Ronggo."
Kamar yang sedianya untuk pengantin, mendadak sepi. Semua orang sudah pergi diam2. Yang tersisa hanya aroma kembang melati dan kantil. Begitu harum memenuhi udara kamar.
Mangundirejo bersimpuh di kaki jenazah, menangis pilu.
Mbah Jimat menepuk nepuk bahunya yang terguncang guncang oleh isak tangis.
"Dia ini pembarepku, mbah. Anak kesayangan kami semua. Dia anak yang baik. Yang taat pada orangtua...." tangisnya tertahan tahan.
"Sesuatu yang sempurna milik kita memang lebih cepat diambil, nakmas. Sudahlah. Sebaiknya perlakukan jisim ini dengan semestinya. Lebih cepat lebih baik. Agar tidak semakin menimbulkan fitnah."
Mangundirejo mengangguk.
Maka pagi yang seharusnya indah, mendadak berubah kelabu. Betapa cepat segala desuatu berubah.  Adalah benar bahwa,kebahagiaan dan kesedihan bukanlah milik kita semata. Karena sudah ada yang lebih berhak mengatur dan memilikinya.
(Bersambung)

DONOROJO 3

PACITAN 1933
Pacitan merupakan sebuah kota kabupaten, yang dikelilingi oleh bukit bukit. Wilayah kota ini merupakan inti pemerintahan yang berupa dataran rendah. Selebihnya berupa daerah pantai yang memanjang dari Barat sampai ke Timur pada bagian Selatan.
Secara keseluruhan Pacitan terletak pada sebuah lembah ditepi teluk Pacitan dan dialiri sungai Grindulu yang membentang dari wilayah Selatan menuju pantai Teleng. Kawedanan (sekarang kecamatan) Donorojo, adalah bagian dari kabupaten Pacitan. Tahun ini posisi bupati sedang kosong. Pemerintah daerah menetapkan      Patih .R. Prawirohadi sebagai pemangku jabatan bupati. Seluruh wedana dan wakilnya  harus hadir di kantor kabupaten saat pelantikan.
Itu sebabnya, walaupun Yudo, orangtua Sindung, diminta sebagai saksi akad nikah putri Mangundirejo, tetap tidak bisa menghadirinya.

Pagi2 sekali bapak sudah bersiap siap  berangkat ke Pacitan, kendati dengan berat hati, minta ijin pada Mangundirejo untuk ketidak hadirannya sebagai saksi pernikahan putri sahabatnya itu.
Kepada ibu, bapak berpesan, :
"Kita bagi tugas, bu. Ibu datang ke pernikahan Tining. Bawalah anak2. Bapak harus mendampingi pak Wedana ke kantor kabupaten.mudah2an sore sudah pulang. Bagaimana dengan Sindung? Kalau dia cukup tegar, bawalah serta."
Sambil mengambilkan sepatu bapak dari rak, ibu menjawab :
"Sejak kemarin Sindung pergi ke Lawu."
"Mendaki lagi?"
"Mungkin melarikan kepedihan hatinya, pak. Siapa sangka Tining tiba2 memutuskan untuk menikah. Dengan orang lain, pula."
"Dia pergi bersama teman2nya?"
"Katanya sih, begitu."
Bapak mendesah dengan hati risau
"Anak2 memang masih suka emosional. Ya sudahlah, doakan saja supaya tidak terjadi hal2 yang buruk atas diri anak2 kita. Bapak berangkat dulu ya bu."
Ibu mengantarkan bapak sampai ke kendaraan dinas yang akan.membawanya ke kabupaten. Bapak tetsenyum sambil melambaikan tangan hingga kendaraan itu menghilang di tikungan jalan.    Kemesraan antara bapak dan ibu tak.pernah luput dari mata anak2nya. Mereka selalu berharap dan berdoa, agar kemesraan bapak kepada ibu akan diberikan juga oleh pemilik hidup menular kepada mereka, anak2nya. 
Kemudian ibu bergegas berangkat bersama Mintorini dan Suti, ke rumah Mangundirejo.
Siapa yang akan menduga, betapa menyedihkan acara yang mereka hadiri pagi itu.
Kini wajah Tining tak nampak berseri lagi. Bibirnya tak lagi ranum. Sepasang mata indahnya tak lagi gemerlap. Sekujur tubuh gadis itu kini tersembunyi dibalik kain batik yang digelarkan orang. Bau harum melati, kantil dan kenanga berbaur dengan asap setanggi dan ratus pengantin.
Di sudut ruang, Mintorini tak hentinya mengeringkan airmata. Tak masuk dalam akalnya, bagaimana bisa Tining terperangkap dalam satu hubungan yang aneh dengan alam ghaib? Dicobanya membayangkan, seperti apa sih wajah Raden Ronggo yang melegenda itu?
Menurut cerita dari mulut ke mulut, Raden Ronggo adalah putra bu Ratu Kidul dengan Kanjeng Panembahan Senopati saat mereka nettemu di watu gilang.
Masuk dalam alam pikiran Mintorini, bahwa pernikahan itu bisa saja terjadi antara manusia dengan manusia ghaib. Tetapi manusia yang bagaimana dulu. Katena yang bisa melakukannya hanyaamusia pilihan. Hanya manusia linuwih yang bisa melakukannya. Manusia yang punya kekuatan mengendalikan sesuatu yang tidak kasatmata. Seperti Kanjeng Panembahan Senopati.
Maka ketika Raden Ronggo mulai beranjak dewasa, diapun tumbuh sebagai kesatria yang juga linuwih. Sakti mandraguna. Namun disisi lain, pangeran berwajah tampan itu punya sifat brangasan, dan mbelis (nakal) luar biasa, hingga ayahnya tak kuasa lagi mengatasinya. Maka kanjeng Ratu Kidul mengambil alih Raden Ronggo, membawanya ke laut kidul.
Begitulah cerita itu menebar bagai virus. Menjadi santapan melegenda di kalangan warga pesisir.
Dengan adanya kejadian ini ,..mau tidak mau, cerita itu kandas dalam alam pikiran orang2. Bukan lagi sekadar sebuah legenda atau kabar angin, tetapi bahkan kian.merasuk ke dalam darah dan daging mereka.
Kini kesibukan yang kemudian terjadi bukan lagi perhelatan pernikahan, melainkan persiapan pengebumian seorang gadis, putri pembayun keluarga Mangundirejo.
Ibunda almarhumah tak henti2nya meratapi kejadian itu.
"Apa salah saya... Dimana salahnya hingga semua ini terjadi di rumah saya?"
Para ibu tak sanggup memberikan alasan atau jawaban yang tepat, karena mereka sama bingungnya dengan bu Mangundirejo. Seumur umur, baru sekali ini ditemui kejadian serupa itu, bahwa tanpa ba bi bu, tanpa melakukan kesalahan atau pelanggaran apapun terhadap hal2 yang tabu, tiba2 saja penguasa laut selatan merenggut paksa begitu saja putri bu Mangundirejo.
Kendati Mangundirejo tau, sebagaimana yang   dikatakan mbah Jimat bahwa jisim itu bukan lagi jisim putrinya, tetapi batang pisang, jenazah itu tetap diupokoro sebagaimana mestinya.
Jenazah tetap dimandikan, dikafani, disholatkan,  dan dibawa ke makam umum dengan iringan doa. Banyak tetangga yang ikut mengantar sampai ke makam. Kalau saja mereka tau, bahwa begitu jenazah  yang dimasukkan ke liang lahat akan segera berubah menjadi batang pisang, ......
Lantas, pertanyaannya adalah, kemana Tining?
Wallahu alam. Tidak ada yang berani atau sampai hati untuk menanyakannya bahkan kepada mbah Jimat sekalipun . Mereka
percaya bahwa apa yang terjadi saat itu adalah atas ijin Yang Maha Kuasa.
(Bersambung)

Senin, 26 September 2016

DONOROJO : 1

Ds KALAK, kecamatan DONOROJO.
Malam baru saja menggantikan petang. Belum lagi masuk waktu isya ketika Sindung Aliwawar tiba di depan rumah Tining. Tak seperti biasa, rumah beratap joglo itu terlihat lebih temaram . Sindung membuka pagar. Sambil mengatupkan.pintu pagar kembali, Sindung berpikir, apakah Tining Sudah tidur? Perlahan diketuknya pintu. Menunggu sebentar, sebentuk wajah ayu kemudian muncul,  dan tersenyum manis kepadanya.
"Sudah tidur, Ning?"
Gadis manis berambut ikal itu melebarkan senyum
"Belum," jawabnya. "Masuklah, nDung. Kebetulan bapak dan ibu sedang keluar."
"Adik2?"
"Ada di kamar."
Sindung mengambil tempat duduk, menatap kagum wajah dan penampilan kekasihnya.
"Rapi banget, Ning. Ada tencana pergi kemana?"
Tining tersipu, menyibakkan  rambut dan melempar tawa kecil.
"Ah, ndak kemana mana."
"Cantik banget dandananmu lho."
"Masa iya?"
"Tumben2an dandan seperti itu. Baumu harum, ....wanginya kembang kantil "
Sindung tertawa menggoda.
"Seperti gadis yang mau dikawinin, Ning. ...seperti mau jadi manten"
"Hush, kok kamu ngomongnya gitu sih."
"Aku kagum melihatmu begini."
Tining menunduk. Beberapa helai anak rambut jatuh menutupi sebagian wajahnya.  Lama mereka saling terdiam, hingga Sindung merasakan sedikit sesak dalam dadanya. Ada firasat. Firasat yang tak pernah bisa dimengerti oleh Sindung. Perasaan hampa, atau apa. Sungguh yang dirasakan Sindung cuma kegundahan tanpa sebab.
Hingga akhirnya Sindung memberanikan diri bertanya:
"Ning...."
"Aku memang mau jadi manten nDung." Tining menukas cepat.
Kalaulah ada kalajengking menyengat, mungkin Sindung tidak akan sekaget itu.
Tergagap dia bertanya:
"Aapaa, apa yang kamu maksud?"
"Kau sudah mendengar. Aku memang akan menjadi pengantin tidak lama lagi."
"Maksudmu dengan...." Sindung menunjuk kedadanya sendiri.
Tining menggeleng
Sindung jadi blingsatan.
"Jadi,... Dengan siapa kau akan..."
"Kau tidak mengenalnya."
"Gusti Allah...!"
Sindung meremas rambutnya. Kepalanya serasa pecah. Jadi selama ini kita ngapain saja, Tining? Hah? Kukira kau perempuan paling manis yang menggenggam kesetiaan sampai mati. Minimal sampai kita memasuki gerbang pernikahan. Ternyata...astaganaga! Ya Allah ya Gusti....paringono kiyat!
Tining terlihat begitu tenang menatapnya. Begitu manis menikmati kegalauan Sindung. Begitu dingin melihat kehancuran kekasih hati yang selama ini amat sangat tetlihat mencintainya. Tak seorangpun di desa kecil itu akan menyangkal, betapa keduanya selalu terlihat mesra dimana mana.
"Maaf, nDung. Aku...."
Sindung menngelus dada. Menyisir rambut dengan.jemari, berusaha tenang, berusaha kalem, tidak brangasan, tidak mencaci, tidak mengumpat, tidak membiarkan niat buruknya ingin jadi pembunuh.
Dia cuma bertanya datar:
"Dimana kau mengenal laki2 itu?"
"Di pesisir."
"Kapan?"
"Maaf, nDung. Aku lupa."
Sindung mengatubkan bibir kuat2. Mengertakkan geraham menahan pekik kemarahan yang nyaris meledakkan dada. Sepasang matanya menatap kuyu. Sedikit berair. Terasa seperti mengandung pasir.
"Lupa...?" desisnya. "Bagus. Maka mulai sekarang kau boleh lupa padaku. Kau bebas berbuat apa saja. Sampai disini kita selesai."
"Ndung....kita bisa berteman.."
Sindung berdiri, tetsenyum pahit. Berteman, katanya! Enak amat.
"Mau kemana, nDung?"
Kini Sindung tertawa. Menertawakan diri sendiri. Baru disadari. Betapa goblok dirinya jadi laki laki. Selama ini hampir setiap hari mereka bertemu. Kedua pihak orangtua juga saling mengenal dengan baik. Saling mengetaui hubungan khusus antara dirinya dan Tining. Namun rasanya seperti orang yang baru kemalingan. Baru tau sesuatu yang amat  dicintai telah dicuri orang. Sindung bisa menduga, lelaki yang menginginkan Tining pasti bukan penduduk setempat.

Pulang sekolah. Di pesisir pantai selatan Jawa, lima anak perempuan seusia sepuluh tahun berlarian pulang. Mereka berlari bagai dikejar angin menuju bikit karang pantai selatan, tertawa riang dan menjeritkan nama. Suti di paling depan diikuti kawan2 kecilnya berteriak teriak:       "Poleng Poleng... Poleng...!"
Suara debur ombak milai jelas terdengar. Pantai laut selatan sudah dekat. Anak2 itu kian seru berteriak teriak. Suti menbuka baju seragam dan melepasnya. Kini mengibar ngibarkan ke udara sambil berlari  kencang mendaki
bukit karang yang menjorok kelaut.
Di pantai itu terdapat  tebing karang yang menjulang tinggi, merupakan salah satu gugusan karang yang memberikan pemandangan eksotis. Terjangan ombak yang kencang datang menghantam bebatuan karang dan menciptakan air mancur yang tinggi. Pemandangan ini adalah akibat semburan kencang air laut yang masuk melalui bagian bawah batu karang.
Anak2 itu kini  berdiri  di puncak karang dan terus berteriak seakan mengejek,
"Poleng... Poleng...."
Kini ombak semakin tinggi. Laut yang tadinya tenang mengalun, mendadak seakan gusar. Ombak bergelora, naik setinggi bukit karang, menghempas dan membasahi tubuh anak2 nakal. Mereka tidak takut, malah bersorak gembira.
"Poleng... Poleng....Poleng!!"
Laut makin marah. Kini anak2 itu surut ke belakang. Ombak mengejar ganas. Bukit karang seakan tenggelam.
"Lariiiii......." Suti mengomando.
Teman2nya semburat bubar. Berlari sekencang kencangnya menuruni bukit karang. Turun
ke darat, melaju ke jalan kampung, pulang ke rumah masing2.
Terengah engah Suti menuju.sumur dan menimba air. Maghrib sudah mulai datang. Bisa dipastikan ibu akan marah2.lagi seperti biasanya bila Suti terlambat sampai di rumah. Benar kata ibu, Suti amat berbeda dengan kakak perempuannya, Mintorini. Suti kenyang dengan cubitan ibu di paha, yu Min kakak
nya, tidak sekalipun tersentuh. Yu Min berperilaku lembut walau kadang sinis. Sementara itu, Suti nakal luar biasa.
"Telat pulang, darimana aja?" Yu Min tiba2 sudah di balik dinding sumur, menatapnya tanpa kedip.
Suti membasuh kaki tanpa berusaha,menjawab. Ah, yu Min pasti sudah tau kebiasaan Suti.
"Menggoda si Poleng lagi?"
Tanpa peduli Suti mengambil sandal jepit dari balik dinding sumur. Acuh tak acuh menyahut:
"Nah... itu sudah tau."
"Heran, kok ndak kapok2nya kamu dimarahi ibu."
"Ibu marah2 ...itu sudah merupakan hobbynya, Yu."
"Eh. Beraninya kamu ngomong begitu. Lagian, apa kamu ndak takut disambar ombak?"
"Aku salah apa sampai disambar ombak?"
"Godain putera kesayangan bu Ratu kidul ..kamu katakan salah apa?"
Suti tersenyum. Dia melangkah masuk. Syukurlah, rupanya ibu sedang tidak ada di rumah. Suti tau, ibu juga akan sangat marah seandainya tau Suti  melakukan hal hal seperti iti dipantai. Seperti yang selalu ibu ceritakan, bahwa Poleng, itu adalah nama ejekan bagi putera kesayangan ibu Ratu Kidul, penguasa laut Selatan. Bagi setiap warga pesisir selatan Jawa, cerita itu bukan saja melegenda, tetapi sudah menjadi darah dan daging. Semuanya merasa tabu mengucapkan kata2 itu bila sedangberdiri di pinggir pantai Selatan.

Untunglah, yu Min tidak pernah menceritakan kenakalan Suti sore itu,  pada ibu. Maka makan malam itupun berjalan lancar tanpa insiden seperti biasanya. Bagi Suti makan malam itu sangat menyenangkan. Ibu dengan ceria menceritakan kegiatannya hari itu bersama teman2nya dan bapak mendengarkan dengan menyungging senyum dibibir.
Tiba2 bapak menoleh ke arah mas mbarep, putra tertuanya, Sindung Aliwawar.
"Bagaimana harimu siang tadi, nDung?"
Sindung menunda suapannya sejenak.
"Baik, pak." sahutnya pendek.
"Maksudmu, sekolahmu baik2 saja? Kau tidak pergi ke pesisir menggoda Poleng?"
Suti melihat yu Min  sudah membuka mulut. Hampir saja dia menyahut dan berceloteh bahwa bukan mas barep fetapi Suti, si ragil, yang.....
Tetapi Sindung sudah lebih cepat menyahut peryanyaan bapak.
"Saya ke rumah Tining."
"Oh, pacar kamu yang hitam manis itu?"
"Putrinya mas Mangundirejo?" ibu ikut bertanya terkejut menyadari brtapa pembarepnya masih juga menjalin hubungan dengan gadis itu.
Sindung terdiam. Menunduk dan mempermainkan ibujari.
" Tapi, nDung,.... Bukankah.....?"
"Saya tau."
"Kau sudah tau?"
"Ya, saya sudah tau." Suara Sindung terdengar sumbang.
"Ya ampun ngger.... Jangan lagi kau lakukan. Dia itu sudah mau menikah lhoh."
Sindung mengangkat wajah. Ada kemarahan dan kesedihan tersirat
dalam sorot matanya. Galak, sekaligus tanpa harapan.
Semua mata menatapnya. Menunggu jawaban.
"Kau tau, dengan siapa dia akan
menikah?" tanya ibu lagi. Ada kekuatiran, ada berjuta keingintauan orangtua.
"Ya, dengan siapa? Saya tidak peduli Tining akan dinikahi siapa. Tapi saya yakin, tak ada seorangpun yang tau siapa laki-laki itu. Apa ibu tau?"
Kini semua mata tertuju pada wajah ibu. Ibu menghapus bibir dengan punggung tangan, sebuah kebiasaan yang amat dikenali bila beliau merasakan sebuah kebimbangan . Kini Sindung melepas nafas panjang.
"Saya percaya,..." kata Sindung. "Bahwa seperti orang lain, ibu juga tidak tau. Pernahkah budhe Mangundirejo bercerita kepada ibu? Lantas darimana kita semua tau kalau Tining segera akan menikah?"
Lama ibu terdiam sampai akhirnya bapak menegurnya,
"Bu, ibu tidak sedang tidur kan?"
"Ndung,.." kata ibu. "Tidak penting bagi kita untuk tau dengan siapa gadis itu akan menikah. Bagi ibu, dan bapak, sebaiknya jauhi dia. Ini ibu katakan untuk menjaga nama baikmu, nama baik keluarga kita. Kau mengerti?"
Baik Sidung, Mintorini, bahkan Sutiarsih, tak berani beringsut dari tempat duduk mereka. Terpaku bagai patung bisu bila ibu sudah berkata kata lugas seperti itu. Sebagai putra putri seorang Asisten Wedana (AW) Donorojo, Sindung dan adik2nya tau benar akan pentingnya trep susila dalam bermasyarakat. Tata susila selalu berkaitan dengan.martabat, kehormatan, dan nama baik.

"Berapa sih umur gadis itu kok sudah diminta orang?" tanya bapak.
"Dia teman sekelas saya, pak." Tiba2 saja Mintorini ikut bicara.
Bapak  menoleh dan memasang wajah kaget.
" Masih bau kencur sudah berani omah omah (menikah)!" Bapak setengah berteriak. "Apa kata orangtuanya?"
Sebelum menjawab, ibu menarik tangan bapak dan mengajaknya pindah ke ruang tengah. Ibu hanya ingin melanjutkan pembicaraan dengan bapak berdua saja. Anak2 mengerti tentang isyarat kebiasaan ibu. Maka Mintorini dan Suti segera membereskan meja makan, sedangkan Sindung mengurung diri di kamarnya.
"Apa kata bu Mangun?" Tanya bapak.p
"Menghindari fitnah dan.khilaf, pak."
"Apakah, ...."
"Kata bu Mangundirejo, laki2 itu setiap malam datang ke kamar Tining."
"MashaaAllah! Bagaiman bisa?"
"Nyatanya bisa."
"Masa iya rumah bu Mangun ndak ada kuncinya?"
Ibu mengngkat bahu tanda tidak tau. Bapak menarik sehela nafas panjang. Malam semakin.larut, gelap di luar.  Pepohonan di halaman bahkan seakan tak.bergerak. Sesekali suara jengkerik memecah kesunyian yang tiba2 menggantung.
"Kasihan Sindung," bapak mendesah.
"Ya."
Di belakang rumah, Suti membantu mbakyunya membersihkan peralatan makan.
"Yu...."
"Ya?"
"Yu Min kenal ndak, dengan calonnya yu Tining?"
"Tidak, Kenapa kau tanyakan?"
"Yu Tining itu cantik. Menurut yu Min, cantik ndak?"
"Dia cantik. Cantik dan manis."
"Ho'oh. Pantesnya jadian sama mas mbarep ya ?"
Mintarsih mengusap mata.
"Yu.... Yu Min menangis?"
Mintorini menunduk. Menyembunyikan tangisnya diam diam,
"Aku kasihan pada mas nDung, Sut. Sudah lama aku tau, dia menyukai Tining. Bgaimana perasaannya sekarang, kita pasti bisa ikut merasakan."
"Aku jadi ingin tau," kata Suti gemas. "Seberapa hebatnya sih laki2 itu?"
Makin keras tangis Mintorini Tertahan tahan, hingga menyesakkan dadanya sendiri.
"Sebaiknya besok aku kesana, " kata Suti.
"Hush! Jangan sembrono kamu Sut."
"Yu Min bikin jajan ya, aku antarkan buat yu Tining besok. Siapa tau ada cerita tentang calon suaminya. Yu Min bisa kan?"
Mintorini membersit hidung, mengangguk setuju. Keduanya berpandangan dan tersenyum.
"Dasar kancil. Banyak akalnya," Mintorini menjitak adiknya gemas.
"Jangan sampai ibu tau, Sut."
Suti tertawa lebar.
"Beres, Yu."

PANTAI KLAYAR,  DONOROJO
Julukan bagi kota kecil itu adalah kota seribu goa. Kota kecil itu merupakan salah satu penyedia pantai yang indah. Disini ada lebih sepuluh pantai yang bisa dikunjungi. Sebagian besar memiliki hamparan pasir yang putih dan air laut yang jernih. Berbatasan dengan samudera Hindia,  beberapa pantai memiliki ombak yang tinggi.
Bagi Suti dan teman2 nakalnya, rasanya lebih suka  mendatangi. Pantai Klayar. Pantai yang dikelilingi batu dan bukit karang. Di salah satu karang yang tetletak di ujung paling timur terdapat air mancur yang masuk melalui celah karang. Menjadikan suasana pantai menjadi kian romantis. Disanalah  rupanya Tining bertemu dan berkenalan dengan calon suaminya.
Mintorini mendengarkan kisah itu dari bibir adiknya sepulang Suti dari rumah Tining mengantar penganan buatan Mintorini.
"Jadi mereka berkenalan di Klayar?"  Mintorini menegaskan.
"Siapa nama pemuda itu, Sut? Kau tanyakan juga?"
"Namanya Ronggo yu. Lengkapnya,   Ronggowuni."
Mintorini mengerutkan kening. Sepertinya nama itu tidak asing bagi telinganya. Tetapi..... Ah! Masa iya sih? Mokal. Tidak mungkin Ronggo yang itu!
Suti menatapnya curiga.
"Yu Min mengenalinya?"
Mintorini menggeleng ragu.
"Mungkin bukan Ranggawuni yang kukenal. Tidak mungkin dia."
"Yang yu Min kenal Ronggo yang mana sih?"
Mintorini tersenyum samar.
"Kapan meteka akan menikah?"
"Menurut yu Tining nanti kalau sudah ada goro goro."
"Goro goro apa!"
"Mana aku tau, yu. Dia bilangnya begitu kok. Pokoknya, ndak lama lagi. Kita diminta menyediakan janur kuning saja yu. Untuk menghormati hari pernikahannya nanti."
"Gila!"
Tiba2 Sindung sudah berada diambang pintu, mendengar semua percakapan adik2nya-
Raut wajahnya keruh, bibir terkatub keras.
"Mas...!"
"Tining itu sudah gila." tandasnya.
"Kok mas .nDung ngomongnya gitu."
"Kalau betul laki2 itu Ronggowuni, pasti bukan Ronggowuni yang lain. Itu adalah Ronggowuni putera kesayangan bu Ratu Kidul"
"Ah!"
"Hanya orang gila yang mau menikah dengan alam gaib. Itu mokal. Tidak akan pernah terjadi, kecuali...."
"Kecuali...apa?"
"Kecuali mati."

Senin, 25 April 2016

KETIKA SUARA ADZAN BERKUMANDANG

Kejadiannya sangat cepat. Ketika itu kukendarai mobilku dengan sangat kencang. Subuh sudah lewat, namun pagi belum lagi terang. Meliput berita di luar kota membuatku harus pulang saat larut malam, badan capek, mata mulai digelayuti rasa kantuk yang luar biasa, Sekilas kulihat lampu kuning trafic light lenyap dan berganti merah, sebuag truck sampah menderu deras dari arah belakang, mendahului, seakan terbang ke depan. Aku gugup sejenak, kaget membanting setir ke kiri tepat menghantam seorang bapak dan seorang anak kecil dipinggir jalan, membuat mereka terpental ke udara sebelum akhirnya jatuh menghempas ke aspal. Reflek kaki kananku menginjak rem. Mobil berhenti menyentak dengan suara derit mencicit. Sejenak kurasakan kedua tungkaiku lemas. Dari kaca spion kuintip mereka tergeletak tak bergerak. Terkapar. Mati? Entahlah. Tak dapat kupastikan. Secepat itu pula kepanikan menenggelamkanku dalam kecemasan yang luar biasa. Kutengok kanan dan kiri, Suarasana masih sepi. Jalanan lengang. Tak nampak seorang insanpun di perempatan jalan itu. Takutku membuat sekujur tubuh meremang, kalau mereka mati. Apa yang harus kuperbuat? Suara hati menjerit: “Turun! Tolong mereka! Bawa ke rumah sakit!” Namun logika berbicara lain. Kalau aku turun dan membawa mereka ke rumah sakit dan ternyata mereka mati, apakah aku harus dipenjara? Sederhana memang pemikiran seperti itu. Namun kepanikan sudah merajai hati. Tanganku gemetaran, berkeringat mencengkeram kemudi. Otakku berteriak: “Lari. Lari secepat mungkin! Senyampang tidak ada saksi disini. Lari, bodoh! Aku semakin kehilangan akal. Terbayang dibenakku sosok polisi, keluarga korban, dan tetek-bengek yang akan menjadi urusan yang sudah pasti membuatku terbebani berbagai masalah. Sekali lagi aku ,menengok ke belakang. Bapak dan anak itu masih tetap pada posisi semula. Mereka terbujur diam dalam genangan cairan merah yang merayap semakin melebar menjauhi tubuh pemiliknya. “Lari, tolol!” suara hati menghardik. Kali ini jiwa pengecutku menurut. Seketika kuhidupkan mesin, kumasukkan persnelling satu, dan tancap gas. Aku melarikannya dengan kecepatan tinggi, lebih kencang dari semula. Namun kali ini mataku lebih nyalang kedepan. Rasa kantuk menguap sejak tadi. Yang ada hanya keinginan menyelamatkan diri sendiri. Ngebut terus tanpa ampun. Sepanjang jalan ketemui rival, saingan dalam urusan memacu kencaraan, entah itu bis maut, entah itu angkot atau mobil-mobil pribadi yang sama-sama gilanya. Ditempat sepi mobil kuhentikan, aku turun memeriksa sisi sebelah kiri mobil. Tetap utuh. Tak ada kerusakan berarti, hanya sedikit pesok disisi pintu. Bercak darah yang tentu saja bisa segera kubersihkan.Barangkali untuk sementara waktu aku masih bisa bernafas lega. “Hai, bagaimana dengan perjalananmu kemarin?” temanku Titi menyapa pada esok harinya di kantor. “Kau sempat mampir nggak; mampir ke rumah Tommy.” Lanjutnya sambil cengar-cengir. Aku tak menyahut, dadaku ini masih beredebar kencang setiap kali mengingat bayangan bapak dan anak yang terbaring diam kemarin. “Nikmatilah masa-masa indahmu, Sar. Kata orang sih, masa-masa pacaran selalu saja indah, tetapi nanti kalau kau menikah...semuanya jadi berubah. Ah, kok menakut-nakuti, Aku tidak sedang menakut-nakuti lhoh, pokoknya tau sendiri deh.”. Aku diam saja, semua kalimat itu justru semakin menggedor jantungku. Menambah kebingungnaku.Titi masih terus mengoceh, suaranya bagai cicit tikus di telingaku. Samasekali tidak kedengar dia sedang ngomong apa. Tiba-tiba saja Titi menembakku dengan membacakan berita yang benar-benar membuatku KO. “Diperempatan jalan Diponegoro pukul lima pagi kemarin, kedapatan seorang laki-laki paruh baya dan seorang anak kecil tergeletak sebagai korban tabrak lari. Beruntung, ada seorang tukang tambal ban yang sempat mengingat nomor polisi kendaraan itu.” Jemariku yang masih menekan keyboard terhenti seketika. Kaku. Mati. Hilang akal. Itu kamu! Hatiku bicara sengit. Itu kamu, Sarah !. Kamulah yang menabraknya. Kamulah yang membunuhnya. Dan seperti seseorang yang baru saja mendengar berita kematian ibunya, aku terhuyung. Lantai seakan berputar, terbalik. Membuatku serasa ingin muntah. Kupegang ujung meja kuat-kuat agar tidak sampai jatuh. Titi terkejut, dia berdiri dan menopangku agar tetap berdiri tegak. “Sarah, kamu kenapa? Mukamu pucat sekali. Kamu sakit?” “Tidak. Tidak apa-apa. Barangkali Cuma letih,” sahutku berusaha menguasai diri. Titi malah menatapku dengan pandangan menggoda. Bibirnya senyam-senyum. Sungguh tidak lucu! Sambil berkacak pinggang dia menggeleng-gelengkan kepala. “Hebat ya, kencanmu kemarin?Tapi oke, kalau sakit kenapa tidak pulang saja? Minta ijin sama Boss sana ‘gih!” Tanpa ba bi bu akupun segera pergi. Aku memang butuh waktu. Aku butuh udara segar. Kegelisahan itu terus kubawa sampai kerumah.Membuatku susah tidur, susah makam< susah berkonsentrasi. Selalu kubayangkan bagaimana orang-orang menemukan mereka dan membawanya ke rumah sakit? Cacatkah mereka? Atau meninggal? Bagaimana dengan keluarga mereka? Apakah aku sudah jadi pembunuh? Atau seorang buronan yang setiap saat bisa saja ditangkap? Aku jadi bergidik ngeri, Mendadak saja timbul niatku untuk menyerahkan diri ke pihak yang berwajib, tapi aku segera ingat bahwa hari pernikahanku sudah semakin dekat. Bulan depan aku sudah harus mengawali persiapanku untuk menikah dengan Tommy, rencana mencetak undangan, mencari gedung, perias, katering, dan.... ya Allah ya Robb. Apa yang harus kulakukan? Tommy...Tommy... nama itu terus kubisikkan, tak mampu lagi mengingat apa-apa. Padahal setiap akan tidur dzikirlah yang kulantunkan, kini bahkan tak sampai lidahku. Kelu. Pepat. Hingga aku jatuh tertidur dengan sendirinya karena kelelahan. Dalam tidur aku bertemu Tommy, kami saling bergandengan sambil saling tersenyum. Langkah kaki terayun di tengah tamu-tamu, Tommy terlihat keren dengan baju hitam pengantinnya, namun... Ya Allah. Tiba-tiba datang serombongan polisi, mereka menghampiri dam merenggutku dari genggaman tangan Tommy. Aku berteriak histeris saat mereka memasangkan borgol ditanganku.Aku meraung. Menjerit, ya Allah ya Allah...! Aku tergagap bangun dengan sekujur tubuh berjeringat dingin. Dari atas meja rias kuambil koran kemarin yang sempat dibacakan beritanya oleh Titi, kucari pada halaman sekian, dan bertemu. Kubaca lagi, lagi...lagi. tercantum disitu kelanjutan kalimat yang kemarin, : “Jika saaudara masih memiliki hati nurani sebagai manusia, maka tengoklah korban yang saudara bantai di perempatan jalam Dipobegoro pada hari Minggu jam lima pagi, kemarin. Seorang diantaranya melayang jiwanya. Kepalanya pecah.Seorang lagi terbaring di rumah sakit dalam keadaan kritis. Andaikan selamat, anak berusia lima tahun itu akan cacat seumur hidupnya. Kedua kakinya diamputasi. Apa yang saudaralakukan jika musibah itu menimpa bapakmu atau adikmu? Tentu saydaraakan mengimbau juga. Oleh karena itu lewat kolom ini kami mengimbau saudara. Semoga saudara berjiwa besar dan datang mengakui semua perbuatan saudara.” Jadi mereka..... Aku tak kuasa melanjutkan kalimat. Getar tanganku semakin kuat membuat koran itu jatuh seiring guguk tangisku. Kurasakan darahku beku seketika. Dingin merambat dari ujung rambut ke ujung kaki, diriku terasa mati, hati nuraniku menjerit kuat: Pembunuh! Kmu pembunuh! Malam itu aku berjalan kaki menyusuri jalan-jalan sepi tanpa tujuan.Pikiranku berkecamuk, kalut, cemas, dan ngeri membayangkan kejadian itu dan segakla akibatnya. Tentang kematian, tentang masa depan anak kecil itu. Tentang kehidupan yang dengan mudah terbalik balik sesuai kehendakNya. Tanpa kuasa kita menahan atau menghindar, karena seakan sudah tertulis di garis kehidupan masing-masing manusia. Kekalutan rupanya sudah mencapai titik puncak sama dengan titik puncak rasa sakit yang sudah tak tertahan dalam hati seorang manusia, rasa bersalah membuat bahuku luruh, tak berharga lagi jadi manusia. Hingga pagi, dan hingga siang hari kemudian, tak ada satupun yang bisa kuajak bicara. Aku hanya bisa berbicara dengan diri sendiri dan bertanta-tanya, apa yang telah kulakukan ini? Seakan patung batu, aku duduk di taman pinggir jalan raya yang berlalu lintas ramai. Kendaraan seakan lewat tanpa ada yang perduli tentang seorang perempuan yang tengah duduk bingung di dekat air mancur. Mereka berpacu, sama sepertiku kala itu. Mereka takut kehabisan waktu. Kelelahan, kadang bahkan mengantuk dan ingin rebah melepas letih,. Namun begitu banyak urusan dunia yang harus diselesaikan tanpa pernah bisa selesai. Kulangkahkan kaki. Ingin sekali bertemu Titi sahabatku. Begitu sampai di rumahnya dia baru saja selesai menjalankan ibadah sholat ashar. Kamu duduk beredua di beranda depan, menghirup kopi berdua seraya berbasa basi sejenak Aku mulai mempertimbangkan reaksi apa yang akan ditampakkan Titi seandainya aku menceritakan semua kejadian itu. Akankah dia terbelalak, atau berteriak, atau marah? Siapa tau, ada jalan terbaik bagiku yang akan disarankannya. Biasanya dia punya jalan keluar bagi setiap persoalan. Namun muncul lagi kebimbangan, bagaimana kalau dia malah melapor? Mati aku. Apakah mungkin dia tega? Ah, nafasku jadi semamin sesak. Punggungku kembali berkeringat dingin. Benar, matanya terbelalak saat aku menceritakannya secara runtut dan rincil. Bibirnya memucat pasi. Tercelangkap tanpa bisa berkata-kata. Terhenyak dia dengan nafas terengah. “Jadi...kaulah pelakunya” kedua matanya nyalang manatapku. “Kau Cuma becanda, kan? Kau hanya mau menakutiku?” Titi mencecarku sambil mengguncang bahuku kuat-kuat. Seakan tak mau percaya akan semua yang kuceritakan dengan suara terbata-bata. Aku menggeleng. “Jadi betul, kaulah yang menabrak mereka dan melarikan diri? Astagfirullahaladziim ...Sarah!” “Truck itulah yang menyalibku tiba-tiba dan aku ..aku membanting setir kekiri karena kaget...aku...aku...” “Kau kaget karena tidak konsentrasi. Kenapa? Kau mengantuk, lelah...Ya Allah, Sarah. Kalau begitu mau tak mau kau harus menyerahkan diri. Tak ada jalan lain.” “Tapi Ti, aku kan harus.....” “Aku tau. Pernikahanmu sudah dekat, Tapi harus bagaimana lagi? Kau tidak ingin jadi buronan, kan Sar?” Aku tertunduk. “Setelah menikah, lantas apa? Kau akan punya anak, bersekolah, lulus jadi sarjana pula. Hidup keluargamu bahagia dan sukses. Namun apa artinya bila semua itu kau lakukan diatas penderitaan orang lain, diatas penderitaan keluarga lain? Ingat Sarah, anak itu akan cacat seumur hidupnya, bapaknya mati.......!” Kudekap wajahku dalam satu bayangan yang mengerikan. Tidak, aku tidak mau hidup seperti itu. Demi Allah! “Karena itu, akuilah semuanya. Aku akan mengantarmu.” Hatiku makin tak menentu, mendadak saja wajah Tommy membayang jelas dimataku. “Ayolah Sarah, jangan jadi pengecut.” “Aku tak sanggup. Aku tak bisa.” Aku mulai menangis. “Sarah. Akuilah dengan hati jujur, bahwa kau telah menghilangkan nyawa orang,” “Aku tak sengaja!” ”Sengaja atau tidak, pengadilan yang akan menentukan.” Kurasakan kini sepertinya aku memang sedang sendiri. Bahkan Titi tak mampu memberikan aku jalan seperti yang kuinginkan, aku ingin dia mengatakan bahwa ini adalah sebuah ketidaksengajaan, musibah, aku bukan pembunuh, bukan, samasekali bukan! Pelan-pelan semua kejadian berputar kembali dalam ingatanku. Semuanya. Terlebih ucapan Titi, Bergema dan bergaung diteluingaku. Membelit, menuntur sebuah pengakuan bahwa benar aku adalah serupa pengecut yang tidak bertanggungjawab atas penderitaan orang lain yang kutimbulkan. Benar kata Titi< aku berjiwa kerdil. Masih pantaskah aku memiliki kebahagiaan setelah merampas kebahagiaan orang lain? Namun, haruskan aku menyerahkan diri, menyerahkan kebebasanku? Bukankah begitu banyak kasus tabrak lari tanpa seorangpun mengakuinya dan tak terungkap? Aku tak bisa menjabarkan perasaanku yang lebih dalam. Ketika kakiku kembali melangkah meninggalkan rumah Titi, senja mulai menebar. Sebentar lagi malam menggantikannya, dan suasana akan jadi gelap segelap hatiku. Akan pekat sekelilingku. Tiba-tiba terdengar suara adzan, aku jadi tertegun. Langkahku buntu. Alangkah aneh suara itu ditelingaku. Seperti suara tangis yang memanggil-manggil, lirih, sunyi, pasrah, dan penuh rindu. Dan aku terseret. Terasa ada yang lepas dar dada, entah apa. Kelopak mataku basah, Terbayang dimataku bapak itu terbaring sendiri, Kemudian dikafani, dan diselimuti kain batik.. Orang-orang berkumpul membaca doa, kemudian mengusungnya ke kuburan. Sekali lagi mereka berdoa namun kali ini lebih khusuk. Beberapa orang ada yang menangis diam-diam. Lalu jasad itu dimasukkan ke liang lahat yang sempit. Amat sempit. Kemudian gelap. Sebuah kegelapan yang abadi, gelap mati, kemudian....... kemudian,,,, Ah! Tidak. Aku tersentak Dingin malam merambati sekujur tubuhku yang basah oleh keringat. Pipiku lembab, mataku pedih. Sangat pedih. Ya Tuhan, apa yang telah kuperbuat ini? Buron? Kepengecutan yang menjijikkan! Jiwaku menggigil. Lamat-lamat seperti ada yang memanggil dan aku kembali bergetar, sangat kuat. Kuhapus sisa airmata dengan kasar. Kutepis semua bayangan dan harapan. Kulepas satu demi satu semua keinginan untuk hidup bahagia berkeluarga dengan kekasih tercinta, kubuang jauh-jauh. Kulepas. Kutepis. Dan kuambil satu keputusan: Menyerahkan diri. *** .

YANG TAK SEMPAT BERBUNGA

Sudah menjadi kebiasaan baru bagiku untuk selalu datang lebih pagi di perpustakaan. Semua itu kulakukan hanya karena keinginanku melihat Pang Jayadi datang dan melempar senyum samar kepadaku sebelum menenggelamkan wajahnya di depan PC dan setumpukan berkas. Aneh memang. Duduk disini, di belakamg meja yang tepat berada di depan meja Pang Jayadi, aku seakan dilahirkan hanya untuk menjadi ‘si pungguk yang merindukan bulan’. Bagaimana tidak? Setiap pagi cowok berhati batu itu seakan secara kebetulan lewat dan duduk di depan mejaku.dan ....puff, Lenyaplah wajahnya dibalik komputer dan setumpuk berkas. Seolah-olah dia adalah manusia manusia perunggu yang dingin tak berhati. Demikianlah selalu setiap pagi.. dia berjalan dengan langkah tegap dan cepat melintasiku seakan meluncur diatas skateboard tanpa ekspresi selain senyum samar di ujung bibir tipisnya. Diriku ini dianggap bagai pajangan tak bernafas. Astaga! Padahal, jujur saja, banyak teman di kampus tempatku kuliah aku dikatakan sebagai primadona, atau bunga kampus, maka melihat sikap Pang Jayadi yang demikian, aku jadi ragu. Benarkah aku masih bisa dikatakan bunga kampus? Sungguh mati, rasa bangga mendadak runtuh setiap kali berpapasan dengan Pang Jayadi. Agaknya aku sudah tak punya kekuatan daya tarik lagi bagi dia. Perlahan namun pasti, keinginan untuk mendapat sapaan lebih ramah dari ‘gunung es’ itu kian memudar, pupus begitu saja. Seperti biasa pula, pagi imi halaman parkir masih kosong. Tidak mengherankan apabila kemudian kudapati hampir seluruh pintu salle masih terkunci. Gedung tua yang luas itu masih lengang, Memang hari masih terlalu pagi. Jarum jam di pergelangan tanganku baru menunjukkan angka tujuh kurang sekian menit. Sepi dimana-mana, Maka jangan harap bisa menemukan mbak Wied, kepala perpustakaan, duduk di kursinya sambil tersenyum menyambut dengan ucapan khas berbahasa Perancis, “Bonjour, Mademoiselle.” Tanpa singgah ke ruang perpustakaan aku langsungmenuju ke bagian belakanggedung utama Pusat Kebudayaan Perancis untuk ,menemui penjaga, Biasanya pak tua yang ramah itu dengan senang hati akan membiarkanku membuka sendiri pintu-pintu ruang kursus termasuk ruang perpustakaan dengan menyerahkan segenggam anak kunci kepadaku. Saat itulah, di koridor seseorang menyapaku, “Bonjour, Mademoiselle.” “Bonjour,” balasku kaget. Sepasang mata biru yang cerlang menatapku penuh senyum. Keramahannya membuatku tergugah untuk menawarkan bantuan, “Ada yang bisa saya bantu, Monsieur?” tanyaku berbahasa Perancis. “Ya, terimakasih. Saya ingin menemui Philippe Galinier.” “Professeur du Francais yang baru datang dari Paris?” “Ya ya, betul.” Mata biru itu mengerjap senang. “Dia masih tidur,”sahutku menyesal. “Biasanya dia akan keluardari dalam ruang tidurnya sekitarpukul setengah delapan, Mereka, maksud saya Philippe dan Xavier Inglebert, mengajarpada pukul delapan hingga pukul sepuluh. Barangkali Anda bisa menunggu mereka di perpustakaan.” “Perpustakaan? Dimana itu?” “Di bagian kiri gedung utama. Saat ini masih tutup. Sebentar, saya akan mengambil anak kunci untuk membuka bibliotheque. Anda bersedia menunggu?” “Bien sure, avec plaisir. Dengan senang hati.” Sahutnya buru-buru. Rambutnya yang merah kecoklatan kian berguncang dan jatuh menutup sebagian keningnya, Kuteruskan langkah menuju paviliun yang khusus disediakan untuk para penjaga dan tukang kebun. Kemudian dengan menggenggam sekumpulan anak kunci yang kuterima daei pak tua, kami berdua berjalan beriringan ke perpustakaan. “Anda baik sekali,” katanya. “Terimakasih,” “Siapa nama Anda?” “Paramita.” Dia mengeja namaku perlahan dengan lidah asingnya, “Nama Anda bagus sekali,” katanya kemudian. Aku teretawa mendengar ucapannya. Dalam hati aku membenarkan. Namaku memang bagus, itu kata kebanyakan orang. Namun tak cukup bagus untuk menarik perhatian Pang Jayadi. “Dan siapa nama Anda?” tanyaku. “William. Andy William.” “Oh....” aku tak dapat menahan senyum lepas. “Mirip seperti nama....” “Penyanyi ?” “Yes.” Dia mengangkat bahu dengan lucu. “Itu barangkali karena mom and daddy menyukai penyanyi itu maka jadilah saya.” “Hahaha.... you must be kidiing,” tawaku. Dia menatapku dan tersenyum akrab. Aneh, mendadak aku menyukai mata birunya yang cerlang. Sepasang mata yang seakan mampu menyihirku, dan membuatku ingin berpaling dari bayangan sosok Pang Jayadi. Ah, sergahku dalam hati. Lupakan dia dong Mita...! Pang Jayadi teerlalu jauh dari jangkauanmu. “Mama saya juga suka Andy Wiliams< Itu penyanyi favorit mama saya. Kami punya banyak CDnya di rumah.” Kataku menghapus bayangan Pang Jayadi. “Kenalkan saya dengan mama Anda. Saya jamin, dia pasti juga suka sama saya,” Kami saling tertawa. “Anda dari United States?” “Ya. Kebetulan saya mengajardi PPIA. Kami< maksud saya, saya dan Phillippe pernah bersama-sama. Kami teman.” “Bagus.” “Bagus apa maksud Anda Paramita?” “Bagus untuk Anda dan bagus pula untuk semuanya. Bahwa untuk usia yang masih muda, Anda sudah keluar dari negerimu untuk mengajarkan bahasa Inggris yang baik dan benar di negeri orang. Bukankah itu bagus?” “menurut Anda begitu?” “Ya, menurut saya sih. Omong-omong berapa usia Anda ?” “Coba saja menebak.” “Mmmm..... sama seperti Monsieur Philippe...” Dia menahan tawa. Menungguku berpikir-pikir menerka usianya. “Sekitar dua lima?” “Salah.” “Tigapuluh?” “Hahaha.... salah semua. Come on, katakan dulu usia Anda.” “Tanpa berbelit?” “Ya. Menurut saya, usia Anda sekitar....itu.” “Apakah itu penting?” “Bisa penting bisa tidak.” Pada akhirnya kami tidak bisa menebak dengan tepat. Kendati aku tau, usianya tak lebih jauh berbeda dengan Philippe atau Xavier. Kalau dibanding=banding cowok-cowok pengajar dari negeri asing ini hampir sama umurnya. Wajah bule mereka juga saling mirip. Hanya saja mata dan hidung Andy lebih serasi dan pas bagi raut wajahnya yang terlihat lebih lembut dan manis. Dagunya adalah bagian paling mempesona, Rahang serta lekuk dagu TimothyDalton si ‘the best Bond’ membuatku kian terpesona. Kami masuk ke ruang perpustakaan. Kunyalakan air condition, dan membereskan berkas-berkas di meja mbak Wied. Kemudian kusorongkan kursi untuk Andy. “Jadi Anda bekerja disini?” tanya dia. “Semuda ini Anda sudah bekerja. Seharusnya Anda masih kuliah.” “Saya memang masih kuliah di sebuah universitas swasta. Dan satu hal Andy, saya tak lebih muda banget dari Anda.” “Oh...hohoh.” dia tergelak. “Baiklah. Saya akan tebak usia kamu. Duapuluh dua!” ujarnya tertawa-tawa. “He, bagaimana bisa Anda menebak dengan tepat?” “Siapkan taruhannya, “ “Brengsek ah!” “Hehe... Anda bilang apa?” “Sorry. Lebih baik tidak usah saya terejemahkan.” “Saya tau. Saya juga bisa bilang brengsek ah.” “Sial.” “D’accord, senang bisa mengenalmu nona. Bagaimana kalau nanti kita makan siang bersama? Aku traktir.” Kukerutkan kening, “Maksud Anda?” “Just you and me.” Saat itu tiba-tiba daun pintu terkuak. Sosok Pang Jayadi muncul ditengah bingkai pintu. Dia tertegun sejenak. Hunjaman matanya menusuk tepat di jantungku. Seakan aku dapat membaca apa yang tengah tersirat dibenaknya. Adalah sebuah teguran yang tidak terucap. Yang kemudian membuatku gemetar. Andy meluruskan pungggung, menoleh sekejap ke arah Pang Jayadi yang terseok menuju ke arah meja kerjanya. “Okay Paramita. Sebaiknya saya pergi menemui Philippe di kamarnya. Sampai nanti.” Kuikuti langkah Andy dengan pandangan mata. Sebelum dia mencapai halaman, kulihat Philippe dan Xavier telah ditemukannya. Mereka berpelukan dan tertawa-tawa..... Sebuah deheman membuatku berpaling ke arah suara itu. Pang Jayadi masih menatapku dengan gusar. Setumpuk buku disusunnya berkeliling di atas meja, merupakan dinding benteng yang seakan melindunginya dari serangan panah asmara gadis-gadis. Ingin kusapa dia dengan ucapan selamat pagi yang manis, namun sepasang mata diwajah bekunya itu sudah tenggelam dibalik komputer kesayangannya. Maka pupuslah keinginan dan harapanku untuk berbaik-baik dengan Pang Jayadi. ***** Andy mengaduk mie di depannya dengan sepasangsumpit yang masing-masing dip[egangnya dengan tangan kanan dan kiri. Hampir aku tak dapat menahan tawa melihat kecanggungannya mempergunakan sumpitnya. “Kamu belum terbiasa menggunakan sumpit. Mengapaa tak kaugunakan saja sendok dan garpumu, Andy?” Kami sudah terbiasa ber’kamu’ dan ber’aku’. “Ah, aku sudah biasa,” sahutnya. “Oh ya? Dengan ceceran mie di sekitarmangkukmu?” “Cuma sedikit. Tak apa-apa.” Mulutnya menelan segumpal mie dengan lahap. Kemudian tatkala menyadari tatapan mataku yang melotot ke arahnya, dia teretawa kecil. “Baru kusadari, matamu hitam dan besar,” katanya. “Seperti apa?” “Seperti bintang Timur,” jelasnya menahan tawa. “Wah. “ kumiringkan kepala. “Adakah bintang Timur di United States?” “Banyak. Tapi tak satupun bisa mengalahkan pijar dimatamu.” “Uf. Merayu,” “Merayu? Aku tak perenah merasa peerlu merayu gadis-gadis,” sahutnya sambil mendorong mangkuk mie ke tengah meja. “Percuma.” “Kenapa kaukatakan percuma?” “Hanya membuang waktu saja. Apalagi terhadap gadis semacam kamu.” “Kok aneh. Mengapa?” “Karena kamu terlihat sangat tegar dan mandiri. Gadis sepereti kamu tak akan pernah menyerah hanya oleh sebuah rayuan. Aku melihat, kamu seperti batu karang di tengah hempasan ombak. Ya, aku membayangkan begitu. Dan ketegaran itulah yang membuat aku jatuh hati padamu.” Kurasakan kedua mataku merebak. Entahlah. Menatap kebeningan matanya, kelembutan sikap dan tutur bahasanya, sesuatu yang hangat menjalar dalam relung hati. Tiga bulan bersama Andy membuatku jadi semakin tau bagaimana dia. Perlahan namun pasti bayangan Pang Jayadi kiaan kabur dari ingatanku meskipun setiap pagi aku selalu bisa memandangnya dari balik tumpukan buku-buku tebal di mejanya. Kusadari kemudian, kalau ternyataada seseorang yang datang dan mencintaiku apa adanya, mengapa pula aku harus mengejar-ngejar seseorang yang samasekali tak peduli kepadaku? “Mata gadis-gadis Asia pada umumnya membuat aku terpesona,” kata Andy memecahkan keheningan. “Seakan menyimpan misteri yang memikat bagi orang-orang asing sepertiku.” Kulipat kedua tanganku diatas meja, menatapnya dengan gemuruh dalam dada. Cemburukah aku dengan ucapannya? “Ceritakan,” kataku sedikit menahan kemarahan,”Berapa banyak gadis Asia yang telah kau pacari?” Andy teretawa lebar. “Kau pikir aku begitu?” “Habis, apalagi kalau bukan itu? Kebanyakan orang asing sepertimu sangat mudah memikat hati gadis-gadis Asia seperti aku.” “Seburuk itukah?” Kucoba melunakkan suasana dengan tersenyum tipis. Seharusnya aku tak perlu merasa buru-buru dicintai. Seharusnya! Sebab sejak dulu aku berpendapatbahwa orang-orang asing yang datang ke bumi pertiwi ini cepatsekali merasa jatuh cinta pada penduduk asli di tempat mana mereka ditugaskan. Boleh jadi hanya karena iseng atau kesepian. Dan apabila mereka kembali ke negeri asalnya dengan cepat mereka akan melupakan kisah cinta lokasinya di negeri asia seperti ini. Seperti aliran anak sungai yang mengalir deras ke hilir, cinta merekapun akan padaam bersama lenyapnya kami dari pandangan mata. Namum apakah Andy juga seperti itu? Ah! Rasanya tak percaya kalau diapun akan sama dengan laki-laki asing lainnya yang datang ke negeri antah berantah ini. Perasaanku jadi bergumul antara percaya dan tidak pada ketulusan har=ti mereka. Ini membuatku jadi terombang-ambing< Rindu dan bingung saling datang dan meerenggut menyeregap hati. Membuatku gamang. Melayang tanpa akhir. Kutarik nafas dalam-dalam dengan dada sesak. “Andy,” kataku pelan. “Aku kuatir kita ini masih terlalu pagi untuk bicara jauh mengenai hal-hal yang menuju kearah itu, yang menyimpang dari hubungan pertemanan kita, Kadang aku merasa kita ini belum pasti akan perasaan masing-masing. Aku juga bertanya-tanya, apakah perasaan yang tengah kamu rasakan itu Cuma perasaan persahabatan biasa?” “Bagitukah pendapatmu?” “Barangkali, Andy.” Kudengar hela nafasnya. Berat. “Dengar, Paramita. Aku tidak pernah bersungguh-sungguh seperti ini. Aku katakan ini sekadar kamu ketaui. Tidak percayapun, boleh. Namun aku akan tetap berusaha dan akan membuktikan kesungguhanku terhadap hubungan kita ini. Aku ingin memiliki seseorang, dan itu adalah kamu.” “Tapi...” “Sssst, sudahlah. Jangan bicaraapa-apa lagi.” “Aku hanya ingin tau lebih jelas tentang arti kata-kata itu.” “Tak perlu dijelaskan lagi.” senyumnya. Diraihnya tanganku dan digenggamnya erat. Senyumnya itu,... bahkan sampai matipun aku tak akan pernah bisa melupakannya. “Akan hilang keindahannya bila terlalu banyak penjelasan. Cava?” lanjutnya sambil tertawa. Kemudian dengan santai dia bangkit, berjalan ke kasir dan membayarsemuanya. Bayangan dirinya yang selalu memberi gambaran tentang optimisme yang tinggi seperti itulah yang tidak akan pernah kutemukan dalam diri laki-laki manapun di dunia. Bahkan sampai beberapa bulan kemudian saat terakhir perjalanan kami, aku mengantarkannya ke bandara Juanda, dia masih memperlihatkan ketegaran dan optimisme tentang hubungan kami. Setelah masa tugasnya selesai dia ingin menghabiskan masa cutinya dengan berkeliling Indonesia. “Aku ingin lebih mengenal tanah airmu, aku ingin lebih mencintai bukan hanya dirimu namun juga negerimu.” katanya sebelum memasuki gate 3 Bandara Juanda. ***** Hari-hari se;lanjutnya tanpa Andy kurasakan bahkan cinta itu semakin tumbuh di hatiku, Tanpa kehadirannya disisiku, tanpa menatap senyum dan kerjap bola matanya, aku jadi lebih sering disergap kesepian dan kerinduan yang tak bertepi. Mau tak mau aku harus mengakui betapa aku mencintainya. Cinta yang tumbuh perlahan demikian lembut dan dalam. Hingga pada suatu hari,........ Melalui interkom, Monsieur Ledoux memanggilku. Mbak Wied yang ikut mendengarpanggilan itu mengedipkan sebelah mata kepadaku. “Hati-hati,” ujarnya lucu. “..kamu pasti kena marah lagi.” Tetapi, ketika sudah berada di ruang direktur, jantungku serasa berhenti beredetak saat beliau menatapku tajam. Melihat aku tertegun di tengah bingkai pintu, Monsieur Ledoux mempersilakan aku duduk di hadapannya dan menyerahkan sepucuk surat yang sudah dalam keadaan terkoyak sampulnya. “Ini surat dari United States.” Katanya dalam bahasa Perancis tanpa prolog. Kubaca alamat surat di bagian depan sampul. “Tapi surat ini bukan untuk saya,” sahautku seraya mengembalikannya kepadaanya. “Memang bukan, Surat itu dari Madame William untuk saya. Beliau bercerita tentang puteranya yang bernama Andy. Diceritakannya bahwa Andy telah sampai di St Paul, Minneapolis. Mademoiselle Paramita, Anda tentu menegnal baik Andy William?” Detak jantungku berdetak tidak beraturan. Berpacu bagai kuda binal, berhenti, berpacu lagi, melompat hampir keluar dari rongga dada. “Ya, saya mengenalnay dengan baik.” Monsieur Ledoux menyandarkan punggung, kedua matanya meredup tiba-tiba. “Adayang harus saua sampaikan kepada Anda. Tentang Andy.” “Katakan saja, Monsieur.” “Meskipun berat bagi saya, saya akan menyampaikannya. Maaf.” Laki-laki berkacamata tebal dan berhidung besaritu terdiam lama sambil menundukkan kepala. Kemudian dia menambahkan cepat-cepat kalimatnya, sek=akan-akan ingin segera menyelesaikan sesuatu yang membuat sesak dadanya. “Teman Anda itu mengalami sebuah kecelakaan berat di tengah perjalanan dari Minneapolis ke St Paul. Kecelakaan itu terjadi hanya beberapa kilometer saja jaraknya dari tanah pertanian meereka.” Tanganku gemetar, Sekujur tubuhku menggeletar hebat. Betapa dahsyat berita itu menyambar kepalaku. Monsieur Ledoux menatapku dengan pandangan penuh simpati. Tapi sikapnya yang simpatik samasekali tidak mampu menghilangkan keterkejutan yang kualami. Tuhan, desisku tanpa suara. Berikan aku kekuatan menghadapi segala kepahitan yang bakal datang menghadang setiap langkahku. Kepasrahan memang menyakitkan. Tetapi apa dayaku selaik bersikap pasrah pada segala macam bentuk ujian yang Engkau berikan? Surat-surat maupun kartupos dan foto-foto Anda mereka temukan didalam kopornya, Sebetulnya jauh hari sebelum Andy pulang ke United States, ibunya sudah mengetaui hubungan kalian melalui telepon Andy dari Indonesia. Dan ibunya telah merestuinya. Sayangnya.....” Andy selamat, kan?” potongku tak sabar. Beberapa saat dia terdiam. Terlihat ragu. Namun kemudian dengan suara pelan dia menjawab, “Maaf Mademoiselle. Andy tewas seketika itu juga.” Suara penyampaian tentang kematian itu demikian santun, demikian pelan, namun kurasakan gelegarnya bagaikan samabaran halilintar. Memecahkan kepalaku. Memecahkan harapanku, meremukkan hatiku....ya Tuhan...! Mataku nanar menatap wajah direktur Pusat Kebudayaan Perancis di depanku. Nanar menatap dinding yang tiba-tiba kurasakan menyempit dan menghimpit raga. Wajah separuh baya berkacamata didepanku mengabur bersamaan dengan genangan airmata yang membanjir. Ingin kuteriakkan protes, ingin kumaki keadaan. Namun mul;ut ini terkunci rapat. Kering dan dahaga. Kuremas hati agar bisa ikhlas menerima semuanya. Kenyataan pahit yang terpapar di depan mata, menghadang jalan kehidupan dan membaurjan kesedihan menghapus kebahagiaan yang hanya selintasan lewat. Doa keselamatan yang selalu kupanjatkan setiap malam untuknya, ternyata tidak dikabulkan. Tidak ditanggapi semestinya. Lalu apa artinya semua ini? Tuhan telah mempertemukan aku dengan Andy, seseorang yang databng seakan dari langit yang berbeda, padahal kami memiliki langit yang sama birunya yang mana semua itu diceritakan oleh Andy melalui kartupos kartupos yang dia kirim dari Trunyan, Denpasar, Rinjani, Jogja, Bandung, Singkarak, Toba,........Tuhan pula yang membukakan pintu hatiku untuk menyambut kehadiran Andy, dan kini....Tuhan memanggilnya pulang. Mungkin tubuhku mulai merunduk dan nyaris jatuh dari kursi. Direktur berdiri dan memapahku pindah ke sofa besar. “Mademoiselle.....Anda tidak apa-apa?” Suara Monsieur Ledoux seakan bergaung dari dunia lain yang amat jauh. Begitu jauh dan asing. Kian lama kian kurasakan kesunyian menyergap di sekitarku. Wajah Monsieur Ledoux kian kabur. Pandangan mataku gelap seketika. ******

RAHASIA HATI AMEL

Hujan baru reda. Ada pelangi melengkung indah di ujung cakrawala. Merah muda hijau dan kuning, warna warna yang mengingatkan akan pelajaran di sekolah dasar tentang mejikuhibiniu. Gunadi meletakkan ransel ke lantai teras dan mulai mengetuk pintu. Setelah lewat lima tahun baru kali ini Gun melihatnya lagi. Tak bisa dibayangkan bagaimana wajah Melinda sekarang, sejak mereka putus hubungan lima tahun silam. Dulu gadis itu berambut panjang, sedikit ikal. Bermata cerlang dan menyorotkan rasa percaya diri yang mana menurut Gunadi terlalu berlebihan hingga sempat menimbulkan rasa jerih bagi setiap laki-laki yang memandangnya. Kini, bagaimana dia? Yang jelas, Gunadi mendengar kabar burung bahwa gadis itu belum juga mau menikah hingga saat ini. Apakah mungkin Amel – seperti itulah Gun memanggilnya- masih mencintainya? Atau memang sedang senang hidup sendiri meniti karir sebagai penulis kenamaan yang sering dipublikasikan media masa sebagai penulis kontroveadirsial yang sedang booming? Selalu menimbulkan kehebohan dan komentar miring pembacanya? Hebat? Pikir Gun. Tanpa suami, tanpa siapa-siapa dia bisa hidup mandiri dan berkecukupan seperti ini. Gunadi menghela nafas dalam sebelum kembali mengetuk pintu. Apa yang ditunggu Amel? Seorang raja kapalyang kaya raya? Atau seorang penguasa negeri? Kemudian kini di ruang tamu dalam temaram senja sehabis hujan. Amel meletakkan dua cangkir kopi dan kue-kue dalam toples-toples kecil nan manis, Kebetulan ada soesmaker kesukaan Gunadi. Amel me;lihat Gunadi keluardari kamar mandi sambil mengeringkan rambut dengan handuk yang disediakannya. Udara dingin dan kue yang disiapkan Amel membuat Gunadi teringat pada masa-masa kebersamaan mereka lima atau enam tahun yang lalu. Gun duduk meraih cangkir kopi, tertawa senang menatap Amel. “He, ternyata kau masih ingat kesukaanku Mel?” “Tentu dong.” Sahut Amel sekenanya saja sambil tertawa lebar. Sepasang matanya berbinar. Gun melihat. Sungguh mati tak ada tanda-tanda kesepian disana. “Kau masih ingat masa kita bersama dulu saat sama sama mengejar kunang-kunang di pematang sawah Haji Salim? “ Gun mencoba mengorek kenangan lama. “Kau juga mengejar bintang dan memintanya menularkan kecantikannya padamu, Hah. Mana bisa begitu.” Amel tersenyum. “Masa remaja.” Sahutnya. “Taunya cuma gula-gula dan es krim. Padahal dunia ini alangkah lengkap. Manis dan pahit si;ih berganti. Kadang berbaur jadi satu, tapi sungguh menyenangkan bahwa kita punya sesuatu untuk dikenang. Begitu, kan?” “Aku juga ingat kau pernah jatuh di kuda,” “Itu karena aku terpeleset ketika melompat turun!” “Karena kau bego banget naik kuda.” “Mana bisa !” Amel melotot. Ah! Indahnya mata itu saat melotot, saat marah atau jengkel, saat emosinya keluar, gumpalam es dalam sorot mata itu sekarang lumer. Membasahi hati Gun, membuat ingin sekali mengecup dan membuatnya kembali cerlang seperti dulu, “Kau buru-buru melompat dari kuda karena ngambek saat kukatakan hidungmu pesek,” Gun masih tetap menggodanya. Mencoba menggelitik kenangan lama. “Sampai saat inipun aku masih tetap pesek.” “Siapa bilang?” “Aku.” “Kau jauh lebih cantik sekarang,” “Oh ya? Terimakasih kalau kau sadar,” “Bahwa kau cantik?” “Sejak dulu aku cantik, sayang kau buta.” Uf! Gun tersedak. Segera Amel menyodorkan segelas air putih. “Kau masih tetap ingat semuanya,” kata Gun. “Kopi, soesmaker, air putih......” “Ge-er.” Gun terbahak, namun tiba-tiba dia melontarkan satu pertanyaan yang menyodok. “Kabarnya kau pacaran dengan boss-mu. Apa itu benar?” Amel mencibir, “Boss yang mana, maksudmu? Kau mendengarnya dari siapa?” “Jadi benar?” “Ngawur! Sekarang katakan, apa ada hubungannya dengan kedatanganmu kemari?” Gun terdiam. Dicomotnya soesmaker dan djgigitnya dengan nikmat. Yakin kue itu bikinan sendiri. Kelezatannya tetap sama dengan berthun-tahun yang lalu. “Soalnya,” lanjut Gun. “Aku pernah bertemu dengan beliau di Sorong. Kenapa pula kau tak ikut meliput berita disana bersamanya?” Mel menyandarkan punggung. Sepasang matanya mendadak kelam. “Itu urusanku,” jawab Amel. “Memang itu urusanmu, tapi bagaimana dengan orang ketiga?” “Orang ketiga?” “Akhirnya ketauan kau pacaran dengan orang lain, kan?” ‘’Bukan urusanmu,” Amel mulai jengkel. “”Kedengarannya aneh. “ Gun tertawa ringan, “Aku hanya ingin tau apa yang membuat kau tak juga menikah? Jangan terlalu banyak pilihan, kau akan terkejut saat menyadari watumu habis, Maaf Mel, aku masih menyayangimu dan tak ingin kau kecewa akan hidupmu nantinya,” “Kok kau yang jadi bingung sih? Usil bener, Ada apa sebenarnya?” Gun menghabiskan sisa kopinya. Lalu katanya lebih bersungguh-sungguh. “Aku hanya khawatir kau hanyut dan tak mampu berhenti dari keasyikanmu sendiri.” Amel menghela nafas panjang, Sadar bahwa Gun sebenarnya berniat baik. Kekhawatiran lelaki yang pernah menjadi dambaan itu membuatAmel berpikir, apakah mungkin dia masih menyimpan perasaan lebih dari sekadar sayang? Masihkan ada tempat di hatinya untuk Amel walau sekecil apapun itu? Ada getaran di hati Amel, namun segera diredamnya sendiri, dia belum tau apa maksud Gun datang setelah dirasakannya hatinya terlanjur gersang. “Sebenarnya,” kata Amel perlahan, “ ...sulit mengatakan aku adalah pemilih.Sebagai perempuan, aku adalah perempuan yang memiliki pendapat-pendapat sendiri. Otakku ini otak yang tak mau berhenti berpikir. Menurutku, jarang ada lelaki yang suka pada perempuan yang mempunyai pendapat terlalu banyak dalam rumah tangganya. Bagi sebagian besarsuami seorang istri yang mempunyai pendapat sendiri berarti pembangkangan, Hal ini aku lihat jugapada keluarga-keluarga lain pada umumnya, Umpamanya saja, tetangga sebvelah, Dia menceritakan bagaimana suaminya suka menamparbila dia punya pendapat sendiri yang tak sama dengan pendaPat suami.” Ah, Gun jadi merasa tak enak hati. Namun dibiarkannya Amel mengeluarkan seluruh isi hatinya, “Adakalanya perempuan berpikir,” lanjut Amel. “Mungkin akan jauh lebih baik kalau kita hidup sendirian. Tak usah mengurus suami, tak perlu memasak, tak perlu bangun untuk menyediakan kopi. Pokoknya bebas. Bebas dari segala pekerjaan rumah tangga yang tak kunjung selesai.’ “Keliru kalau kau punya pendapat seperti itu,” “Mungkin yang kubutuhkan lebih, tapi....” “Kau membutuhkan kehangatan, ketenteraman hati, kelembutam....” Senja makin gelap. Hujan tak juga mau reda, malam kian merambat datang, Gun mulai menyumpah-nyumpah sambil menatap hujan yangtetap tercurah dari langit, Rencananya dia ingin menemui Henggar, kekasih yang berbulan-bulan tidak bisa ditemuinya akibat berpisahnya kota tempat mereka bekerja. Dan akhir-akhir ini betapa sulit dihubungi. Lokasi pekerjaan yang berejauhan membuat hubungan jadi terhambat. Setiap kali ditelepon< Henggartak pernah menyambutnya, Makin hari Gun makin curiga, tak ada jalan lain, selain datang ke kotanya yang kebetulan sama dengan tempat tinggal Amel. “Hujaan terus. Kapan sih mau berhenti?” Gun mulai mengomel. “Kemarin-kemarin ini semua orang berdoa minta hujan,” kata Amel yang tengah duduk membaca koran sore. “Sekarang sudah hujan, orang pada menggerutu. Memang manusia itu maunya macam-macam, Kadang malah tak tau diri,” “Jadi buntu laku sih Mel!” “Memangnya kalau kena hujan, jadi lumer ya Gun? Iya Gun, lumer?” “Bukannya lumer, tapi dengan cuaca seperti ini gairahku jadi turun ke titik nol. Termasuk gairah untuk bertemu Henggar!” “Cepatlah berangkat kalau begitu. Pakai saja mobilku.” “Aku panggil taxi sajalah!” “sesukamulah Gun.” Singkat katam akhirnya Gun saampai di rumah Henggar. Lama dia menunggu pintu dibukakan kendati berkali=kali jemarinya memencet bel dipintu, Sementara tempias hujan mulai membasahi ujung celananya, Akhirnya daun pintu terkuak. “Oh kau....” Di pintu, Henggarmenatap kaget. Mundur beberapa langkah ketika Gun nekat menyeruduk masuk. “Aku kehujanan, Kau kaget ya? Mana Mama?” “Ke Jakarta.” “Semua?” “ya.” Ladalah! Dasar nasib lagi mujur. Hujan-hujan begini Cuma berdua sama pacar. Bukan main! Rejeki nomplok namanya. Tangannya terjulur hendak memeluk. Namun kebahagiaan itu mendadak musnah ketika dikejutkan oleh munculnya seseorangdari dalam. Seorang lelaki muda yang gagah dan tampan! “Ada tamu siapa?” lelaki itu bertanya sambil memeluk pinggang Henggar, Ragu, Hengga rmenjawab. “Kawan lamaku.” Gun merasakan telinganya berdenging, Kawan? Kawan lama, katanya? Sejak kapan aku jadi kawan lama? “Gunadi,” Gun menyebutkan nama ketika bersalaman. “Wang,” sahut lelaki itu, Telapak tangan Gun gemetardan mendadadk berkeringat. Saat itupun dia mengerti. Melihat tindak tanduk dan sikap penerimaan Henggar yang dingin dan hambar, mendengarbagaimana cara dia memperkenalkan dirinya pada lelaki bernama Wang itu, bagi Gun itu sudah merupakan isyarat bahwa dirinya sudah ditendang diam-diam. Pantas saja tak ada waktu baginya untuk sekedarmenerima telepon. Alasannya sibuk. Inilah rupanya kesibukan itu. Gun menatapnya dengan hati sakit. Dirasakannya kesunyian tiba-tiba membentang diantara mereka. Dan Gunadilah yang pertama memecahkan kesunyian itu. “Sorry bung, saya ingin bicara empat mata dengan nona ini.” “Oh, silakan,” Lelaki itu menyahut dengan lagak bajingan intelek. “Saya rasa tidak apa-apa. Antara kami tidak adarahasia lagi, Bukankah begitu ‘yang’?” Wang menambahkan. Henggar menunduk. Wajahnya pucat, Namun apa yang kemudian dia ucapkan justru membuat kulit wajah Gun jadi lebih pucat. “Apa yang akan kau sampaikan?” Tanya Henggar datar. Laki-laki muda bernama Wabf=g itu memandang enteng kearahnya, Dada Gun gemuruh. Lalu terdengar suaranya. Nadanya menakutkan bagi telinganya sendiri. “Dia ini siapa?” “Kau sudah mendengar tadi, Namanya Wang,” Api berkoba rmembakar kepala Gun, “Pacar kamu?” sergahnya. “Dia baru menamatkan sudinya di Jerman, Dia....” “Aku tidak perduli dia baru menamatkan studi di Jerman atau di hutan, yang kutanyakan dia ini pacar kamu atau bukan!” “...yyya..” “Dan aku ingin tau, siapakah ini?” Gun menunjuk dadanya sendiri. “Apa maksudmu?” “Benarkah aku kawan lamamu?” “Kenapa kau tanyakan itu?” Gun mencibir pahit, Akhirnya dia memutuskan. “Baiklah. Baiklah. Sandiwara yang tidak lucu ini memang harus diakhiri. Basa=basi inipun sudah tak berguna lagi,” Semua terdiam untuk beberapa saat, kemudian Gun menatap wajah wang dengan tajam. “Baiklah bung, cintai dia dengan baik-baik.Dan bila kemiudian kau menemukan kata-kata cinta di ponsel miliknya anggap saja itu dari seseorang yang iseng2 belajar menuliskan kata-kata cinta. Tak perlu dirisaukan, Tak perlu cemburu,” Kemudian Gun keluar, Hujan yang turun tak lagi dia rasakan. Dadanya panas. Pijar, Semakin dirasakan semakin dibayangkan semakin membara. Alangkah liciknya betina itu. Sebagai laki-laki dirinya sudah membatasi diri sedemikian rupa demi kesucian cinta. Padahal dia hidup dikota besarsemacam Jakarta yang selalu bergolak, kota yang tak pernah tidur, yang dengan gampang akan membawa lelaki-lelaki muda yang kesepian padasuatu jalan dimana nilai-nilai kesetiaan akan hancur digilas roda kehidupannya, Gun memang seorang laki-laki normal. Tetapi dia tetap menghormati arti kesetiaan didalam hidup. Dia menilai gadis miliknya terlalu tinggi, Menganggapnya bagaikan sebutir permata yang harus dijaga baik-baik keindahan dan keutuhannya. Harus dihormati Dn disetiKndengN SEPENUH HATI. Ternyata dialah yang berkhianat. Padahal ketika terjadi penundaan perkawinan karena Gun merasa belum siap secarafinansiil, tak bisa dihitung sedu sedannya, Dan penundaan itu belum lagi satu tahun dan cinta itu sudah mati. Betapa waktu telah mampu merenggutkan cintadari hati manusia, Gun terus berjalan. Diguyur hujan. Rambutnya basah kuyup. Berkali-kali tangannya menempiaskan hjan dari wajah, pakaiannya sudah sejak tadi basah, apa pedulinya? Hujan telah menyiram hatinya yang luka hingga terasa benar pedihnya. Berkali-kali dimaki orangkarena jalannya terlalu ke tengah. Apa pedulinya? Ketabrak mobil? Apa pedulinya? Yang jelas dia hanya basah, basah, basah. Namun Gun kaget sekali ketika menyadaribahwa matanya juga basah, Oh!Gun kemali menyipratkan air dari wajah, Tubuhnya yang tadi dia rasakan cukup kuat untuk mengadu tinju, kini pelan-pelan kehilangann tenaga, Ia berjalan dengan gontai bagaikan serdadu kalah perang, Ia tau kini semuanya telah selesai. Gila! Gun mengumpat sendirin lelaki yang kebetulan berpapasan dengannya dan kebetulan menatapnya sekejap. Ia tak peduli, Sungguh ia baru adaperempuan yang gila saat melihat laki-laki yang dianggapnya sukses, Melihat gelar yang didapat dari luar negeri, matanya jadi ijo! Melihat mobil mengkilat, matanya jadi ijo!. Melihat duit bertumpuk, matanya jadi ijo! Payaaah,,,payah, Tetapi bagaimana dengan Amel? Tanpa dia tau apa sebabnya wajah Amel-lah yang kemudian membawa langkahnya pulang. Melinda ternyatabelum tidur ketika Gun naik ke beranda, Dia masih masih asyik menyelesaikan tulisannya di depan komputer bahkan pintu depan tidak dikunci, maka dengan leluasa Gun masuk. Berharap ada pertanyaan atau komentaryang dilontarkan saat melihatair hujan menetes dari ujung celananya ke lantai,. Namun ternyata Amel diam saya, bahkan seakan tidak terganggu sama sekali melihat Gun basah kuyup mengotori lantai rumahnya. Dengan perasaan hampa Gun berjalan ke arah ruang tengah, berdiri tepat di depan Amel yang hanya menatapnya sekilas. “Sedap ya, berhujan hujan sama pacar.” komentarnya tetap asyik menulis, Gun teretawa pahit. Mengambil handuk dari rak dan mulai mengeringkan rambut, Tanpa semangat dia duduk didepan televisi yang masih menyala. “Mel,” katanya pelan. Amel menoleh. Matanya mengerjap indah, namun senyap, “Apa,” sahutnya karena lama Gun terdiam. “Kau belum mengantuk?” Amel menggeleng. “Tolong, kau punya obat sakit kepala?” Gun meremas-remas rambutnya. Amel bangkit meninggalkan kursinya dan ketika kembali dia menyodorkan aspirim dan segelas air putih kepada Gun. “Trims.” Amel masih berdiri mengawasinya selagi dia minum obat. “Tidurlah. Kau terlihat letih,” katanya. Hati Gun terasa semakin pedih. Untuk beberapa saat dipejamkannya mata. Berusaha keras menyembunyikan kepedihan yang membasahi mata. “Apa perlu kupijit?” tanya Amel khawatir, “Tidak. Tak usah.” Jawab Gun cepat. “Duduk sajalah disini, aku ingin mengobrol denganmu,” Amel duduk disebelahnya. Menggodanya, : “Kau genit sih, pakai hujan-hujanan segala.” Gun teretawa tanpa suara. “Kalau sakit lebih baik cepat tidur, ganti baju dulu.” “Hatiku yang sakit, Mel.” “Hatimu?” “Ya.” “Kenapa dengan hatimu?” “Sakit.” Amel tertawa. “Sakit hati obatnya bukan aspirin, tolol!” “Kepalaku juga sakit.” Sunyi sekejap. Lalu,: “Eh Mel....” “Kenapa dengan pacarmu, sakitkah?” “Dia berkhianat.” “Berkhianat?” “Ya.” Kembali sunyi. Hanya suara hujan yang kian gemuruh disertai guruh dan petir, Alampun seakan marah sama marahnya dengan hati paling dasar yang dirasakan Gunadi. “Mel, kenapa sih perempuan selalu silau oleh derajad dan kekayaan lelaki sehingga nilai-nilai kesetiaan harus jatuh dan dicampakkan bagaikan sampah?” Melinda tidak menyahut, dia bahkan berdiri untuk mematikan televisi. “He, mau kemana?” Gun menahan lengannya. “Tivi itu dimatikan saja. Tak ada acara yang bagus, dan kau perlu segera istirahat.” “Tidak usah, duduk sajalah disini.” Amel kembali duduk. Namun hanya duduk saja tanpa ekspresi, “Mel, berapa kali sudah kau patah hati?” “Sudahlah Gun tak perlu lagi kau ributkan. Saat ini kau sedang emosional. Tak perlu kita perbincangan soal cinta dan patah hati, terlalu cengeng bagi kita, susia ini kau masih saja bingung soal itu.” ‘Patah hati,...” Gun tertawa sumbang. “Baru sekali ini kurasakan betapa pedihnya hati yang dilukai. Kurasakan bagaimana pijarnya dibakar cemburu Apa yang harus kukatakan? Rasa-rasanya aku sudah tak ingin memulai lagi. Perempuan! He Mel. Pernahkah kau begitu benci kepada lelaki hingga menyumpahi mereka? Apakah kau juga menganggap lelaki seperti... seperti racun< ular biludak< atau setan belang? O tidak. Tidak mungkin. Matamu begitu bening. Senyummu tulus. Tidak sedikitpun nampak kebencian di dalamnya. Tidak dendam. Tidak juga sakit hati. Kau tidak seperti itu. Mereka itu perempuan matrek< gila harta, gila pangkat. Lebih-lebih bila mereka merasa dirinya cantik. Kau juga cantik< apakah kau....” “Gun, kau ini apa-apaan sih? Bicarangalor ngidul makin nggak keruan saja arahnya.” “Ayolah Mel. Untuk apa kau tutup-tutupi semuanya dengan kemunafikan semu seperti ini? Kenapa?” Amel diam tak mengacuhkannya. Dilipatnya tangan< berssidekap menahan dongkol di hati, orang ini, pikirnya. Ngomong apa sih dia? “Mel...” Amel berdiri. Berjalan masuk kekamar. “Mel.” Langkahnya terhenti. “Mel,...” suara Gun melunak. “kau tidak sedang menunggu raja kapal, kan Mel?” Amel menatapnya tanpa kedip. Dibawah cahaya lampu kedua mata beningnya berkilau, bibirnya bergetar . Gun melihat genangan dimata beningnya kian menggumpal. Perlahan dia mendekat dan dihapusnya cairan bening di pipi Amel. Sesuatu yang pernah hilang kini mendadak kembali memenuhi rongga dadanya. Mengisinya penuh. Begitu nyaman, begitu indah dirasakan. Gun meraih dan mengecup keningnya lembut. Dan ketika isak itu meluapkan kesedihan dari bibir Melinda, Gun merengkuhnya lebih dalam. Inilah cintanya, inilah kelembutan, inilah kehangatan yang selama ini lepas dari hati dan hidupnya . Amel merasakan dekapan Gunadi kian kuat, seakan-akan takut kehilangan sesuatu yang begitu berharga.. kecupan Gunadi pada keningnya sangat lembut. Ada kemudian yang berbaur dalam hati mereka. Cinta, kesetiaan dan airmata. **********