Senin, 06 September 2010

TROWULAN (31)


DENDAM KESUMAT.

Sepertinya hampir semua bangunan museum berwajah suram dan samasekali tidak menarik. Barangkali memang demikianlah keadaannya, seakan-akan disengaja untuk menjauhkan tamu yang sekadar iseng, tanpa tau apa makna sebuah sejarah.
Sebagai arkeolog yang benar-benar mencintai pekerjaannya, Aryo Wangking sebenarnya juga tak suka pada tamu-tamu yang hanya berkunjung karena iseng atau kurang kerjaan saja. Mereka masuk, melihat-lihat sekilas, lalu berceloteh sendiri bersama teman serombongannya. Sesudah itu, mereka pulang tanpa kesan. Samasekali tak mengerti, untuk apa sebenarnya mereka datang. Aryo berharap akan semakin banyak orang mencintai sejarah bangsa sendiri. Dengan menelusuri untaian rantai sejarah dari masa ke masa, Aryo berharap mereka semakin tau akan sejarah nenk moyangnya. Dan akan semakin mencintai tanah airnya.
Siang itu Aryo datang. Langkahnya terhenti sejenak di serambi. Hidungnya tiba-tiba mengerut saat menatap sebuah Kawasaki hitam di parkir di halaman musem. Entah mengapa, mendadak saja ada getaran aneh di dadanya. Seakan merasakan sebuah bahaya tengah mengintip. Padahal, apalah artinya sebuah motor warna hitam yang berdiri bisu di situ? Lantas, bagaimana dengan pemiliknya! Aryo mendesah. Yakin, Raki Keleng sang pemilik sedang ada di dalam.
Suasana di dalam museum dirasakan teramat sepi.
Tak ada lagi senyum Rustam menyambut setiap kedatangannya. Dia tewas beberapa waktu yang lalu karena bom yang ditanam orang di mobilnya meledak. Juga tak terdengar gurau dan kenyinyiran Niken Pratiwi. Sepi sekali. Mencekam. Aryo duduk di kursi lobby. Lama terpekur disitu memikirkan beberapa peristiwa yang sudah terjadi di dalam gedung tua itu. Banyak hal telah dialaminya bersama orang-orang terdekat, seperti Rustam maupun Niken. Juga terlintas dalam benaknya, pertikaiannya yang seru dengan Raki Keleng. Semuanya seakan suatu kejadian yang tidak masuk akal. Bagaimana mungkin semuanya terjadi dalam kehidupannya? Percintaan, pertengkaran, bahkan senjata api ikut bicara.
Saat ini Rayunpun masih terbaring di rumah sakit. Beberapa kerabat dekat gadis itu mengatakan bahwa Rayun tak mau bertemu dengannya, tak mau menerima kunjungannya, bahkan ponselnya selalu offline. Rupanya gadis itu sudah terlalu marah dan tidak percaya lagi kepadanya. Lantas, untuk mengembalikan kepercayaan Rayun kepadanya, apa yang harus dia lakukan? Apakah dia harus memaksa Niken mengijinkan dokter memeriksa DNA bayinya bila orok itu terlahir nanti? Aryo tidak pernah ragu akan trawangan yang dilakukannya, bahwa bayi itu memang milik orang banyak. Entah siapa yang pertama bersama Niken saat itu, dialah yang memilikinya. Selebihnya,…menurut gurauan orang-orang, hanya akan menambah tahi lalat atau rambut saja pada janin itu. Brengsek! Itu adalah sebuah gurauan yang sangat tidak manusiawi. Kejam dan sarkastik.
Tiba-tiba Darji masuk.
“Assalamualaikum,” Darji ber-uluk salam.
“Walaikumsalam.”
“Sudah lama. Yok?”
“Baru saja. Tumben kau kemari. Ada angin apa, nih?”
“Aku kesepian di Pendopo Agung. Semua orang telah pergi. Tau nggak, semakin tua ini aku semakin merasa betapa hidup ini merupakan kumpulan perpisahan. Besar maupun kecil.”
Aryo tersenyum kecil, mencabut sebatang rokok dan menyulutnya sekalian dengan geretan Zippo.
“Sentimentil sekali kedengarannya omonganmu itu, Ji!” katanya setelah menghembuskan asap ke udara.
“Yah….rasanya makin hari aku makin peka saja dengan yang namanya perpisahan.”
“Hm…” Aryo makin melebarkan senyum.
“Pernah suatu kali, aku lewat di sebuah jalan sempit dan melihat buah jeruk yang mengundang liur. Penjualnya, seorang ibu tua yang ramah sekali. Aku membelinya beberapa buah, kemudian pergi. Dan tiba-tiba saja hati ini tertusuk perasaan sedih dan merasa bahwa aku tak akan bisa melihat ibu tua itu lagi karena aku jarang sekali datang ke daerah tersebut dan mungkin tak akan pernah ke sana lagi. Karena semua keperluanku dapat di beli di sekitar tempat tinggalku. Itu hanya sebuah contoh, betapa perpisahan itu begitu mudah terjadi. Sepertihalnya dengan Rustam, kita tak dapat lagi bertemu. Aku tak akan menjumpainya lagi di sini maupun di tempat lain.”
Aryo tetap tersenyum mendengarkan kata-kata Darji. Tak sekalipun dia ingin menyela atau berkomentar.
“Aku rasa,..” kata Darji lagi, “…ada yang salah dengan masyarakat modern kita ini. Kenapa orang semakin tidak mau mendekatkan diri dengan sesamanya? Kenapa harus saling menyakiti?”
Aryo mengetukkan jemari ke samping, membuang abu rokok yang telah memanjang.
“Ji,…” katanya. “…itu tidak berlaku bagi kita. Kau kan tau, pintu hatiku akan selalu terbuka bagi setiap orang, terutama untukmu. Datanglah padaku setiap saat kau membutuhkanku.”
“Aku tau, kaulah satu-satunya teman yang bisa kupercaya. Kau punya rasa social yang teramat tinggi, karena itu aku jadi heran, kok masih ada saja orang menjahilimu. Seperti si raki Keleng itu.”
“Itu dikarenakan dirinya sudah dirayapi setan cemburu.”
“Rasaku bukan hanya itu. Ada sesuatu yang lain. Kulihat kedengkian teramat dalam menggerogoti kewarasannya. Orang-orang di sini bilang, sebetulnya bukan Rustam target peledakan itu. Targetnya adalah kau. Sayangnya, polisi tidak bisa membuktikan bahwa dialah pelakunya, padahal ada seseorang yang berani bersumpah telah menyaksikan Raki Keleng mondar-mandir saja di dekat jip sebelum jip itu meledak. Apakah itu hanya karena cemburu, iri atau dengki terhadapmu?”
“Wallahu a’lam. Aku tak berani bilang apa-apa. Bisa jadi fitnah.”
“Boleh kutanyakan sesuatu?”
“Silakan.”
“Apakah… benar…Niken sedang hamil?”
“Menurutmu, bagaimana?”
“………….”
“Apakah sama seperti Niken, kau ingin mengatakan bahwa akulah pelaku utamanya?”
“Maaf, maaf. Bukan maksudku….”
“Aku tau, Ji. Sebetulnya kau tak ingin dirasuki pemikiran seperti apa yang dikatakan Niken kepada orang-orang. Aku tidak menyalahkannya, meskipun hampir gila memikirkannya. Bayangkan, hubunganku memburuk setelah Niken bekoar bahwa aku pelakunya. Rayun Wulan sudah tidak lagi mau percaya padaku.”
“Lantas, apa yang akan kau lakukan?”
“Tidak ada. Kau tau Ji, baik buruknya sesuatu, semuanya hanyalah selisih waktu. Waktulah yang akan membuktikannya. Kita tak harus melakukan klarifikasi apapun , sudah tak ada gunanya lagi. Tidak akan mengubah Rayun menjadi percaya lagi kepadaku. Barangkali hanya Tuhan yang bisa memperbaiki semuanya. Sementara itu, Raki Keleng semakin ganas saja di mataku. Bergentayangan kesana kesini. Kadang, kalau aku mau jujur pada diri sendiri, timbul rasa takutku kepadanya, kepada kenekatannya, keganasannya, kepada nafsu serigalanya.”
Darji menghela nafas panjang. Ya, siapa sih yang tidak keder menghadapi kegilaan Raki Keleng? Bagi Raki tak ada lagi undang-undang, yang ada dalam benaknya adalah hukum rimba.
Seseorang mendadak menerobos masuk. Dia, yang baru saja dibicarakan kini berdiri garang di tengah bingkai pintu. Sepasang matanya yang lebar dan hitam, memandang tajam. Bertolak pinggang dan melempar senyum miring kepada Darji maupun Aryo.
“Wah wah… lagi ngegossip nih!” ujarnya seraya melangkah masuk.
“Siapa yang sedang kalian omongin? Aku?” tambahnya, diikuti tawa mengejek.
Aryo menjawabnya dengan hunjaman tajam lewat sorot mata. Dia tak ingin membuat jahanam itu kembali naik pitam seperti tempo hari. Karena otaknya memang sudah tidak beres, bisa saja nekat dan berbuat jahat meledakkan kepala orang.
Raki Keleng duduk bersama mereka. Sengaja menaikkan kaki ke atas meja sambil menyulut rokok bermerk mahal. Dilemparkannya bungkus rokok ke meja dengan sikap jumawa.
“Rokok, Ar?” tawarnya sambil menghembuskan asap rokok kuat-kuat ke udara.
“Aku baru saja dapat komisi besar dari seseorang,” imbuhnya sambil cengengesan.
Aryo diam tak menjawab.
“Siapa yang memberimu hadiah?” tanya Darji kalem.
“Ada saja.”
“Seseorang telah membayarmu atas satu kejahatan?”
Raki Keleng menggebrakkan kaki ke lantai, matanya mendelik ganas.
“Diamput! Kau ini selalu saja ngomong jelek tentang aku, kenapa sih? Kaupikir aku siapa? Preman, gitu?”
Darji tetap tenang, menatapnya tanpa kemarahan atau kemuakan di matanya.
“Semua orang tau apa pekerjaanmu, Raki. Tentu, kalau nggak judi, mainin perempuan, minum, ngompas…”
“Omonganmu Ji! Bau kentut melulu. Lihat dulu yang bener. Jelek-jelek begini aku punya otak untuk memilih pekerjaan. Kalau Cuma terima gaji cukup buat beli rokok, buat apa? Bagaimana bisa menghidupi anak dan bini? Masa harus mencari cewek konglomerat, baru bisa kawin? Uuuu,…nggak lah yao! No way! Gengsi meck! Harga diri, tauk! Itu namanya en-u. Alias numpang urip, hahahah…”
Aryo mencoba meredam kemarahan dan menyabar-nyabarkan hati. Dia tau, Raki sedang menyindir-nyindirnya. Mengipas-ngipas agar timbul rasa tersinggungnya, dan …ya, itulah yang ditunggu Raki. Perkelahian! Agar dia punya alasan untuk menikamkan belatinya ke perut lawan. Kalau saja Aryo terpancing, maka akan timbul ilham di balik kepala si brengsek itu menyulutkan api dalam lorong gelap.
Aryo berdiri.
“Kemana, Yok?” Darji bertanya.
“Ke perpustakaan.”
Raki Keleng tak ingin memberinya kesempatan untuk lolos.
“Kenapa kau ini, Brewok!” tandasnya. “Apa kau tak suka aku ikut mengobrol bersama kalian? Kau benci padaku, hah? Kau takut aku mengatakan padamu kalau aku tau anak dalam perut Niken adalah hasil permainan kalian, hah? Atau kau pikir, ada andilku di dalam perut cewek itu?”
Aryo menoleh kepadanya. Sepasang mata rajawali itu kini penuh jilatan api kemarahan, berkobar menjilati wajah Raki Keleng. Rasa-rasanya dirinya sudah cukup sabar menghadapi tekanan-tekanan dari lelaki berkulit hitam itu demi menjaga ketenangan tempatnya bekerja. Namun kesabarannya rasanya sudah setipis sarang laba-laba. Barangkali inilah yang dirasakannya saat dia menapak di serambi tadi. Serupa seringai serigala yang akan membahayakan keselamatannya!
“Kuperingatkan kau, Raki,” kata Aryo geram. “Jangan mencoba mencari-cari masalah denganku. Dan perlu kau ketaui, aku tidak perduli dengan ucapan-ucapanmu yang penuh intrik. Dengan siapapun Niken mau, itu bukan urusanku. Kau mengerti?”
“Oh ya? Gimana kalu dia bilang itu anakmu, kau percaya tidak?”
“Kutekankan sekali lagi agar otakmu bisa merekam lebih jelas, bahwa antara aku dan dia tidak ada hubungan apa-apa. Kalau kau meng8inginkannya, ya silakan saja. Buktikan pada semua orang bahwa janin yang dikandungnya itu adalah darahmu. Kuharap kau mau sedikit menaruh kasihan kepadanya. Seburuk apapun dia, jangan kau cemarkan namanya dengan dalih-dalihmu sendiri.”
“Dasar pinter ngomong!”
“Terserah.”
Aryo melangkah pergi, tetapi tungkai Raki Keleng menghalanginya dengan sengaja. Aryo menendangnya dengan kesal. Itu yang membuat Raki Keleng mencapai tujuannya. Diapun berdiri menghadang di depan Aryo sambil melotot.
“Brengsek! Merasa jagoan, ya?!”
Aryo mengatupkan geraham kuat-kuat.
“Aku memang bukan jagoan seperti kau, Raki. Tetapi menghadapi keroco sepertimu, siapa takut?”
“Setan alas. Rasakan ini….!”
Raki melayangkan tinju, dan ditangkis dengan manis oleh Aryo. Merekapun berkelahi seperti biasanya. Kali ini Darji tak ingin melerai, dia bahkan dengan gemas menonton. Dia ingin, kali ini Raki keok di tangan Aryo. Agar dia jera berkelakuan sok jagoan di daerah Trowulan ini.
Namun tiba-tiba Darji terkesiap melihat tangan Raki menarik sebilah pisau besar bergerigi dari balik kemejanya. Aryo mendadak juga berdebar-debar. Bukan ini yang dia inginkan. Namun kalau harus dihadapkan pada situasi seperti ini, apa lagi yang bisa dilakukan selain mempertahankan nyawa sendiri?
Raki terus menerus menyabet-nyabetkan pisaunya kea rah perut dan dada Aryo. Aryo lencah mengelak. Hingga suatu saat tangannya bisa ditelikung ke belakang oleh Aryo. Pisau besar itu terlepas. Tubuhnya terdorong menjauh.
“Sudahlah,..” kata Aryo. “…jangan lagi diteruskan. Tak ada artinya. Kalau jatuh korban, korban itu korban yang sia-sia.”
“Ya, betul,” timpal Darji. “…pulanglah Raki. Lupakan perselisihan tak berguna ini!”
Raki keleng berdiri sambil meringis menahan sakit pada pangkal lengan yang terpelintir oleh Aryo. Dilihatnya Aryo mengambil tas ransel dan melangkah pergi meninggalkannya tanpa menoleh-noleh lagi. Diikuti Darji di belakangnya. Siapa yang mau menyerah? Pikir Raki Keleng. Dipungutnya belati dari lantai, dan tanpa aba-aba, dia maju menerjang, berusaha menancapkan benda tajam itu ke punggung Aryo yang tampak lengah. Darji berteriak mengingatkan, tapi terlambat. Belati itu menghunjam telak di pinggang belakang Aryo Wangking. Aryo mengaduh, terhuyung sesaat, sebelum benar-benar jatuh.
Raki tertawa menyeringai.
“Rasakan balasan atas kematian Pamugaran!” Desis Raki Keleng.
“Kka…mu…?”
“Ya, akulah dan Pamugaran yang merencanakan kebinasaanmu, Jagoan! Sekarang kaulah yang tersungkur, rasakan,…rasakan…! Terimalah kematianmu. Sekarang!”
Raki Keleng kembali menerjang, berkehendak menghunjamkan belati ke dada Aryo Wangking.
“Jangaaaannn!” Darji berteriak keras tanpa mampu mencegah.
Aryo mencoba bertahan. Ditahannya tangan Raki yang menggenggam belati bergerigi itu sekuat tenaga. Tubuh Raki menindihnya dan mengangkat belati tinggi-tinggi siap menancapkannya ke tubuh lawan. Aryo terus bertahan, dan berhasil membuat Raki terguling. Kini mereka saling bergulingan di lantai, saling berebut belati, saling mempertahankan diri….
Darji lari ke meja telepon. Diputarnya beberapa nomor.
“Halo! Pos polisi…Tolong pak, ada perkelahian di sini…”
Darji menjelaskan kejadiannya secara singkat, menjelaskan juga tempat kejadian, dan minta agar polisi segera datang, sebab kalau tidak, akan terjadi pembunuhan di Museum Trowulan.
Ketika dia menoleh, lantai sudah dipenuhi bercak darah. Aryo sudah kelihatan di bawah angin. Derasnya darah yang keluar membuat tubuhnya semakin melemah. Darji berteriak-teriak minta pertolongan. Suasana gedung yang teramat sepi sempat membuatnya bingung, kemana saja sih orang-orang? Aneh!
Bagi Aryo, inilah perkelahian antara hidup dan mati. Kebencian Raki Keleng yang muncul sejak lama, iri dan dengki yang berlebihan, ditambah cemburu yang mambabi buta, membuat nafsu membunuh menguasai dirinya. Aryo sadar tak boleh ada yang mati di sini. Dia tak ingin melukai Raki Keleng. Namun kekuatan dan kenekatan Raki Keleng membuatnya tak bisa bernafas. Enerjinya seakan tersedot habis bersamaan dengan mengalirnya darah dari luka yang menganga di belakang pinggangnya. Aryo tak lagi mampu mempertahankan diri.
Sekali lagi pisau besar itu menggores lengannya. Sebuah luka yang cukup dalam membuat lengan kirinya lumpuh. Aryo benar-benar jatuh tersungkur. Terjerembab sambil menahan nyeri yang teramat sangat akibat luka tak rata yang disebabkan tepi belati yang bergerigi. Dalam sepenarikan nafas, Aryo terkejut saat ujung belati itu mendadak menancap di ulu hatinya. Aryo menggeliat dan mengerang panjang. Tangan kokoh Raki Keleng mendorong kuat hulu belati, berusaha menancapkan lebih dalam ke sasarannya.
Aryo menyerah. Siap meregang nyawa. Saat itulah beberapa sosok berpakaian polisi datang bagai air bah. Kaget menyaksikan lantai berlumur darah. Mereka melihat ada seorang pria berbadan besar tergeletak tak bergerak di ujung lantai. Pria lainnya, lebih kecil, tengah duduk diatasnya, menindih sambil memegang belati yang tenggelam dalam darah.
Tak sabar, mereka menarik Raki Keleng dan memborgol tangannya, menyeretnya keluar, dan membawanya pergi tanpa perlawanan. Raki Keleng sudah puas. Bibirnya menyungging senyum yang mengandung ejekan. Tertawalah dia dalam hati, mengakak-ngakak! Sementara itu sebagian lain melihat Aryo masih bernafas, tersengal-sengal, dengan mata melek yang berkedip lemah.
“Cepat bawa dia ke rumah sakit!”
Darji tergopoh ikut bersama mereka. Naik ke atas mobil pick-up terbuka, duduk di samping tubuh Aryo yang terguncang-guncang saat kendaraan bergerak. Dirasakannya tangan Aryo menyentuh tangannya.
“Ji…” bisik Aryo.
Darji mendekatkan telinga ke bibir Aryo.
“Temui Niken. Temui Rayun. Sampaikan permintaan maafku pada mereka.”
Darji menganggukkan kepala. Berusaha menahan gumpalan kesedihan yang ingin meledakkan tenggorokan. Dia hanya mampu mengangguk, tak mampu lagi mengucapkan kata-kata.
Aryo tersenyum tipis.
Sepasang mata rajawali itu meredup, kemudian memejam perlahan. Darji menjatuhkan kepala, tertunduk, dan merasakan cairan asin masuk ke mulutnya. Ya Allah,…bisiknya sambil menghapus cairan di pipi. Ampuni aku yang Kau beri kesempatan untuk menyaksikan kekejaman ini….Betapa dekat kematian itu bagi kami, sedekat urat nadi di leher kami. Maka tolonglah sahabat kami ini, karena kuyakin tugasnya sebagai manusia belum lagi selesai…. (: by indrawati poerbosisworo basuki)

(Bersambung ke episode 32)

Minggu, 05 September 2010

TROWULAN (30)


BUKIT GUA MACAN.

Udara pagi setengah siang, masih juga menebarkan bau harum daun cemara yang tumbuh di sela sela batang pohon karet yang mulai tua. Angin semilir membuat Rayun jadi mengantuk. Ditutupnya laptop, dan mencoba berbaring di lereng bukit. Sepasang matanya menatap redup bentang langit biru jernih yang kadang menyeruak di antara kerimbunan dedaunan di atasnya.
Seindah apapun berada di bukit itu, Gua macan adalah suatu tempat yang mulai jarang dijamah orang.
Buruh perkebunan rasanya sudah enggan mendaki sampai ke ujung bukit untuk menoreh getah. Paling juga hanya sampai ke lereng. Maka sebetulnya, yang dikuatirkan oleh Om Harso adalah munculnya binatang melata di situ. Kelengangan, kelembaban, membuat tempat itu jadi terasa lebih wingit dari bukit-bukit lainnya. Memang, kesunyian bukit itu terasa sekali bagi Rayun Wulan. Orang-orang, para ‘penderes’ itu tak lagi ditemukannya berseliweran di sekitarnya seperti dulu. Seperti kata Om Harso, pepohonan di tempat itu sudah tak lagi berproduksi. Getahnya sudah kering. Pohonnya sudah tua. Hutan di bukit itupun nyaris gundul.
Rayun menggeliatkan punggung.
Teringat dia akan Rudy dan Putri, dua teman sebaya, putra dan putri Om Harso yang masih terbilang saudara sepupu baginya. Mereka bertiga sering sekali datang ke tempat itu, bermain, atau berharap kedatangan ‘tarzan’.
“Mana ada Tarzan disini,” kata Rudy mencemoh.
“Pasti ada,” tangkisnya.
“Ada, tetapi cuma dalam cerita komik.”
“Aku yakin kok, pasti ada. Dan suatu saat akan datang menculikku.”
“Ih, diculik kok dijadikan cita-cita,” sahut Rudy lagi tertawa ngakak.
“Kalau Tarzannya ganteng, kenapa enggak? Boleh dong…”
“Lantas kau digituin. Mau?”
“……….??.”
“Lantas kau hamil.”
“Ih!”
“Padahal dia nggak mungkin bisa mengawinimu.”
“Kenapa, memang?”
“Mana ada Tarzan punya uang untuk mengawinimu?”
“Tarzannya Rayun lain,” potong Putri. “Tarzannya Rayun kaya raya dong….!”
“Orang hutan, mana ada yang seperti itu!” jengkel sekali Rudy.
“Siapa tau, ada.”
“Lebih baik kau jadi isteriku saja.”
“Hiiiii…..”
Lantas saja mereka bertiga tertawa tawa, membayangkan Rudy jadi suami Rayun, Rayun menjadi isterinya Rudy……
Angin lembut bertiup menempiaskan rasa kantuk yang kian berat. Rayun membiarkan kedua matanya terpejam, menyungging seulas senyum di bibir, dan mulai jatuh ke alam mimpi. Tubuhnya terasa ringan menapak rerumputan yang terasa lebih subur ketimbang sebelumnya. Sosok lelaki muda, tampan berkulit bersih datang kepadanya dengan senyumdi bibir. Pakaiannya dari kain katun tipis,berwarna putih dan berpotongan lebar. Demikian juga dengan celananya. Kedua kakinya tanpa alas. Lelaki itupun menyapanya, seakan kawan lama yang lama tak berjumpa.
“Sedang apa kau ada disini?” katanya.
Rayun membiarkan lelaki itu memeluk pinggangnya, mereka kemudian duduk berdampingan seakan-akan sepasang kekasih.
“Aku sedang berpikir,” sahut Rayun sambil terus mengingat-ingat,…. siapa ya nama lelaki ini? Pernah mereka akrab, tetapi kapan,…dan siapa dia….?
“Kenapa sih, perempuan selalu pergi ke luar kota utuk berpikir?”tanya laki-laki itu.
“Aku hanya ingin suasana tenang yang tak terganggu siapapun.”
“Kau sedang gelisah.”
“Ya, mungkin saja.”
“Kau sedang bingung memilih sang Senapati, ataukah sang Juru Sungging? Sebetulnya ada tiga perkara yang membuatmu gelisah seperti ini.”
“Apa itu?”
“Satu, kau merasa terbelenggu dalam kerapuhan jiwamu. Yang sering menjadi ajang pertarungan seru dimana akal pertimbanganmu berperang melawan hati dan dera napsu. Dua, mencintai, sekaligus membenci. Marah, dan cemburu. Sakit hati yang berlebihan, membuatmu tak bisa bergerak lagi. Tiga, berkeinginan untuk menguasai orang lain.”
Rayun menggoreskan senyum sinis di bibir. Orang ini sok tau bener sih! Pikirnya.
Orang itupun kembali bicara:
“Karena kau merasa tidak dapat menguasai pergumulan itu, maka timbul rasa putus asa, enggan, malas, bosan, dan ingin menyudahi semuanya. Kau ingin bebas. Lepas dari semua hal yang mengikat. Lepas dari semua komitmen. Ingin mematahkan belenggu perasaan marah, kecewa, sakit hati karena cemburu yang membakar jiwa. Kau ingin bersultan di mata, ber raja di hati. Kakimu ingin bebas melangkah tanpa hambatan. Tak perlu lagi mencemaskan waktu atau laku. Bebas tanpa batas. Barangkali inilah saat kau tau siapa Senapati, siapa Juru sungging. Sebagai teman, aku hanya mampu mengawasi, dan menunggu di kejauhan.”
Rayun beringsut menjauh, dan menatap tajam wajah cakap di sebelahnya.
“Begitukah pikirmu? Siapa kau ini sebenarnya, paranormal, dukun, atau apa?” ujarnya tajam.
“Aku ini temanmu, Rayun. Aku….Naga Tatmala.”
Rayun membelalakkan mata. Bumi seakan amblas di bawahnya. Ringan dirinya jatuh dari langit. Halilintar seakan pecah membelah angkasa, menggelegar, berkilat kilat bagai pedang terhunus.
Rayun tersentak kaget, terbangun dari kelelapannya yang hanya beberapa menit berselang.
Yang pertama dilihatnya adalah….
“Ar…yo…?”
Aryo Wangking tersenyum. Dia duduk bersila di sampingnya, seraya menangkupkan kedua telapak tangan dengan takzim.
“Ap…apakah aku tertidur?”
“Sepertinya lelap sekali,” sahut Aryo.
“Aku bermimpi…”
“Bertemu Naga Tatmala?”
“Bagaimana kau tau?”
Aryo tertawa. Aku, kok!.. kata Aryo dalam hati.
Rayun membenahi duduknya. Kini mereka duduk berhadapan.
“Sudah lama kau berada di sini?” tanya Rayun.
“Beberapa menit. Kulihat tidurmu nyenyak sekali, jadi aku tak berani membangunkanmu.”
“Naga itu, Ar. Naga itu datang lagi.”
Aryo menghela nafas panjang.
“Itu janjinya, Rayun. “
“janji apa?!”
“Janjinya padaku, untuk terus menjagamu. Sampai….”
“Sampai…..?”
Aryo menundukkan wajah, mempermainkan jemarinya sejenak, kemudian kembali membalas tatap mata keingintauan di depannya.
“Sampai tiba waktunya kau kembali kepada penciptamu.”
“Uuuts! Aku nggak percaya segala omongan macam itu, kau tau itu Aryo!”
Aryo tersenyum tipis.
“Kau boleh tidak percaya, tetapi ketauilah, bahwa tak boleh kita bermain-main dengan siluman. Kita tak boleh bilang begini, lalu dilain waktu bilang begitu. Mereka itu tidak sama dengan kita. Yang suka bohong atau ingkar janji.”
“Seperti dirimu?” jeling Rayun setengah mengejek.
Aryo masih tetap memainkan ibujari kiri dan kanan, diputar-putar seakan dengan berbuat begitu dirinya bisa meredam kegugupan yang mendadak menyedak.
“Aku bukan pembohong, pun bukan seorang yang suka ingkar janji.”
“Oh ya?”
“Ya.”
“Aku tidak percaya!”
“Kamu harus.”
“Ah!”
“Dengar Rayun, kamulah satu-satunya wanita yang aku cintai dan kukehendaki menjadi ibu dari anak-anakku. Kau boleh percaya boleh tidak tentang cerita reinkarnasi, bahwa sebenarnya dirimu adalah calon isteriku di masa yang lampau, di masa pemerintahan Prabu Brawijaya Pertama. Namun nasib berkata lain. Dirimu terbunuh, dan hingga aku tewas, aku tak pernah melakukan ‘palakrama’.”
Rayun tertawa.
“Kau pasti kebanyakan baca buku komik.”
“Tidak. Ini kenyataan. Namamu pada waktu itu Ni Rara Ireng, dan aku Mpu Nambi”
“Begitu ya?”
“Kau masih tidak percaya?”
“Kalau benar begitu, ceritakan padaku, siapa Niken itu?”
“Niken? Maksudmu,…gadis di museum itu?”
“Gadis yang tengah hamil itu, kau tau kan, dengan siapa dia hamil?”
Aryo Wangking tertawa tanpa suara.
“Niken itu teman waktu kuliah di Jogja dulu.”
“Mmm….maksudku, dulunya. Pada jaman dulunya, dia itu siapa?”
“Dia? Ya,…bukan siap-siapa. Dia hidup di jaman kini, aku tak pernah tau dulunya dia itu siapa. Dan itu tidak ada hubungannya dengan kita. Bagiku tidak penting.”
“Tapi sekarang dia ada hubungannya denganmu, kan?”
“Tidak. “
“Masa?”
“Sekali lagi: ti…dak!!”
“Terus, anak siapa itu yang ada di perutnya.”
“Entahlah. Mana aku tau?”
“Katamu kau bisa melihat apa saja yang orang lain tidak bisa melihat.”
“Memang. Itu adalah takdirku. Namun, sungguh tak layak kalau aku menyebutkan nama, bisa menjadi fitnah.”
“Ah, nonsens!”
“Ayolah, Rayun. Apakah belum cukup bila kukatakan aku benar mencintaimu? Sungguh, kalau ada tindakanku yang membuatmu sakit, aku minta maaf. Aku sayang padamu, maka tak mungkin bisa aku menyakiti perasaanmu. Demi Allah…!”
“Jangan lagi bersumpah seperti itu, cukup dengan permintaan maaf. Seingatku, kau tak pernah minta maaf padaku. Maka kuhargai permintaan maafmu itu.”
“Terimakasih.”
Aryo tersenyum. Ya Allah, bisiknya dalam hati. Semoga kau jaga hati dan cintanya untukku. Meskipun kian hari kian tampak olehku kekerasan hatinya, ketegasannya maupun kegarangannya. Sama sekali tak sama dengan penampilannya yang selembut angsa.
Namun, rupanya Tuhan sedang tak ingin mengabulkan permohonan Aryo karena tiba-tiba saja, ponsel di saku celananya berdering.
Matik aku!
Aryo menggigit lidah. Dari nalurinya, dia tau, itu adalah Niken. Angkat tidak, ya? Angkat…tidak…., angkat…tidak…
“Tuh, kenapa nggak diangkat?” suara Rayun terdengar sumbang.
Enggan, Aryo terpaksa membuka ponselnya.
“Ada apa, Ken?”
“……….”
“Kau hamil beneran atau tidak, nggak ada hubungannya denganku!”
“………”
“Terserah. Cuma kau yang tau.”
“……….”
“Berapa banyak laki-laki yang terlibat di dalamnya, demi Tuhan, itu urusan kamu Ken, sorry….”
Rayun mengambil ponsel dari tangan Aryo. Percakapan yang tidak jelas antara Niken dan Aryo membuat kepalanya nyaris meledak. Rasa-rasanya sudah tak perlu lagi berpura-pura lembut dan baik hati. Rayun sudah amat benci berada dalam situasi seperti ini.
“Halo, Niken?” kata Rayun getas.
“Ya. Oh, sori. Terganggu ya?”
Di sana, Niken tertawa ngakak dalam hati. Ini waktunya kamu semaput Rayun. Kau, si bocah manis yang kaya raya…! Rupanya tertarik juga kamu mendengar apa yang kubicarakan dengan Aryo, ….haha….!
“Sebenarnya ada apa sih?” tanya Rayun gemas.
Tawa Niken semakin lebar.
“Barusan aku tes ke laboratorium. Hasilnya, positif.”
“Lantas, maksudmu apa?”
“Suruh Aryo bertanggungjawab.”
“ …………!!!....”
Rayun merasa dirinya seperti dicekik, mulutnya mengering dan suaranya menghilang tiba-tiba. Matanya nanar menatap Aryo yang berada di sisinya. Wajah brewok itu mendadak berubah jadi seperti setan, di matanya. Senyumnya, menyeringai dan mulutnya bertaring. Tanpa kata, ponsel itu dilemparkannya tepat mengenai jidat Aryo.
“Rayun….apa-apaan?” Aryo berteriak kesakitan.
“Dengarkan sendiri apa katanya!” Rayun ikut berteriak.
“Halo, Niken. Apa mau kamu sih?” suara Aryo tak lagi pelan. Namun terdengar seperti guntur. Lelaki brewok itupun rupanya sudah kehabisan stok kesabaran. Ingin rasanya menggampar Niken, seperti yang pernah dilakukan Raki Keleng saat itu. Benar, perempuan ini ternyata nyinyir juga! Busyet!
Rayun berdiri, berjalan menjauh dengan tangan bersidekap menahan dada yang mau meledak. Kesetiaan, kejujuran, moralitas! Apaan? Semuanya bullshit! Apa yang dikatakan Aryo barusan mendadak jadi busuk semua. Sampah! Tak perlu lagi dibahas. Kepercayaannya terhadap lelaki yang mengaku titisan itu terkikis habis. Barusan dia merasa, mereka akan bisa menjalin kembali hubungan dengan baik, tetapi perempuan itu mendadak saja menghancurkan semuanya. Hancur cur cur!
Aryo tak sudi lagi mendengar suara Niken yang ‘ngalor ngidul’, melantur kemana-mana. Padahal bagi Aryo sudah jelas, janin dalam perutnya itu milik orang banyak! Naudzubillah……Kok ya ada perempuan seperti itu! Ditutupnya ponsel, dan melihat Rayun sudah tak nampak lagi didekatnya. Celingukan, Aryo mencari-cari. Berlari-lari kecil mengejar bayangannya. Namun….
“Sampeyan…!” desis Aryo merandek, berhenti tepat di depan sosok Pamugaran yang mengacungkan pistol.
Pamugaran tertawa menyeringai.
“Ya, saya. Kaget melihat saya ada di sini?”
“Saya hanya tak merasa perlu memprediksi keberadaan sampeyan.”
“Kalau kamu ada disini, kenapa saya tidak?”
“Sampeyan datang untuk apa? Saya yakin, Rayun tidak akan mengundang sampeyan. Saya rasa, sampeyan telah bersekongkol dengan Raki dan Niken….”
“Tepat! Kami memang bersekongkol untuk membinasakan kamu.”
Aryo tertawa. Dibukanya dadanya lebar-lebar, sambil merentangkan kedua lengan ke samping, dia berkata mengejek,:
“Silakan, silakan membinasakan saya. Saya tidak akan menghindar, apapun yang akan sampeyan lakukan dengan keyakinan sampeyan. Silakan! Kalau saya mati, sampeyan mau apa? Mau mengambil Rayun? Dengan paksa, atau dengan cara perdukunan? Dengan pellet? Dengan….apa?”
“Diam! Tutup mulut kamu!”
“Oke,…oke…”
“Mana gadis itu!”
“Rayun? Hahaha…cari sendiri dong!”
“Setan alas! Mati kowe Aryo, mati kowe!”
Pamugaran merapatkan gigi, jemarinya tegang menarik pelatuk, namun dengan sigap, entah bagaimana caranya, tiba-tiba Aryo melompat, menarik tangan Pamugaran ke atas. Pistol meledak, sekali, dua kali,…tiga kali,….semuanya melenceng tak tentu arah. Sebuah jeritan kecil membuat Aryo tercekat. Namun pergumulannya dengan Pamugaran belum selesai. Lelaki keturunan Cina Bali dan Itali itu ternyata terlalu tangguh untuk dikalahkan dalam satu gebrakan. Tubuh keduanya bergulingan, nyaris jatuh ke ceruk penuh semak di lereng bukit. Dan….seperti apa yang dikuatirkan Om Harso, seekor ular putih keluar dari persembunyiannya. Bergerak cepat di antara semak, dan seakan terbang ke arah leher Pamugaran.
Pamugaran menjerit keras, setengah kesakitan setengah kengerian. Ular itu sudah menancapkan bisanya ke urat nadi di leher Pamugaran. Kini lelaki itu menggelepar sendirian, menuju jurang, menggelinding bersama si ular putih. Teriakannya menggema panjang, membuat bulu kuduk Aryo merinding. Beberapa saat, Aryo bagai terkesima. Nafasnya tersengal, lututnya gemetar. Membayangkan perasaan Pamugaran pada saat menyadari lehernya dibelit ular, sementara taring hewan itu sudah meancap ke urat nadi dengan kuat.
Astaghfirullahaladzim….
Ular itu…!
Aryo Wangking yakin, bukan ular biasa. Dirinya sangat yakin, bahwa ular itu adalah ular jelmaan. Kali ini Naga Tatmala telah mempertontonkan kekuatannya. Dia sudah bisa menjelma apa saja, menjelma menjadi seekor naga besar, maupun menjadi seekor ular sebesar kelingking. Bukan hanya di alam ghaib, namun sudah berhasil ‘mengejawantah’ di alam nyata. Allahu Akbar. Semua itu terjadi adalah karena atas ijin dan kekuasaan Tuhan.
Tiba-tiba saja dia teringat akan suara jeritan di tengah pergumulannya dengan Pamugara tadi. Jeritan kecil… !! Suara jeritan siapa?
Ya Allah. Rayun! Dimana gadis itu? Rayun,…Rayuuuun….
Bagaikan kesetanan, Aryo berlari mengitari bukit. Dan …disitulah, di bawah sebatang pohon karet tua yang telah kropos, gadis itu terbaring dalam lumuran darah di dada kanannya!.
Aryo memeluknya, mendekapkan kepala cantik itu ke dadanya. Lelaki tinggi tegap dan brewokan itu kini terisak, sama seperti saat dia menerima penyerahan ruh Rayun di Pantai Selatan dulu.
Rayuuuun,…ratapnya. Kenapa juga semua kejadian beratus tahun itu kembali datang sama persis seperti ini? Jangan pergi Rayun, jangan. Sungguh aku tidak ikhlas, aku tidak terima atas takdir yang dijatuhkan Tuhan kepada kita, sungguh….!
“Nakmas….”
Sebuah teguran yang disertai tepukan di pundak, membuat Aryo menoleh. Dilihatnya Om Harso dan Supeno menatap tertegun ke arah Rayun.
“Ada apa ini,….ada apa?” tanya Om Harso.
Aryo tak mampu menjawab. Bibirnya kelu, lidahnya kaku. Gemetar menahan isak. Dia hanya mampu menunjukkan keadaan Rayun kepada lelaki tua berkacamata itu. Om Harso memeriksa denyut nadi di leher, hal yang samasekali tidak dilakukan Aryo sejak tadi.
“Dia masih hidup. Walau denyutnya sangat lemah,” kata Om Harso. “Ayo segera kita bawa ke puskesmas setempat sebagai pertolongan pertama. Sesudah itu kita bawa ke rumah sakit di kota.”
Aryo tengadah, menatap langit yang mulai rembang. Ya Allah,…bisiknya. Terimakasih. Dikecupnya kening Rayun sepenuh cinta. Tak ada lagi kelegaan serupa saat itu dirasakan Aryo selama hidupnya. Semoga Engkau menyelamatkan nyawanya, ya Robb!
(Masih nyambung ke episode 31 berikutnya.)
*Catatan : novel ini pernah dimuat di majalah Fakta, dg nama Indrawati Poerbosisworo. Dengan perbaikan di sana sini. Terimakasih.

* palakrama : menikah
* mengejawantah : menampakkan diri di bumi