Sabtu, 20 Maret 2010

TROWULAN (12)



Pada malam yang sama, di tempat yang sama, Aryo Wangking tengah memimpin satu upacara ritual. Ada beberapa orang ikut di dalamnya. Sebagian besar adalah penduduk setempat, sebagian lagi adalah anggota keluarga dokterandus Bondan Kejawan. Mereka semua duduk mengitari nasi tumpeng dengan lauk pauk pendampingnya yang semuanya terbuat dari daging kerbau bule pancal panggung. Sedangkan kepalanya dibungkus kain putih dengan segala uba rampe, diletakkan di atas sebuah rakit kecil, siap untuk dilabuhkan ke laut.
Seseorang membaca doa, memohon keselamatan kepada Yang Maha Kuasa. Kemudian setelah semuanya siap, dengan sebuah perahu motor Aryo Wangking dan dokterandus Bondan Kejawan membawa rakit kecil berisi kepala kerbau itu ke laut lepas. Setelah mencapai limapuluh meter dari pantai, rakit itu dilepas. Didorong lebih ke tengah. Laut yang tadinya cukup tenang dengan riak-riak kecil, mendadak sontak mulai bergolak. Konon, ombak selalu mendahului kehadiran Sang Penguasa Laut menerima labuhan yang dilakukan penghayat.
“Apa artinya itu, mas Aryo?” bisik Bondan Kejawan.
“Artinya sedekah Bapak telah diterima. Insya Allah keduanya selamat. Kalaupun berbeda, itu semua adalah takdir Allah. Untuk selanjutnya, jangan lupa menyantuni anak yatim dan bersedekah bagi fakir miskin,” sahut Aryo Wangking.
“Insya Allah akan saya laksanakan, Mas.”
“Amien.”
Rakit dengan dua kepala kerbau itu berputar-putar bagaikan berada di atas pusaran air. Makin lama makin cepat. Makin lama makin tenggelam, lantas menghilang bagai dihisap ke dasar laut.
“Bapak lihat,” kata Aryo Wangking. “Perjanjian antara nenek moyang Bapak dengan Kanjeng Ratu Kidul sudah selesai. Semuanya larut malam ini bersama dengan sedekah yang Bapak berikan.Bersyukurlah bahwa Tuhan telah memberi petunjuk kepada Bapak untuk menyelamatkan sisa keluarga yang ada dari sukerta.”
“Alhamdulillah,” kedua mata Bondan Kejawan berkaca-kaca.
Aryo Wangking menepuk bahunya sambil tersenyum. Kapal motor itupun berputar, kembali ke darat. Disana warga setempat tengah asyik makan bersama menghabiskan sisa nasi tumpeng. Aryo Wangking melepas keluarga dokterandus Bondan Kejawan sampai ke mobil. Mereka berpamitan pulang langsung ke Banyuwangi.
Aryo mendekat ke arah orang-orang yang tengah mengelilingi nasi tumpeng. Dia tidak ingin mengganggu mereka, tetapi mengambil tempat duduk tak jauh dari mereka di bibir pantai, diatas sebatang pohon nyiur tumbang yang diletakkan orang begitu saja disitu. Dicabutnya sebatang rokok dari bungkusnya lalu disulut. Dia nikmati aroma khas yang ditebarkan angin dari arah laut ke darat. Debur ombak dan bau yang khas, membuat pikiran Aryo menerawang kemana-mana. Dirasakannya kedua matanya demikian lelah. Sejak kemarin, sudah duapuluh empat jam dia tidak tidur. Dia berdzikir terus menerus nonstop memohon kepada Tuhan agar didengar doanya, diijabahi niat baiknya untuk menyelamatkan sisa keluarga dokterandus Bondan Kejawan dari perjanjian antara leluhurnya dengan Penguasa Laut pemilik mas picis raja brana yang berasal dari alam gaib yang kebanyakan diminati para manusia yang serakah.
Tiba-tiba Aryo merasa terganggu oleh sesuatu di seberang sana, di atas ombak yang bergelora, jauh sekali disana. Dipicingkannya mata dan berharap dengan kacamata spiritualnya dirinya bisa melihat apa yang sedang terjadi disana. Bagai disengat kala, dia terlonjak. Sepasang matanya kini bisa melihat dengan gamblang dua makhluk sedang berposah-pasih, berkasih-kasihan di atas lidah ombak yang menjilat ke langit tinggi. Dalam wujud lain, sesuai dengan trawangannya, Naga Tatmala tampak menjelma sebagai seorang pria tampan, gagah pideksa, yang dengan lengannya yang kokoh melontarkan lalu menangkap tubuh seorang gadis berpakaian setengah dada, kemben kain parang, cantik sekali. Pria itupun berpakaian aneh. Dia bertelanjang dada, bersorjan kain parang klitik, berjamang kain destar hitam yang dililit benang emas di kepalanya.
Dengan lebih menajamkan mata, Aryo melihat wujud asli kedua makhluk itu adalah Naga Tatmala dan Rayun Wulan. Mereka itu tampak gembira sekali. Tawa dan jerit manja Rayun Wulan demikian nyaring, menyengat anak telinga Aryo Wangking. Menusuk-nusuk. Dilihatnya pula keceriaan Rayun Wulan dari gerak kepalanya yang kadang tengadah saat ditangkap lengan kokoh kesatria berjamang kain wulung. Di saat yang lain, ia seperti bocah kecil yang asyik bermain lompat-lompatan diatas gelung seekor Naga besar yang dengan mesra memeluknya.
Sebuah torehan panjang melukai hati Aryo Wangking. Dia memejam dengan dada perih. Dirasakannya kecemburuan meruyak rongga dada. Astaga, cemburukah aku? pikirnya kaget. Cemburukah aku pada seekor naga siluman? Pantaskah itu? Tiba-tiba tumbuh dalam hati sebuah tuduhan kepada Kanjeng Ratu Kidul akan janjinya yang ingkar. Dalam kemarahan dan kecemburuan yqang menyengat, Aryo menahan nafas. Bibirnya bergerak merapal sebuah doa andalan, memohon kekuatan kepada Yang Maha Kuasa untuk mengalahkan siluman raksasa berbentuk naga itu.
Secepat kilat, bagai sebutir meteor, secara gaib kekuatan tubuhnya melesat. Menyambar dan menghantam kepala Naga Tatmala hingga naga raksasa itu terpental. Sebelum sadar akan apa yang terjadi, Naga Tatmala kembali merasakan sebuah hantaman dahsyat pada bawah lehernya. Naga Tatmala tersedak. Hampir tak dapat bernafas. Orang kecil ini sungguh hebat, pikirnya. Dibandingkan dengan tubuhnya yang raksasa, orang kecil itu tak punya arti. Tetapi pukulan dan hantamannya hampir saja membuat nafasnya putus. Tatmala jadi lebih geram tatkala harus menyaksikan tubuh Rayun Wulan tergelincir jatuh ke laut.
Naga tatmala segera bertiwikrama, mengubah wujudnya menjadi seeorang kesatria gagah. Dalam kemarahan, dia melihat Aryo Wangking juga berubah wujud menjadi aslinya seorang kesatria tampan yang dikenalnya bernama Nambi, sang Rakryan Mahapatih Hamengkubumi yang tak kalah perkasa dengan dirinya.
“Pergi kamu, enyah!” seru Nambi seraya terus melancarkan serangan serangan yang mengandung petir.
Tatmala terus menerus mengelak, tak ingin melawan.
“Apa maumu, Nambi?” balasnya.
“Dalam satu peristiwa di Puri Agung Kanjeng Ratu Kidul kau telah kukalahkan, Tatmala. Dan Kanjeng Ratu sudah merelakan gadis itu kepadaku. Sesuai dengan perjanjian seorang Ratu, kaupun tak boleh mengingkarinya.”
“Siapabilang? Selama kau belum menepati janji, apakah aku harus menjaga janji itu?”
“Apa maksudmu?”
“Kau berjanji akan menjaga gadis itu dan menjauhkannya daroi sukerta yang ditimpakan padanya oleh pelukis dari Gianyar itu.”
“Memang.”
“Tapi mana buktinya?”
“Aku tak mengerti maksudmu, Tatmala.”
“Buktinya, gadis itu masih terus lengket dengan pelukis itu. Kau lihat? Nyawanya masih terus diupayakan untuk menjadi jaminan ketenarannya. Selama kau tidak mampu menjaganya, Nambi, sebaiknya kauserahkan saja gadis itu padaku.”
“Kurang ajar!”
“Hahaha, Nambiiii, …Nambi! Dari dulu kau tetap saja bodoh dalam soal wanita. Ketauilah, Nambi, kalau sampai batas waktunya tiba dan kau tetap saja lelet, jangan salahkan aku kalau aku terpaksa memboyongnya ke alamku. Menjadikannya istriku. Jangan kuatir, aku mampu membahagiakan dia, huahahaha….”
“Dasar siluman! Kau tak berhak apapun atas dirinya. Ada tangan-tangan yang lebih berkuasa dari siapapun di dunia ini atas diri manusia. Yaitu Allah Ta’ala. Seharusnya kau tau itu.”
Tatmala masih tetap tertawa lebar. Sambil menarik wiron kain sorjan dan mengibaskannya ke samping dia membalas kata-kata Nambi.
“Baiklah Nambi, jagalah anak gadis itu baik-baik. Sekali kau lengah, maka akan kubuktikan ucapanku. Selamat tinggal.”
Nambi menggertakkan gigi. Kurang ajar! Gaya kurang ajar dan tengil seperti itu memanglah menjadi ciri khas Naga Tatmala. Kini disaksikannya naga siluman itu kembali berubah wujud menjadi seekor naga raksasa, dengan jamang dan tanduk kecil di kepalanya. Naga itu meliuk, bergelung, kemudian meluncur pergi. Ombakpun ikut bergulung-gulung. Menggelora bagaikan diaduk oleh tangan-tangan raksasa. Angin beerhembus kencang mengiringi hujan yang deras turun dari langit. Semua itu diikuti oleh petir dan guntur.
Di bibir pantai, Aryo membuka mata. Sesaat dihapusnya mata dengan telapak tangan lalu menengok ke arah orang-orang yang sedang melakukan kenduri. Dilihatnya mereka semua kini membubarkan diri sambil mengemasi sisa nasi tumpeng, membawanya ke warung terdekat. Hujan turun mendadak semakin deras. Aryo Wangking sendiri segera berlari kecil menuju teritisan warung nasi bersama orang-orang itu.
Setengah berdesak desakan, mereka duduk di bangku bangku warung.
“Aneh,” terdengar seseorang berkomentar. “Langit yang tadi begitu cerah, kenapa mendadak jadi mendung gelap dan hujan deras begini ya.”
“Ini bukan hujan biasa, ini badai,” sahut teman bicaranya.
Yang lain membenarkan. Bahkan rembulan yang tadi sempat membiaskan sinarnya ke permukaan laut, mendadak tersaput awan hitam bergumpal gumpal. Ombak setinggi rumah menghempas ke pantai. Hampir menjilat atap teritisan warung. Orang-orang menyingkir lebih jauh ke dalam, menghindari tempias hujan. Tukang warungpun cepat-cepat menutup[ dagangannya. Dia bercerita , kalau laut sudah marah seperti ini, lidah ombak bisa masuk ke dalam warung dan rumah-rumah penduduk di sepanjang pantai.
“Banjir?” tanya seseoranga kepada pemilik warung.
“Ya banjir, permukaan air bisa mencapai sepuluh senti.”
“Wah!”
Mereka memandang keluar, kea rah derasnya angin. Pohon-pohon nyiur seakan sedang berusaha keras untuk tetap berdiri tegak, meliuk ke kiri, meliuk ke kanan. Nyaris roboh. Butiran air hujan yang sedemikian rapat membentuk sem,acam tirai kabut yang tebal.
Mendadak mata Aryo menangkap bayangan dua orang berlari-larian ke arah mereka. Kedua orang itu masuk ke teritisan warung. Beberapa orang menyingkir, memberi ruang kepada mereka untuk masuk lebih ke dalam.
Aryo merasakan darahnya berhenti. Dua orang baru itu ternyata Rayun Wulan dan Pamugaran. Mereka basah kuyup. Dan atas saran orang-orang, mereka masuk lebih ke dalam lagi menghindari tempias hujan. Beberapa detik, pandangan mata Rayun Wulan berhenti ke satu titik dimana sepasang mata rajawali menatapnya tajam, memagut dari sudut agak gelap di dalam warung nasi itu.
Untuk sesaat Rayun membiarkan matanya membalas tatapan rajawali itu. Alangkah anehnya ketika kemudian dia merasakan ada getar-getar ajaib menyelinap di hati tatkala kedua pasang mata mereka saling bertemu. Kalau saja…
Sayangnya, dirinya sudah terlanjur amat dekat dengan Pamugaran. Bahkan kini lengannya bergayut manja pada lengan Pamugaran.
Pemilik warung mempersilakan mereka duduk dan menawarkan teh panas atau kalau mau, semangkuk mie telor kepada sepasang merpati itu. Namun Pamugaran menolak dengan halus. Dia duduk dan membantu Rayun menepis sisa iar hujan dari mantel wol yang dikenakan Rayun Wulan. Sehelai saputangan daikeluarkannya dari saku celana, lalu dikeringkannya rambut gadis itu.
Semua itu tak luput dari tatap mata cemburu Aryo Wangking. Dia menaksir-naksir umur Pamugaran. Kira-kira saja, berapa umur laki-laki itu? Dan bagaimana Rayun bisa tertarik kepadanya? Sudahkah dia tau, siapa sebenarnya Pamugaran?
Sekali dua, mata Rayun membalas tatapannya. Aryo tak ingin berpaling, hingga dua pasang mata mereka jadi sering bersirobok pandang. Dengan tidak sabar, akhirnya Aryo Wangking berdiri. Berjalan kea rah mereka. Ditepuknya bahu Pamugaran dan diulurkannya tangan.
Kaget, Pamugaran menengok.
“Oh, mas Aryo!”
Diguncangnya tangan Aryo dan diguncangnya dengan hangat.
“Bagaimana kabarnya?” imbuhnya seraya mempersilakan duduk. Aryo sengaja mengambil tempat duduk berseberangan dengan Rayun Wulan. Dia ingin tau, bagaimana reaksi gadis itu bila berdekatan dengannya.
“Baik, Alhamdulillah. Mas Pamugaran sendiri bagaimana, baik-baik saja?” balasnya.
“Beginlah. Sehat. Sendirian saja, Mas Aryo?”
“Tadinya saya datang berombongan dengan orang-orang Banyuwangi. Tetapi mereka sudah pulang sejak sebelum turun hujan itu. Tadi berlari-lari, kalian darimana?”
“Dari atas.”
“Sanggar?”
“Ya. Dari Pura.”
“Oh.”
Aryo tersenyum. Jadi Pamugaran menyebut sanggar di atas Pulau Kambang itu Pura.
“Ada kepentingan khusus rupanya, sampeyan,” ujar Aryo.
“Ah, hanya sedang mencarin obyek lukisan saja. Tadi pagi hingga sore, saya ada di atas sana. Melukis bukit karang itu.” Kilah Pamugaran.
“Sudah selesai?”
“Tinggal finishingnya saja.”
“Boleh saya lihat?”
“Wah, itu suatu kehormatan bagi saya loh. Lukisan itu ada di pondok yang saya sewa tak jauh dari sini. Kita kesana sekarang?”
Aryo mengalihkan pandangannya ke Rayun. Seolah menuduh dengana marah. Jadi kalian menyewa sebuah pondok, berdua saja disana? Rayun tak kuasa menghindar. Ia tampak geragapan menerima tatap mata seperti itu.
Untunglah Pamugaran segera menariknya berdiri. Mereka keluar dari warung. Aryo merapatkan kelepak jaket kulitnya sebelum mengikuti mereka. Berlari-larian ketiga orang itu menyeberang ke pondok sewaan, tak jauh dari warung.
“Ini pondoknya,” kata Pamugaran seraya membuka pintu.
Aryo menatap sekitar.
Hmm, romantis! geramnya. Diikutinya mereka masuk. Udara agak lebih hangat di dalam. Beberapa gulungan kain kanvas tergeletak di sudut ruang. Kuas, cat minyak dan pakaian pria berserak di atas ranjang bambu. Seperangkat meja tamu ada di sudut yang lain. Ada bungkus makanan, permen, dan tas milik Rayun.
“Maaf,” kata Pamugaran. “Berantakan.”
Aryo duduk. Matanya kembali menyambar wajah Rayun.
Apa yang telah kamu lakukan sejak datang kesini? Tuduhnya. Berciuman, atau apa?
“Ini,” kata Pamugaran seraya memperlihatkan lukisan batu karangnya. Aryo melihatnya. Lukisan itu secara umum, memang bagus. Namun sama sekali dia tidak tertarik. Dia hanya tertarik pada peergulatan-pergulatan yang ada di kepalanyaa sendiri. Tentang sesuatu yang mungkin saja terjadi antara pelukis dari Gianyar dengan penulis dari Surabaya itu! Sesuatau yang bisa jadi menyeramkan. Tetapi bisa saja sedemikian romantisnya hingga membuat Aryo meremang. Bukankah mereka berdua sama-sama pelaku seni? Pasti romantis sekali bila sedang pacaran. Namun kalau bukan cuma berciuman, namun lebih jauh lagi, bagaimana?
Tanpa sadar Aryo mendesah.
“Ah!”
Pamugaran menatapnya, kuatir bahwa itu adalah reaksi jelek atas lukisannya.
“Bagaimana?” tanya Pamugaran.
“Oh, bagus. Ini bagus sekali.” Sahut Aryo sekenanya. Padahal, tau apa dia tentang lukisan?
“Sekali waktu kalau sampeyan ikut pameran, saya harus diberi tau,” tambahnya tersenyum.
“Pasti,” kata Pamugaran tertawa senang.
Mereka kemudian tenggelam dalam sebuah obrolan yang panjang. Dan karena belum puas, maka Aryo mengajaknya keluar. Mereka minum kopi di warung, sementara Rayun tetap tinggal di pondok.
Sambil menghisap rokok, Aryo berkisah tentang dirinya, sejak kecil hingga lulus perkuliahan. Kemudian oleh panggilan jiwa, diapun lebih suka tinggal di situs purbakala Trowulan. Bekerja di Musium, dan bertempat tinggal tak jauh dari Candi Bajangratu atau lebih dikenal oleh para arkeolog, sebagai Gapura Paduraksa. Pamugaran juga mengisahkan perjalanan hidupnya hingga menjadi pelukis terkenal di Ubud.
Hingga jauh malam mereka mengobrol. Suatu ketika setelah melantur kemana-mana, akhirnya Aryo bertanya,:
“Kalian berpacaran?”
Pamugaran terlihat kaget menerima pertanyaan itu.
“Saya? Berpacaran dengan Rayun?” tanya dia balik.
Dilihatnya Aryo tengah menghisap rokok dalam-dalam, kemudian menghembuskannya dengan mata menyipit ke arahnya. Entah kenapa tanpa dapat dijelaskan, mendadak Pamugaran merasa rikuh menerima pertanyaan sekaligus tatap mata seperti itu.
“Kami hanya berteman,” jawabnya kemudian.
“Masa? Sepertinya antara sampeyan dan saya tak jauh berbeda. Kita ini kaum laki-laki tau apa arti pertemanan dengan seorang perempuan? Barangkali yang ada cuma sesuatu yang didorong oleh keinginan,” kata Aryo sambil tertawa kecil.
“Maksud mas Aryo, apa?” tanya Pamugaran diliputi perasaan tidak suka atas gaya bicara Aryo yang kelihatan sok itu.
“Begini, menurut saya, ada keinginan dalam tubuh kita bila kita berdekatan dengan perempuan berwajah cantik. Keinginan yang semata-mata didorong oleh kebutuhan jasmani.”
Pamugaran mengerutkan kening.
“Kalau begitu, mas Aryo sudah salah menilai saya,” bantahnya.
“Baiklah, ini jujur saja mas Pam. Apa sampeyan suka kepadanya?”
“Pertanyaan itu terlalu menohok, mas Aryo,…saya…”
“Jawab saja, kenapa musti bingung sih?”
Lama, Pamugaran baru menjawab,:
“Saya akui, sepertinya saya mulai menyukai dia.”
“Nah! Itu dia masalahnya. Lantas, apakah itu bisa dikatakan sebuah pertemanan? Sebab, perasaan suka kalau dilanjutkan akan berubah bunyinya loh mas Pam!”
“Mas Aryo ini berpikiran terlalu jauh. Memang saya akui, perempuan cantik selamanya menimbulkan pesona. Apakah saya salah, kalau kemudian saya lupa pada arah arus hanya karena perempuan cantik?’
“Saya tidak menyalahkan sampeyan. Jiwa yang terluhurpun tak mungkin mengelakkan diri dari dahaga jasmani. Apalagi mas Pamugaran pasti sudah pernah berkeluarga, sudah pernah punya istri. Lantas, bagaimana dengan istri sampeyan?”
“Saya memang pernah berkeluarga. Anak saya satu-satunya meninggal saat dilahirkan. Lalu kami bercerai. Orang seusia saya, mana ada yang belum pernah berkeluarga? Tahun ini saja umur saya limapuluh dua. Cukup tua untuk kembali jatuh cinta. Itu maksud anda kan mas Aryo? Tetapi kata para filsuf, cinta itu buta. Dia akan mendatangi siapa saja yanag dia kehendaki tanpa pandang bulu. Orang sudah mau masuk liang lahat saja, kalau dikehendaki, tiba-tiba bisa jatuh cinta pada penggali kuburannya kok.”
Mau tak mau Aryo Wangking jadi tertawa ngakak.
“Jadi bener nih, dia adalah calon yang sampeyan pilih?” sindirnya.
“Apa mau dikata. Sejak bercerai dan menduda tiba-tiba saja saya ingin kembali menikah.”
Mata Aryo kembali menyipit.
“Saya tidak tau,” tambah Pamugaran. “Apakah dia mencintai saya atau tidak, setidak-tidaknya menaruh hati pada saya,…rasanya kami hanya berteman mengobrol dan kemudian muncul niatan dalam hati saya menjadikan dia model lukisan saya. Selebihnya teergantung…”
“Siapa yang tau?” sela Aryo cepat.
Bibirnya mengguratkan sebuah senyumman sinis.
Pamugaran melihatnya, namun perasaan tak suka pada lelaki bertopi koboi itu mendadak saja menyodok ulu hatinya. Geraam melihat gayanya. Ingin membunuhnya, kalau bisa!
“Jarang ada lelaki mau berteman dengan seorang perempuan cantik hanya sekedar teman ngobrol saja,” kata Aryo Wangking masih dengan mengulum senyum sinis.
“Rata-rata lelaki kalau dengan perempuan pasti mau yang itu. Yah…, tentu saja tidak dengan semua perempuan. Tapi kalau perempuan itu seperti dia, mana bisa sih, cuma berteman ngobrol?” tambahnya.
Raut wajah Pamugaran seketika pucat pasi. Kapalanya bagaikan dihantam palu godam berton ton beratnya. Egonya yang lumayan besar mendominasi segenap perasaan membuat darahnya mendidih.
Aryo menyimpan senyumannya dalam hati. Dia puas melihat perubahan wajah Pamugaran seperti itu. Siapa yang tidak tau bagaimana dia mengawini Ni Darni? Gadis lugu dari Ubud itu pertama-tama dijadikan model, dirayu, dihamili, dinikahi, lalu diceraikan begitu saja tatkala melahirkan seoranag bocah laki-laki berwajah naga. Bayi itu memang mati. Tapi rohnya tetap hidup dan diambil oleh penguasa Laut Selatan sebagai abdi, atau budak. Dijadikan wadal oleh pelukis ganteng dari Gianyar itu demi sebuah ketenaran yang melejit bak meteor. Harta tentu datang dengan sendirinya bila karya-karyanya seakan berkharisma dan berbau magis serta diminati oleh banyak kolektor besar dalam negeri maupun manca Negara. Dan namanya bakal melebihi para maestro di jagad belantara ini.
Aryo mematikan rokok. Menggilasnya di piring kopi. Matanya mengerling ke arah Pamugaran dengan hati ngakak. Menertawakan kebingungan bercampur kemarahan yang tersirat di wajah culun itu.
Haha!
Wajah culun yang seakan tak mengenal dosa itu bahkan merelakan gadis yang dicintainya untuk ditiduri oleh seekor naga siluman. Naga inilah yang ikut berperan dalam menyelesaikan karya-karyanya. Gerakan tangannya yang cekatan saat menorehkan cat di atas kanvas, sesungguhnya adalah gerakan cakar-cakar naga siluman. Untuk itulah maka dalam setiap memulai membuat karya, Pamugaran tak pernah lupa melakukan sebuah upacara ritual yang disertai asap dupa bagi sesembahannya. Aryo tidak tau, apakah Naga Tatmala yang menjadi sesembahan Pamugaran itu melakukan persetubuhan dengaan Ni Darni atau tidak, yang jelas bayi yang dilahirkannya mirip naga, berhidung pesek, dan berkulit kering bersisik.
Namun anehnya, Naga Tatmala sangat peduli dengan Rayun Wulan. Kenapa? Apakah karena dia inkarnasi dari Rara Ireng? Atau apa? Naga itu seakan-akan tak ingin melihat Rayun dijadikan wadal. Dia selalu mengawasinya dengan caranya sendiri. Apakah sang naga jatuh cinta kepada gadis itu, atau bagaimana? Bagaimanapun, Aryo tidak ridho apabila Rayun harus disatukan dengan siluman naga, sebaik apapun siluman itu. Manusia jodohnya adalah manusia juga, bukan siluman!
Hingga subuh datang, mereka masih duduk di bangku panjang warung nasi dekat bibir pantai. Saat suara adzan berkumandang dari surau tak jauh dari perkampungan nelayan, Aryo berpamitan akan mandi sekalian mengambil air wudhu. Pamugaran kembali ke pondok dengan gontai. Tubuhnya lemas. Hatinya tak keruan. Marah dan tersinggung bercampur aduk, rasanya sulit dilerai begitu saja.
Di pondok, tampak Rayun tengah mengemasi barang-barang.
“Kita pulang, Pam?” tanya Rayun begitu Pamugaran muncul di pintu.
“Ya. Tolong kau bereskan semuanya. Aku pergi mandi dulu.”
Dia menyambar handuk, dan bergegas keluar, menuju kamar mandi umum yang memang disediakan bagi para tamu dan penghayat di Balekambang. Di sana dia bertemu Aryo. Lelaki itu tampak segar sesudah semalam suntuk tidak tidur. Tak terlihat sedikitpun dia mengaantuk. Rambutnya yang basah peertanda dia sudaha selesai mandi dan berwudhu. Setelah bertegur sapa sejenak, Aryo bilang dirinya telah melakukan shalat dia akan segera pulang.
“Terus ke Surabaya?” tanya Pamugaran.
“Sampeyan lupa, atau bagaimana? Rumah saya di dukuh Kraton, dekat Gapura Paduraksa, Trowulan.”
“Oh, sori. Lupa.”
Mereka tertawa bersama seolah olah tidak pernah ada ganjalan.
“Tolong pamitkan saya sekalian pada Rayun Wulan,” kata Aryo.
“Akan saya sampaikan.”
“Mari mas Pam. Sampai ketemu lagi kapan kapan.”
Pamugaran melambaikan tangan.
“Jangan lupa, undang saya kalau mas Pam berpameran.”
“Pasti.”
“Kalau perlu sama saya, Mas bisa menemui saya di museum Trowulan, atau di Siti Hinggil.”
“Musium dan Siti Hinggil,..beres!”
Aryo melompat ke atas jip Nissan, menstarternya, dan melaju ke tikungan. Menghilang dari pandangan mata Pamugaran. Topi koboi yang menjadi ciri khasnya, dan Nissan tanpa kap menjadi jati dirinya. Sekilas, sebuah senyum tipis mengulas bibirnya.
Manusia, pikir Aryo sambil memacu mobilnya dengan cepat, selalu ingin tau kebenaran yang kadang diungkapkan kadang disimpan dalam keheningan. Sesungguhnya, kebenaran itu bukanlah dalam apa yang diungkapkan kepada kita. Namun dalam segala yang tak dapat diungkapkan kepada kita. Oleh sebab itu apabila kita hendak memahaminya, jangan dengarkan apa yang dikatakan, melainkan apa yang tak terkatakan.
Dari dalam pondok, melalui jendela yang terbuka lebar, Rayun melihat jip tua tanpa kap itu melintas sangat cepat. Menyadari ketidakpastian akan pertemuan berikutnya dengan laki-laki itu, mendadak saja Rayun merasakan sebuah keheningan yang menyesak dada. Dia tau bahwa hidup itu harus dihadapi dengan keberanian dan kejujuran. Namun Rayun tak tau masihkah ada kejujuran itu dalam hatinya? Cukup jujurkah dia memperlakukan perasaan dan kebersamaannya dengan Pamugaran apabila ada baying-bayang lelaki lain yang selalu menyelinap di relung hati paling gelap di dadanya?
Barangkali batas itu menjadi jelas baginya, antara naluri dan rasa, yang muncul kemudian. Cinta memang memiliki seribu wajah. Dan rasa kepada Aryo Wangking yang tumbuh dalam hatinya, adalah rasa yang tak mudah dipungkiri. Di matanya, Aryo Wangking adalah merupakan gambaran pribadi yang penuh semangat hidup, penuh cita-cita, optimis, namun tanpa basa-basi menerima kodratnya. Diam-diam dalam hati Rayun berdoa, semoga masih ada kesempatan bisa bertemu dengan Aryo Wangking kembali.

(Bersambung).

TROWULAN (11)



BALEKAMBANG, MALANG SELATAN
Pantai Balekambang terletak di sebelah Selatan kota Malang. Orang setempat mengatakan pantai laut Selatan ini seringkali meminta korban. Namun menurut penuturan juru kunci Mbah Imam, para korban itu kemungkinan sedang diambil menantu oleh Penguasa Laut. Buktinya, mayat mereka tak pernah ditemukan.
Masih kentalnya kepercayaan masyarakat setempat terhadap pamor Sang Penguasa Laut dibuktikan dengan upacara labuhan setiap tahun. Konon acara ini diadakan untuk melindungi warga masyarakat setempat dari mara bahaya. Di pesisir Selatan Pulau Jawa, acara serupa juga diadakan. Seperti misalnya, di Banyuwangi, Tulungagung, Parangtritis, atau Cilacap. Kendati konotasinya berbeda. Yakni untuk keselamatan para nelayan di laut.
Banyak orang percaya, ketika acara itu berlangsung, Penguasa Laut juga ikut hadir. Dia akan menjaru sebagai penonton. Begitu juga dengan para pengawalnya. Acara acara tersebut tak jarang dipergunakan oleh Sang Penguasa Laut untuk mencari menantu. Sebagai akibatnya, bisa saja secara tiba-tiba ada yang jatuh menjadi korban. Ditelan ombak. Dan mayatnya hilang begitu saja tak pernah kembali. Mereka yang menjadi korban biasanya dikarenakan telah melanggar pantangan yang telah digariskan. Misalnya, mereka yang mengenakan baju hijau, atau mereka yang suka berbicara sombong tak keruan di tempat dimana upacara sedang berlangsung.
Pada hari itu, Rayun Wulan ikut beersama Pamugaran ke pantai Balekambang. Udara terasa sejuk sejak hujan semalam. Angin sepoi bagaikan hembusan nafas bidadari. Rayun sangat menikmati panorama di bibir pantai. Dia duduk melamun diatas sebatang pohon nyiur yang tumbang dan diletakkan orang begitu saja dipinggir pantai. Dipandangnya ombak yang mirip buih sabun, membentuk lingkaran-lingkaran kecil, berputar putar bersama air laut yang menghijau (bukan biru). Rayun tidak tau, kenapa air laut di bibir pantai pulau Balekambang bukan biru atau kesoklatan, namun serupa dengan hijaunya batu topas.
Di langit burung camar melayang-layang menghampiri, serumpun demi serumpun. Begitu tengadah, Rayun melihat langit terbentang luas, biru bersih. Sementara di depannya sana, laut berbusa-busa menghamtam pantai, naik ke bukit karang, lalu pecah dan disusul ombak berikutnya saling kejar mengejar dan berlomba menghantam karang.
Di atas bukit batu karang itulah kini Pamugaran berada untuk mengambil panorama indah bagi lukisannya. Bisa dipastikan, lelaki paruh baya itu akan turun setelah lewat tengah hari. Atau bahkan selewat senja. Sebab kalau sedang berhadapan dengan kanvas dan ebrmain-main dengan cat minyaknya, Pamugaran bisa lupa segala. Dia akan benar-benar tenggelam dalam keasyikan yang sulit dilerai. Gerak dan bahasa tubuh serta jiwanya menyatu, menampakkan sebuah profesionalisme yang kental.
Sore berikutnya, mereka naik ke Pulau Kambang. Diatas pulau itu berdiri sebuah pura Hindu. Pamugaran menyampaikan keinginannya untuk bersamadi disitu. Kini Rayun Wulan tau, bahwa selain melukis, Pamugaran punya kebiasaan bersamadi, seakan dirinya masih memegang teguh budaya nenek moyangnya. Kemunculannya dalam kehidupan Rayun dirasakan bagai kebangkitan sebuah budaya. Pamugaran laksana seseorang yang memiliki daya linuwih karena produk budaya: Bali dan China. Tak sampai disitu, Pamugaran bahkan mengatakan bahwa sebelum mengenal Rayun Wulan, secara berkala dia pergi ke lereng Gunung Semeru mengunjungi Pura Mandara Giri Semeru Agung, yakni sebuah pura terbesar di lereng Gunung Semeru. Kata Pamugaran, di tempat itulah dirinya mendapatkan kemampuan gaib yang datang secara tiba-tiba seakan-akan dituntun oleh para leluhur. Maka ketika Pamugaran masuk ke dalam pura di bukit pulau Kambang itu, Rayun memilih untuk tetap berada di luat. Dia duduk bersandar ke dinding Pura sambil mencobamenggali inspirasi untuk tulisannya yang akan datang.
Tanpa terasa, Rayun Wulan jatuh tertidur.
Angin senja menjelang malam, bertiup lembut. Semilir, mengguncang pucuk pepohonan. Rasa kantuk itupun datang membuat sepasang kelopak mata Rayun jadi terpejam. Dirinya seakan ngelayup. Tidur tidur ayam. Pada saat itu, antara sadar dan tidak, dia melihat mata besar mengintip amat dekat ke wajahnya. Bukan sepasang, namun hanya sebelah. Rayun tersentak (masih dalam alam tak sadar), dan menyaksikan mata besar itu menjauh sebentar. Hanya sesaat. Namun waktu yang hanya sekejaran detik lonceng itu telah mampu membuat Rayun melihat jelas siapa pemilik mata besar itu.
Rayun melihatnya secara utuh.
Pemilik mata besar itu ternyata seekor naga bersisik perak. Sepasang tanduk pendek bertengger di kepalanya. Jenggot panjang berwarna putih melambai di rahangnya. Punggungnya bergerigi pajal, dan ekornya pipih berwarna perak kehitam hitaman. Naga itu panjang dan besar. Ada empat cakar kuat di bawah badannya. Namun anehnya, Rayun samasekali tidak merasa ketakutan saat dua pasang mata mereka saling bertatapan. Dirinya bahkan merasa amat senang seperti tengah bertemu dengan kawan lama yang dirindukannya.
Mendadak Rayun teringat pada Naga Siluman di Pantai Puger. Apakah yang sedang berhadapan dengannya adalah Naga di Pelawang Maut itu? Bagaimana bisa sampai di tempat yang jauh seperti ini? Rayun tidak memahami. Bagaimana hebatnya alam siluman. Sebagai makhluk tak berbadan kasat, pastilah bagi siluman dunia ini tanpa batas waktu dan ruang. Mereka bisa datang dan pergi ke suatu tempat dan masa, dengan sekehendak hati mereka. Tanpa keterbatasan bagai manusia biasa. Kalaupun mereka kadang bisa menampakkan diri ke dunia nyata yang dimiliki manusia, pasti ada sesuatu yang membuat mereka bisa saling bertatap mata, bahkan saling berinteraksi layaknya manusia biasa. Semua itu karena kehendak Yang Maha Kuasa, yang memiliki kehendakNya sendiri, Mengaturnya, dan membuat segalanya yang tidak mungkin terjadi jadi mungkin terjadi.
Rayun tersenyum. Dirasakannya ada segerobak rindu yang luruh dari hatinya. Ingin bisa memeluk Naga itu, namun bagaimana caranya? Apakah bisa? Bagaikan sebuah lukisan, rindu yang ada seolah begitu kental meleleh membasahi kanvas hati. Seakan akan mengerti, Naga itu menjulurkan lidahnya yang bercabang, menjilat wajah Rayun sekilas.
Rayun tertawa geli.
“Siapa nama kamu?” dia bertanya dalam sisa tawa.
Naga itu mengangkat kepala. Dia bergerak dengan gesit melingkari Rayun Wulan seakan-akan mengajaknya main tebak-tebakan.
Masa kau lupa namaku? Bisikan itu, Rayun yakin, adalah suara sang Naga.
“Ya, aku lupa. Tapi tak kusangkal, aku merasa sangat mengenalmu. Apakah kita pernah bertemu sebelum ini?”
Mungkin dengan ini kau akan ingat siapa aku
Naga itu makin cepat bergerak, melingkar-lingkar di sekeliling Rayun Wulan. Kemudian melesat ke udara, meliuk-liuk. Lalu dengan caranya sendiri dia mendekatkan lehernya yang besar ke Rayun Wulan, yang dengan senang hati kemudian memeluknya erat.
Naga besar itu kemudian terbang tinggi, meliuk-liuk, kemudian melemparkan Rayun ke udara. Dengan cepat dia meluncur turun mendahului Rayun mencapai permukaan laut, menggulung tubuhnya dan siap menerima tubuh Rayun yang jatuh. Begitu Rayun jatuh ke atas tubuhnya yang bergelung di atas lidah ombak, Naga itu melemparkannya kembali ke udara dan menerimanya kembali jatuh ke tubuhnya. Demikian berkali-kali, sehingga serupa dengan anak kecil yang bermain lompat-lompatan di atas kasur ibu. Suara jerit kesenangan terdengar sangat nyaring dari bibir Rayun Wulan. Membelah udara malam yang kian datang menjelang. Ombak berdebur kencang. Tinggi menghempas karang.
Rayun tergelak senang, teringat masa kecil bermain lompat-lompatan di ranjang busa. Perasaan serupa itu hampir tak lagi pernah dia rasakan. Kebahagiaan yang aneh merasuk amat dalam ke hati dan jiwanya. Tubuh rampingnya seakan dilempar dan ditangkap sepasang tangan kokoh seorang pria tampan perkasa. Naga itu mengayun, melempar, menangkap. Mengayun lagi, melempar, menangkap. Demikian seterusnya, hingga mendadak ada hempasan angin yang amat kuat, membuat sang Naga menggelepar. Dia tak mampu lagi menangkap jatuhnya Rayun ke permukaan laut. Rayun menjerit kaget saat dirinya jatuh. Bibirnya meneriakkan sesuatu, …sebuah nama…
“Rayun!”
Rayun tersentak bangun. Pertama yang dilihat oleh bola matanya adalah wajah Pamugaran.
“Kau kenapa?” tanya Pamugaran.
Rayun menegakkan punggung dan menjilat bibir yang kering.
“Aku…apakah aku tertidur?”
“Ya, kau tertidur. Sepertinya kau bermimpi. Tadi kau sempat menyebutkan sebuah nama.”
“Apa? Nama?”
“Mimpi apa kau? Nyenyak sekali tidurmu.”
Rayun menggeleng pelan. Nama, kata Pamugaran. Nama…? Siapa?
“Kau tidak apa-apa?” tanya Pamugaran kuatir.
“Tidak, aku tidak apa-apa.”
“Tetapi mukamu pucat sekali. Kau berkeringat.”
“Ah, aku tidak apa-apa. Kau sendiri bagaimana? Sudah selesai samadimu?”
“Ya, baru saja. Kucoba menembus alam gaib. Kata orang, disinilah gerbang menuju ke alam sana. Dan….aku berhasil.”
“Maksudmu,.. kau …berhasil menemui…”
“Ratu kidul? Ya.”
“Apa yang kaubicarakan dengan beliau?”
Pamugaran tersenyum. Dipeluknya Rayun, dan mengajaknya turun ke darat. Mereka menuju ke pondok. Setelah menuruni puncak pulau melalui tangga batu yang cukup tinggi, mereka akan sampai ke jembatan penghubung yang teerbuat dari kayu. Jembatan itulah yang menghubungkan Pulau Kambang dengan daratan.
Rayun terus berpikir.
Naga itu, Naga Tatmala. Ya, nama itulah tadi yang dia jeritkan saat akan jatuh ke laut. Tanpa sengaja dia menjeritkan nama itu. Barangkali itulah maksud Naga Tatmala mengingatkan namanya pada rayon. Ah. Rasanya Rayun jadi ingin bertemu lagi dengan Naga Tatmala. Diam-diam Rayun tersenyum. Malam itu dia telah menorehkan warna merah dalam kanvas kehidupannya dengan sebuah nama baru: Tatmala!
“Hujan.” Kata Pamugaran tiba-tiba.
“Cepat cepat, kalau tidak bisa basah kuyup kita.”
Mereka berdua berlari kecil melintasi jembatan kayu dikejar hujan yang mendadak berubah menjadi badai.

(Bersambung)