Minggu, 31 Januari 2010

BADAI PASTI REDA (3)


Intan menatap wajah Tommy lekat-lekat. Seakan tengah berusaha membaca setiap gurat di wajahnya, mencari-cari kejujuran dan kebohongan yang tersirat. Perempuan itu tau, adaa perang sabil dalam benak Tommy, antara mengatakan atau tidak profil Hapsari yanag sebenarnya.
“Dengar, Tom,” kata Intan pada akhirnya. “Apa kau tau, mereka akan menyingkirkan aku?”
“Apa?” Tommy terlonjak bagai disengat kalajengking.
“Mereka akan segera menikah. Kau tau itu kan?”
“Tidak, tidak mungkin! Itu tidak akan pernah terjadi.”
“Di dunia ini apa yang btidak mungkin, Tom? Kau lupa pada kekuasaan Tuhan. Semua yang ada di dunia ini bisa berubah dengan cepat. Termasuk mas Abi. Termasuk kau juga.” Sindir Intan. Bibirnya mengulas senyum, namun menurut Tommy senyuman itu samsekali tidak lagi menyejukkan seperti biasanya. Senyumnya laksana ujung panah yang menembus jantung. Memedihkan, menyakitkan.
“Aku yakin itu cuma isu. Itu Cuma fitnah dari orang yang menginginkan kehancuran rumah tangga mbak Intan. Percayalah padaku, Mbak. Perempuan itu tidak akan punya keberanian untuk melakukannya terhadap keluarga mas Abi.”
Intan tertawa mengejek.
“Ini bukan fitnah. Kenyataan itu harus bisa kuterima. Karena rencana pernikahan itu kulihat sendiri dengan mata kepalaku. Dengan sadar aku membacanya. Dan mas Abi tidak pernah membantahnya. Jadi, kau mau bilang apa lagi?”
“Ya Allah, “ Tommy menangkupkan kedua telapak tangan ke wajahnya. Brengsek kamu Hapsari! Setan alas kau Abi! Bagaimana bisa kalian melakukan kejahatan ini terhadap perempuan seperti mbak Intan? Setega itukah kalian?
“Mas Abi telah jatuh cinta kepadanya,” desis Intan.
Tommy mengangkat wajah. Matanya nanap memandang senyum yang tak kunjung lenyap dari bibir Intan. Setegar itukah kau? Pikir Tommy. Mengapa kau tidak menangis saja meraung-raung? Kenapa kau masih bisa tetap tersenyum seperti itu? Manusia seperti apakah kau, mbak Intan? Lahir batinmu, cantik. Perasaanmu lembut dan manis. Sementara kini kau tetap tegak membiarkan dagingmu dikunyah-kunyah serigala. Astaga!
“Kalau benar, “ kata Tommy setelah lama terdiam, : “Aku yakin mas Abi tidak pernah memberikan cintanya kepada perempuan itu. Dia bukan lelaki bodoh yang dengan sembarangan memungut …maaf…tahi di jalan dan mencampakkan berlian. Barangkali semua itu hanya merupakan godaan sesaat. Pesona sesaat. Pada umumnya, dalam setiap perkawinan, suatu saat kita akan mengalami titik-titik rawan dimana rutinitas dan kejenuhan siap mengaburkan rasa cinta suami isteri. Kukira saat ini ma Abi sedang berada pada titik rawan itu. Dia sedang jenuh. Aku yakin kalian masih tetap saling mencintai. Hanya saja pertemuan setiap hari membuat segalanya menjadi biasa, rutin. Sebab itu ubahlah hari esok dari yang biasa itu menjadi luar biasa. Aku yakin, tak lama lagi mas Abi akan kembali seperti mas Abi yang dulu lagi.”
Tommy menyentuh tangan Intan perlahan.
“Berjanjilah,” katanya.
Intan memandangnya dengan takjub.
Tapi,..apakah bisa aku melakukannya?” tanya Intan ragu. Sudah terlalu lama jarak itu bagai terbentang antara dirinya dan Abi. Akankah semudah itu dilakukan?
“Bersabarlah sedikit, Mbak. Hanya dirimu sendiri yang bisa menyelamatkan rumahtanggamu. Lebih baik mbak Intan jangan mengambil jarak atau berubah sikap.”
Intan menghala nafas panjang.
“Rasanya berat sekali untuk menjadi seseorang yang lapang hati,” ujarnyaa seperti melamun. “Aku toh manusia biasa yang berhak punya rasa marah dan dendam? “
Mereka jatuh dalam kebisuan panjang. Tommy tak hendak memecahkan kesunyian yang menggantung . Dibiarkannya Intan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Sementara itu terbayang dalam benaknya, siapa sebenarnya Hapsari. Perempuan itu memang cantik, tetapi cantik yang mengesankan wanita murahan. Senyum dan kerling matanya bukan saja untuk Abi, namun untuk semua makhluk kalau itu berjenis kelamin jantan. Sungguh, kalau saja Tommy mau nekad atau termasuk lelaki yang rakus, pastilah perempuan itu sudah berhasil dilahapnya. Dengan mata kepalanya sendiri, Tommy melihat Hapsari jalan beersama seorang lelaki gendut dalam sebuah mobil mewah. Masuk keluar hotel, tak terhitung lagi. Kalau dengan pria-pria semacam itu Hapsari mau melakukannya, pastilah dengan Abi dia tidaka akan menolak. Bisa dibilang, mendapat durian runtuh. Sebab sebagaiseorang laki-laki yang terbilang masih muda dan sudah sukses sedemikian rupa, Abi bukanlah lelaki berparas buruk. Lelaki itu sangat tampan. Dengan kulitnya yang bersih dan postur tubuh yang tinggi tegap, siapa yang tidak mau menjadi kekasih gelapnya? Itu sebabnya …mungkin… yang membuat Hapsari berusaha keras mendesak agar dinikahi Abi. Hapsari sangat ingin memiliki status terhormat, dengan menjadi istri Abi. Dan kalau Abi geblek, tentu dia akan meluluskan keinginan itu tanpa syarat.
Tommy beranjak dari duduknya, dan minta diri.
Intan mengantarkannya hingga ke pagar depan. Namun sebelum Tommy benar-benar pergi, Intan menatapnya penuh harap.
“Kalau saja perkawinan kami bisa diselamatkan, kau mau berjanji padaku?” tanyanya.
“Katakanlah.”
“Maukah kau tetap menjadi sahabat kami dan kembali bekerja bersama dengan Abi?”
Tommy menunduk. Untuk sejenak dia ragu. Tetapi sungguh mati, dia memang tak pernah bisa menolak permintaan perempuan berparas indah itu. Sejak dulu, sejak dia dan Abi masih kuliah di Institut Teknologi, sejak Abi masih pacaran dengannya, Tommy memandang Intan begitu istimewa. Apapun akan dilakukannya asalkan perempuan itu merasa senang. Hati Tommy akan bahagia bila melihat tawa Intan mekar karena keinginannya terkabul. Senangnya lagi, Abi tidak pernah merasa cemburu melihat keakraban mereka berdua. Dia adalah lelaki yang sangat percaya diri, sehingga tidak akan merasa khawatir Intan akan berubah pikiran memilih Tommy ketimbang memilih dirinya. Dan memang, Intan lebih mencintai dan memilih Abi sebagai suami. Tommy harus cukup puas dianggap sebagai sahabat saja bagi Intan, Abi, maupun Andre putra mereka.
Akhirnya, seperti biasa, Tommy mengangguk.
“Aku berjanji,” ujarnya pelan.
Intan memeluknya dan mendaratkan sebuah kecupan sekilas di pipi Tommy. Tommy memejam dengan dada perih. Asmara terpendam selama bertahun-tahun, seakan menonjok dada. Sakit, sakiiit sekali.
Ya Tuhan, keluhnya dalam hati. Seandainya Engkau menijinkan, berikan padaku seseorang berhati bersih seperti perempuan ini. Dia baik, dan setia. Kau dengarkah permohonanku ini ya Tuhan?
“Terimakasih Tom, kau baik sekali,” bisik Intan tersenyum.
Tommy membalas senyumnya. Memberanikan diri mengecup dahi Intan. Dan ketika kakinya melangkah pergi, dia merasa ada sebagian dari hatinya tertinggal di rumah itu.
(Bersambung)

Sabtu, 30 Januari 2010

BADAI PASTI REDA (2)


Abi tersenyum dingin.
“Itu urusanku, Tom, “katanya. “Lebih baik kau benahi saja tugasmu.”
Sampai disitu Tommy tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia hanya mampu menatap sahabatnya dengan perasaan tak berdaya.
Lama setelah kejadian itu Tommy semakin bisa merasakan perubahan sikap yang diberikan Abi kepadanya. Sikap sahabatnya itu kian hari kian dingin dan hampir dapat dipastikan, tidak lagi pernah menegurnya kalau tidak penting sekali. Hingga akhirnya meledaklah pertengkaran diantara mereka berdua. Tidak di kantor, melainkan di lokasi, didepan para pekerja kasar. Di tempat itu secara terang-terangan Abi mencela Tommy hanya karena kesalahan kecil yang tidak prinsip. Tommy merasakan bahwa itu sudah sangat keterlaluan. Rasanya bagai ditampar. Kepalanya serasa pecah. Gelap. Habis sudah herga dirinya. Bukan kali ini saja sebenarnya, namun barangkali kali inilah yang terhebat. Kemarahan Abi hampir tidak masuk akal. Hanya karena persoalan kecil, dia begitu meradang. Ada kesan, seakan-akan Abi mengumumkan pada seluruh pekerja lapangan bahwa Tommy tidak becus menjadi rekan kerjanya di lapangan.
Tommy cuma bisa mengatubkan bibir kuat-kuat agar tak terjadi perang mulut yang tak cukup etis. Namun dalam hati, Tommy merasa bahwa inilah titik akhir kebersamaan merka berdua. Apalagi yang mesti kupertahankan disini? pikirnya. Maka dengan perasaan campur aduk, Tommy memilih pergi dari tempat itu. Ditinggalkannya Abi, dan kemudian memacu kendaraannya ke jalan raya. Beberapa pekerja dan mandor menahannya dengan mencoba melerai kemarahannya. Namun keputusan Tommy sudah mantap. Ibarat sebuah perkawinan, mereka kini bercerai. Keesokan harinya, Tommy meletakkan beberapa map dan gulungan blue print ke atas meja kerja Abi.
“Saya mengajukan resign.” Ujarnya pendek.
Abi mengangkat wajahnya, menatap dingin wajah Tommy. Lelaki di depannya membalas tatapan itu dengan tak kalah dingin. Tak terelakkan lagi. Bom yang selama ini mereka pendam, sudah meledakkan hubungan persahabatan mereka yang sudah terjalin sejak bertahun-tahun lamanya hanya karena ada seorang wanita yang coba dipeertahankan Abi.
“Apa maksudmu,” sahut Abi.
“Saya mengundurkan diri.”
“Kenapa. Kamu tersinggung dengan kejadian kemarin? Setiap kali kamu tersinggung, kamu selalu menggunakan kata ‘saya’.”
“Bukan, bukan karena tersinggung. Saya hanya menyadari bahwa ternyata saya kurang qualified untuk tetap menjadi karyawan teknik lapangan. Saya serahkan semua berkas ini untuk ‘bapak’ berikan kepada orang lain yang sekiranya ‘bapak’ anggap lebih mampu. Maafkan kesalahan saya yang lalu-lalu. Saya mengundurkan diri dengan sukarela tanpa dipaksa oleh apapun. Dengan kesadaran penuh, dan…”
“Cukup! Tidak usah bertele-tele,” potong Abi cepat.
“Saudara Tommy,” lanjutnya, “pernyataan itu nanti bisa ditulis melalui proses selanjutnya. Berkas-berkas ini saya terima, terimakasih. Dan pengunduran diri Anda saya terima.”
Tommy merasakan ada kepedihan menggores dalam hati. Jadi hanya begitu saja, pikirnya. Ya, hanya begitu saja, maka semuanya segera berlalu.
Tommy mengulurkan tangan dan disambut Abi dengan sebuah jabat tangan yang menje3pit keras.
“Terimakasih,” kata Tommy. “Selamat siang, dan…sukses!”
‘Siang, dan sukses!”
Sejenak mereka saling bertukar pandang. Kemudian Tommy berbalik daqn keluar dari direksi keet, melangkah panjang ke tempat parker. Masuk ke mobilnya dan menstarternya dengan perasaan kosong. Tak dipedulikannya pandang mata keheranan dari para mandor lapangan ke arahnya.
Maka sejak saat itu, Cuma Agus dan Dono yang tinggal menggantikannya di lapangan hingga datang orang baru menduduki posisi Tommy.

Suara piano menggema di ruang keluarga rumah Intan. Gemuruh bagai suara air terjun, meronta dalam lengkingan, kemudian mendadak diam. Sepi merenggut semua nada yang tadi sempat menyuarakan kemarahan dan kekecewaan yang mendera hati Intan. Sejenak ruang besar itu disekap lengang.
Intan duduk mematung di depan piano. Matanya nanap memandang ke depan. Menerobos kisi jendela yang terbuka lebar melihat kearah hijau daun kacapiring yang sedang berbunga lebat. Putih dan menebarkan semerbak harumnya kemana-mana.
Betapa ingin Intan menjerit dan menangis meraung-raung. Tapia pa gunanya? Seluruh isi dadanya seakan remuk, rapuh. Bayangan yang menakutkan kembali melela di pelupuk mata.
Dua hari yang lalu secara tak sengaja dia menmukan sepucuk surat bersampul merah di laci meja tulis suaminya. Hampir saja terlewatkan. Namun warna merah amplop itu membuat Intan kembali dana memungutnya dari dalam laci.
“Dari siapa?” pikir Intan.
Rasa ingin tau membuat Intan membuka amplop instimewa itu. Istimewa, karena setau Intan, surat-surat yang ada dalam laci itu selalu surat-surat berlogo nama perusahaan yang isinya kebanyakan penawaran tender. Amplop-amplop semacam itu biasanya berukuran besar dan panjang. Namun yang satu ini amat menarik perhatian, karena amplop itu terlalu manis untuk dikatakan bahwa surat itu surat formil. Ada kegenitan tergambar dari warna sampulnya.
Perlahan Intan menariknya dari laci, membuka dan membacanya.
Hapsari!
Nama itu membuat jantungnya mendadak berdebar keras.
Siapa Hapsari?
Intan menutup amplop itu kembali. Dia duduk dengan lemas di sofa dekat piano, tak jauh dari meja tulis Abi. Membuka dan membaca surat orang lain yang bukan untuknya, meski itu surat untuk suami sendiri, menurut etika sangatlah tidak sopan. Intan tau betul tentang etika itu. Tetapi kali ini kasusnya jadi lain. Karena dalam surat itu, si penulis yang membubuhkan tanda tangan di bagian bawah surat, menanyakan tentang rencana perkawinannya dengan Abi, suaminya. Tandatangan itu disertai nama terang. Dan nama terang itu adalah Hapsari. Kalimat demi kalimat yang ada di dalam surat itu sungguh menggugah peerasaan orang yang dituju. Namun bagi Intan, kalimat-kalimat itu bagai sembilu yang mengiris ulu hatinya dengan sayatan-sayatan yang memedihkan. Kendati sudah lama Intan tak lagi ingin perduli dengan keberadaan Abi, namun surat itu seakan membangunkannya kembali dari tidur lelapnya.
Ternyata beginilah kelakuan Abi. Dia memang tidak melacur, tetapi lebih baik melacur daripada harus melibatkan emosi dan merencanakan sebuah perkawinan macam ini. Apa maksudnya mempermainkan perkawinan kami? Pikir Intan. Apa maunya?
Maka pada keesokannya, surat itu dilemparkannya ke muka Abi, saat lelaki itu sedang menghitung rencana tender sebuah pabrik, di meja tulis.
Beberapa saat darah Abi seakan beku ketika amplop berwarna mencolok itu jatuh di depannya. Wajahnya pias. Namun dengan ketenangan yang sangat mengagumkan bagi Intan, lelaki itu hanya bergerak sedikit untuk menyingkirkan amplop surat itu ke pinggir.
Intan menatap tak percaya atas ketenangan Abi.
“Siapa dia?” tanya Intan.
Abi membisu. Dia duduk mematung, tanpa kuasa membalas tatap tajam Intan.
“Pacar kamu?” tanya Intan lagi.
Gemuruh dadanya, namun Intan masih bisa menahan diri. Kebisuan Abi ditafsirkannya sebagai jawaban atas pertanyaannya, bahwa benar, perempuan itu adalah kekasih Abi. Kebisuan Abi lebih dari seribu kata-kata pengakuan yang mungkin hanya merupakan untaian kebohongan baru yang lebih menyakitkan. Tidak, Intan tidak menginginkan jawaban apa-apa lagi. Perempuan berusia duapuluh lima tahun itu seakan disentakkan tiba-tiba dari tidurnya. Ada sesuatu yanga mendadak hilang dari dada yang selama ini sarat dengan impian manis bagi masa depan yang terbentang luas. Terbayang wajah anak-anaknya yang lucu dan ceria. Akankah mereka kehilangan ayahnya? Intan merasakan panas di sudut mata. Baginya, semuanya kini terasa beku. Dingin pada seluruh hatinya. Dingin pada seluruh tubuhnya. Perasaan itu mengalir dari dada ke ujung raga. Mertambat membekukan hati.
Ternyata itulah yang kau lakukan atas kesetiaan yang selama ini kupersembahkan kepadamu. Ternyata itulah balasan dari seluruh cinta yang kuberikan seutuhnya bagimu. Perempuan itu pasti cantik, bukan? Dilihat dari tulisannya yang apik runcing runcing ke atas, dan juga ditilik dari namanya yang indah: Hapsari. Ya, nama yang indah.
Intan mengeluh dalam hati. Kata orang, perempuan cantik selamanya menimbulkan pesona. Sebab itu kita tak bisa menyalahkan bila suatu waktu suami-suami kita lupa pada arah arus yang sebenarnya hanya karena perempuan cantik.
Kemarahan dan kekecewaan dicurahkannya pada tekanan tuts piano. Gema suara hati ditumpahkannya sebagai gemuruh amukan ombak dalam permainan pianonya. Menderu. Menghempas. Naik dan turun. Kadang berhenti tiba-tiba, untuk kemudian dilanjutkan dalam hentakan bagai deru air terjun yang mampu menghancurkan padas-padas. Seakan Intan ingin meluluh lantakkan beban berat yang mengganjal hatinya. Karena ada rasa sakit dalam rongga dadanya. Rasa sedih bercampur sakit hati. Cemburu membuat batas menjadi kabur, mana mencintai mana membenci.
Dada Intan semakin sesak tatkala menyadari bahwa suaminya pasti sudah tidur bersama perempuan lain. Hatinya menjerit, sakit bagai disayat-sayat. Tiba-tiba saja dia meerasa bahwa suaminya seakan-akan tidak punya masalah apa-apa. Tenang saja. Santai saja. Sementara dirinya sedang pilu. Perasaan sepi jadi seakan membuntuti seperti setan yang menerobos kemana saja dia suka.
“Aku tak akan berkata apa-apa,” bisiknya pada diri sendiri. “Mungkin saja kau akan pergi sampai ke ujung dunia. Aku tak akan berkata apa-apa. Meski sebenarnya aku tak suka. Sebuah pengkhianatan telah terjadi di rumah kita, Abi. Sementara aku tidak berdaya untuk mencegahnya. Aku tau, aku tidak bisa menahanmu seandainya kau mencintai perempuanmu itu, sebab cinta mempunyai sayap yang sanggup merobohkan jeruji-jeruji penjara manapun juga.”

Intan menyelesaiakan sentuhan terakhir pada pianonya, kemudian menutupnya. Dengan gontai dia masuk ke kamar anak-anak. Melihat Irin yang sedang lelap di ranjangnya. Anak sekecil Irin memang paling suka tertidur pada waktu pagi hari, tapi biasanya dia akan tetap bangun pada malam hari dimana orang dewasa terlelap. Disentuhnya pipi montok irin dengan pung jemari. Betapa lembut kulitmu, sayang. Dilihatnya juga Andre yang tengah bermain dengan panser dan tank, tak jauh dari ranjang Irin. Kalian tidak tau, bukan? pikir Intan seperti melamun. Kalian tidak tau ayah kalian telah mencintai orang lain selagi Irin masih ada dalam perut Mama dan baru saja Mama tahu tentang hal itu? Apakah kalian sanggup kehilangan Papa karena Mama tak sudi dimadu? Tapi jangan takut, sayang. Mama akan tetap mengijinkan Papa membawa kalian sekali-sekali supaya kalian tidak merasa kehilangan. Namun kalau kemudian hari ada Papa baru, kalian harus tetap tinggal bersama Mama. Sebab Papa juga akan memiliki anak-anak kecil lain yang didapatkannya dari perempuannya. Mungkin bahkan lebih lucu dari kalian. Siapa tau, seperti dalam dongeng, isteri Papa lalu jadi judes pada kalian dan akan menggoreng kalian dalam sebuah kuali besar!
Setetes air jatuh ke tangannya.
Intan memandangnya dengan heran. Menangiskah aku? Selama dua hari dua malam, tak setitikpun airmata membasahi pipiku. Lalu, kenapa hari ini aku musti menangisinya?
Intan kemudian duduk di depan meja rias, mencoba menghapus matanya yang basah dana menutupnya dengan olesan make up. Dia tetap ingin kedua matanya cerlang tanpa kabut kesedihan. Dicobanya teersenyum manis. Ya, Intan tak ingin kelihatan muram betapapun kesedihan itu mendera batinnya.
Apakah aku telah kalah? pikirnya lagi seraya menatap wajah di cermin. Kalau benar aku harus kalah, apa yang harus kulakukan? Yang jelas, aku tak ingin mereka melihat kekalahanku. Dengan cara apa mereka menyingkirkanku? Perceraian, pembunuhan, atau apa? Ih, serem banget kalau mereka harus menghabisiku, sebab aku tak akan menahan Abi untuk tetap berada disisiku. Kalau perempuan itu mengambilnya, dan Abi menginginkan dirinya menjadi suaminya, ya silakan saja.
Intan masih tetap duduk mematung di depan cermin meja rias. Berada dalam kemar sesepi itu, dia merasa bagai ditelan kesunyian yang pekat. Intan merasa sendirian saja di dunia dan jerit yang menggelegak dalam jiwa lebih menyerupai sebuah rintihan pilu. Rintihan yang tak terucap melalui kata-kata.
Sesungguhnya bagi Intan, Abi adalah sebuah jelmaan damba. Adalaah sosok lelaki yang dapat membeerikan rasa aman dan rasa terlindung. Rasa dimana dirinya bisa bergantung dan menyandarkan harapan. Tetapi kini,…ya Tuhan. Intan mengeluh dalam-dalam. Ya Tuhan, kubutuhkan sesuatu yang bisa melemparkanku dari alam mimpi itu!
Suara ketukan di pintu membuatnya menoleh terkejut. Sesaat kemudiaan muncul wajah tua mbok Minah, pembantu Mama yang kebetulan dipinjamkan untuknya, mengatakan bahwa ‘den’ Tommy telah datang.
“Suruh duduk di ruang depan, mBok. Sebentar lagi aku keluar. Dan tolong bikinkan es markiza, ya?”
Pelayan tua itu mengangguk kemudian menutup kembali daun pintu kamar tanpa suara. Mbok Minah selalu sopan dan tidak berisik. Itu sebabnya Mama mempercayai mBok Minah untuk ikut dengaan Intan belakangan ini.
Sekali lagi Intan meneliti make up di wajahnya. Cukup sempurna, meski masih ada sedikit kabut menggantung di mata, namun penampilannya masih cukup baik. Tak ada lagi sembab yang berlebihan, dan kulit wajahnya masih tetap licin dan berkilau seperti biasanya.
Perlahan dia bangkit dari duduknya, dan melangkah lambat-lambat ke ruang depan. Tommy berdiri tatkala melihat dia datang. Bibir kerasnya terkatup, tanpa dapat mengucapkan kata-kata walau hanya sekedar kata ‘halo’ pada Intan. Dilihatnya perempuan itu tersenyum tipis.
“Silakan duduk, Tom,” sapa Intan dengan suaranya yang lembut.
Mereka duduk berhadapan dalam kebisuan. Beberapa detik berlalu tanpa ada yang berkeinginan membuka percakapan. Mereka sudah sama-sama menyadari bahwa kemelut yang sedang dihadapi, nyaris sama.
“Kemarin Anita datang ke rumahku. Mbak yang menyuruhnya?” tanya Tommy kemudian.
“Ya, aku yang memintanya untuk menyuruhmu kesini. Kau tidak sedang sibuk kan?”
“Sibuk?” Tommy tertawa. “Aku sekarang pengangguran, Mbak.”
“Sorry. Karena mas Abi, kau jadi kehilangan pekerjaan. Belum ada tanda-tanda mendapat pekerjaan baru?”
“Sekarang ini sulit mencari pekerjaan yang cocok.”
“Kalau mas Abi memintamu kembali, bagaimana? Kau mau?”
Tommy menunduk, tersenyum getir. Sulit memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Rasa-rasanya sakit hatinya belum lagi hilang.
“Kalau aku yang memintamu?” desak Intan lagi.
Tommy tetap menundukkan wajah ke lantai.
Intan menghempaskan nafas panjang.
“Jadi kau masih belum bisa memaafkannya,” ujarnya pelan.
Tommy mengangkat wajah, menatap Intan dengan perasaan bersalah.
“Kondisinya tidak seperti itu,” sahut Tommy cepat. “Bukan masalah maaf memaafkan. Barangkali justru akulah yang paling bersalah. Tapi terus terang, kali ini aku memang tidak sependapat dengannya. Kalau kupaksakan, pasti akan semakin buruk keadaannya. Aku minta maaf.”
“Aku tau maksudmu, Tom. Kau amat menyayangi keluarga kami. Biarkan aku yang minta maaf kepadamu atas nama suamiku.”
“Masalahnya soal harga diri. Tak ada yang berubah antara kalian dan aku. Tetapi untuk kembali bekerja bersama-sama mas Abi, belum terpikir olehku. Biarkan dulu seperti ini. Mungkin nanti, entah kapan, kami akan rujuk kembali. Sekali lagi, maaf.”
Intan mengangguk. Dia cukup mengerti. Harga diri, ya, barangkali cuma itu yang masih kita miliki di kehidupan kita saat ini, dan kalau itu terinjak lumat, apalagi yang kita miliki? Kalau aku memaafkan Abi, apakah itu berarti aku bakal kehilangan harga diri? Pusing, Intan benar-benar pusing.
“Tom…”
Tommy membalas tatap mata Intan.
“Tom, aku sudah tau masalah Hapsari. Aku menemukan surat perempuan itu di laci.”
Tommy tersentak kaget.
“Sungguh kusesalkan, bahwa akulah orang terakhir yang mengetaui hal ini. Kenapa kau tidak mengatakannya sejak awal? Kau tidak perlu mengelak, aku tau kau sudah mengetauinya sejak lama sebab kaulah satu-satunya orang terdekat suamiku. Katakan padaku tentang perempuan itu. Meski terlambat, paling tidak aku tau apa kelebihannya dan apa kekuranganku sehingga mas Abi tega berbuat seperti itu kepada kami.”
Tommy menelan ludah. Sejuta perasaan bersalah kini membelit hatinya. Sebenarnya bukannya tidak mau tau, tetapi sudah berkali-kali Tommy mengingatkaan Abi tentang hubungan terlarang mereka yang bakal berakibat fatal seandainya Intan menangkap basah hubungan itu. Berkali-kali pula Tommy mengingatkan agar Abi meninggalkan saja Hapsari sebelum perempuan itu menggulung dunia dalam tangannya dan lebih baik kembali saja pada arah arus yang sebenarnya. Tetapi apabila seseorang sedang dilanda asmara, masih maukah dia mendengarkan nasihat orang lain? Nalurinya sudah mengatakan jauh hari sebelumnya bahwa akan terjadi sesuatu pada rumah tangga sahabatnya itu kalau hubungan gelap itu masih diteruskan. Semuanya itu hanya akan membuat Intan sengsara dan tercampak.

(bersambung)

Jumat, 29 Januari 2010

BADAI PASTI REDA (1)


Pagi yang cerah.
Intan memainkan jemarinya di atas tuts piano dengan lincah. Beberapa lagu anak-anak yang ceria mengalun riang membuat suasana pagi semakin hangat. Andre, putra sulungnya duduk mengangguk-anggukan kepala di sisi Intan, Terkadang bibir mungilnya melantunkan lirik lagu yang dimainkannya.
Intan tersenyum sambil terus memainkan lagi beberapa lagu hingga selesai.
“Kau suka lagu-lagu itu?” tanyanya pada Andre.
Andre tertawa lebar. Dinikmatinya kecupan Intan sambil memejam.
“Nanti kalau kamu sudah besar, harus pinter ya?” ujar Intan lagi. “Harus lebih pinter main piano ketimbang Mama. Kamu mengerti?”
“Ya, Mama. Tapi Andre ingin jadi seorang seperti Papa.”
Intan menutup piano dan membimbing anaknya ke sofa tak jauh dari situ.
“Boleh,” sahutnya. “Kamu boleh menjadi apa saja. Seorang bisnismen seperti Papa, atau mau menjadi seniman seperti Mama. Tetapi kamu harus tetap mengerti Bach atau Tsaikowsky. Kamu tau? Musik klasik akan membuat perasaanmu lebih lembut dan tidak kasat.”
Andre hanya bisa menatapnya tanpa kedip. Tentu saja anak kecil berusia empat tahun itu tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan ibunya. Adiknya, Irin, baru dua bulan, masih bobo di ranjang ayunannya.
Intan punya mimpi besar bagi anak-anaknya. Apabila suatu saat mereka beranjak dewasa, dia ingin anak-anak itu akan membuatnya bangga. Bila Irin sudah besar, akan diajarkannya menggambar dengan benar, agar kelak bisa menjadi seorang arsitek ternama.
Semua itu dulu pernah menjadi mimpinya. Sayang, Tuhan terlalu cepat mengirimkan Abi untuk menjadi jodohnya. Mereka menikah cukup dini. Akhirnya seperti inilah dirinya. Cuma bisa berharap mimpi-mimpi indahnya bakal terwujud dalam kehidupan malaikat-malaikat kecilnya, Andre dan Irin.
Sebagai seorang Insinyur Sipil, Abi cukup sibuk. Pekerjaannya menyita hamper seluruh waktunya, sehingga kadang-kadang tak ada lagi waktunya untuk sekedar bercengkerama bersama istri dan anak-anak. Kian lama, rutinitas menjebaknya dalam sebuah kejenuhan yang sulit diurai. Perkembangan anak-anak tak sempat lagi diperhatikan, Pikiran dan waktunya habis untuk urusan pekerjaan, proyek-proyek, pertemuan-pertemuan dengan para relasi bisnis maupun para pejabat penting. Terkadang Intan dibayangi perasaan takut dan kuatir melihat betapa gigih Abi dalam usahanya mengembangkan perusahaannya. Dia takut apabila suatu ketika Abi gagal di tengah jalan. Spekulasinya terlalu tinggi.
Bagaimana jika gagal? Akankah dia mampu menerima kenyataan buruk yang tidak sesuai dengan keinginan dan impiannya?
Namun dengan sikap optimis, Abi selalu bilang,:
“Kalau gagal, itu resiko. Dalam sebuah pertarungan, kita cuma punya dua alternatif. Berhasil, atau gagal. Itu saja.”
Namun kesibukan Abi ternyata membuat kakaknya, Meta, bertanya-tanya.
“Ini hari Minggu,” kata Meta suatu ketika. “Kemana suamimu?”
“Biasa, di proyek.” sahut Intan acuh tak acuh.
“Apa dia tidak pernah bisa meluangkan waktunya sehari saja buat anak-anak?”
“Ah biasalah dia begitu.”
“Sepanjang minggu begitu? Tidak ada hari libur sama sekali?”
Intan tertawa ringan. Tak ada sedikitpun gambaran gusar di matanya yang selalu jernih bagai air telaga.
“Jangan lupa, Met. Suamiku itu seorang bisnismen yang sedang naik daun. Jangan lupa itu. Dia lagi semangat-semangatnya. Kupikir tak ada salahnya , semua itu kan untuk anak-anak juga.”
“Kamu yakin, itu hanya untuk anak-anak, dan bukan…untuk yang lain-lain?”
“Maksud kamu apa? Aku yakin sekali kok. Memangnya, kenapa?”

Intan tertawa melihat kakaknya mengernyitkan kening. Meta beringsut lebih dekat .
“Dengar,” ujarnya serius. “Bahwa setiap orang sibuk, itu sudah jelas. Bahwa semua orang punya kesibukan, kita percaya betul. Tapi jika seseorang begitu sibuk tanpa menoleh kea rah lain,… itu sih, over acting.”
Intan tidak memberikan reaksi atas ucapan Meta. Bibirnya malah tersenyum manis. Sikap adem ayemnya itu malahan membuat Meta kian geregetan.
“Kitalah yang menentukan waktu kita, artinya kita jugalah yang harus pandai mengatur waktu kita sendiri,” kata Meta lebih bersemangat.
“Sekali-sekali kalau hari Minggu kamu ikut, kenapa sih?” tambahnya.
Intan tertawa lebar.
“Ikut? Mengurus urusannya? Aduh, Met. Jangan deh! Mana aku tahan jadi obat nyamuk sementara dia kongkow kongkow dengan relasi-relasinya?”
Meta memandang adiknya dengan heran.
“Apa salahnya?” kata Meta. “Tak apalah kalau sekali-sekali kita jadi obat nyamuk demi suami. Paling tidak ada gunanya juga kan?”
Dan ketika kemudian setiap malam minggu hampir dapat dipastikan Abi tidak pulang hingga Senin pagi, Meta jadi semakin sibuk memprovokasi adiknya.
“Semalam aku bermimpi,” kata Meta pada Intan melalui ponselnya.
“Oh ya? Mimpi apa? Di gigit ular? Hati-hati, sedang ada yang naksir kamu itu…”
Meta tidak mengindahkan ejekan Intan. Dia malah terlihat lebih serius.
“Aku bermimpi ada maling tengah berusaha masuk kekamarmu dengan cara menggali dinding. Herannya, dinding itu kulihat berlapis-lapis hingga aku terbangun, maling itu tidak berhasil masuk kekamarmu. Kamu tau apa artinya?”
“Apa?” tanya Intan sambil menahan gelak.
“Apa ya?” Meta malah terdengar bingung.
Intan tertawa tergelak-gelak.
“Mimpi-mimpi sendiri, kok malah bingung-bingung sendiri,” kata Intan ditengah tawa. “Sudahlah, Met. Mimpi itu kata orang hanya bunganya tidur. Sudah ah, aku masih sibuk nih!”
“Tapi, Tan! Ini rasaku bukan mimpi biasa. Kamu musti hati-hati lho.”
“Hati-hati bagaimana?!”
“Bisa saja mimpiku itu petunjuk dari Tuhan, bahwa ada sesuatu yang tengah mengincarmu.”
“Aduuuh Meta! Hentikan omong kosongmu itu.”
“Pokoknya aku ingin kamu lebih berhati-hati menjaga dirimu dan keluargamu. Kamu mau kan? Demi Mama, Tan! Demi Andre dan Irin!”
“Oke, oke. Kamu tenang saja, Met. Aku akan menjaga keluargaku baik-baik.”
“Nah, gitu dong. Kamu sedang apa sih?”
“Aku sedang bikin sup. Kenapa?”
“Ya sudah, selamat memasak deh.”
“Oke. Bye.”
“Bye.”
Intan mematikan ponselnya dan kembali dengan kesibukannya mengurus anak-anak, sementara Monik masih termangu-mangu di rumahnya dengan perasaan gundah. Ada sesuatu, batinnya. Ada sesuatu bakal terjadi. Tetapi apa?
Bagi Meta, Intan terlalu cuek akan kesibukan Abi. Malahan bisa dibilang seakan-akan Intan tidak peduli lagi pada semua kegiatan suaminya di luar sana. Ada apa sebenarnya? Seakan-akan Intan telah kehilangan kepekaannya. Setiap kali Abi pergi, dia tidak pernah lagi bertanya tentang tujuan dan keperluannya meninggalkan rumah. Bahkan tidak pernah beertanya kapan suaminya akan pulang. Intan malahan membantu memasukkan baju-baju Abi ke dalam koper, kalau suaminya itu meminta ijin keluar kota. Dia juga menyertakan after save lotion , bulgari, dan Brylcrem, kedalamnya. Meta selalu bilang kepada Reza adik bungsunya, bahwa sekarang ini Intan sudah seperti robot.
“Menurutmu, kita harus bagaimana?” tanya Reza. “Itu suaminya, dia berhak berbuat apa saja pada Intan asalkan tidak melewati norma-norma yang ada.”
“Yang jelas, kita tidaqk boleh tinggal diam seperti ini.”
“Dia pilihan Intan. Kamu ingat bagaimana mereka menikah dulu? Intan sudah nekat, apalagi Abi. Mama sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Apalagi kita. Jadi,..yah!”
Monik terdiam mendengar ucapan Reza.
Dia masih ingat semuanya. Ketika itu Mama sempat mendapat serangan jantung ketika Intan ngotot ingin menikahi Abi. Bukannya Mama membenci Abi, atau tidak menyetujui hubingan mereka, tetapi saat itu Abi memangbenar-benar belum mapan. Intan akan me3nderita bila harus menikah sedini itu. Padahal ketika Mama me3nawarkan bantuan financial, Abi menolaknya mentah-mentah. Sekarang dia memang telah berhasil menjadi seorang usahawan muda. Uangnya sudah cukup menghidupi keluarganya dengan sangat layak. Namun justru Meta dengan mata jelinya bisa melihat, betapa Intan mulai kehilangan keceriaannya. Rona mata Intan kian redup dari hari ke hari. Pasti dia kesepian selalu ditinggal-tinggal Abi selama berhari-hari. Mungkin hanya keimanan yang kuat mampu membuat Intan tetap sabar menghadapi betapa kian lama Abi kian acuh tak acuh kepadanya. Bagi Meta Intan serupa la
Lautan yang biru tenang,setia dan lapang hati.
Kadang Meta bahkan tidak percaya adiknya itu manusia biasa. Dia begitu tulus bagaikan malaikat. Seakan-akan tanpa dosa. Memang sih, kadang-kadang apabila anak itu sudah merasa jengkel pada sesuatu, bicaranya menjadi sinis dan mampu memerahkan telinga orang lain. Tetapi pada umunya dia baik, saangat baik bahkan.
Bukan hanya Mama atau Meta yang jadi tidak sabar melihat ketenangan Intan menghadapi perilaku Abi yang jadi berubah belakangan ini, tetapi Tommy teman baik Abi sendiri, dan Reza, juga menjadi geregetan.
Pernah pada suatu hari Tommy mencoba menggelitik Intan dengan pertanyaannya,
“Mas Abi kemana, Mbak? Week end begini kok nggak ada di rumah?”
Intan Cuma mengangkat bahu.
“Mana aku tau?” sahutnya enteng.
“Apa mas Abi nggak bilang dia mau kemana?”
“Aku lupa menanyakan dia mau kemana, kenapa Tom? Kalau kamu ada perlu, tinggalkan saja pesan nanti kusampaikan pada mas Abi.”
Ya ampun!
Tommy menggaruk kepala yang tidak gatal. Bagaimana sih, mbak Intan ini? Dia ini manusia apa bukan? Masa samasekali tidak tau kemana suaminya berada pada saat week end seperti ini? Tidak tau, atau tidak mau tau?
“Mbak,” kata Tommy pada akhirnya, “Mbok ya jangan terlalu percaya sama suami. Laki-laki pada umumnya tentu punya kenakalan-kenakalan. Entah itu kenakalan kecil aau besar. Namanya juga kenakalan, kalau dibiarkan bisa berubah menjadi bom waktu. Apa mbak Intan tidak pernah merasa kuatir, atau menyimpan dugaan kalau mas Abi…”
“Itu kan normal,Tommy. Namanya juga laki-laki. Kamu juga kan laki-laki.” Senyum Intan.
“Justru karena aku laki-laki, maka…”
“Dia suamiku. Aku percaya padanya.”
“Oh.”
Tommy terdiam. Topik sudah ditutup. Selesai! Tak ada lagi pembicaraan tentang Abi, atau dedemit manapun juga yang mungkin sedang terlibat perselingkuhan atau kelalaian mengurus anak dan istri.
Ya, itulah Intan dalam pandangan Tommy. Kendati sebenarnya ada juga perasaan curiga dalam hati Intan atas keterbatasan Abi sebagai laki-laki, perempuan itu tidak ingin membiarkan dirinya teracuni oleh prasangka-prasangka. Tanpa perlu diketahui banyak orang, Intan sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak akan pernah menanyakan pada Abi kemana saja kakinya melangkah, Sebagai mansuia biasa, sebenarnya Intan juga punya naluri. Namun perasaan gelisah yang ada ditekannya dalam-dalam. Apa yang membuatnya mengambil ketetapan hati seperti itu sebetulnya berawal dari peristiwa dua tahun yang lalu.
Malam itu sudah lewat jamu dua. Intan tidak bisa tidur. Gelisah dan resah menunggu Abi pulang dari proyek. Pikiran buruk kian merajai hati tatkala hingga jam berdentang tiga kali menjelah subuh, Abi belum juga kelihatan. Jangan-jangan terjadi sesuatu atas keselamatannya, pikir Intan. Perempuan itu akhirnya menghubungi rumah Mama.
“Kamu sudah mencoba menghubungi ponselnya?” tanya Mama.
“Sudah, Ma. Tapi hapenya nggak aktif. Saya kuatir ada apa-apa di jalan.”
“Mama akan ke rumahmu. Nanti biar Reza yang akan mencarinya.”
“Ya Ma, cepat ya Ma…”
Seperempat jam kemudian Mama dan Reza sudah sampai di rumah Intan.
“Sekarang, bagaimana maumu?” tanya Reza.
“Coba kamu cari di rumah sakit, Za,” kata Mama. Siapa tau dia mengalami kecelakaan.”
Namun baru beberapa menit setelah Reza berangkat, Abi pulang. Lelaki itu terlihat tanang-tenang saja, dan seakan-akan tidak melihat rona mata Intan yang merah karena menahan tangis dan kantuk. Dia bahkan menyapa Mama mertua dengan riang.
“Oh, Mama. Kapan dating Ma? Mama menginap disini?”
Mungkin karena terlalu tegang semalaman mengkhawatirkan keselamatan suaminya, Intan kontan meledak melihat Abi tenang-tenang saja, bahkan samasekali tidak peduli pedanya. Apalagi minta maaf atas keterlambatannya sampai di rumah.
“Kau ini bagaimana sih!” katanya ketus. “ Mama tuh kesini lantaran akumenelponnya!”
“Oh ya? Memang, kenapa?”
“Kamu! Kenapa kamu pulang telat. Mana telpon kamu nggak bisa dihubungi, lagi!”
“kok kamu jadi sewot, sih!”
“Aku bukan saja sewot, tau! Aku begitu kuatir atas keselamatan kamu. Kupikir kamu sudah terbaring sana di rumah sakit dengan luka di seluruh tubuh kamu. Aku takut, Abi, aku takut terjadi apa-apa atas diri kamu!”
Abi tertawa mengejek sambil duduk dengan santai di sofa. Dibukanya kedua lengannya ke samping lebar-lebar.
“Aku baik-baik saja.” Katanya. “Kamu tenang saja, aku tidak pergi melacur!”
“Astaghfirullah, Abi!” bentak Mama. Sungguh Mama tidak mengira menantunya jadi kasar seperti itu.
Kedua mata Intan menyipit menatap sinis wajah Abi.
“Camkan dalam otak kamu,” desis Intan. ”Sedikitpun tak ada dalam pikiranku kamu pulang telat karena urusan prostitusi. Aku justru mengira kamu ,mengalami kecelakaan saja. Tetapi kini, setelah kamu mengatakan kemungkinan itu kepadaku, untuk selanjutnya, aku justru menyimpan dugaan itu dalam pikiranku. Mulai saat ini, aku tidak akan pernah mengkhawatirkan kamu lagi. Kamu mau pergi kemana, aku tidak perduli lagi. Semuanya terserah kamu. Mau melacur atau tidak. Jangan harap aku akan mencarimu!”
Kulit wajah Abi pucat seketika. Dalam hatinya yang paling dalam, lelaki itu menyesal. Namun apa gunanya? Dia sangat tau watak Intan. Perempuan itu bisa menjadi selembut kapas, namun bila sudah dilukai, dia akan berubah sekeras batu karang.
Mama memeluk Intan, dan merasakan sekujur tubuh Intan gemetar hebat. Namun Mama hanya diam. Tak ada akeinginannya untuk ikut mendamprat menantu. Dia cukup arif bahwa masalah mereka harus mereka sendiri yanag menyelesaikannya.
Ketika Intan berjalan terhuyng menuju kamar tidurnya, mama tak hendak menahan. Barangkali tidur atau sekedar terlentang di kamar tidur, Intan bisa sedikit m,enemukan ketenangannya kembali. Kebetulan Reza sudah datang. Maka mama segera mengajaknya pulang. Ketika Reza ingin berpamitan ke kamar, Mama buru-buru mencegahnya.
“Dia sudah tidur,” kata Mama pendek.
Sejak malam itulah Intan selalu berusaha menyibukkan diri dengan mengasuh anak-anaknya. Dia akan menyuapi bila mereka minta makan, akaan menghiburnya bila mere3ka rewel, dan menyanyikannya di saat mereka mau tidur. Dia mengerjakan semua urusan rumahatangga sendirian, meskipun seandainya dia mempekerjakan lima orang pembantupun, Abi akan sanggup menggaji mereka. Dengan demikian seluruh waktunya habis. Tak perlu lagi memikirkan Abi, maupun mengkhawatirkannya.

Kejadian itu sudaha beberapa tahun lewat. Namun rupanya Intan sudah terlanjur cuek, hingga pada suatu hari terjadi sesuatu pada pekerjaan Abi. Salah satu proyek jembatan yang sedang ditangani perusahaan milik Abi mendadak bermasalah. Ada missing di dalamnya. Beberapa pengeluaran yang cukup besar teernyata tidaka bisa dipertanggungjawabkan. Mau tak mau terjadi ketegangan . Sementara itu proyek harus terus berjalan. Suasana intern sendiri jadi kisruh. Dari seluruh karyawan, mungkin Cuma Tommy yang tau kemana saja arah uang proyek mengalir. Dia juga paham betul mengapa Abi harus menjual mobil mewah dan sebuah rumah di kawasan elite miliknya. Apabila dikatakan telah terjadi penyimpangan, mungkin itu ada benarnya. Sedikit demi sedikit Tommy mengadakan pendekatan pada Abi, sabahat sejak di perguruan tinggi sekaligus boss di pekerjaan. Berkali-kali dia mengingatkan Abi agar segera membenahi langkah yang keliru.
“Apa maksudmu?” tanya Abi.
“Kau harus memotong biang keladinya. Sudahi hubungan rahasiamu dengan Hapsari, kalau kau tak mau
kita gulung tikar. Anak-anak lapangan sudah mulai gelisah.”

(Bersambung)

Rabu, 27 Januari 2010

RUMAH PENINGGALAN PAPA (3)


“Setelah dari Notaris, kita ke Bank. Kita lakukan transaksi di Bank. Setelah iut aku akan segera berkemas ke Jakarta menemui Sheila.”
“Apakah anak-anak tidak perlu diberitau kalau harini terjadi transaksi antara kita, Oom?”
Oom Piet tersenyum hambar.
“Untuk apa?” dia balik bertanya.
“Tapi saya tidak bermaksud secepat ini kita…”
“Sudahlah, ayo! Kita berangkat sebelum pikiranku berubah.”
Begitulah. Apa yang kuinginkan akhirnya terlaksana dengan cara yang begitu mudah, namun aneh. Kemudian ketika kutanyakan pada adik-adikku, Yus maupun Nina ternyata menolak untuk tinggal di rumah itu. Kata Yus, dia lebih suka tinggal di rumahnya yang sekarang karena salon isterinya sudah memiliki banyak pelanggan, sayang kalau harus ditinggalkan. Sementara Nina lebih suka ikut dengan suaminya di rumah dinas suaminya. Maka kelak, apabila Oom Piet sudah menyerahkan kunci rumah kepadaku, tinggallah aku bersama dua orang pembantu dan dua anakku yang masih kecil di rumah itu. Sementara mas Tanto ternyata berhasil memenangkan tender di Rumbai.
Hari pertama aku datang ke rumah mewah di jalan Kutei itu, Cuma Johnny putra ketiga oom Piet yang menemuiku untuk menyerahkan kunci rumah.
“Oom Piet kemana?” tanyaku ketika itu kepadanya.
“Papa sibuk,” jawabnya dingin. “Dia hanya titip salam untuk nyonya.”
Suaranya yang dingin dan begitu formil seakan-akan menghantam dadaku. Nyonya, katanya. Huh! Alangkah lain perangainya dengan perangai Sheila atau Raymond yang kukenal amat ramah dan sopan santun. Aku menahan diri untuk tidak bertanya lebih lanjut. Sambil tersenyum paksa, aku hanya bisa berucap:
“Trims, John. Salamku juga untuk Papa kamu, ya.”
Dia mengangguk. Kemudian buru-buru meninggalkanku di teras rumah. Kupandangi debu yang mengepul di belakang mobilnya saat dia meninggalkanku pergi.
Kini dua minggu sudah aku tinggal di Kutei 37, rumah peninggalan Papa yang sempat lepas dari tangan kami beberapa tahun yang lalu. Seperti kata Mama, ternyata tata ruang di rumah itu memang tidak banyak berubah. Hanya pada halaman belakang yang dulu luas dan penuh hamparan rumput menghijau, kini sudah digantikan oleh bangunan tambahan berlantai dua yang terlihat lebih besar daripada rumah induk. Bangunan itu berupa sederet kamar tidur dan sebuah ruang perpustakaan pribadi. Juga gudang dan ruang pembantu. Menurut perasaanku, bangunan itu sangat mengganggu bagi penglihatanku, karena terlihat kaku dan dingin. Dinding yang tinggi dan pintu-pintu yang menurutku terlalu kokoh lebih meyerupai penjara dari pada tempat tinggal.
Beberapa kamar di rumah induk berukuran besar, enam kali lima meter. Mungkin kamar-kamar itu bisa kusiapkan untuk Yus dan Nina apabila suatu waktu nanti mereka menginap disini. Ini toh rumah mereka juga.
Puff. Lelahnya aku hari-hari belakangan ini. Punggungku terasa pegal dan ngilu. Kalau saja ada mas Tanto disini, tentu aku sudah memintanya untuk sekedar melemaskan otot-ototku yang kaku dengan jemarinya yang kuat.
Lamunanku buyar saat kudengar bel pintu berdentang dua kali. Inem, pembantu, datang membukakan pintu dan bilang kalau ada ‘Tuan’ Piet di depan.
Aku beranjak ke depan dan mempersilakan oom Piet masuk.
Beliau tersenyum sambil memilih duduk di sofa paling empuk di sudut ruang, dekat piano.
“Senang tinggal disini?” tanya oom Piet pertama-tama.
Aku tertawa sambil menyajikan minuman dingin dan kue.
“Yah beginilah Oom,” sahutku. “Oom sendiri, bagaimana? Senang tinggal di rumah Sheila?”
Oom Piet mengangkat bahu sedikit. Wajahnya muram. Baru kusadari betapa lusuhnya oom Piet sekarang. Wajahnya terlihat sepuluh tahun lebih tua dibanding dua atau tiga minggu yang lalu. Dan kedua mata tuanya seakan menyimpan kesedihan yang sangat dalam. Ada apa gerangan dengan beliau?
“Sama saja, di rumah Sheila atau disini. Aku tetap saja sendirian,” katanya tawar.
“Oom ingin tinggal disini bersama kami?” kataku manis.
“Aku?”
Oom Piet tertawa terkekeh. Aneh, aku seperti mendengar tangis di antara kekeh itu.
“Mana mungkin, Non.” Katanya setengah bertanya.
“Kenapa tidak? Oom sudah saya anggap sebagai orangtua sendiri. Kalau Oom masih senang tinggal disini, tinggallah bersama saya. Saya bakan merawat Oom seperti merawat orangtua saya sendiri, dan Oom bisa memilih untuk tinggal di kamar tidur yang mana, yang menjadi faforit Oom.”
Mata tua itu menatapku lembut. Selapis demi selapis selaput bening memenuhi rongga matanya. Dihapusnya dengan telapak tangan, kemudian katanya,:
“Sebenarnya kedatanganku ini hanya akan minta sesuatu padamu.”
“Apa itu, Oom?”
“Aku ingin kamu mencarikan tempat yang layak bagiku. Bukan disini, tetapi di suatu tempat yang pantas buat orang tua seperti aku.”
Aku terkejut mendengar ucapannya. Segera aku beranjak dan duduk bersimpuh di depan kakinya. Kuletakkan tanganku di lututnya, kucoba mencari jawaban yang kubutuhkan lewat bola mata tuanya yang kian meredup.
“Apa kata Oom? Apakah Oom tidak suka tinggal bersama Sheila? Atau bersama Raymon, di luar negeri?”
“Tidak mungkin aku tinggal bersama mereka.”
“Kenapa?”
“Jangan tanya kenapa. Sekedar kamu tau saja, waktu itu sekembali kita pergi ke Bank, ketiga anakku bertengkar hebat.”
“Johnny, Han dan Andre?”
“Ya. Tiba-tiba saja mereka berubah jadi serigala-serigala jahat. Aku sendiri terlalu tua untuk melerai kemarahan mereka. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain pasrah. Kalau saja ada Raymond pastilah dia bisa mencarikan jalan keluar yang baik bagi adik-adiknya. Tetapi,..Raymond tidak mungkin datang kemari hanya untuk itu. Anak-anakku semuanya itu sudah sibuk masing-masing dengan keluarga mereka. Sungguh, aku tidak tau harus bagaimana.”
“Sehebat itukah mereka bertengkar? Apa masalahnya?”
“Harta, Non. Harta telah membutakan mereka.”
“Maafkan saya, Oom. Saya merasa punya andil cukup besar dalam pertikaian mereka.”
“Tidak. Jangan merasa bersalah. Bukan sekali ini saja mereka bertindak seperti itu. Dulu mereka juga berbuat hal yang keji terhadap mertua perempuanku. Masalahnya sama: harta!”
“Apa yang telah mereka lakukan terhadap Oma?”
“Pokoknya mengerikan.”
Mataku memanas. Hatiku bagai diremas. Ya Tuhan, apakah semua ini karena kesalahanku? Egoku? Entah bagaimana, mendadak aku tak bisa lagi menahan airmataku. Hanya saja itu kulakukan diam-diam tanpa suara, karena kulihat Oom Piet sendiri juga menangkupkan telapak tangan di wajahnya. Aku tau, beliau juga tengah berusaha untuk tidak sesenggukan di depanku.
“Sekali lagi, maafkan saya. Saya mau berbuat apa saja untuk merukunkan mereka kembali. Biarlah rumah ini saya kembalikan kepada Oom, asalkan…”
“Tidak, jangan!” potong oom Piet.
“Saya rasa Cuma itu satu-satunya jalan agar mereka..”
“Percuma,” sekali lagi oom Piet memotong kalimatku.
“Lantas apa yang bisa saya lakukan untuk keluarga Oom?”
“Carikan aku tempat tinggal.”
“Maksud Oom, rumah tinggal?”
“Non, tolong. Ijinkan aku menggali lantai bawah di salah satu ruang bangunan belakang.”
Demi Tuhan.
Aku kian tak mengerti saja omongan oom Piet. Kutatap dirinya lebih seksama. Oom kesayanganku ini tak lagi terlihat rapi seperti biasanya. Tubuh tuanya hanya dibalut kemeja lusuh. Rambutnya tidak tersisir dengan rapi. Samasekali tidak nampak bahwa beliau adalah seorang pengusaha sukses sekelas Budi Sampoerna.
“Kamu mau kan, membantuku membongkar lantai di kamar belakang?” desaknya.
“Untuk apa?”
“Nanti kamu akan tau.”
Kuhela nafas dalam-dalam. Aneh betul orang tua ini. Bagaimanapun, aku masih tetap menghormatinya sebagai salah seorang sahabat Mama. Maka dengan berat hati, aku mengangguk.
“Baiklah, oom. Hanya saja, tukang-tukang saya sudah tak lagi disini. Mungkin cuma saya, Inem dan Samsuri, jongos saya itu, yang bisa membantu Oom mengerjakannya.” Kataku.
Oom Piet terlihat lega.
“Kapan kita mau melakukannya?” tanyaku kemudian.
“Sekarang.”
“Sekarang? Sekarang, oom? Bagaimana bisa…”
“Kalian melihat saja. Aku yang akan mengerjakannya. Kalau kamu belum membuangnya aku ingat, di gudang ada linggis.”
“Oom…” aku mencoba memprotes. Namun dengan gagah perkasa, oom Piet sudah melangkah ke belakang. Beliau masuk ke gudang, dan keluar lagi dengan cepat seraya menenteng sebatang linggis besar.
Dua orang pepmbantu kupanggil dan kusuruh membantu. Berempat kami membongkar ubin satu demi satu. Hingga sore, barulah ujung linggis itu menyentuh sesuatu. Samsuri dengan giat membongkar semen dan pasir di sekitar benda keras itu.
“Ada peti, Bu,” katanya bersemangat. “Apa harta karun, ya, isinya.”
“Hush! Sudah, teruskan. Dan angkat peti itu ke atas.”
“Baik, Bu. Siap!”
Oom Piet permisi ke toilet. Sementara itu kami terus beerusaha keras mengangkat peti panjang yang terbuat dari kayu kelas satu itu, keatas. Dan setelah terangkat, Samsuri membukanya. Peti itu ternyata tidak dipaku atau digembok. Jadi mudah saja Samsuri membuka tutupnya.
Namun, astaga!
“Bau apa ini, busuk sekali,” teriak Inem sambil menutup hidung rapat-rapat dengan telapak tangan.
Aku sendiri sduah tidak ketulungan lagi rasanya. Mual, pusing, dan …Ketika aku menjenguk ke dalam peti itu…
Aku, Inem dan Samsuri menjerit tertahan. Sekujur tubuhku serasa diguyur air es berliter-liter.
“Astaghfirullahaladziiim.”
Dua orang pembantuku mengucapkan istighfar berkali-kali sambil mundur menjauhi peti panjang itu. Ternyata dalam peti itu terbujur dua jenasah. Yang satu malah masih dalam keadaan membusuk. Itu yang membuat seluruh ruangan jadi meruapkan bau yang sangat busuk. Sementara yang satu lagi sudah menjadi tengkorak. Aku yakin itu adalah jenasah Oma dan Oom Piet!
Aku berlari ke meja telpon daan mencoba menghubungi nomor telepon Polisi terdekat, sebelum kemudian benar-benar pingsan.
Malam ini, mas Tanto datang dari Rumbai. Bersama Yus dan Nina, kami berempat berkumpul di ruang tamu. Lampu Kristal yang masih belum sempat kuganti dengan yang lebih sederhana, menggantung di langit-langit ruangan dengan angkuh. Beberapa guci asli dari China, kenangan dari oom Piet, dingin berjajar di dekat rak hias.
Aku tak tau dan tak peduli, apa kata mas Tanto, Yus maupun Nina. Yang jelas aku menyuarakan kata hatiku yang mungkin takkan pernah bisa mereka pahami.
Rumah ini tidak akan aku jual, sampai kapanpun. Apapun yang telah terjadi di rumah ini,bagiku merupakan sebuah rentetan perjuangan antara Oom Piet dan Mama. Bahwa mereka berdua begitu mencintai rumah ini dengan segala kelebihan dan kekurangannya, sampai ajal mereka menjemput, akan sulit dimengerti oleh mas Tanto, Yus maupun Nina.

Akupun!
Akupun akan mencintai rumah ini sampai ajalku menjemput nanti. Setelah aku tiada, maka tak ada lagi keinginanku memaksa mereka mempertahankannya. Bahkan ruangan dimana kutemukan mayat Oom Piet akan kujadikan ruang kerjaku, dimana disitu nanti akan semakin banyak kutemukan inspirasi bagi tulisan-tulisanku berikutnya. Semoga.

(By Indrawati Basuki)

Minggu, 24 Januari 2010

RUMAH PENINGGALAN PAPA (2)


Ternyata sampai Mama meninggal, tak satupun dari kami berhasil mengumpulkan uang untuk membeli kembali rumah Papa. Beberapa kali aku sudah berusaha menemui oom Piet di rumah itu. Orangtua itu bersedia menjualnya asalkan sudah ada kecocokan harga. Saat itu oom Piet menawarkan harga satu setengah milyar. Ketika aku menawar satu milyar, oom Piet tertawa terbahak-bahak.
“Harga yang kuminta itu sudah murah, Non!” ujarnya.
Kebiasaannya memanggilku ‘Non’ tak pernah bisa hilang kendati aku sekarang sudah berubah status dari seorang gadis remaja bernama Ananda menjadi istri Sutanto yang otomatis seharusnya sudah bukan ‘Non’ lagi, melainkan ‘nyonya’. Tetapi pada kenyataannya oom Piet masih tetap memanggilku ‘Non’ seperti tigapuluh tahun yang lalu, saat kami bertemu pertama kali.
Kala itu aku masih memakai seragam TK, Yusniar mengenakan celana monyet, sementara Nina masih duduk di kereta dorong. Oom Piet datang kerumah kami membawa dua batang coklat Silver Queen. Satu diberikannya padaku, satunya lagi diberikan pada Yus.
“Apa kabar, nona kecil?” sapa oom Piet ramah kepadaku. Telapak tangannya yang besar diulurkannya padaku, dan segera telapak tanganku tenggelam dalam telapak tangannya. Dia tertawa senang melihatku membalas senyumannya dengan senyum manisku.
“Oom punya dua batang coklat, satu untukmu dan satu lagi untuk adikmu. Siapa nama adikmu?”
Kuseret Yusniar lebih kedepan.
“Namanya Yus,” jawabku.
“Yus? Hanya Yus saja?”
“Yusniar!” Lantang suara Yus menyela. Oom Piet tertawa lebar sembari memburai-burai rambut Yus yang tebal dan ikal. Mata Yus mengerjap senang.
Ya, sejak pertemuan itu kami selalu akrab satu sama lain. Aku sangat akrab dengan Sheila putri sulungnya karena kebetulan kami sebaya, dan Yus berteman akrab dengan Raymond. Kabarnya kini Sheila sudah bersuami dan tinggal di daerah elite di Jakarta, sementara Raymond menekuni profesinya sebagai dokter bedah kosmetika di luar negeri. Adik-adik Raymond yang lain, Johnny, Han dan Andre masih kecil-kecil kala itu sehingga aku tak sempat mengenali mereka secara dekat. Kabarnya lagi, mereka ini tengah menjalani disiplin ilmu di sebuah universitas di Australia. Baik aku, Yus, maupun Nina tidak begitu dekat dengan mereka dimungkinkan karena perbedaan usia kami dan mereka terlalu jauh.
Tawar menawar antara kami dan oom Piet terus berlangsung walaupun Mama sudah tiada. Mas Tanto yang sedang bekerja di Pekanbaru, tidak begitu peduli. Urusan rumah sudah diserahkannya padaku. Istri Yus pun demikian. Sementara Nina cuek saja. Yang sibuk mungkin Cuma aku dan Yus, yang barangkali paling banyak menyimpan kenangan di rumah itu.
Sementara aku melakukan negosiasi dengan oom Piet, mas Tanto berusaha keras memenangkan tendernya di proyek Pertamina dan Caltex. Hasilnya akan lumayan seandainya dia memenangkannya. Kata mas Tanto, siapa tahu, uangnya bisa untuk menunaikan amanah Mama merebut kembali kenangan indah kamu di rumah itu. Sebagian lagi dari hasil penjualan aset kami berupa tanah dan rumah. Kami memang harus habis-habisan memperjuangkan proyek istimewa ini. Akhirnya uang itu berhasil kami kumpulkan. Apa boleh buat, pikirku. Inilah batas maksimal yang biasa kami lakukan. Mudah-mudahan oom Piet mau berbaik hati dan menurunkan harga rumah itu yang semula satu setengah milyar menjadi satu koma tiga milyar. Wow, memang masih jauh menurut ukuran bisnis, kalau itu bisa dibilang bisnis dagang. Tapi apa mau dikata. Nafasku betul-betul sudah habis!
Ketika kuberanikan diri menemui oom Piet dan mengutarakan bagaimana susahnya kami memikul amanah dengan dana pas-pasan seperti itu, oom Piet hanya bias menggeleng-gelengkan kepalanya yang botak. Lama dia terdiam seakan-akan berpikir keras untuk menentukan sikap.
“Baiklah,” akhirnya oom Piet berkata. “Untuk kenekatanmu, Non, biarlah rumah ini kubeerikan kepadamu. Berapa uangmu sekarang?”
“Satu koma tiga,” sahutku gemetar sambil menahan nafas.
“Apa?”
Oom Piet menatapku tanpa kedip. Melihat dia terbelalak seperti itu, jantungku serasa berhenti berdetak. Aku begitu takut oom Piet bakal menolaknya mentah-mentah. Lama kemudian barulah dia menghela nafas dan menyandarkan tubuh tuanya ke belakang. Dilepaskannya kacamata, dan menatapku redup, lama sekali.
“Kau tau?” ujarnya perlahan. “Sebenarnya aku sudah sangat mencintai rumah ini, dan bermaksud akan menempatinya sampai akhir hayatku nanti. Tapi, sungguh. Aku juga tak ingin Mama kamu kecewa di alam sana apabila kalian gagal menepati wasiatnya. Wasiat orangtua itu keramat. Sampai matipun kalian harus melaksanakannya. Kau mengerti?”
“Ya Oom.”
“Bagus. Itu tandanya kalian anak yang berbakti.”
“Jadi bagaimana dengan penawaran saya, Oom?”
Dia menepuk bahuku lembut. Bibirnya tersenyum tipis. Kulihat ada kesedihan dalam mata tua itu. Oh, maafkan saya Oom, saya hanya ingin bisa mengabulkan keinginan Mama pada saat-saat terakhirnya,…
“Jangan kuatir,” sahutnya. “Aku setuju dengan harga yang kau tawarkan itu.”
“Oom…!” tanpa sadar aku terlonjak. Hampir bersorak gembira. Oh, tidak. Aku memang sudah bbersorak. Bukan itu saja, aku bahkan sudah memeluknya erat-erat. Airmataku meleleh membasahi pipi.
“Terimakasih, Oom. Terimakasih…Terimakasih Tuhan…” bisikku di telinganya.
Lelaki tua sebaya Mama itu mendekapku dalam dadanya yang tak lagi bidang seperti dulu. Diciumnya rambutku lembut. Tatkala aku menatapnya, hati ini mendadak trenyuh saat kulihat kilau bening di matanya. Lapisan bening itu menggumpal dan saling berdesakan untuk turun beergulir di pipinya yang keriput.
“Anak-anak Oom juga telah setuju, bukan?” tanyaku sambil membersit hidung. Mencoba menempias keharuan yang menyeruak diantara kami.
“Jangan dipikirkanmereka. Anak-anak Oom taunya hanya bersenang-senang saja. Tanpa mengindahkan perasaan sepi yang terkadang meremas hati tua ini. Kurasa, Mama kamu lebih bahagia ketimbang Oom. Mungkin kamu tidak tau, selama sisa hidupnya, Mama kamu banyak bercerita kepadaku tentang anak-anak yang telah keluar pintu. Kami sering minum the bersama di rumah ini setelah saling menelepon. Mungkin, dialah satu-satunya sahabat baikku diusia yang telah senja ini. Kamu sungguh mencintainya, kan?”
Tergagap aku mengangguk. Samasekalai diluar dugaan, ternyata Mama sangat dekat dengan oom Piet. Namun demi Tuhan, aku tak ingin berpikir terlalu jauh mengikuti dugaanku selebihnya. Biarlah semua itu menjadi kenangan dan rahasia mereka berdua.
“Pasti, Oom. Sudah pasti kami sangat mencintai dan menghormati Mama sebagaimana menghormati Papa dan Oom Piet sendiri, bagi kami, Oom Piet bukan orang luar lagi. Oom sudah saya anggap sebagai orangtua sendiri,” sahutku panjang lebar.
Oom Piet membelai rambutku sambil tersenyum samar.
“Syukurlah, dia benar-benar seorang ibu yang berbahagia telah memiliki anak-anak seperti kalian. Dan kebahagiaan itu telah direguknya sampai tuntas di masa tuanya. Kendati begitu nlama dia menjanda, kesepian seperti yang selama ini menyiksaku tidak pernah dia rasakan, karena ada kalian, anak-anak yang berbakti kepadanya.”
Oom Piet kemudian beranjak ke kamar dan bersiap-siap akan menemui Notaris langganannya.
“Sekarang?” tanyaku kaget.
“Kapan lagi kalau bukan sekarang? Mau tahun depan? Hehehe,…” Oom Piet tertawa lucu. Keceriaannya kembali seperti dulu. Aku tersenyum lega. Senang rasanya melihat wajahnya kembali terang seperti saat aku bertemu dengannya tigapuluh tahun yang lampau.

(bersambung besok)

RUMAH PENINGGALAN PAPA


Untuk sejenak aku ingin melepas semua kepenatan setelah berbenah. Membenahi rumah peninggalan papa yang kemudian kubeli kembali dari tangan oom Piet, rasanya membuat perasaanku terasa aneh. Bagai sebuah mujijat, Tuhan sudah memberiku kesempatan menunaikan wasiat Mama sesaat sebelum beliau meninggalkan kami untuk selama-lamanya.
Kini rumah ini sudah menjadi milik kami kembali: milikku, milik Yus dan Nina. Kami bertiga telah berusaha keras untuk merebutnya kembali demi keinginan Mama. Entah, aku sendiri tak tau darimana uang sebesar hamper satu setengah milyar itu terkumpul, pada kenyataannya rumah dengan nilai sebesar itu kini sudah menjadi milik kami.
Kini aku tak ingin memikirkannya lagi. Kuambil tempat duduk di sofa paling empuk, dan menselunjurkan kedua tungkaiku agar perasaanku lebih nyaman. Dengan mata setengah terkatup, kuamati seluruh ruang tamu sambil membayangkan kembali wajah Mama setahun yang lalu saat berbaring sakit di ruang perawatan kelas VVIP rumah sakit Adi Husada.
“Usahakanlah membeli rumah itu kembali, Nanda,”kata Mama. “Karena di rumah itulah kalian dibesarkan. Di rumah itu pula Mama pernah merenda hari-hari yang manis bersama Papa kalian. Kami membangun rumah itu sedikit demi sedikit. Seluruh batu yang kami susun, kami sertai tete3san cinta kasih. Mama akan sangat bersyukur kalau salah seorang diantara kalian dapat menempati rumah itu kembali, demi Mama.”
Saat itu hatiku bagai disayat-sayat. Tidakkah Mama merasakan kekacauan ekonomi tengah melanda keluarga kami? Hampir seluruh uang simpanan kami telah menyusut drastic akhir-akhir ini. Bahkan harta lain yang kami miliki, satu demi satu harus kami lepaskan untuk keperluan pengobatan Mama. Kanker otak yang diderita Mama membuat kami betul-betul dilanda krisis, lahir maupun batin. Rasanya seluruh kebahagiaan kami ludes tak bersisa saat Dokter Darmadi mengatakan bahwa tak ada lagi harapan bagi Mama. Usianya tak lebih hanya tinggal tiga bulan!
Namun dengan gigih, kami tetap berusaha memperpanjang usia Mama, paling tidak setahun lagi. Sebagian demi sebagian simpanan kami berupa tanah atau apa saja, kami lepas. Semuanya untuk pengobatan Mama, baik itu beaya rumah sakit, tabib, maupun sinshe. Tapi agaknya usaha kami yang tak kenal putus asa harus menyerah kepada kehendak Tuhan. Tuhan telah berkenan menjemput Mama untuk kembali kepadaNya pada saat embun turun di awal bulan Oktober setahun yang lalu, tepat pada hari ulangtahun Mama yang ke enampuluh.
Kini Mama telah pergi. Jenasahnya telah lama kami makamkan. Suara beliau tak lagi pernah terdengar diantara celoteh cucu-cucunya seperti dulu. Namun pesan Mama untuk kembali membeli rumah itu seakan-akan bergema terus dalam jiwaku. Mengejar dari waktu ke waktu. Sungguh aku tak mengerti, apa maksud Mama berpesan seperti itu. Apakah karena romantisme yang mendadak muncul ke permukaan pada saat menjelang kepergiannya? Padahal, sulit dibayangkan. Membeli rumah besar itu dari tangan oom Piet, sementara kami tak lagi memiliki apa-apa. Jangan lagi uang tunai sebesar itu.
Beberapa hari sebelum Mama meninggal, aku sempat berjalan-jalan melihat-lihat rumah itu dari luar. Mobil kuhentikan persis di depan pagar besi yang tinggi itu dan mengamatinya dengan sejuta kegalauan dalam hati. Rumah dengan arsitektur Belanda itu kini telah banyak mengalami perubahan. Kini yang Nampak di depan mataku adalah sebuah rumah yang tegak berdiri dengan angkuh menantang langit, megah dan mewah. Berapa kira-kira harganya? Pikirku gamang. Tak bias kubayangkan, dengan apa kami bias membelinya kembali?
Tigapuluh tahun yang lampau , di halaman depan itulah aku pernah bermain petak umpet bersama adik-adikku, Yus dan Nina. Kadang-kadang kami bermain bola atau congklak di beranda belakang yang memiliki halaman cukup luas untuk Yus, satu-satunya anak laki-laki, bermain bola dengan Papa. Sementara itu Mama merenda atau menyulam di dekat kami, anak-anak perempuannya sambil sesekali melontarkan canda yang sering membuat kami tertawa. Kini, bias kupastikan, bagian belakang rumah itu sudah kehilangan halaman milik Yus, atau tanaman bougenville milik kami. Tak ada lagi kolam ikan di depan ruang makan yang luas dan sejuk. Juga kamar tidur orangtua pasti juga sudah berubah. Ah. Semua kenangan itu sudah tak ada lagi disana. Lantas mengapa Mama bersikukuh agar kami mengambilnya kembali?
Sebetulnya kalau mau jujur, bukan perubahan-perubahan bentuk bangunan itu yang membuatku berat hati. Tetapi pertimbangan keuangan kamilah yang membuat kami semua merasa amat berat. Ya, darimana kami mendapatkan uang untuk merebut kenangan itu kembali. Sudah pasti harganya sekarang sangat mahal, terlalu mahal bahkan untuk kami. Suamiku Cuma seorang kontraktor yang sedang sepi, Yus? Ah tanpa bermaksud mengecilkan, nyatanya kehidupan mereka masih lebih banyak ditunjang istrinya yang mengelola salon kecantikan. Bagaimana dengan Nina? Dia seorang dosen sebuah universitas swasta terbesar di Surabaya. Tetapi kebutuhannya juga tidak sedikit. Dia masih perlu therapi canggih guna mengikuti kemauan suaminya: program punya anak! Nah lho, bagaimana dong?
Di depan Mama yang sedang mengalami masa kritis, kuberanikan diri untuk mengutarakan pada Mama bahwa rumah itu sudah bukan rumah kami yang dulu. Rumah itu sudah berubah total. Namun dengan tersenyum Mama mencoba meyakinkanku bahwa samasekali tidak ada perubahan yang cukup berarti dalam tata ruangnya.
“Bagaimana Mama tahu bahwa rumah itu masih tetap sama dengan yang dulu?” tanyaku mencoba mengelak.
“Mama tahu dari gambar denah perbaikannya,” jawab Mama. “Dulu, sebelum oom Piet mengup-grade rumah itu, dia dating pada Mama dan minta persetujuan Mama atas perbaikan beberapa ruang di dalamnya. Perubahan itu paling banyak Cuma bagian tampak luarnya saja, sementara ruang-ruangnya tidak banyak berubah. Percayalah.”
“Jadi Mama sudah tahu dan mengijinkan oom Piet…?”
“Nanda,…rumah itu toh sudah jadi miliknya. Apapun yang akan dia lakukan atas rumah itu kan terserah dia. Mama tak bias mencegah. Sudah bagus dia minta pendapat Mama. Tetapi Mama masih sempat berpesan kepadanya agar tidak terlalu banyak mengadakan perubahan, sebab saat itu dalam hati, Mama yakin suatu saat kita akan mengambilnya kembali.”
“Bagaimana dengan halaman belakang?” tanyaku lagi.
“Untuk halaman belakang memang dia minta ijin dibangun beberapa kamar. Anaknya kan banyak. Mertuanyapun ikut dalam rumah itu. Maka aku menyetujuinya.”
Aku mangangguk mendengar penuturan Mama. Namun ada sedikit kekecewaan merambati hati mengingat betapa halaman belakang kesayangan kami nitu kini sudah tak ada lagi. Kolam ikan, jajaran tanaman mawar dan bougenville…ah semuanya pasti sudah tak ada lagi. Padahal betapa sangat berartinya itu semua bagi kami. Kenangan indah masa kanak-kanak terukir di sana. Saat-saat yang penuh canda dan tawa!

“Mama ingin kami membelinya kembali?” tanya Yus ketika itu.

“Ya,” sahut Mama “Mama ingin sekali kalian berada lagi di sana. Kalian mau, kan?”
Baik Yus maupun diriku dan Nina Cuma tersenyum Masing-masing dalam pikirannya sendiri-sendiri. Kuharap Mama tidak terlalu tahu apa yang sedang berkutat di benak kami.
“Yus?” Mama menoleh ke arah Yus yang berdiri disisi ranjang.
“Aku?” Yus tertawa kecil tanpa suara. Aku tau hampir saja dia mengatakan:…tapi dari mana saya punya uang Mama? …kalau saja aku tidak cepat-cepat menginjak kakinya. Yus meringis menahan sakit, tapi itu ditafsirkan setuju oleh Mama. Mama kemudian mengalihkan pandaqngannya ke arahku. Entah kenapa, aku merasakan jantungku berdebar menyadari betapa Mama selalu menganggapku bias bertanggungjawab atas adik-adikku.

“Barangkali kau?” Tanya Mama “Suamimu sudah datang dari Pekanbaru?” tambah beliau sambil mengambil tanganku dan digenggamnya erat-erat.
Aku menggeleng.
“Belum Mama, kenapa Mama menyanyakannya?” sahutku. “Mas Tanto baru akan pulang beberapa hari menjelang tahun baru.”
“Mama sudah kangen padanya,” desah Mama. “Suamimu itu enak diajak berunding. Setiap masalah yang bagi kita rumit, rasanya dengan mudah akan dapat diuraikannya. Telponlah dia, suruh cepat pulang.”
“Ya Mama. Nanti aku akan menelponnya.”
Kudengar Mama menghempaskan nafas lega. Kedua kelopak matanya mengatup perlahan dengan letih. Kubenahi selimutnya sebelum keluar kamar.
(bersambung besok)

Jumat, 22 Januari 2010

SELEMBAR DAUN DI UJUNG MUSIM


Rumahku memang tidak terlalu besar karena selama ini aku tinggal sendirian semenjak suamiki, Hardono pergi dengan perempuan lain meninggalkanku. Walau begitu, aku tidak pernah lagi memikirkannya semenjak Hans datang mewarnai hari-hariku beberapa bulan belakangan ini. Keluarga besarku, seperti ibu, adikku Monik maupun abangku Rudy tidak pernah tahu tentang hal itu, sampai suatu hari…
Sengaja aku duduk di sudut tersembunyi mengamati tingkah laku orang-orang yang berlalu lalang disekitarku. Sesekali kulihat ibu masih juga membersit hidung dan menghapus airmata yang tak kunjung kering dengan saputangan. Sementara itu, beberapa orang masih suka bergunjing dan mempertanyakan kejadian yang baru saja kami lewati. Namaku disebut-sebut dengan suara yang teramat pelan agar tak sampai ke telinga ibu. Heran, kenapa mereka tidak mendatangiku saja dan bertanya langsung kepadaku? Tidakkah mereka melihat aku duduk disini menunggu tegur sapa mereka, meski cuma sepatah kata saja?
Kusaksikan kemudian, Monik masuk ke kamarku. Dilipatnya seprei dan selimut yang penuh bercak di sana sini, kemudian dijatuhkannya di lantai. Kugelengkan kepala dan bergumam sendirian, Nik…Nik, kenapa lama betul kau menangis? Apa sih yang kau sedihkan, toh aku masih disini. Kuikuti dia ke kamar. Wajahnya pucat tanpa lipstick, matanya sembab sisa tangis semalaman.
Kini giliran meja rias yang ia rapikan. Seluruh alat kecantikanku dimasukkannya ke dalam sebuah kaleng bekas biscuit, kemudian disisihkannya ke sudut. Aku duduk ditepi ranjang menatapnya dengan sedih. Biasanya, dulu, dia selalu mengadukan semua masalah dan kekecewaannya padaku. Kini kenapa dia diam saja sedangkan ada aku disini?
Kuraih sisir yang masih tertinggal di atas meja, tapi…ampun! Ada apa dengan tanganku ini? Sungguh aku tak kuasa menggenggam sisir itu hingga jatuh ke lantai. Kudengar Monik menjerit. Jeritannya membuat banyak orang menerobos masuk dan bertanya-tanya, ada apa, kau melihat sesuatu?
“Ada apa Monik?” Tanya ibu dengan suara tertekan. Wajah ibu terlihat lelah sepertinya kurang tidur sejak semalam.
“Sisir itu…sisir itu tiba-tiba saja jatuh.”
Untuk beberapa saat ibu terdiam. Mereka hanya berpandangan seakan-akan saling bertanya akan sesuatu yang cuma mereka saja yang tahu.
“Ah,” desah ibu, “Barangkali secara tak sengaja kau menjatuhkannya ke lantai.”
“Tidak, sungguh aku tidak pernah menyentuhnya. Sisir itu tiba-tiba saja jatuh dan itu membuatku kaget.”
Ibu menghela nafas, dan kulihat bibirnya berkomat kamit memanjatkan doa.
“Sudahlah,” katanya, “Biarkan saja. Mungkin Sisi memang sedang ingin memakainya.”
“Ibu! Ucapan ibu hanya menakutkan kami saja.”
Monik kian bergegas membereskan kamar. Tak kusadari, aku jadi tertawa geli8 menyaksikan dia begitu ketakutan mendengar ucapan ibu tadi. Memang kenapa kalau aku sedang ingin memakainya, Nik?
Kau terlihat takut benar seakan mau bertemu hantu saja! Kataku. Tapi Monik samasekali tidak menghiraukanku, atau memang dia betul-betul sudah tidak mendengarkan pertanyaanku? Sudah benar-benar tulikah adikku yang cantik ini?
Satu demi satu mereka keluar dari kamar meninggalkan Monik meneruskan pekerjaannya membereskan barang-barangku. Lama ia tertegun saat akan mengangkat sebuah pigora besar dimana wajah Hans tertawa lebar disitu. Jemari Monik membelai permukaan kaca bingkai dengan sangat hati-hati seakan takut sentuhan itu akan mencederainya. Kudekati dia dan kubisikkan di telinganya,
“Dia gagah, kan?” ujarku tersenyum. “Lihatlah tatapan matanya. Bukankah mengingatkan akan jernihnya sebuah telaga yang menyimpan sejuta misteri di dalamnya? Kau tahu? Aku mencintainya, Nik, amat sangat. Kendati kita tahu, dia tak lagi bebas. Dia sudah menjadi milik Ning, sahabatmu. Ah, bagiku itu tak penting. Yang terpenting, dia telah memompakan semangat hidupku kembali setelah kuketahui Hardono mengkhianati perkawinan kami. Meninggalkan derita dan kepedihan yang sangat, tak perduli akan tanggungjawab dan sumpah sacral sebuah pernikahan.”
Kudengar Monik tersedu pelan, amat pelan dan tertahan-tahan.
“Banyak hal,” kataku lagi, “dalam diri Hans yang menyenangkan diriku. Kutemukan banyak hal yang tak dimiliki Hardono. Cara dia tersenyum, cara dia teertawa dan berbicara,…tanpa kusadari, sebuah awal hubungan telah terjadi. Entah kenapa, aku kemudian merasakan gairah baru menggebu dalam jiwaku. Aku tak tahu persis bagaimana asal mulanya, tetapi hubungan yang akrab telah terjalin antara aku dan dia. Katakan padaku, apakah salah aku mencintai dia sementara Hardono sendiri pergi dan tak pernah kembali?”
Aku menoleh kearah Monik duduk lesu di depan meja rias. Kedua tangannya masih juga memegangi pigora yang membingkai wajah Hans yang tak lepas-lepas dipandanginya dengan kedua mata basah oleh airmata. Anak manis, bisikku dalam hati, mengapa tangismu tak kunjung selesai?
“Menurutmu, apakah cinta itu, Nik? Cinta,…” kataku, “…merupakan kebutuhan setiap manusia normal, boleh dimiliki siapapun. Tanpa cinta, tanpa kasih saying, kita akan sulit memahami keberadaan seseorang di tengah kita. Mengenai hubungan kami, aku merasa bahwa dia adalah sosok idola yang menimbulkan semangatku. Dia merupakan gambaran pribadi yang penuh semangat hidup, penuh cita-cita. Optimis, namun tanpa basa basi dalam menerima kodratnya. Dia yang penuh rasa syukur terhadap Tuhan, mengajarkan padaku akan arti kehidupan yang sebenarnya.”
Monik masih tetap diam membisu dalam ketidakmengertian akan kata-kata yang kuucapkan. Jangankan mengerti, mendengarkan saja belum tentu. Kudengar hela nafasnya. Aaah,…! Sesalku. Mengapa masih saja kau tatap foto itu, Nik? Ayo, letakkan saja pigora itu ditempatnya semula dan berbaringlah di dekatku
“Ternyata,” lanjutku sambil bersila di atas kasur, “…dia menerimaku apa adanya, sepertihalnya aku menerimanya apa adanya. Kami merasa sama-sama gelisah bila tak punya kesempatan untuk bertemu. Beberapa hari tak jumpa, rasanya kangen. Bagiku ini adalah awal petualangan yang menggairahkan. Gairah itu menggebu. Rasa rindu kian hari kian menyala. Keinginan untuk bertemu yang terus memburu merupakan daya tarik yang amat memikat. Hingga tiba-tiba tanpa kami sadari, kami sudah lebih jauh melangkah. Aku tak tahu, apakah ini merupakan sebuah pengkhianatan seperti apa yang dilakukan Hardono terhadap perkawinan kami? Tapi,…ah. Rasanya kau masih terlalu muda untuk tahu apa itu perselingkuhan. Sebentar lagi kau lulus Universitas, apa kau sudah punya kekasih? Ingat Nik, carilah pemuda yang tidak saja bependidikan tinggi, tapi juga beriman dan bertaqwa. Jangan cari yang seperti Hardono, ya?”
Monik meletakkan pigora itu ke tempatnya semula. Di dekat foto itu ada diletakkan orang cawan berisi bunga rampai. Baunya, uf! Tetapi yah, sudahlah. Orang-orang maunya begitu sih.
“Terkadang muncul perasaan egoku,” kataku sambil tertawa kecil. “Aku toh sudah tahu bahwa dia sudah beristri. Tapi kenapa juga setiap kali kami batal bertemu, aku selalu ngambek. Kau bias lihat semua yang kurasakan dalam buku harianku, itu, ada di laci paling bawah meja rias. Namun ada beberapa halaman yang sengaja kumusnahkan karena aku sudah terlalu malu untuk membiarkan orang lain membacanya. Ambillah, dan bacalah keras-keras, agar aku bias ikut mendengarkannya.”
Monika membuka laci paling bawah dan menemukan sebagian kecil sisa buku harianku yang masih belum sempat kumusnahkan. Seperti saranku, Monik mulai membaca dengan gumam yang sedikit keras.
5 juni ‘87
Hal-hal semacam ini kadang kurang mendapat perhatian orang-orang pintar yang mengaku punya kelebihan otak. Bagiku pribadi, selain punya otak seseorang yang masih ingin disebut manusia haruslah memiliki rasa dan harga diri. Sebab itulah yang membedakan kita dari binatang.
Rasa, itu penting. Bagaimana jadinya orang pintar yang kehilangan rasa? Rasa di dalam hati, dan otak di dalam benak kita haruslah berjalan selaras. Tapi ini cuma pendapatku pribadi. Terserah orang mau bilang apa. Rasa-rasanya aku tak perlu harus peduli.
Monik berhenti membaca sejenak untuk menghapus air mata yang bergulir di pipinya. Aku tersenyum menatap langit-langit kamar. Yang kaubaca itu, kataku, cuma tinggal sebagian, Sebagian besar lainnya telah jadi santapan api dapur.
Monik kembali membaca, kali ini terputus putus karena desakan dada yang dirasakannya menyesak.

7 juni ‘87
Setelah lama aku menunggu dering telepon yang tak juga berdering, akhirnya kau menelponku juga untuk membatalkan rencana pertemuan kita dikarenkana harus menjemput Ning yang dating dari Bandung. Kau tahu, apa yang kurasakan saat itu? Atau tahu, tapi tak berdaya melakukan sesuatu untuk sekedar menghiburku? Ternyata aku kalah. Kalah karena status yang tak jelas. Kekalahanku karena harus terus menunggu dan menunggu sisa waktumu bersama Ning, membuatku mengambil satu keputusan drastis. Sambil mengatubkan bibirku yang gemetaran, kuambil secarik kertas, lalu kutulis: Maaf mas Hans, rasanya aku sudah teramat lelah. Untuk itu, tolong, jangan temui aku lagi hari ini dan seterusnya! Lalu kusuruh seseorang mengantarkannya ke rumahmu. Sungguh aku tak peduli lagi apakah surat itu akan diterima Ning atau kau sendiri. Tetapi tahu tahu kau menelepon dan dengan suara bariton yang kaumiliki, kau bilang, bahwa kau masih menyimpan dua butir peluru.
“Untuk apa peluru-peluru itu?” tanyaku tak mengerti.
“Untuk diri mas Hans sendiri. Suratmu itu memang akan menimbulkan akibat yang fatal bagi mas Hans,” jawabmu lugas.
“Fatal bagaimana maksudmu?”
“ Itu urusan mas Hans, kecuali kalau kita bisa bertemu besok pagi. Kutunggu di tempat biasa.” Lalu hubungan telepon kauhentikan.
Untuk beberapa saat aku tak bias bilang apa-apa. Apa boleh buat, pikirku. Kau selalu mampu berbuat apa saja.
8 juni ‘87
Apapun acaranya, siang ini akan sangat menjengkelkan bila ditulis. Tak ada yang istimea selain kau ajak aku dank au perkenalkan pada Modesta, gadis asal Papua yang minta tolong agar kau bantu agar bias masuk jadi anggota polri sepertimu. Syukurlah dia masih mau bersikap manis padaku kendati aku tahu dia cukup mengenal Ning dengan baik.
19 juni’87
Saat saat terakhir seperti ini sebaiknya kita nikmati detik demi detik. Karena besok kau sudah tak ada lagi disini. Entah di Jakarta, entah di Padang. Yang penting bagiku waktu yang tinggal sekejaran detik lonceng ini ingin kulewati dengan berdiam diri saja, mengamati setiap lekuk wajahmu, dagu, bibir, dan matamu. Kudengar dan kuhisap setiap desah nafasmu. Semua itu akan aku pateri dalam relung jiwaku.
“Jangan cengeng ya,” katamu dengan lingkar mata memerah, “nanti mas Hans jadi ikut cengeng.”
Aku tertawa mendengarnya.
Cengeng, katamu? Oh, tidak. Mungkin aku pernah menangis tatkala merasa bakal kehilangan kau untuk selamanya. Tapi hari ini aku seakan telah kehilangan kecengenganku. Sebab aku telah merasa puas melakukan pelayanan. Semuanya tuntas kuberikan padamu, mulai dari uluran smpati, hingga airmata. Untuk itu aku merasa cukup kuat menabahkan hat pada saat-saat sepert in. Atau bias juga karena berpegang pada ucapanmu tempo hari bahwa kau akan tetap konsisten dengan segala ucapan, janji dan tindakanmu.
Kau juga pernah mengatakan: “Bila nanti kita bias saling memiliki, teerimalah mas Hans apa adanya dengan plus minusnya. Dan anggaplah semua ini sebagai karunia Tuhan semata.”
Monik membalik-balik beberapa halaman yang robek atau hangus.
Kupandangi sekitarku dengan kesedihan yang sarat. Sementara itu gerimis di luar sudah berubah jadi hujan yang cukup deras. Desember selalu sama dengan musim hujan. Anehnya, kenapa aku tak juga merasa sejuk berada dalam kamar berjendela besar besar yang terbuka lebar lebar seperti ini?
Mau tak mau saat-saat sepi seperti ini menimbulkan kumparan ingatan kembali beerpusing antara saatu tempat ke tempat lain dimana kami pernah bersama-sama. Ke suatu tempat yang sangat akrab dengan aroma lumut dan pinus. Suatu tempat dimana kami saling ngobrol dan bercerita tentang makna dan misteri sebuah kehidupan. Dimana dia ajarkan tentang kebijakan Tuhan yang selama ini belum kumengerti. Kesunyian seperti ini otomatis menyeret lamunanku untuk ingat pada kebersamaan kami. Bayang-bayang ittu terus bersemayam disini, di benak, di pelupuk mata, di lengkung langit hati.
Kutekan dada kuat-kuat. Gemuruh dalam dada ini nyaris tak teratasi. Bagai gila rasanya saat mencoba menahan semua gejolak ini agar tetap rata dan licin bagai permukaan kaca. Biarlah hening, biarlah bening, tanpa gemuruh badai yang menghempas dinding-dinding hati.
Kudengar Monik kembali membaca. Hanya saja kali ini halaman itu kehilangan separuh bagiannya. Entah pada tanggal berapa aku menulisnya.
Masih panjang hari yang harus kita titi sebelum Tuhan mempertemukan kita kembali. Masih berapa lamakah itu? Jawabannya Cuma ada pada Tuhan. Semoga hari hari dan waktu yang berjalan bagai keong ini lebih banyak mengajarkan tentang ketabahan dan kesabaran bagiku. Toh masih tersisa waktu dalam hidup kita untuk bertemu dan menyatu, bukan saja badani namun jiwa kita juga akan menyatu. Agar tak ada lagi jarak. Tubuhku tidur dalam pelukanmu. Ketelanjangan kita tak boleh mengingkari kenyataan itu.
Monik memejamkan mata. Sebuah anak sungai mengalir deras dipipinya. Ia menghaapusnya dengan diam-diam. Ditahannya isak tangis sekuat tenaga, ditelannya air matanya lambat-lambat.
Monik, senyumku,betapa ingin kubelai rambutmu. Betapa ingin kuusap matamu dalam kecupku. Tapi tubuhmu terlalu panas bagiku. Aku akan meleleh bila kupaksakan diriku memelukmu. Ingin aku seddikit lebih lama disini, menikmati hujan bersamamu, menikmati dinding kamar rumah hadiah bapak saat kunikahi Hardono, tapi…
“Kau ingat jam jam dimana kita biasa bersama-sama?” Monik melanjutkan membaca dengan suara terngau.
Dalam hubungan interlokal dengan suara riang kau menyapaku. Katamu waktu itu,: Tahu? Mas Hans masih ingat semuanya. Ingat pada matamu, ingat pada senyummu, ingat pada tetes keringatmu. Pokoknya ingat semuanya! Kemeja yang kutinggalkan dulu sudah kaubawa ke binatu, sayang?
Aku tertawa mendengar keceriaan dalam suaramu, mas. Kemeja yang kau maksud itu memang seharusnya sudah sejak lama masuk ke binatu. Namun itu tak kulakukan. Kemeja justru masih ada tergantung di hanger dalam kamar tidurku agar setiap saat bias kupandang dan kuhirup aroma tubuhmu yang tertinggal disana. Pada lengannya ada sisa bercak merah minuman Fanta. Kau ingat saat gelas berisi sofdrink itu menumpahi kemejamu? Ada bekas lipstick di kelepak nya, hingga kau begitu takut membawanya pulang ke rumah kalian.
Suara sandal yang diseret membuat Monik cepat-cepat menghapus airmata dan menunda bacaannya. Ditengah bingkai pintu, abangku, Rudy, berdiri tegar menatap aneh kea rah Monik. Dia mendekat dan duduk bersila di sisi Monik, lalu katanya,
“Untuk apa kau membacanya? Bikin sedih saja.”
Monik menyandarkan kepalanya ke bahu Rudy dan bicara gagap,
“Kasihan dia, kasihan dia…”
Rudy memeluknya erat. Kurasakan sudut mataku memanas. Mereka ini adalah orang-orang yang teramat kucintai. Kami bertiga selalu rukun dan saling mengasihi. Tapi kasihku pada Hans memang sudah tak bisa dibendung. Aku sudah terlanjur mencintainya, amat sangat. Dan Cuma itulah yang bias kulakukan, mencintai Hans dengan seluruh jiwaku.
Kini Rudy yang membacanya dengan suara pelan. Suaranya melantun membelah malam yang kian larut.
14 nopember ‘87
Bumi berselimut hitam. Begitupun pasir di pantai kotamu, hangus menjelaga. Laut terasa tinggal usapan pedih. Ketika rindu ditelan rahang cakrawala, telapak hilang jejak, anganpun hilang pijak. Mungkinkah sebentar lagi nadi berhenti berdetak? Setelah menyayat sisa bayangmu yang memudar, kucampakkan di kaki bukit hatimu. Asekeping demi sekeping tinggal puncaknya. Karena meratapi rentangan jarak.
Rudy tersenyum tipis. Entah darimana dia belajar menulis puisi ini? Katanya. Namun kemudian dia meneruskan lagi bacaannya.
19 Nopember ‘87
Surat dari Adiyaksa, sahabatku, yang tinggal sekota denganmu. Sengaja kukabari dia bahwa kau, orang yang paling kucintai, pindah dinas kekaotanya. Surat sahabatku itu cukup simpatik. Kalimatnya yang sederhana, lugas, penuh arti yang kemudiana mampu mencakup hamper semua pendapatnya tentang kita. Meski ada keheranan dia mengenai hubungan tak jelas yang kita jalani in, pada hakekatnya dia mendukung. Pada akhir suratnya itu dia menulis,: Oke, jika dia muncul dalam beberapa hari ini ke rumahku, tentu kau akan segera kukabari. Pokoknya beres deh!
Selain surat Adiyaksa, aku juga menerima beberapa lagi surat dari teman-temanku. Semua itu aku balas pada hari ini juga. Kau tak marah kan, kalau aku sengaja melakukannya hanya untuk sedikit berpaling dari segerobak rindu tak terbendung ini?
Kadang aku ingin melepaskan diri dari belenggu rindu yang menyiksa ini, sebab sejak kau berangkat ke Padang tumbuh kelengangan dalam jiwaku. Ibu mengatakan, apabila perasaan sepi dan kosong merajai hati, kita harus mengisinya dengan doa. Doa, ya doa. Rasanya aku tak pernah lepas dari doa sejak mengenalmu secara akrab. Kesinisanku pada hidup dan kejujuran mulai mencair, dan mulai bias mengucap syukur dalam setiap doa yang kupanjatkan.
Tuhan sudah mau sedikit bersikap ramah kepadaku dengan cara menurunkan engkau ke tengah-tengah perjalanan hidupku. Tak berani aku membayangkan apa yang akan terjadi seandainya Tuhan memisahkan kita buat selamanya. Ikhlaskah aku apabila itu harus terjadi?
22 Nopember ‘87
Dalam percakapan interlokal kau berkata berulang-ulang, “Ikhlas ya sayang, ikhlas, ikhlas, ikhlas.”
Aku tak mengerti apa maksudmu berkata seperti itu berulang-ulang. Padahal sebenarnya ingin kukabarkan kepadamu bahwa apa yang telah kautitipkan padaku tempo hari, telah tumbuh dalam rahimku. Aku akan dan selalu mencintainya, dan berjanji akan memeliharanya baik-baik. Tetapi untuk sementara ini aku tak merasa harus terburu-buru. Ada yang lebih penting ingin kutanyakan yaitu tentang perkataan ikhlas yang kau maksud.
“Kita harus ikhlas, karena mungkin mas Hans akan lama di Padang,” jawabmu tatkala aku mendesakmu.
Sebenarnya, keikhlasan itu sudah sejak lama kucoba mengaturnya dalam benakku, kuamalkan, dan selalu itu yang kuminta pada Tuhan dalam setiap doaku. Namun aku sendiri tak begitu yakin, akan berhasilkah aku menjadi seseorang yang ikhlas lahir batin, dalam arti yang sebenar-benarnya, menerima kodradku seperti ini? Aku tidak tahu, sungguh, aku tidak tahu. Bahkan pada saat-saat sendiri dalam sepiku, aku suka menyudutkan diri sendiri. Ikhlaskah aku bila sepanjang waktu harus jatuh dalam situasi dan kondisi ketidakberdayaan seperti ini? Ikhlaskah aku bila harus terus menerus berkorban demi cinta dan meneriakkan slogan kepengecutan manusia yang mengatakan bahwa cinta tidak selamanya harus saling memiliki?
Tidak, tidak.
Samasekali itu tidak mungkin.
Cinta itu egois. Dan terutama. Aku bukan termasuk golongan mereka yang menyerah sebelum bertanding. Tetapi kalaupun aku harus kalah, aku akan membuat kemenangan Ning kemenangan yang tidak mudah. Dan aku baru akan menerima kekalahan itu dengan suatu kepuasan yang takkan terbayangkan oleh siapapun, tidak juga Ning. Memang, resiko kearah itu sejak lama kusadari. Sebab pernah kudengar orang berpendapat, seorang suami yang berselingkuh pada akhirnya akan kembali kepada istri, cinta pertamanya. Maka kalau suatu saat seorang suami kembali kepada istrinya dan pergi meninggalkan kekasihnya, sebenarnya itu bukan barang baru. Itu lagu lama. Terus terang, kalau itu terjadi, rasa-rasanya keikhlasanku jadi kabur, dan carut marut. Keikhlasanku itu akan jadi serupa darah yang tenggelam dalam nanah.
Kaupikir, apakah aku akan jadi pendendam karena merasa dipermainkan? Tuhan Maha Tahu, apa yang bakal terjadi dalam diriku nanti. Yang jelas, penilaianku terhadap laki-laki jadi semakin lengkap. Barangkali yang tersisa dalam diriku hanya penyesalan, mengapa aku terlalu cepat memutuskan untuk menerima laki-laki yang sedang lapar.
Kini aku cuma berupaya agar pikiran-pikiran jelek dan prasangka-prasangka buruk itu dijauhkan dari benakku yang selalu berpasir. Aku akan selalu berusaha meyakinkan diri maupun hatiku sendiri, dan mencoba untuk terus menerus berbisik tentang konsistensi dirimu seperti yang kaujanjikan.
23 Nopember ‘87.
Hari ini adalah hari kesekian puluh setelah terakhir kali kita bertemu. Masih terlalu singkat bila dibandingkan dengan rentang waktu yang mesti kita songsong. Tapi alangkah lama bagiku rasanya berpisah. Kadang terbetik dalam benak, adakah kau masih menyimpan rindu untukku?
Hidup kita memang seperti tidur. Yang selalu bingung di setiap mimpi karena tak kenal rumah sendiri. Dari gelap menyusur gelap. Tapi memang seperti itulah hidup yang sesungguhnya. Tidurpun laksana tak sempurna jika tiada mimpi memenjarakan kita. Seperti bintik-bintik api dalam kelam, bunga-bunga sepi bertebaran menggemintang. Kemerlip dalam senyap malam. Bintik-bintik itu, mas Hans, akan tetap bertahan disini, dalam hati. Tuhan, tetaplah beri aku kekuatan.
30 Nopember ‘87
Aku sudah sampai pada lereng kejenuhan sebuah penantian yang tak kunjung selesai. Benarkah pada saat lalu aku Cuma bermimpi.
Rudy menghela nafas panjang. Kepalanya jatuh tertunduk dalam dalam hingga ke dagu. Jemarinya meremas rambut ikalnya. Diletakkannya lembaran-lembaran sisa buku harian itu ke lantai. Rasanya dia sudah tak ingin lagi melanjutkan membaca sebagian sisa yang lain.
Hujan di luar mulai reda, meskipun butir-butir hujan masih tetap rapat bagaikan jarum-jarum halus yang berbaris turun dari langit. Hujan setetes-setetes menempias melalui jendela yang terbuka, masuk ke kamar. Dingin menggigilkan. Dinding kamar ini serasa kian kelabu di mataku.
Ya, memang. Hari-hari berikutnya tak lagi sempat kutulis. Namun kejadian berikutnya membayang jelas di pelupuk mataku. Tak kuduga, malam itu Hans datang dalam pakaian dinas yang menurutku sungguh keren. Dadanya yang tegap dan bahu yang tidak luruh, membuatnya mempesona sehingga pernah suatu saat, dulu, dia merasa jadi polisi paling ganteng di Indonesia.
Kebahagiaanku serasa tumpah saat dia merentangkan lengan lebar-lebar dan membiarkanku tenggelam dalam dekapnya. Gema yang masih tersisa pada pagar kembang tak wangi ketika kalut mengetuk, mendadak sirna dalam sekejap. Kebersamaan kami malam itu alangkah tulus.
“Tumben,” kataku tersenyum. “Tak biasanya kau dating dalam pakaian kebesaran seperti ini. Lagian kenapa tahu-tahu ada disini, desersi heh? Lari dari kantor? Rasanya bentang jarak y6ang pernah kita bayangkan itu tak cukup jauh dan mudah terjangkau oleh tangan-tangan kerinduan kita, ya Mas? Nyata mudah saja kan, pesawat banyak.” Candaku sambil bermanja-manja.
“Aku kangen,” katanya. Dikecupnya aku lembut. “Aku kangen ingin melihat anakmu tumbuh di perutmu,” lanjutnya. Wajahnya tak sedikitpun terlihat tengah bercanda. Dia keliatan serius kali ini. Keceriaan humor maupun tertawa ngakak segarnya, sejak tadi tak terlihat.
Aku masih mencoba bergurau.
“Anakku saja? He! Ini anakmu juga, tahu!”
“Ya, anakmu adalah anakku juga. Anak kita. Puas?” Dia tersenum manis. Tipis saja. Dan itu terasa aneh buatku. Tangannya membelai rambut poniku, menyibakkannya dan mengecup kedua mat dan keningku lama sekali. Kemudian dikecupnya bibirku lembut. Ah, Hans. Betapa cintanya aku padamu.
“Aku ingin kita seperti ini, bersama untuk selamanya,” katanya.
“Aku tahu,” jawabku.
“Kita tak akan berpisah lagi.”
“Tak akan.”
Mendadak aku ingat akan Ning. Kutatap kedua matanya tajam.
“Bagaimana dengan Ning? Dia…dia sudah tahu? Sudah setuju kalian bercerai?”
Beberapa lama dia tidak menyahut. Kedua matanya menerawang ke langit-langit kamar.
“Sis,” katanya. “Semua sudah kukatana pada Ning. Dia tidak pernah ikhlas melepaskanku untuk dimiliki orang lain.”
Leherku serasa tercekik.
“Begitu?” desisku. Suaraku menggaung di udara. Sungguh aku jadi tak kenal lagi suaraku.
“Jadi…maksudku…dia…?!”
“Ya.”
“Mas, seharusnya kalian punya anak, idealnya kan begitu.” Kataku terbata-bata.
“Memang seharusnya begitu.”
“Mengapa kalian tak juga punya anak?”
Hans berpaling ke arahku.
“Mana aku tahu,” jawabnya kecut. “Yang aku tahu, Ning tak mau karirnya terganggu hanya karena perut yang gendut.”
“Oh.”
Dihelanya sehempas nafas.
“Sis, aku tak punya alasan kuat buat menceraikan Ning. Beberapa waktu belakangan ini, aku sudah mencoba mengadakan konsultasi dengan beberapa orang atasanku, nyatanya alas an yang kuajukan tidak mendapat ijin untuk sebuah perceraian.”
Segores torehan panjang melukai hatiku. Kukatupkan kelopak mat. Memejam dengan dada perih. Mengapa mendadak tumbuh dalam hatiku sebuah tuduhan bahwa Tuhan tak juga mau bersikap ramah kepadaku?
“Kita harus selalu bersama-sama,” katanya tiba-tiba memecah kesunyian.
“Oya? Tolong katakan, dengan cara bagaimana?”
Tangannya bergerak ke bawah bantal, dan …astaga! Dia menggenggam sepucuk pistol!
“Dengan ini,” desisnya. “Kau. Aku. Dan anak kita.”
“Kau sudah gila, mas Hans.” Kataku gemetar.
“Kau takut?”
Takut?
Takutkah aku bila semua ini dia lakukan demi kebersamaan kami setelah semuanya buntu? Tidak. Rasa takut itu sudah lama sirna. Namun bagaimanapun aku masih tak menginginkan sebuah cerita tragis mewarnai kehidupanku yang singkat ini.
“Tidakkah ada jalan lain?” tanyaku.
“Tidak ada. Kecuali aku keluar dari dinas. Tapi aku yakin, kita tak akan menginginkan hal seperti itu.”
“Kenapa tidak?”
“Tanpa pekerjaan, tanpa masa depaan yang berarti, aku tak akan berani memintamu untuk jadi istriku. Kalau kita nekad, setiap warga yang keluar dari dinas, sulit mendapat pekerjaan dimanapun tempatnya, kecuali berwiraswasta. Sisi, aku tahu, aku tak punya keahlian lain yang bisa diandalkan untuk memberimu kehidupan yang baik, aku tak sanggup jadi gelandangan dalam arti, hidup pas-pasan. Dan aku tak ingin anak kita jadi anak seorang mantan perwira yang menggelandang.”
Aku terisak.
Inikah akhir dari segala mimpiku? Bagai sekuntum duri yang hidup abadi dalam hati. Bagai pelangi dalam mimpi. Bagai ancaman dalam harapan. Bagai tuba dalam asmara!
Ibarat kata, hari-hari ini merupakan perjalanan terakhir bagi kami. Ibarat cuci mulut sehabis makan, sekarang adalah merupakan hidangan terakhir di meja makan. Sesudah itu kita akan berdiri, mengelap mulut, dan pergi sambil meninggalkan bekas di meja makan. Perabotan yang kotor akan dengan mudah dicuci para pelayan sampai hilang jejaknya. Dan tak seorangpun bias mengingat kembali siapakah gerangan orang yang menggunakan piring itu di meja makan. Itulah kehidupan, kita dating dan pergi begitu saja.
Hans membuka jendela lebar-lebar. Udara malam menerobos masuk. Mengguncang gordin dan menyibak semua duka nestapa yang tinggal keraknya. Kurasakan bibirnya menyentuh bibirku lembut. Ada yang kemudian berbaur dalam hati. Airmatanya dan airmataku. Hans menyentuhkan bibirnya ke perutku yang kini mulai berbeda dari hari-hari kemarin. Dalam perut itu ada sepotong hati, segumpal darah dan roh suci. Akankah dia juga ikhlaqs melepaskan semuanya seperti ibu dan ayahnya? Siapa namamu, bocah? Sayang kami tak sempat lagi memberimu nama yang bagus. Sayang sekali.
“Sisi,” bisiknya lembut di telinga. “Kau ikhlas?”
Aku mengangguk dan memejam lebih rapat.
“Ya, aku ikhlas.”
“Syukurlah.”
Lalu ketika benda dingin itu menempel di pelipis, aku lupa segala. Yang kusaksikan kemudian hanyalah percikan darah dimana-mana. Di pelipisku, di pelipis Hans. Di selimut, di sarung bantal, dimana-mana.
Malam yang dingin itu telah dipecahkan oleh dua letusan peluru yang tumpah dari moncong pistol dinas milik Hans, satu-satunya manusia yang menaklukkan aku dengan segenggam cinta tak masuk akal. Lalu sepi. Saat itu aku masih sempat teringat pada sebuah sajak milik salah seorang sahabatku. Dia menulis:
“Perempuan adalah selembar daun di ujung musim, yang merenggutnya dengan sayat-sayat kecil.”
(By indrawati Poerbo Basuki, Surabaya)