Jumat, 30 April 2010

TROWULAN (19)


SEBUAH APARTEMEN, CITRALAND.
Pamugaran berdiri di pintu. Tubuh jangkungnya membuat kepalanya hampir menyentuh bingkai pintu. Tangannya bersidekap. Bibirnya tersenyum tipis. Matanya mengawasi semua hgerak gerik Rayun saat berjalan mondar mandir dari sudut ruang ke sudut ruang lainnya.
“Mana lukisan yang akan diambil oleh orang Inggris itu?” tanya Rayun seperti tak sabar.
“Ada, di kamar.”
“Mengapa tidak kau hubungi saja ponselnya agar dia cepat datang dan mengambil lukisan itu?”
“Sebentar, Rayun. Kita tak perlu terburu-buru. Dia kan janji mau datang jam empat. Sekarang baru setengah tiga.”
“Kalau memang kita harus menunggu, mengapa tidak pulang dulu ke rumah? Aku merasa tidak berkepentingan dengan orang itu, lagian,..dari Tunjungan ke sini lebih jauh jaraknya ketimbang ke Sulawesi, kan?”
“Aku ingin kau melihat lukisan itu sebelum diambil mister Alexander.”
“Aku jadi curiga jangan-jangan…”
“Oke, oke. Kalau kau tidak percaya, kita lihat lukisan itu di kamar. Kita ambil dan kita siapkan di sini. Baru kuhubungi dia lewat hape.”
Mereka berjalan ke ruang tidur Pamugaran. Lelaki berkulit putih itu menunjukkan beberapa puluh lukisannya yang tersusun rapi di sudut kamar. Pamugaran memilah-milah sebentar, lalu katanya,:
“Nih, yang ini. Tolong kau pegang beberapa lukisan yang lain, biar aku mencabutnya keluar.”
Rayun mendekat, memegang beberapa lukisan yang diberdirikan dan disusun dengan rapi itu sebelum Pamugaran berusaha mencabut salah satu diantaranya, keluar. Namun sungguh di luar dugaan dan amat mengejutkan bagi Rayun, ketika tiba-tiba Pamugaran memeluknya dari belakang dan berusaha menariknya ke ranjang. Kekuatannya luar biasa, seakan-akan bukan kekuatan manusia biasa. Laki-laki itu menggeram, dan bola matanya terlihat lebih merah dari mata manusia biasa. Saat itu barangkali saat-saat yang paling ditunggu-tunggu oleh Pamugaran, yaitu saat dimana kekuatan gaib Naga Tatmala merasuki tubuhnya. Melalui badan wadagnya, siluman itu akan menghisap habis madu keperawanan gadis yang sengaja dipersembahkannya kepada siluman Naga Tatmala. Setelah itu, Rayun bisa saja menuntut untuk dinikahi karena sudah ada janin di perutnya, atau kalau tidak, maka biarlah gadis itu pergi, sementara itu Pamugaran akan semakin termashur. Lukisannya akan kian hidup dan semakin digandrungi orang. Melebihi karya pelukis paling besar di tanah air. Ini jalan pintas, Pamugaran tau itu. Kalau mau cepat, kenapa tidak boleh menempuh segala cara?
Rayun berteriak, berusaha melepaskan diri dari pelukan nan dahsyat itu. Tubuhnya meronta ke kiri ke kanan. Namun dengan kekuatannya yang luar biasa itu, Pamugaran berhasil menariknya ke ranjang, membantingnya, dan menindihnya dengan garang. Pamugaran bagaikan setan kelaparan. Dia meradang, merenggut, mengunyah, memamah.
Tanpa kenal menyerah, Rayun terus melawan. Mulutnya terus menjerit-jerit dan berharap ada orang yang mendengar jeritannya. Akhirnya dia bisa terlepas. Gadis itu berlari ke balkon, berteriak teriak minta tolong. Namun kembali Pamugaran merenggutnya masuk, membantingnya lebih keras, bahkan menampar dengan membabi buta. Pergumulan kian seru, yang satu ingin memaksakan kehendak, yang lain berusaha mempertahankan diri. Pergumulan kian seru. Berguling, merenggut, mencakar. Bahkan Rayun mulai menggigit apa saja yang bisa digigit. Teriakannya menyatu dengan teriakan Pamugaran yang kesakitan saat ibu jarinya serasa hampir putus terkena gigitan Rayun Wulan.
“Sudah, jangan melawan. Kau akan merasakan kesakitan yang luar biasa bila aku harus melakukannya dengan kekerasan!” seru Pamugaran menindih suara jeritan Rayun.
“Setan kamu! Sampai matipun kau tidak akan bisa menggagahiku, bajingan! Lepaskan, lepasss…!”
…………
“Di apartemen itu Pamugaran tinggal,” tuding Dyah begitu mereka sampai di depan sebuah apartemen berdinding marun. Aryo memarkir jipnya, mereka segera turun dan berlari-larian mencari lift, naik ke lantai lima, berjalan cepat melalui lorong-lorong, dan…
“Ini tempatnya,” ujar Dyah sambil memencet bel pintu.
Mereka menunggu dengan dada berdebar kencang. Terlebih ketika sayup-sayup terdengar suara gedubrakan dan teriakan-teriakan yang kurang jelas dari dalam.
Sebuah benda berat terantuk di pintu. Seperti sengaja dilemparkan seseorang dari dalam. Aryo menempelkan telinga ke daun pintu. Karena peredam dan daun pintu yang tebal, suara-suara di dalam itu terdengar sangat lemah, hampir tidak terdengar.
“Apa yang kau dengar?” bisik Dyah ketakutan.
Aryo menggeleng. Tidak tau, namun nalurinya mengatakan ada sesuatu yang sangat mengkhawatirkan di dalam. Seperti sebuah pertikaian, atau pertengkaran. Yang jelas, dirinya tidak ingin Rayun mengalami cedera atau menemui bahaya di tangan Pamugaran.
“Mas, …” Dyah menatap Aryo dengan tatapan ngeri. “Jangan-jangan…”
Aryo menggedor pintu kuat-kuat.
Suara gaduh itu kian seru, meskipun tetap lamat-lamat terdengar.
Aryo menggigit bibir. Dia maklum akan apa yang terjadi. Nalurinya memang tak pernah berbohong.
“Kau pergilah ke bawah. Panggil satpam di lobby, suruh mereka membawa kunci cadangan. Cepat! Cepat!!” seru Aryo kepada Dyah.
“Baik. Baik.”
Dyah Sugihan berlari ke lift, segera menghilang bersamaan dengan mengatubnya pintu lift.
Aryo tak bisa menunggu. Dia mundur beberapa langkah. Mengumpulkan tenaga dan mendobrak pintu dengan bahunya. Sekali. Dua kali. Tiga kali….dan, brakkk! Sungguh sebuah kekuatan yang tak terbayangkan. Daun pintu yang terbuat dari kayu pilihan itu jebol pada engselnya. Aryo ikut terhempas ke dalam. Jatuh terjungkal di lantai. Telinganya segera menangkap darimana kegaduhan itu bersumber. Dia segera menuju ke arah suara, yang ternyata adalah sebuah ruang tidur. Untunglah, pintunya tetap terbuka. Dengan mata nyalang Aryo melihat sebuah pergumulan seru yang sangat mengerikan di atas ranjang. Masing-masing pelakunya sudah nyaris tak berpakaian.
Darah Aryo menggelegak. Tak ingat apa-apa lagi. Kemarahannya seakan membakar seluruh urat darahnya. Telinganya berdenging, dan kepalan tangannya membatu. Dengan kepalan tangannya itulah dia memisahkan dua insan yang berlawanan kepentingan itu. Sebuah pukulan yang sangat telak di ulu hati, membuat Pamugaran ingin muntah. Secepat kilat, Aryo menarik bangun Rayun Wulan, menyelimutinya dengan kain seprei, dan mendorongnya keluar kamar.
Kini Pamugaran berhadapan dengan Aryo Wangking. Diusapnya wajah dengan punggung tangan, dan membalas tatapan mata rajawali di depannya dengan mata yang menyala-nyala.
“Kau lagi!” geramnya.
“Ya. Tak kusangka ternyata kau lebih jahat dari yang kukira,” balas Aryo.
Pamugaran kembali menggeram, suaranya layaknya suara serigala lapar. Tangannya melayangkan tinju ke muka Aryo, namun dengan manis lawannya berkelit dan bahkan menjegalnya dengan kaki. Gdubrakkk! Pamugaran jatuh terjungkal, bangun dengan terhuyung-huyung bagai orang mabuk.
“Kebanyakan minum kau, bung!” kata Aryo mengejek.
Kini sebuah pukulan dahsyat justru mampir ke wajah Pamugaran. Dia jatuh lagi ke lantai. Aryo menindihnya dengan lutut, menghantam, menampar, berkali-kali ke wajah ganteng pelukis berdarah Itali itu. Namun tak kenal menyerah, Pamugaran menarik baju Aryo dan ganti menindihnya. Pergumulan itu berhasil membuat seluruh barang yang ada bergulingan, botol-botol parfum, lampu duduk, dan lukisan yang tadinya berjajar rapi.
Rayun Wulan mendekap kain seprei dengan tangan gemetaran. Dilihatnya Pamugaran sudah berdiri. Di hadapannya, berdiri pula Aryo Wangking. Sikap mereka seakan sikap dua orang prajurit yang siap berperang. Wajah mereka mulai terlihat lebam-lebam. Bahkan darah mengucur dari lubang hidung Pamugaran. Aryopun berdarah pada ujung bibirnya yang robek. Walau tak separah Pamugaran, darah Aryo yang menetes itupun mampu jatuh memercik ke bajunya.
Dengan geram, Pamugaran melayangkan tinju ke ulu hati Aryo, namun lawannya kembali menepis dan balas melancarkan sebuah ‘swing’ tepat ke rahangnya. Kedua lelaki itu kembali saling hajar, saling pukul, melompat ke sana melompat ke sini, menendang, melibas, hingga tak cuma kamar tidur, namun seluruh ruang di apartemen Pamugaran menjadi benar-benar porak poranda. Meja kursi saling jungkir balik. Barang pecah belah hancur berantakan.
Pada saat itu, Dyah datang bersama dua orang satpam. Melihat Dyah datang, Rayun memeluknya erat. Kedua satpam itu tak bisa berbuat apa-apa. Mereka bahkan tak melerai, melainkan malah seperti mendapat sebuah tontonan perkelahian ala kungfu yang mengasyikkan.
Dyah Sugihan melongo saat menyaksikan, seakan yang ada didepannya bukanlah sebuah pergulatan biasa, melainkan pergulatan dua orang kesatria berpakaian aneh seperti pakaian pada jaman raja-raja. Diusapnya kelopak matanya berkali-kali, dan berpikir, mimpikah aku?
“Pak, cepat dilerai, Pak. Kok diam saja sih!” suara Rayun membangunkannya dari sebuah ketertegunan yang tak masuk akal.
Dua orang satpam itupun seakan-akan tersentak mendengar teguran itu. Mereka saling pandang seakan-akan saling bertanya: apa kau juga melihat keanehan itu, ya?
“Pakkk!” Rayun berteriak.
“Oh, ya ya.”
Mereka semua menyadari, bahwa dalam perkelahian itu Aryo Wangking dan Dewa Pamugaran sepertinya seimbang. Mereka sama-sama kuat, sama-sama lincah. Meloncat kesana kemari dengan ringan, seakan tak mengenal gravitasi.
Kemarahan yang terpancar dari masing-masing lawan seakan kemarahan yang mengandung dendam kesumat terhadap musuh lama. Mereka, baik Aryo Wangking dan Pamugaran saat itu sudah menyadari siapa lawan mereka itu sebenarnya. Aryo Wangking sudah melihat jelas bahwa di balik raga yang ada di depannya terdapat Mahapatih Khalayuda yang gila pada ketenaran, sedangkan Pamugaranpun menyadari siapa lawannya. Bukan sekadar Aryo Wangking, yang dikenalnya sebagai seorang arkeolog dari Trowulan, namun yang sebenarnya adalah titisan Mahapatih Hamengkubumi, putra Arya Wiraraja, yang harus ditumpasnya supaya tidak menjadi duri dalam daging.
Dua orang satpam itu memang berusaha memisahkan mereka yang sedang bertarung, namun mereka justru sering mendapat bonus tendangan atau pukulan yang nyasar. Mereka mengaduh, lalu mundur teratur.
Pamugaran menyambar sebilah pisau buah dari atas meja makan, menyabetkannya ke arah perut Aryo, Namun dengan gesit Aryo mengelak. Pisau itu berkali-kali disabetkan, menghujani Aryo Wangking yang tetap cekatan melompat ke kiri maupun ke kanan, bahkan kadang berjungkir balik dengan gerakan-gerakan manis yang terlihat sangat ringan.
Rayun menepuk punggung para satpam itu sekeras-kerasnya, dan mendorongnya ke tengah arena pertarungan. Sungguh dia merasa kesal melihat satpam-satpam yang terlihat bodoh itu.
Dua orang satpam itu akhirnya berhasil menarik mundur Pamugaran yang terlihat lebih kelelahan ketimbang Aryo Wangking. Mungkin karena faktor usia dan kebiasaan bertirakatlah yang membuat Aryo Wangking memiliki stamina yang lebih baik. Aryo Wangking masih kelihatan stabil, sementara Pamugaran sudah ngos-ngosan.
“Kurang ajar, bajingan tengik!” desis Aryo.
“Sudahlah, “ kata Rayun. “Kita pulang aja, yuk.”
“Pakaianmu…?” kata Dyah.
Rayun baru sadar, saat itu tubuhnya hanya dililit kain seprei. Namun Aryo tak kurang akal. Segera dia membuka almari dan mengambil sebuah kemeja milik Pamugaran.
“Pakai ini. Bawahnya dililit sprei nggak apa. Cepat, cepat!”
Rayun masuk ke kamar mandi, ditemani Dyah. Mereka kemudian bergegas meninggalkan tempat itu.
Pamugaran duduk di sofa, bersandar dengan nafas tersengal-sengal. Dia tak peduli lagi kepada semua orang yang meninggalkan apartemennya yang porak poranda itu. Rayun segera menarik tangan Aryo dan Dyah keluar dari tempat itu. Mereka menuju areal parkir dan melarikan kendaraan menjauhi apartemen Pamugaran. Dalam perjalanan dengan sangat rinci, Rayun menceritakan semuanya.
“Jadi semuanya itu sudah direncanakan sebelumnya,” ujar Dyah Sugihan.
“Tepat, seperti apa yang kuceritakan kepadamu tadi kan?” sahut Aryo.
“Tak disanagka, orang dengan wajah klimis seperti itu ternyata…”
“Biasanya sih, penjahat kelas kakap berwajah culun,” kata Ary tertawa. “Mending berteman dengan wajah sangar sepertiku inilah, hehehe…”
“Ck, maunya!”
“Sudahlah, jangan dibicarakan lagi, aku masih trauma,” ujar Rayun dengan suara tertahan-tahan.
“Ya, yang penting kau selamat.”
“Tapi, Mas,…apakah benar Naga Tatmala ikut nimbrung di dalam kejadian tadi?” tanya Dyah kepada Aryo.
“Maksud kamu apa?” Rayun bertanya pula, ingin tau.
Aryo Wangking tersenyum.
“Begini,” katanya. “Dalam kejadian tadi, tak ada campur tangan Naga Tatmala. Kalau saja dia itu ikut nimbrung di dalamnya, tak akan terjadi pergumulan seru seperti itu. Karena dengan kekuatan jemari saja yang ditekan pada pundak Rayun, maka Rayun sudah menyerah tanpa syarat. Semuanya akan berjalan mulus, tanpa huru-hara.”
“Jadi, maksud mas Aryo, tadi itu terjadi karena dorongan dari dalam diri Pamugaran sendiri to, Mas?”
“Ya iyalah. Itu namanya napsu. Napsu syahwatnya sendiri.”
“Ih! Kalian ini membicarakannya sepertinya tidak ada aku di sini deh!” sungut Rayun.
Dyah dan Aryo tertawa ngakak.
Tiba-tiba Aryo jadi teringat kepada Sumirah. Diakui atau tidak, perempuan itu pernah memberikan sebuah kehangatan pada saat dia kesakitan dan kesepian. Sumirah pernah bilang kepadanya tentang pandangannya yang sinis terhadap perilaku para pria yang pernah menidurinya.
Kata Sumirah kala itu,:
“Laki-laki. Kalau sedang ada maunya suka sekali menjelek-jelekkan isterinya. Mungkin karena lelaki itu sedang minta dikasihani, atau sedang akan membuatku jatuh cinta. Entah dengan alasan apapun. Tentu saja yang menguntungkan dirinya. Tapi bila sudah terjadi, pada akhirnya dia akan tetap kembali kepada isterinya. Jadi bukan barang baru. Itu lagu lama. Mungkin karena gengsi, atau mungkin karena kewajiban, atau karena ada hal lain lagi. Dan tinggallah aku menangisi diri. Aku menangisi keadaan yang seharusnya bisa kuhindari.”
“Sudah tau begitu, tapi kenapa yu Mirah masih tetap melakukannya?” tanya Aryo menanggapi kesinisannya.
“Kau lihat elang selalu makan anak ayam kalau berhasil menemukannya. Kalau elang punya watak yang sama, kenapa kau mengira kita manusia akan mengubah wataknya pula?”
Saat itu Aryo mengerutkan kening. Tak menyangka, Sumirah punya pemikiran seperti itu.
“Jadi sampeyan bermaksud bilang padaku, kalau sampeyan menjalani semua itu adalah merupakan salah satu dari watak sampeyan?”
“Kau tau, Ar. Bahwa aku bertemu dengan kakangmu, adalah di jalan yang tidak benar. Aku mencintainya. Dan kupikir dia juga mencintaiku. Tanpa syarat, kamipun menikah. Tapi kemudian aku menyesal. Kenapa? Karena ternyata aku telah salah pilih. Memilih orang yang kita cintai berarti memuaskan perasaan sendiri. Tanpa memikirkan akibatnya seandainya orang itu miskin, atau tidak bisa memberikan keturunan. Kemiskinan dan ketidakmampuan memberikan keturunan, semuanya itu ada pada diri kakangmu. Padahal selain kang Empul, saat itu ada seorang pria lain yang kaya raya dan punya jabatan di pemerintahan, ingin mengambilku sebagai isteri kedua. Sayangnya aku tidak mencintainya.”
“Sudah benar sampeyan memilih kang Empul. Hanya saja sampeyan tidak bisa meninggalkan kebiasaan lama, yakni berganti-ganti pasangan seperti dulu sebelum menikah dengan kang Empul. Itu yang membuat sampeyan tidak bahagia bersama kakang.”
Sumirah tersenyum sinis.
“Satu-satunya keuntunganku menikah dengan kakangmu cuma satu. Mengenalmu. Tidur denganmu. Memelukmu dan merasakan getaran tubuhmu yang seakan-akan mengalirkan kekuatan listrik beribu-ribu volt.”
…….
Ingatan tentang Sumirah buyar tatkala Rayun berseru gembira,:
“Alhamdulillah….kita sudah sampai di rumah dengan selamat! Terimakasih Tuhan, terimakasih Aryo !”
Aryo menghentikan kendaraan tepat di depan pintu gerbang rumah Rayun. Rayun dan Dyah turun. Kedua gadis itu menatap heran ke arah Aryo yang tetap duduk di belakang setir dengan mata menerawang jauh ke depan. Tubuhnya teronggok bagai karung beras di jok depan.
“Ar, kau mau turun atau tidak?” tanya Rayun perlahan.
“Atau mau terus mengantarkan aku pulang?” cetus Dyah digenit-genitkan.
Rayun menyodok perutnya. Aryo tergeragap, menoleh ke wajah-wajah cantik di samping jip.
“Begini saja,” kata Dyah Sugihan. “Kau antar aku pulang, di rumahku nanti kau bisa mandi, ganti baju, dan sholat. Baju masku masih banyak di lemari, dia pindah ke Jakarta cuma membawa satu travel-bag saja. Kau bisa memakainya. Bajumu penuh percikan darah, begitu. Setelah itu kita balik ke sini merayakan ulangtahun Rayun. Bagaimana, setuju tidak?”
“Itu baru pintar,” tawa Rayun seraya membenahi belitan kain seprei yang melorot.
“Menurut kamu, masmu itu tidak marah kalau bajunya kupinjam?”
“Ah, masku itu orangnya baik. Jadi kau tak usah kuatir dia setuju atau tidak. Lagian, baju selemari, dia pasti tidak tau kalau aku curi sepasang untukmu.”
Aryo tertawa.
“Dasar anak badung,” katanya lucu.
Dyah Sugihan tertawa. Pipinya yang kemerah-merahan kian berkilau karena keringat tatkala dia tertawa.
Dipandangnya Aryo dan Rayun bergantian, lalu diam-diam dalam hati dia berdoa, semoga kelak Tuhan akan mempertemukannya dengan seorang lelaki seperti Aryo Wangking sebagai jodohnya, lelaki yang tampil apa adanya, berkarakter, berpenampilan sederhana, dan gagah serta ganteng. Ih,…memang masih ada? Hehehe…
“Kok ketawa?” tanya Rayun tiba-tiba. Keningnya berkerut curiga.
“Hehehe…nggaaaak, nggak apa apa. Yuk mas, kita berangkat. Keburu kena semprot nih!”
“Hih, siapa yang mau nyemprot!”
“Loe!”
“Maunya!”
“Tidak diantar masuk?” Aryo menengahi.
“Nggak usah Mas, sudah gede kok, nanti dia malah jadi manja lagi.”
Dengan gemas Rayun mencubit Dyah, hingga temannya itu mengaduh-aduh. Namun tetap saja Aryo turun dari mobil dan mengantarkan Rayun sampai ke hadapan orangtuanya. Secepat itu pula dia melompat kembali ke atas jip dan memacunya ke rumah Dyah. Biarlah Rayun sendiri yanag akan menceritakan kejadian mengerikan itu kepada kedua orangtuanya. Sementara itu dalam perjalanan menuju ke rumahnya Dyah terus mengoceh dan terus mengoceh hingga mereka sampai di tujuan.

(Kisah selanjutnya, di episode berikutnya)

Kamis, 29 April 2010

TROWULAN (18)


DI RUMAH RAYUN.
Hari itu adalah hari ulangtahun Rayun wulan yang ke duapuluh empat. Atas desakan Pamugaran, akhirnya Rayun Wulan setuju untuk merayakannya walau hanya dengan cara sederhana. Rencananya, pesta kecil itu akan diadakan di kebun belaqkang rumah Rayun. Yang diundang hanya keluarga dan teman dekat, salah satu diantaranya adalah Aryo Wangking.
Sebenarnya Pamugaran tak suka melihat Rayun mengundang juga lelaki bertubuh tinggi tegap itu, bukankah yang dimaksud oleh Pamugaran pesta itu adalah pestanya dan Rayun? Ada tersirat dalam benaknya, malam nanti dia akan melamar Rayun Wulan, dan mengumumkannya di depan semua kerabat dekat yang hadir. Tatkala Rayun yang belum tau tentang rencananya itu mengundanag juga Aryo Wangking, Pamugaran mengerutkan kening. Namun akhirnya dia setuju. Kalau dipikir-pikir, bukankah malam nanti adalah kesempatan untuk memenangkan cinta Rayun dan membuat hati Aryo jadi terkoyak? Ha ha! Pasti lelaki brewok itu akan gigit jari. Membayangkan saja, Pamugaran sudah ingin tertawa terbahak-bahak. Bagaimana ekspresi wajah Aryo nanti, pikir Pamugaran senang.
Semua yang direncanakan Pamugaran nampaknya sudah benar-benar siap. Masakan sudah dipesan. Taman belakang yang luas, juga sudah rapi. Bunga-bunga pajangan sudah datang. Lantas apalagi? Oh, cincin!
Ya, siang itu Pamugaran memang berencana mengajak Rayun ke toko mas terbesar di Surabaya. Dia akan membelikan Rayun sebuah cincin bermata berlian yang cantik. Dan itu, kata Pamugaran kemudian kepada Rayun, harus dipilih sendiri oleh Rayun.
“Untuk apa?” tanya Rayun dengan raut muka kurang senang.
Sambil tersenyum-senyum penuh arti, Pamugaran menyahut:
“Itu kuperuntukkan sebagai hadiah istimewa bagimu.”
“Ah, apa tidak terlalu berlebihan?”
“Apa yang berlebihan kalau itu untukmu? Lagipula aku tidak tahu seleramu, bentuk seperti apa yang kau suka. Selain itu, aku akan mengajakmu berbelanja semua kebutuhanmu.”
“Berbelanja…semua kebutuhan? Apa maksudmu, Pam?”
“Maksudku, siang ini aku ingin memanjakanmu. Sebagai wanita paling spesial, kau boleh meminta apa saja.”
“Apa saja boleh?” Rayun tertawa lucu.
“Ya, apa saja bioleh. Kau minta apa? Pakaian, tas, perhiasan, permata,…atau…”
“Bagaimana kalau bulan?” ejek Rayun dalam sisa tawa.
“Boleh, boleh. Bulan Januari, Pebruari, Maret…”
Pamugaran tertawa ngakak. Oh, rasanya dunia ini sudah tergenggam dalam telapak tangannya. Apalagi sikap kedua orangtua Rayun terlihat sama manisnya dengan senyum Rayun kala itu. Namun Pamugaran tidak tau, apa yang sebenarnya tersimpan di benak Rayun. Mungkin juga sama dengan Pamugaran, Rayunpun tidak tau apa yang tersembunyi dalam tawa lebar Pamugaran. Di sudut ruang yang lain, kedua mata orangtua Rayun juga ikut terbelalak. Mereka mulai mengira-kira, apa maksud Pamugaran membawa Rayun pergi jalan-jalan, dan membelanjakan uangnya hingga ludes hanya untuk barang-barang seperti itu? Tanpa itupun sebetulnya Rayun mampu membeli semua yang ditawarkan pamugaran. Rayun Wulan bukanlah tipe gadis yang suka menghambur-hamburkan uang begitu saja.
“Rasanya aneh, tidak masuk akal,” gumam Papa setelah mereka pergi.
“Apa yang tidak masuk akal?” tanya Mama sambil menghitung setumpuk piring di meja makan berukuran besar.
“Apa kau tidak melihat bagaimana ngototnya dia membeayai semua ini? Catering, bunga-bunga mahal, cincin berlian… Apa-apaan?”
Mama menyimpan senyuman di ujung bibir.
“Bukankah itu bagus?” ujarnya.
“Bagus bagaimana? Laki-laki seumur dia merayu anak kita yang usianya separuh umurnya, apa maksudnya? Apa kau tidak curiga dengan maksud-maksud lain yang disembunyikannya? Apakah kau mengijinkan bila tiba-tiba mereka minta dinikahkan?”
“Rasanya memang berlebihan,” gumam Mama pelan. “Menurutmu, apakah mereka sedang saling jatuh cinta?”
“Entahlah. Tetapi menurutku, laki-laki itu sedang punya kepentingan tertentu. Naluriku sebagai orangtua berharap semoga semua ini bukan hal yang buruk.”
Papa mengangkat bahu. Kelihatan sekali, orangtua itu merasa saangat risau dan khawatir.
“Aku merasakan ada yang tidak beres setiap kali kupergoki laki-laki itu menatap tajam anak kita. Dari cara dia memeluk pinggangnya, dari cara dia berbicara perlahan di telinga Rayun…ah!” ujarnya.
“Menurut penuturannya, dirinya sudah lama menduda. Betulkah begitu?”
“Jangan tanya padaku. Tanyakan itu kepadanya.”
“Cari tau tentang kebenarannya, Pa.”
“Kepada siapa harus kutanyakan?”
“Mmm… Barangkali kita bisa tanyakan itu semua kepada sahabatnya. Kepada Dyah Sugihan.”
“Barangkali kau benar, kita harus menanyakannya kepada Dyah. Coba kau telpon dia agar datang lebih cepat.”
Mama segera menuju meja telepon, sayangnya orang yang dituju sudah tak lagi berada di rumah. Orangtuanya mengatakan bahwa gadis itu sudaha pergi bersama seorang laki-laki, entah kemana.
Tiba-tiba Mama merasakan dadanya berdebar.
Ditengoknya jam dinding tak jauh dari mereka duduk.
“Pa, sudah berapa lama ya, mereka pergi?”
“Sekarang pukul berapa?” Papa mengangkat kacamata lebih tinggi, mengikuti pandang mata isterinya ke arah jam dinding.
“Sudah terlalu lama mereka pergi,” desis Papa.
Mama mendadak bagai diterpa kepanikan yang luar biasa. Pikiran-2 jelek mendadak muncul begitu saja tanpa kompromi. Sebentar lagi teman-teman dekat Rayun pasti akan datang, tetapi kemana anak itu pergi? Mengapa lama sekali? Sejak sebelum pukul sebelas, hingga sekarang, belum juga ada tanda-tanda mau pulang.
“Coba kau hubungi Rayun melalui ponselnya,” kata Papa memberi saran.
“Akan kucoba.”
Kedua orangtua itu berpandangan sejenak. Perasaan yang mereka rasakan sama, kuatir, cemas, berkecamuk dalam dada mereka.
DI TEMPAT LAIN.
Ternyata mereka cuma berputar-putar saja. Dari counter ke counter, dari toko mas ke toko mas yang lain. Mereka tak juga membeli sesuatu. Setiap kali Pamugaran menawarkan sesuatu, bisa dipastikan Rayun segera menolak dengan halus. Hingga akhirnya karena kelelahan, mereka singgah untuk makan siang. Saat itu jarum jam di pergelangan tangan Rayun menunjukkan pukul dua siang.
Pamugaran melihat ada suatu kegelisahan di raut wajah Rayun. Memang, saat itu selain sudah merasa jemu, Rayun juga merasa kepikiran akan persiapan di rumahnya.
“Sesudah ini kita pulang saja Pam, sudah sore,” katanya seakan tak sabar mengunggu hidangan datang.
“Mampir ke apartemenku sebentar, ya?”
“Untuk apa? Sudah sore begini.”
“Cuma sebentar.”
“Aku harus membantu Mama menyiapkan segalanya.”
Ada nada kesal dalam suara Rayun, namun Pamugaran sepertinya tidak peduli.
“Apa yang harus dipersiapkan lagi, sayang?”
“Apa saja, bisa piring, kursi, atau apalah gitu…!”
“Kan ada bibik, ada Ran supir, ada Sam jongos, apalagi? Semuanya kan sudah siap. Tinggal kau saja yang belum. Ke salon, misalnya. Atau cari baju yang lebih cocok lagi di butik…?”
“Salon, salon. Salon apaan?” Rayun tertawa miring.
“Apa kau tak ingin berdandan lebih cantik, dengan make-up yang sempurna, dengan rambut yang ditata apik, misalnya?”
“Walah, Pam…! Kau ini kayaknya semakin lama semakin mengada-ada deh! Aku tuh, tidak pernah bermake-up di salon. Kurasa aku sudah cukup cantik!”
“Hahaha, ya, aku percaya tanpa make-up pun kau cantik sekali. Tapi malam ini aku ingin kau tampak elegan, karena bagiku malam ini adalah malam yang sangat istimewa.”
“Oh, ya? Bagiku biasa saja. Hanya sebuah pesta ulangtahun.”
“Begini, mungkin kau belum ‘ngeh’ sebetulnya untuk apa kuadakan pesta semacam ini di rumahmu.”
“Maksud kamu, apa?”
“Malam ini aku akan melamarmu. Untuk itulah maka tak salah kalau aku sudah mempersiapkan ini,…”
Pamugaran merogoh saku celana, dan mengeluarkan sebuah kotak manis berwarna merah darah. Dibukanya kotak berlapis beledu itu dan ditunjukkannya kepada gadis di depannya Segera Rayun Wulan melihat betapa indah dan berkilaunya sepasang cincin emas putih bertahtakan berlian yang terpampang di depan matanya.
Dadanya terkesiap. Ditatapnya mata Pamugaran dengan raut wajah bodoh.
“Apa ini?” tanya Rayun.
“Sejak awal aku sudah bisa menebak, kau tidak akan mau memilih sendiri cincinmu, jadi yah…kupersiapkan saja sendiri. Kau setuju kalau malam ini kita bertunangan?”
Rayun menelan ludah sejenak.
“Kayaknya kau tak perlu lagi menanyakan itu kepadaku,” cetus Rayun menahan amarah.
“Maksudmu?”
“Ya, kau tau apa yang kumaksud. Kau…sudah menyiapkaan cincin, kau…memaksaku mengadakan pesta kebun di rumahku, dan…sekarang ini,…kau melamarku. Apalagi yang kauinginkan dariku? Pernahkah kau minta pendapatku sebelum melakukan semua ini? Sungguh, aku tidak pernah menyangka kau melakukan semua ini padaku. Kalau kau menginginkanku, tidak begini caranya, Pam. Kami punya tata cara, punya budaya, jadi kau tak bisa seenaknya melamarku tanpa persetujuan orangtuaku dong! Caramu ini…”
‘Ssst ssstt…Rayun, sudahlah. Kita tak perlu berdebat lagi.” Potong Pamugaran cepat.
Suara Rayun sudah semakin tinggi, dan agaknya sudah menarik perhatian orang-orang di sekitarnya.
“Memang. Kita sudah tak perlu lagi berdebat karena aku juga sudah menyiapkan sebuah jawaban untukmu.” Sahut Rayun sedikit ketus.
Pamugaran tertawa tanpa suara. Kotak beledu merah itu disimpannya lagi ke dalam saku.
“Kita pulang,” katanya.
Mereka turun dari lantai lima, menuju ke areal parkir. Saling membisu, dan berjalan saling berjauhan. Mobil sedan warna merah itu kemudian meluncur ke jalan raya, membawa hati Rayun yang dirasakannya pepat. Lama mereka hanya berdiam-diaman, hingga tiba-tiba Rayun menyadari bahwa mereka tidak menuju ke arah rumah, melainkan…
“Mau kemana kita?” tanya Rayun dingin.
“Citra Land, apartemenku.”
“Pam, jangan main-main denganku!”
“Tidak, siapa yang main-main. Aku serius loh.”
“Aku mau pulang.”
“Ya, sesudah singgah ke apartemenku. Ada orang dari Inggris ingin membeli lukisanku, aku lupa. Sorry, kita sebentar saja. Dia akan datang pukul empat sore ini untuk mengambilnya.”
Pamugaran memutar setir, menoleh ke arah gadis disampingnya, mengulum senyum saat melihat Rayun tampak begitu marah.
“Sebentar saja,” ujarnya, mengoper persnelling. Mobil melaju lebih kencang. Melesat bagaikan anak panah lepas dari busur.
“Apa itu bukan alasanmu saja?”
Pamugaran mengangkat dua jari tengah dan telunjuk di tangan kanan.
“Swear!” sahutnya bersumpah.
“Aku tak mau kau jahat padaku, demi Allah!”
Pamugaran menjawab dengan seulas senyum.
Mobil terus melaju cepat.
DI RUMAH DYAH SUGIHAN.
Aryo Wangking naik ke beranda dengan tergesa. Dyah yang membukakan pintu, menatapnya dengan heran. Bukankah sekarang baru pukul dua siang? Kenapa tiba-tiba Aryo sudah datang menjemputnya? Bukankah mereka diminta datang nanti pukul tujuh?
“Entahlah,” kata Aryo tatkala itu ditanyakan kepadanya, “Tiba-tiba saja aku gelisah sekali sejak siang.”
“Apakah menurut firasatmu, itu sebuah pertanda buruk?”
Mereka duduk di kursi teras.
“Aku hanya merasa kuatir terjadi apa-apa. Terhadap Rayun.”
“Maksud mas Aryo,,..”
‘Bisakah kita kesana sekarang?”
“Sekarang?”
“Ya sekarang. Kapan lagi?”
“Tapi kurasa dia tak ada di rumah. Tadi Rayun menelponku, dia bilang akan pergi ke mall bersama Pamugaran.”
Mendadak Aryo merasakan dadanya berdebar.
“Mall? Mall yang mana?”
“Entahlah.”
“Cobalah kau telpon rumahnya, siapa tau mereka bisa mengatakan krpada kita, rayon pergi kemana.”
“Baik, tunggu sebentar. Aku ambil ponselku.”
Dyah masuk ke dalam dan tak lama kemudian balik kembali sambil menenteng telepon genggam. Sambil duduk di samping Aryo, jemarinya memijit-mijit beberapa nomor, setelah tersambung dia berbicara sebentar dan menutupnya.
“Bagaimana?” tanya Aryo.
“Mereka berangkat dari rumah pukul sebelas, dan sampai saat ini belum pulang.”
“Kemana perginya, ya?”
“Akan kuhubungi ponselnya.”
“Ya, cepat lakukan.”
Lama mereka menunggu, sambungan itu tidak diangkat.
“Nggak bisa, Mas.”
Lama Aryo termenung. Mereka seakan tenggelam dalam alam pikiran masing-masing. Aryo bersandar, menyulut sebatang rokok dan mencoba berkonsentrasi dengan caranya sendiri.
“Sepertinya mereka sedang menuju kea rah barat,” kata Aryo tiba-tiba. Matanya memejam, menembus sesuatu yang samasekali jauh dari jangkauan orang biasa.
“Kira-kira, kemana?” tanya Dyah.
“Apakah kau tau, selama ini Pamugaran tinggal dimana?”
“Ya ampun! Kau benar Mas, kalau mereka kea rah barat, mungkin sedang ada di apartemen pamugaran. Aku pernah diajak ke tempatnya bersama-sama Rayun.”
“Dimana?”
“Citra Land.”
“Kau tau nomor telponnya?”
“Ada, ada di ponselku. Sebentar.”
Dyah memijit beberapa nomor lagi. Menunggu. Keningnya berkerut saat menatap Aryo.
“Bagaimana?” tanya Aryo.
“Nggak diangkat, Mas.”
Terbayang oleh Aryo ucapan Naga Tatmala yang mengancam. Terbayang juga seringai Khalayuda. Kecemasan-kecemasan datang membuat Aryo mengeluarkan keringat dingin dari seluruh pori-porinya. Firasat atau apalah itu namanya, sering datang menghantui malam-malamnya. Sering diabaikannya. Namun kini mendadak kembali berbuih dalam otaknya. Menyengat ingatannya. Menjungkirbalikkan memorinya.
Dengan tak sabar Aryo berdiri.
“Kita harus menyusulnya ke sana,” ujar Aryo dengan suara tertahan.
“Maksud mas Aryo, ke apartemen Pamugaran?”
“Ya.”
“Tapi, Mas. Bukankah teleponnya tadi tidak diangkat? Bukankah itu artinya apartemen itu lagi kosong?”
“Kalau kau percaya padaku, ikutlah denganku ke sana. Jangan sampai kita terlambat dan menyesal kemudian. Kau bilang, tau tempatnya, kan? Syukurlah kalau begitu. Ayo, kita berangkat. Kita buktikan bahwa Pamugaran itu bukan orang baik-baik.”
“Ya Allah, Mas! Semoga tidak terjadi apa-apa dengan Rayun, Mas…!”
“Maka cepatlah, Dyah!”
Dyah menyambar sandal dari anak tangga beranda, sekenanya saja. Tak perlu lagi mengganti pakaian, tak perlu lagi mengambil tas. Hanya membawa telepon genggam, dia berlari mengikuti langkah Aryo keluar rumah, dan naik dengan sigap ke atas jip.
Aryo mengendarai kendaraannya bagaikan dikejar setan. Dyah terguncang-guncang di dalamnya, bergoyang ke kiri, bergoyang ke kanan. Rasanya seperti naik gerobak yang ngebut di jalan berbatu. Sakit semua. Namun dia tak ingin mengeluh karena dilihatnya wajah Aryo sangat tegang.
“Hari ini termasuk hari naas bagi Rayun,” kata Aryo memecahkan keheningan diantara mereka.
“Aku baru ingat, bahwa hari ini adalah hari kelahirannya menurut hitungan Jawa, yang bertepatan dengan tanggal kelahiran menurut almanac inteernasional.”
“Maksud, Mas Aryo apa?”
“Ini hari Minggu Legi, sampai selewat ashar nanti hari ini termasuk hari ‘taliwangke’ bagi Rayun. Percaya nggak percaya, mudah-mudahan saja firasatku tidak terbukti.”
“Apa yang dikatakan oleh firasatmu, Mas?”
”Kau ingat saat melihat pameran lukisan tempo hari di Sheraton, dua bulan yang lalu?”
“Ya, aku ingat. Lukisan itu ditempatkan di sebuah ruangan tersendiri, didampingi sebuah meja pualam dengan dua lilin merah yang menyala dan setangkai mawar merah. Memang, kenapa, mas?”
“Tahukah kau, mengapa harus seperti itu? Semua itu karena sebuah ritual. Pamugaran telah memperlakukan lukisan itu sebagai alat untuk melakukan ritual untuk pencapaian sesuatu yang hanya dia yang tau.”
“Aku makin tidak mengerti, Mas.”
“Pasti, sudah pasti Pamugaran seorang pemuja ghoib.”
“Ha..??”
Tangan Aryo bergerak mengoper perselling dan memacu jip tuanya dengan lebih kencang.
“Apa yang dilakukannya itu, adalah semacam ritual ala Barat. Kalau di sini, orang kita menyebutnya ‘pelet’. Hebatnya lagi, ternyata dia mampu memadukan dua cara ritual ghoib itu dengan sempurna, yakni ritual ala Barat dan pemujaan terhadap Ratu Kidul.”
“Sebentar,” potong Dyah. “Aku jadi ingat, pernah suatu ketika Rayun bercerita padaku tentang seekor naga siluman yang dilihatnya di pantai Puger saat dia mengalami musibah perahu karam. Mas Aryo ada disana juga saat itu, kan?”
“Ya, akulah yang mngangkatnya naik ke kapal motor pada waktu itu.”
“Apakah yang dilihatnya itu bukan sebuah halusinasi?”
“Bukan. Itu nyata, bukan halusinasi atau apa.”
“Jadi benar, ada siluman bernama Naga Tatmala, di dunia serba modern ini, Mas?”
Aryo menahan senyum di bibir.
“Ya, mengapa tidak? Dunia macam apa yang kau katakana itu, Dyah? Modern, katamu? Dunia kita ini sangatlah lengkap. Kalau ada siluman bernama Naga Tatmala, itu karena atas ijin Allah. Kita tak mungkin mengingkarinya.”
“Kalau benar, bagaimana bentuknya?”
“Naga itu sangat besar. Kulitnya putih keperakan, berjenggot paanjang. Ada dua tanduk kecil di kepalanya, dan semacam gerigi majal di punggungnya. Yah,…kalau tak salah, seperti gambar-gambar komok itulah. Sangking besarnya naga ini, kau bisa jalan-jalan di atasnya. Menurut cerita, Naga Tatmala adalah putera Sang Hyang Anantaboga. Mereka ini, dalam keadaan biasa serupa dengan wujud manusia. Namun dalam keadaan ‘tiwikrama’ dia bisa berubah wujud menjadi ular naga besar. Sayang, suatu hari Naga Tatmala kepergok tengah berkasih-kasihan dengan Dewi Mumpuni, istri Bathara Yamadipati. Sang Hyang Anantaboga menangkapnya, dan menghukumnya, dengan menyumpahinya untuk tidak akan pernah ‘laku rabi’ selama beribu-ribu tahun. Dia akan merasakan jatuh cinta dan dicintai oleh makhluk perempuan, bila hu7kuman itu selesai. Dan kau tau? Menurutku, sekaranglah hukuman itu selesai.”
“Maksudmu, naga itu sudah bisa jatuh cinta lagi?”
“Mungkin.”
“Dan…dicintai makhluk perempuan?”
Aryo mengangkat bahu tanda tidak yakin atas semua firasatnya.
“Hmmm,…ternyata ada juga siluman yang badung, berselingkuh dengan istri dewa,” kata Dyah sambil tertawa.
Aryopun tertawa.
“Tapi, Mas. Apa betul Kanjeng Ratu Kidul itu jahat?”
“Kenyataannya menurut banyak orang beliau itu jahat, karena selalu minta korban. Tetapi sebetulnya tidak seperti itu. Beliau itu bukan jin atau siluman yang jahat.”
“Jadi bagaimana, dong.”
“Kalau dilihat dari musibah yang kebetulan terjadi di laut, orang lantas menilai bahwa itu adalah perbuatan Ratu Kidul. Lalu terjadilah dogma negatip. Barangkali saja musibah itu terjadi karena perilaku manusia yang suka berbuat huru-hara atau bertingkahlaku tak senonoh di wilayah kekuasaannya. Sebetulnya tidak ada larangan di wilayah kekuasannya itu, namun kan sudah semestinya kita mengucapkan ‘kulonuwun’ terlebih dulu sebelum menjamah wilayahnya, ya nggak? Kita saja kalau bertamu, harus permisi dulu kan?”
“Apa yang diinginkan Pamugaran dengan ritualnya itu?”
“Ketenaran, kekuasaan, cinta, dan masih banyak lagi. Dan semua itu tidak gratis. Pasti harus dibayar.”
“Membayar dengan korban orang lain? Kepada siapa?”
“Kepada Naga Tatmala. Persembahannya adalah Rayun Wulan. Persembahan itu dilakukannya tepat di hari naas ini, Minggu Manis, pas di hari ulangtahun Rayun. Begitulah. Dan yang dikorbankan adalah kehormatannya, persis seperti yang dilakukannya atas diri Ni Darni, perempuan Bali yang dinikahinya dulu. Lalu diceraikan setelah melahirkan seorang bayi berwajah naga.”
“Astaghfirullah ya Robbiii….Mengerikan betul!”
“Hari ini sebelum lewat waktu ashar, adalah hari yang dipilih Pamugaran dan Naga Tatmala. Pamugaran menyimpan tetesan darah orang Barat di tubuhnya, dan sebagai orang Barat dia percaya bahwa pintu penghubung antara dunia manusia dan dunia siluman akan terbuka saat senjakala tiba. Di saat itu matahari memasuki garis cakrawala. Terjadinya hanya sepersekian detik, tetapi mungkin saja bisa dimasuki oleh manusia ke dunia siluman, atau sebaliknya, dimasuki siluman ke dunia manusia. Namun bisa saja terjadi pergeseran dimensi secara tak sengaja yang bisa membawa makhluk di dua dunia itu saling melihat. Bagi kita, kita akan bilang kita ini sedang ditakuti siluman. Mungkin saja siluman atau jin yang bilang, sedang ditakuti manusia. Pamugaran memiliki darah campuran antara Barat dan Timur, maka dengan keahliannya dia berhasil menggabungkan dua cara yang membawanya mampu berhubungan dengan dunia siluman. Jujur saja, aku sangat mencemaskan Rayun.”
“Kita harus lebih cepat Mas, jangan sampai lewat waktu ashar.”
“Ini sudah paling cepat, kau pikir aku ngebut ini untuk apa?”
Jip tua itu kian cepat dan semakin cepat. Diam-diam Dyah merasa kuatir, jangan-jangan jip tua itu akan lepas satu demi satu bagiannya karena guncangan-guncangan yang semakin tak teratur. Kadang bahkan menerobos lampu merah, juga tak peduli dengan polisi yang lengah. Aryo seakan-akan sudah tak perduli lagi akan keselamtan mereka. Sementara itu, dengan menggigit bibir, Dyah hanya mampu memejamkan mata sambil berdoa agar mereka selamat sampai tujuan.

(Oh, masih nyambung lagi di episode berikutnya!)

Jumat, 16 April 2010

IN THIS NOTE : By Agoes S. Soeratman

Cungkup Surya Majapahit : Majapahit Park adalah proyek untuk menyatukan situs-situs peninggalan ibu kota Majapahit di Trowulan dalam sebuah konsep taman terpadu. Tujuannya untuk menyelamatkan situs dan benda cagar budaya dari kerusakan serta untuk menarik wisatawan.
PIM sendiri nantinya akan berupa bangunan berbentuk bintang bersudut delapan yang ... See Moredisebut Cungkup Surya Majapahit, lambang Kerajaan Majapahit.
Rencananya, di bawah Cungkup Surya Majapahit itu akan dipamerkan sejumlah koleksi PIM yang belum banyak terekspos. Pengunjung juga bisa berjalan di atas ubin kaca dan melihat langsung struktur bangunan Majapahit yang berada di bawahnya.

TROWULAN (17)


MAJAPAHIT DALAM MEMORY.
Ketika pada tahun 1304 M. Prabu Kertarajasa Jayakatyangrati Ripujaya wafat, putra dari garwa paminggir, pangeran Jayanegara diangkat sebagai pengganti. Muncullah perselisihan antara kelompok bangsawan yang dipimpin Sang Mahapatih Khalayuda melawan kelompok pajabat yang berasal dari kalangan rakyat jelata yang dipimpin oleh Rakryan Mahapatih Hamengkubumi Nambi, Patih Jero Lembusora, dan Ranggalawe yang pada waktu itu bertanggungjawab atas wilayah mancanegara di Tuban.
Ketiga orang itu, yakni Nambi, Lembusora dan Ranggalawe, merasa tersinggung lantaran sering diejek berkelas rendah oleh kelompok Sang Mahapatih Khalayuda. Jelas perselisihan tersebut dipengaruhi oleh perbedaan kasta. Dan selain perbedaan kasta, juga disebabkan oleh perbedaan agama.
Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pada masa pemerintahan Prabu Jayakatyangrati Ripujaya beserta permaisurinya, Dyah Rajapatni dan kedua putrinya, Tribuwanatunggadewi dan Rajahdewi, adalah penganut agama Budha. Demikian pula para pejabat yang bukan keturunan bangsawan seperti Nambi, Lembusora, dan Ranggalawe. Dalam agama Budha memang tidak mengenal perbedaan kasta. Karena itu banyak di kalangan pejabat Negara yang bukan keturunan bangsawan, memeluk agama Budha.
Selain perbedaan kasta dan agama, masih ada factor lain yang menimbulkan perselihan mereka, yakni perihal keturunan ningrat. Dalam masyarakat feodal, soal garis kebangsawanan tidak dapat dipandang ringan. Tokoh yang berhak atas tahta seharusnya permaisuri Dyah Rajapatni, putri Prabu Kertanegara Mahaprabu Singhasari, yang gugur saat menerima serangan Jayakatwang, raja Gelang Gelang, dari Kediri. Maka ketika putra dara pethak, garwa paminggir, Jayanegara tiba-tiba menjadi pewaris tahta, orang-orang yang paling tidak rela adalah Nambi, Lembusora, dan Ranggalawe. Selain itu masih banyak yang masih menghormati Prabu Kertanegara. Apalagi golongan penganut agama Budha, karena sang Prabu Kertanegara, raja terakhir Singhasari itu lebih cenderung pada agama Budha, bahkan direstui menjadi Jina atau Dyani-Budha, yaitu orang yang telah sempurna samadinya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keberhasilan Jayanegara menduduki tahta Majapahit pada usianya yang ke limabelas, agaknya dicurigai atas desakan sang Mahapatih Khalayuda yang didukukng oleh para Darmaputra dari golongan agama Syiwa.
Tak urung, muncullah suatu pemberontakan.
Semuanya itu dipicu oleh keinginan Jayanegara untuk memperistri kerabatnya sendiri (saudara tiri satu ayah lain ibu), yaitu Bhre Kahuripan Tribuwanatunggadewi dan Bhre Daha Rajahdewi. Kedua putri itu tentu saja tidak bersedia. Hal itu bisa dipastikan akan adanya maksud-maksud tersembunyi Jayanegara untuk meningkatkan kemuliaan keturunannya. Karena sesungguhnya, dara pethak, ibunda dari Jayanegara bukanlah garis keturunan raja. Dara pethak adalah putri boyongan, semacam hadiah dari sebuah Negara yang berhasil dikalahkan Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Jayakatyangrati Ripujaya.
Pembangkang paling awal adalah Ranggalawe, dari Tuban. Pemberontakan Ranggalawe akhirnya bisa ditumpas oleh Mahesa Anabrang. Ranggalawe tewas. Tetapi kemudian Mahesa Anabrang dihabisi oleh Lembusora. Dalam pertempuran itu, seluruh prajurit Mahesa Anabrang gugur, termasuk Mahesa Anabrang sendiri. Lembusora dan pasukannya akhirnya menetapkan berkedudukan di Tuban. Namun tak lama kemudian diapun tewas oleh serangan prajurit Majapahit yang dipimpin langsung oleh Sang Mahapatih Khalayuda. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1313 M.
Kini tinggal Nambi yang menurut Jayanegara merupakan gangguan, karena pada saat itu Nambi masih tetap sebagai Rakryan Mahapatih Hamengkubumi, Senapati Pamungkas.
Sementara itu perasaan Nambi mulai tidak tenang. Hatinya gelisah. Sehingga dia memilih pulang ke Lumajang, menjenguk ayahanda angkatnya, Aryo Wiraraja, yang tengah sakit. Namun karena kelicikan Sang Mahapatih Khalayuda yang amat pandai menghasut raja, akhirnya Jayanegara sendiri berkenan memimpin pasukan melakukan serangan ke Lumajang.
Serangan itu demikian mendadak, tanpa membeerikan kesempatan kepada prajurit Lumajang untuk mempersiapkan diri. Prajurit Lumajang hampir tak percaya, bagaimana mungkin prajurit Majapahit menyerang dengan tiba-tiba tanpa alasan ke Lumajang, sementara Senapati alias Panglima Perangnya sendiri sedang berada di Lumajang? Berbondong-bondong para kawula dan sentana datang menghadap Rakryan Mahapatih Hamengkubumi diiringi tangis, melaporkan bahwa telah terjadi peperangan yang tidak seimbang. Banyak prajurit dan rakyat kecil tewas. Seluruh kadipaten telah terkepung wakul buaya mangap. Pesanggrahan-pesanggrahan dibumihanguskan. Apakah kesalahan mereka? Apa kesalahan Lumajang?
Raut muka Nambi seketika berubah merah padam. Kemarahannya sungguh tak terlukiskan. Dia sadar, Khalayuda sudah berhasil membuat fitnah, sehingga tanpa ampun lagi, Sang Prabu sendiri yang datang menyerang dengan pasukan besar laksana berperang dengan mancanegara yang akan ditaklukkan. Padahal Lumajang hanyalah sebuah kadipaten, bukan sebuah Negara besar!
Segera Nambi menghunus keris dan berteriak lantang:
“Kita lawan! Rawe-rawe rantas malang-malang putung! Tak ada jalan lain, kita pertahankan kehormatan kita hingga tetes darah penghabisan!”
Nambi terjun ke kancah peperangan. Mengamuk bagai banteng luka. Namun, apa gunanya? Prajurit Majapahit seakan-akan gelombang pasang yang datang menggempur, menyapu semua kekuatan kadipaten Lumajang. Seluruh kerabat, kawula cilik, sentana, putra putri kadipaten, semua ludes binasa tanpa sisa.
Sekujur tubuh Nambi basah berlumur darah. Luka yang disandangnya adalah luka yang arang kranjang. Rasanya tak ada sisa sedikitpun ditubuhnya yang tidak terluka oleh ujung tombak, keris, maupun ujung anak panah. Dirinya yang selama ini perkasa, dan menjadi orang kedua di Majapahit dalam era pemerintahan Sang Prabu Jayakatyangrati Ripujaya, akhirnya harus menyerah oleh olah pokal licik Mahapatih Khalayuda yang selama ini menyimpan rasa iridan ambisi terhadap pangkat dan jabatan Nambi, yakni sebagai Rakryan Mahapatih Hamengkubumi. Pangkat dan jabatan yang selama ini di impi-impikannya. Hingga nyawa terlepas dari raga, Nambi tak pernah tau secara pasti, kesalahan apa yang dilakukannya hingga peperangan itu terjadi.
Aryo Wangking tersentak. Terbangun dari tidur dan mimpi yang dirasakannya cukup aneh.
Tadi, berangkat dari rumah Sumirah, sebetulnya Aryo masih ingin tidur barang sesaat. Tetapi bukannya merasa bugar, begitu tersentak bangun Aryo justru merasakan tubuhnya begitu lelah, seakan-akan benar-benar ikut berperang seperti mimpinya barusan. Bagian uluhati juga terasa amat sakit, ngilu, bercampur pedih bagaikan ditusuk benda tajam. Ketika ditengoknya tepat di uluhati ditemukannya bercak darah. Walau cuma sedikit, namun dia yakin bahwa itu darah betulan. Tetapi darah siapa, dan darimana asalnya?
Aryo duduk bersandar ke tiang pendopo Siti Hinggil dimana saat itu dia berada. Diusapnya bercak di uluhatinya, dan diciumnya. Ya, itu memang darah. Bagaimana mungkin? Keyakinannya bahwa dia adalah keturunan sekaligus titisan Mpu Nambi, kian jelas. Orang-orang yang mengerti tentang bahasa karma mengatakan kepadanya bahwa dirinya adalah sebuah rebirth dari Mpu Nambi. Menurut Liman, ketua padepokan Bukit Budha Asyobya, rebirth punya hubungan erat dengan karma. Orang yang meninggal dalam keadaan belum bersih dari karma, akan dilahirkan kembali ke dunia untuk memperbaiki diri. Hal itu akan terus berulang-ulang hingga pada suatu saat, entah pada rebirth ke berapa, dia akan bersih dari karma dan tak akan ada force atau power untuk membuatnya kembali lagi ke dunia. Tingkat itu dinamakan tingkat Arahat.
Aryo Wangking memejamkan mata sambil menarik nafas dalam. Dia mencoba memutar memorynya kembali atas kejadian yang baru saja dilihatnya lewat mimpi.
Ya, semuanya jadi lebih jelas.
Ketika itu dia melihat, dirinya terjungkal dari kuda ke tanah, karena kuda yang dikendarainya roboh akibat seorang prajurit Majapahit menebas kedua kaki depan kuda miliknya. Lalu secara tiba-tiba seseorang datang menyerbu bagai topan ke arahnya. Menyerang tanpa basa-basi. Mengambil kesempatan selagi dia lengah. Orang itu mengayunkan sebilah keris panjang berluk tigabelas ke arah perutnya. Menusuk lurus ke uluhati, tembus hingga ke punggung. Nambi yang tak sempat berbenah setelah jatuh dari kuda, tak lagi sempat mengaduh. Secepat apapun dia berusaha menahan laki-laki itu untuk tidak terlalu dalam mdenghujamkan kerisnya, sungguh tak lagi berguna. Laki-laki itu berpakaian kerajaan, berkumis dan bermata sipit. Bibirnya menyeringai ke arahnya. Wajah itu begitu dekat ke wajahnya. Sehingga Nambi bisa merasakan panasnya sorot kebencian yang tersirat dalam manik-manik bola matanya.
Wajah dan mata itu…seperti…
Astaga!
Aryo membuka mata lebar-lebar dengan perasaan ngeri.
Baru kini disadarinya, bahwa wajah kesatria bermata sipit itu adalah wajah Dewa Pamugaran!
Aryo Wangking terhenyak. Keringat dingin menetes dari pori-porinya. Dalam sekejap leher dan punggungnya basah oleh keringat yang mengalir menganak sungai. Bahkan seakan membanjiri segenap jiwanya. Karma itu, pikir Aryo Wangking. Karma itu akan terus mengikuti Khalayuda, Rara Ireng, dan dirinya sendiri.
Pantas saja, pikirnya. Pantas saja wajah Pamugaran begitu familiar dalam ingatannya. Baru kini dia sadari, bahwa pertemuannya kembali dengan Khalayuda adalah untuk meluruskan perseteruannya yang dulu. Rasanya Aryo harus lebih bisa menangkap tipu muslihat Khalayuda yang terkenal licik dan pintar berstrategi itu kembali, di dunia ini.
Seseorang tiba-tiba berlari-lari kecil ke arahnya. Ternyata Sikan, juru kunci Siti Hinggil. Ada apa segelisah itu lelaki setengah baya itu datang? Tadi memang Aryo berniat ke Surabaya mengunjungi Rayun Wulan, sekedar melepas kangen dan sekaligus mengantarkan selendang penutup bahunya yang tertinggal di jip. Namun mendadak dia ingin singgah ke Siti Hinggil, terlelap sejenak di tempat itu. Apakah semuanya itu memang sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa, atau bagaimana?
“Mas!” suara Sikan membangunkannya dari alam lamunan.
“Cepat pulang Mas. Ada musibah di rumah Yu Mirah!” lanjutnya.
“Musibah? Musibah apa, pak Sikan?”
“Yu Mirah. Dia bunuh diri.”
“Astaghfirullahaladziiim. Kapan? Tadi pagi dia nggak apa-apa kok.”
“Barusan orang-orang menemukan jasadnya dengan mulut berbusa, di ruang tamu.”
“Jasad? Apa maksud sampeyan?”
“Maaf, orang-orang bilang dia…dia sudah…”
Aryo meloncat turun dari Siti Hinggil. Tergopoh-gopoh mereka menuju kendaraan di lahan parkir, dan meluncur cepat ke rumah Sumirah.
Rumah kecil bercat putih itu sudah penuh dengan manusia. Orang-orang ribut sendiri-sendiri. Aryo menyibak kerumunan itu dan menemukan rumah sudah berantakan. Tubuh Sumirah masih tergeletak di lantai, mulutnya berbusa, sepasang matanya seakan-akan nanar menatapnya, seolah bertanya, inikah yang kau kehendaki, membuat aku memilih mati dengan cara seperti ini karena kau tolak cintaku?
Aryo berjongkok di sebelahnya, memejamkan mata dengan dada empet. Ya Allah…betapa kecilnya arti manusia kalau begini jadinya…! “
“Pak Sikan, tolong susul kang Empul. Sekalian laporkan semua ini ke polisi. Katakan pada semua orang agar tidak mengutak-utik jasad Yu Mirah.”
“Ya, Mas.”
“Saya mau cari ambulans.”
“Baik, mas.”
Semuanya demikian kacau. Tetapi warga setempat dan Pak Sikan telah banyak membantu Aryo , kalau tidak, entahlah, Aryo tak tau harus berbuat apa. Terlebih nanti kalau harus melalui beberapa proses pemeriksaan polisi, visum et repertum, dan lain-lain. Aryo Empul sendiri baru datang pada saat pemakaman dilaksanakan. Kesimpulan polisi, kejadian itu benar-benar karena bunuh diri, tidak ada penganiayaan atau sejenisnya.
Aryo Wangking mendekati Aryo Empul tatkala suasananya sudah cukup tenang. Lelaki itu kelihatan sepuluh tahun lebih tua dari biasanya.
“Kau adalah orang terakhir yang bertemu dengannya,” kata Aryo Empul. “Apa yang dikatakannya kepadamu?”
“Maksud kakang, pesan atau wasiat?”
“Entah. Apapun itu namanya, aku hanya ingin tau apa yang membuat dia melakukan bunuh diri itu. Kau tau?”
“Tidak,” sahut Aryo tegas. “Dia tidak mengatakan apa-apa.”
“Itu tidak mungkin.”
“Kang, kalaupun dia berbicara panjang lebar tentang hal-hal yang membuatnya putus asa, atau apa, adakah gunanya untuk kakang ketaui?”
“Entahlah. Aku sendiri tidak tau.”
“Begini sajalah kang, sebaiknya kita introspeksi diri kita masing-masing. Lalu kita kuburkan kesedihan ini. Kita cukupkan sampai disini saja, tak perlu diperpanjang atau diungkit-ungkit lagi.”
Aryo Empul menghela nafas panjang. Sementara itu, Aryo Wangking mengeluh dalam hati yang paling dalam. Apakah pantas, pikirnya, semua penyebab kematian itu diungkapkan? Apakah ada gunanya untuk kang Empul? Biarlah dirinya sendiri saja yang tau, betapa marahnya Sumirah pada waktu itu, betapa sakit hatinya tatkala menyadari bahwa dirinya tak berarti apapun bagi lelaki yang didambakannya.
“Selama ini kakang tinggal dimana?” tanya Aryo Wangking memecah keheningan.
“Dimana saja. Bisa di gardu, bisa di masjid.”
“Sebenarnya apa yang terjadi? Apa benar, kakang telah menceraikan yu Mirah dan menikahi Anjasmara?”
“Siapa yang mengatakannya padamu?”
“Yu Mirah.”
Aryo Empul tertawa lirih.
“Kau punya rokok, Yok?” ujar Aryo Empul sebelum menjawab pertanyaan Aryo Wangking. Dia lalu mencabut sebatang rokok dan menyulutnya sekali.
“Dia bohong,” kata Aryo Empul setelah menghembuskan asap rokok dari hidung. Kedua matanya menerawang jauh.
“Aku tidak pernah menikahi Anjas. Ketika aku kembali setelah pertengkaran denganmu tempo hari, dia menolakku mentah-mentah setiap kali aku menginginkannya. Katanya, dia terlanjur jijik padaku. Dia mengusirku bagai mengusir binatang. Maka aku memilih untuk pergi dan tidak pernah kembali lagi. Aku ini, jelek-jelek begini lelaki yang punya harga diri. Sebagai laki-laki, apa yang akan kau lakukan ketika istrimu mengusirmu dan mengatakan bahwa dia telah jijik kepadamu? Aku bukanlah binatang melata yang bisa diperlakukan semau-maunya, betapapun bejatnya aku!” lanjut Aryo Empul.
“Jadi, apa maksud yu Mirah mengatakan bahwa kakang sudah menceraikannya?”
“Sebetulnya kau sudah tau jawabannya. Jangan mencoba menutup-nutupi keburukan Sumirah.”
“Maaf kang, dia sudah meninggal, tak baik membuka aib orang yang sudah …”
“Ah! Siapa yangv tidak kenal Sumirah?”
“Kang,…”
“Dengarkan saja, Yok. Supaya kau tau apa sebenarnya yang terjadi antara aku dan dia. Ini bukan menjelek-jelekkan almarhumah, bukan. Ini penjelasan buatmu. Kau mengerti?”
“Ya, ya.”
“Semua laki-laki di tanah kelahiran kita ini tau, siapa dia. Semua orang yang pernah melakukan penghayatan atau tirakatan di Siti Hinggil juga tau. Bahkan salah satu langganan di bengkel, pernah menjadi kekasih sesaatnya. Orang ini, orang Surabaya. Dia bilang sering membawa Sumirah menginap di hotel tak jauh dari sini. Selama ini aku selalu mencoba menulikan telinga dan membutakan mata. Aku ini malu, Yok! Malu punya istri kayak begitu. Orang-orang di bengkel sering membicarakannya. Mengolok-olok tanpa mereka sadari bahwa akulah suami sah dari perempuan yang mereka gunjingkan itu. Semua itu hampir membuatku gila. Dengan minum minuman keras aku berharap bisa melupakannya, tapi nyatanya tidak bisa. Kau sendiri pernah kan, mendengar selentingan tentang Sumirah?”
“Aku tidak tau. Sungguh!”
“Aku tak percaya.”
“Aku justru banyak mendengar berita tentang perselingkuhan kakang dengan Anjasmara.”
“Itu betul. Aku memang sengaja agar kesalahan kami jadi impas. Setidaknya bisa mengurangi sakit hatiku pada Sumirah. Hanya saja, mengapa dia memilih jalan pendek, membunuh dirinya dengan cara seperti itu? Aku jadi berpikir, apa mungkin dia cuma mau cari perhatian saja?”
“Ah!”
Aryo menunduk, Empul menggilas sisa rokok di dalam asbak.
“Sekarang, apa rencana kakang selanjutnya?”
‘aku berencana tetap akan mempertahankan rumah kita ini.”
“Ya, kang. Aku setuju.”
“Tapi aku tak mau tinggal disini. Aku akan mencari makan di Kediri saja. Disana ada teman yang menawariku bekerja sama membuka bengkel mobil. Aku berharap, kau mau tetap tinggal di rumah ini. Pakailah, sampai kau menikah nanti. Kalau tak suka, bisa kau sewakan saja.”
“Maaf, saya tak ingin tinggal disini dengan kenangan pahit yu Mirah.”
“Yang jelas, aku tak ingin menjualnya. Rumah ini adalah rumah pertama yang bisa aku beli dengan hasil keringatku sendiri, dan kuanggap sebagai bibit kawit perjalanan hidupku. Nanti, kalau aku sudah jompo, aku pasti balik ke rumah ini. Maka tolong, rawatlah rumah ini dengan baik tanpa prasangka-prasangka.”
“Tapi, kang…”
“Nggak pakai tapi tapian. Begitu saja. Besok aku akan berangkat ke Kediri. Jaga dirimu baik-baik, Yok. Jaga nama baikmu juga.”
Aryo Wangking tak bisa menolak lagi. Dia hanya mampu menundukkan wajah, mengiyakan saja keinginan Aryo Empul.

(Masih nyambung ke episode berikutnya…)

TROWULAN (16)


Benar dugaan Aryo.
Pada keesokan harinya, beberapa harian memuat berita tentang pameran lukisan sekaligus pelelangan karya pelukis terkenal itu beserta photo-photonya sekalian. Jadi benar, lukisan yang dilelang adalah lukisan potret Rayun Wulan. Photo mereka berdua mendapat sorotan panjang yang pada intinya memberi satu kesimpulan bahwa wanita cantik itu adalah calon istri Dewa Pamugaran.
Aryo menatap photo pada halaman depan Koran dengan perasaan aneh. Wajah Pamugaran dalam photo itu seakan-akan mengingatkannya pada wajah seseorang. Siapa?
“Hmmm jadi itu orangnya,” tiba-tiba Sumirah sudah berdiri di belakang tempat duduk Aryo. Kedua lengannya bertumpu pada sandaran kursi dimana Aryo duduk.
Aryo tak menyahut. Koran itu dilipatnya dan diletakkannya di atas meja. Sumirah mengambilnya dan membaca berita itu.
“Wah, mereka itu tampak cocok sekali ya?” ujarnya separuh mengejek.
“Lebih baik sampeyan tidak usah berkomentar,” sahut Aryo Wangking seraya menyulut sebatang rokok.
“Kenapa tidak boleh, kau cemburu pada pelukis itu? Kau iri?”
Aryo menghembuskan asap rokok ke udara. Dia tidak merasa perlu untuk menjawab. Sepasang bola matanya menerawang, mengamati asap rokok yang melingkar-lingkar di udara.
“Bagaimanapun, aku lebih senang melihat kau tak jadi sama dia,” imbuh Sumirah masih dengan nada mengejek.
“Aku merasa lega tak jadi kehilangan kamu,’ katanya lagi seraya memeluk leher Aryo dari belakang.
Perlahan Aryo mengurainya dan memintanya untuk duduk di depannya. Dengan tersenyum-senyum, Sumirah menuruti keinginaannya. Kini mereka duduki saling berhadapan di ruang kecil rumah itu yang ditata mirip ruang tamu.
“Dengan begitu,” lanjut Sumirah. “Kau akan tetap tinggal disini bersamaku, kau tidak akan kemana-mana. Dan kau tidak akan bersama dengan siapa-ssiapa. Kau akan terus menemaniku. Aku tidak akan kehilangan kamu. Begitu, kan?”
Aryo tertawa kecil tanpa suara.
“Yu,” katanya. “Kalaupun aku menikah, sampeyan tetap tidak akan kehilangan aku. Kita ini kan bersaudara. Persaudaraan tak bisa dipisahkan oleh apapun juga.”
“Hmh. Dulu memang kau adalah saudara iparku. Tetapi sekarang, tanpa kang Empul, apa bisa kita ini dikatakan sebagai saudara ipar. Ya, sih. Paling juga mantan. Mantan saudara ipar. Setelah itu apa? Surat cerai yang diberikan kakangmu kepadaku membuat kita jadi bukan lagi saudara ipar. Kita ini orang lain, Yok! Kau, aku. Tidak ada pertalian darah di antara kita, karena aku tidak diberi keturunan oleh kakangmu. Jadi yah…, apa namanya itu?”
Aryo menelan ludah.
“Jadi kang Empul sudah resmi menceraikan sampeyan?”
“Ya iyalah! Aku juga tidak mau dibiarkan tanpa status. Enak saja. Dengan resmi bercerai, aku bisa menikah lagi kapan saja, dan dengan siapapun. Termasuk denganmu, kan?”
“Apa?”
Sumirah tertawa lebar melihat kekagetan Aryo.
“Kita ini orang lain, Yok! Aku sekarang bebas bagaikan burung yang lepas dari sangkar. Kau bisa menikahiku kapan saja. Kawin sirri juga tak masalah kok. Aku bersedia.”
“Sampeyan sudah mulai nggak waras,” kata Aryo getas.
“Apa ada yang salah dengan omonganku?”
“Pandangan sampeyan itu keliru.”
“Menurutku tidak. Bukankah kita pernah melakukannya?”
“Itu sebuah kesalahan paling besar yang pernah kubuat dalam hidupku, terhadap sampeyan. Dan aku janji, kejadian seperti itu tidak akan pernah terjadi lagi. Percayalah!”
“Aku tidak percaya. Sebaiknya nggak usah munafiklah! Main-main juga aku mau.”
“Apa kata sampeyan? Idiot!” Jengkel sekali Aryo dengan kebebalan Sumirah.
“Eh, jangan mengatai aku seperti itu kamu Yok! Tanyakan pada tetangga, mereka semua setuju saja kita menikah, atau apalah itu namanya. Jadi sudah jelas kan, kaulah calon suami bagiku!”
“Itu gossip murahan yang sengaja sampeyan sebarkan pada tetangga kita. Alah, sudahlah. Tak ada gunanya bicara terus sama sampeyan. Kalaupun aku menikah, aku akan menikahi perempuan lain, bukan sampeyan.”
“Begitu ya?”
“Ya.”
Aryo berdiri dengan kesal.
“Kamu pikir, kamu bisa merebutnya dari pelukis kesohor itu ya? Jangan mimpi kamu, Yok…!”
“Aku tidak pernah mimpi, Yu! Lihat saja nanti bagaimana.”
“Kamu tidak akan pernah menikah dengan siapapun kecuali dengan aku!”
“Kali ini sampeyan yang ngimpi.”
“Akan kubuktikan, kamu atau aku yang mati!”
Aryo berkacak pinggang. Menatap aneh wajah Sumirah. Senyum tipis tersungging di ujung bibirnya.
“Oh, begitu ya? Coba saja.” ujarnya meremehkan.
Sumirah tak mampu lagi berkata-kata. Wajahnya begitu pias menahan marah. Bibirnya terasa amat kering. Kelopak matanya memanas, hampir saja menggerung-gerung sangking tersinggung dan marah. Kebenciannya seakan menyatu dengan kerinduannya akan pelukan Aryo. Maka benarlah apa kata orang, bahwa perasaan cinta dan benci hanya dipisahkan oleh batas setipis selembar rambut manusia. Cinta yang dirasakannya kini bahkan seakan berbaur dengan napsu yang bergelora dalam hati dan benaknya. Kini mendadak gelora napsu itu membuncah serupa lahar gunung berapi. Panas. Membara dan berubah jadi destruktif.
Secepat kilat tangannya meraih gelas dari atas meja, dan siap untuk dilontarkan ke wajah Aryo. Melihat gelagat tak baik, Aryo segera bergegas. Disambarnya jaket dan topi laken dari gantungan di dinding. Tak lupa selendang penutup bahu Rayun yang semalam tertinggal di atas jip, disambarnya juga dari gantungan. Sungguh dia tak pernah menduga, Sumirah bakal kalap seperti itu.
Melihat selendang lebar itu, Sumirah makin naik pitam. Dicobanya merenggutnya dari tangan Aryo, namun dengan sigap Aryo malah mendorongnya hingga dirinya nyaris terjatuh.
“Itu milik siapa? Milik dia kan, milik dia kan?” jerit Sumirah dalam kemarahan yang bukan kepalang.
Aryo diam saja. Diambilnya kunci mobil dan berjalan keluar. Bagaikan singa luka, Sumirah merangsek maju, mencoba menariknya kembali ke dalam rumah.
“Kamu mau kemana! Jangan pergi, Aryo! Kamu tak boleh kemana-mana.”
“Sampeyan ini kenapa, Yu?”
“Selendang itu…!! Kau dekap selendang itu dan membayangkan itu adalah dia kan? Iya, kan?”
Airmata mulai mendesak keluar. Sumirah berteriak sambil menangis. Hatinya terasa ditusuk sembilu. Pedih. Perih. Matanya melotot seakan ingin melumat Aryo.
“Yu, sadar. Yu. Sadar!”
“Tidak. Kamu tidak boleh kemana-mana. Kamu…sialan. Kamu orang yang tidak tau membalas budi! Kamu tidak tau, bagaimana susahnya aku membayar sekolahmu, memberimu makanan yang bergizi agar kamu jadi pintar dan bisa masuk PMDK! Apa balasanmu, …apa?”

Sumirah meremas bagian depan kemeja Aryo. Meremas dengan amat kuat, seakan-akan ingin meluluh-lantakan tubuh pemiliknya.
“Apa maksud sampeyan,” suara Aryo jadi ikut kencang seakan-akan ingin menimpali kekencangan suara Sumirah yang mendadak disadari Aryo sudah menjadi histeris. Tangannya menahan remasan tangan Sumirah di dadanya.
“Yu Mirah, tenang. Jelaskan padaku apa artinya semua ini. Kalau sampeyan menyesal telah membeayai sekolahku dan memberi makan tiap hari perutku ini, jangan salah. Pada waktu itu Kang Empullah yang harus bertanggungjawab atas diri dan pendidikanku karena itu merupakan amanah dari almarhum orangtua kami. Kusadari, kalian tak cukup berlebihan sehingga merasa sangat berat menunaikan amanah itu, sebab itu sejak mulai kuliah aku mencoba untuk tidak merepotkan kalian. Kali ini aku minta maaf pada sampeyan telah menyulitkan kehidupan kalian selama ini.”
Sumirah melepaskan remasannya, menjilat bibirnya yang terasa kering. Dia bertolak pinggang membalas tatap mata Aryo yang setajam ujung panah.
“Ngomong terus,…ngomong terus…!”
“Ya, sekarang sebutkan berapa yang yu Mirah minta untuk membayar semua pengorbanan itu. Sebutkan. “
“Tanggungjawab, Aryo! Aku cuma minta kau bertanggungjawab atas perbuatanmu tempo hari di bilik kecilmu itu!”
“Apa? Ngoyo-woro! Sejak dulu gegayuhan sampeyan memang sulit dipahami. Barangkali itu sebabnya pertengkaran demi pertengkaran mewarnai perkawinan sampeyan. Sudahlah, aku tak sanggup lagi membela sampeyan Yu. Aku tahu, sebenarnya apa saja yang telah sampeyan lakukan pada malam-malam di Siti Hinggil bersama para penghayat dari kota itu. Orang-orang juga tau siapa sampeyan sebenarnya. Hanya saja mereka tak sampai hati bersikap memusuhi sampeyan. Di pelataran Majapahit ini semua orang tau siapa aku. Maka…”
“Sombong!” potong Sumirah.
“Bukan, aku tak bermaksud menyombongkan diri atau bersikap jubriyo. Tetapi kalau sampeyan bicara yang bukan-bukan mengenai aku, tak seorangpun akan mempercayai sampeyan.”
Tangis Sumirah masih terdengar. Cukup menyayat. Namun dengan sikap dingin seperti biasanya, Aryo berujar,:
“Aku pergi, Yu. Aku mau mengembalikan selendang ini ke rumah Rayun Wulan.”
“Biarkan aku ikut!”
“Untuk apa?”
“Akan kukatakan kepadanya agar menjauh darimu, akan kukatakan juga bahwa kita pernah…pada malam itu…”
“Bodoh! Bodoh kalau itu yang akan sampeyan lakukan. Dia bukan orang goblok. Dia orang berpendidikan. Sampeyan akan malu jika itu sampeyan lakukan. Tapi,…terserah sampeyan. Kalau itu yang akan Yu Mirah lakukan. Ini alamatnya. Sekarang biarkan aku pergi. Permisi.”
“Aryo…”
Aryo berjalan kepintu, membukanya, lalu keluar.
“Aryo…jangan pergi, Aryo…”
Sumirah merasakan tangannya gemetar. Tak kuasa lagi menahan kepergian dambaan hati yang melesat bagai kijang lepas. Lidahnya terasa makin kelu. Tak tau lagi harus berkata apa. Ketika pintu ditutup dari luar, lalu terdengar mesin mobil meraung kian jauh, Sumirah jatuh ke lantai, bersimpuh dan menangis sejadi-jadinya. Sampailah dia pada lereng kejenuhan sebuah pengharapan yang tak kunjung selesai. Harapan itu mendadak sirna dalam sekejap. Ada suara dari dalam dirinya, nekat mencemooh, akankah kiranya kering gamitan cinta yang mengatakan pasti dimana adanya?
Sepi di luar.
Sepi yang menekan dan mendesak. Sepi memagut tak kuasa melepas renggut.
Perlahan Sumirah merangkak ke dekat meja. Ditemukannya kaleng obat serangga di kaki meja seperti biasanya. Gemetar dibukanya tutupnya. Dengan mata basah dan kulit pipi sedingin es, ditenggaknya isi botol dalam sekali reguk. Pahit, manis, getir, menyatu dalam tenggorokannya. Seperti itulah kehidupannya selama ini, pahit, getir, namun jauh dari manis. Tak ada lagi yang akan menahannya di sini. Tak ada lagi. Semuanya sirna bagai embun di siang hari. Lenyap tanpa bekas.

(bersambung)

TROWULAN (15)


Malam itu memang ditakdirkan sebagai milik Dewa Pamugaran. Begitu memasuki Ruang Kahuripan, beberapa gadis cantik segera menyodorkan sebuah buku panduan yang dicetak dengan sangat elok. Pun kepada setiap tamu disarankan untuk mengisi buku tamu.
Aryo Wangking mengajak Dyah Sugihan masuk lebih ke dalam. Dalam ruang yang sangat megah dengan pendingin yang sangat adem, mata Aryo sibuk mencari-cari sebuah bayangan cantik yang diimpi-impikannya. Namun jangankan manusianya, bayang-bayangnya saja tidak ada, entah dimana dia sekarang. Aryo dan Dyah terus melangkah mengikuti arus para pengunjung yang lain, menyusur ruang demi ruang, sambil menikmati beberapa puluh karya lukis Dewa Pamugaran yang dipamerkan dengan cara digantung di dinding. Karpet tebal membuat langkah kaki teredam. Musik yang lembut mengiringi.
Dyah Sugihan membuka buku panduan. Mencocokkan lukisan di dinding dengan gambar di buku. Di buku itu dicantumkan semua judul lukisan maupun medium dari lukisan itu. Ada yang memakai cat minyak, ada yanag dengan tinta cina di atas kanvas, namun ada juga yang menggabungkan cat air dan pastel dalam kanvas. Sungguh pelukis yang berbakat. Semua karyanya mencitrakan segala sesuatu yang manis. Dalam buku panduan dikisahkan juga riwayat hidup si pelukis maupun karya-karyanya. Semuanya seakan-akan menyingkirkan segala sesuatu yang buruk. Pada prinsipnya, isi lukisan karya Dewa Pamugaran tersirat lewat pertemuan karakter obyek dengan mood dirinya ketika sedang menghadapi obyek. Atas hal itu, maka sejumlah karya potretnya merupakan amsal yang menarik.
Di dalam hati secara diam-diam Aryo mengakui kelebihan lelaki itu. Seandainya Rayun Wulan harus menjadi milik Pamugaran, barangkali akan cocok bagi mereka. Mereka itu sama-sama pelaku seni, sama-sama ahli di bidangnya, dan sama-sama punya nama. Sedangkan dirinya ini,…apa?
Akhirnya mereka sampai pada sebuah lukisan potret diri Rayun Wulan. Di tempat itu Aryo Wangking dan Dyah Sugihan berdiri cukup lama. Menatap lukisan berukuran raksasa itu dengan perasaan yang bercampur baur, antara kekaguman dan kegalauan yang sulit digambarkan. Mereka menghembuskan nafas dalam-dalam. Memang tak dipungkiri,lukisan itu sangat indah. Di situ digambarkan seorang gadis berwajah sangat mirip dengan Rayun Wulan, berbaring miring bertelekan lengan kanan, dan membiarkan seekor ular sanca berukuran sebesar paha, menjalar dari kaki hingga ke perut. Kepala ular itu berada persis di pusar si gadis yang terbuka lebar hingga ke dada. Gadis itu nyaris bugil, namun kesan porno tak nampak sama sekali. Malah terlihat sangat artistik.
Wajah gadis dalam lukisan itu adalah wajah Rayun Wulan. Kulit gadis dalam lukisan itupun kulit Rayun Wulan. Bibirnya yang manis berwarna merah jambu, mengulas sebuah senyuman misterius, dengan sedikit menengadahkan kepala, sepasang matanya jadi redup menatap kepada setiap orang yang mendatanginya. Tak jauh dari lukisan itu, persisnya tepat di ujung kanan bingkai, diletakkan sebuah meja marmer kecil dimana diatasnya ada dua batang lilin berwarna merah mengapit setangkai mawar merah dalam sebuah jambangan Kristal yang bernilai nominal sangat tinggi.
Dyah Sugihan terpaku di situ cukup lama. Aryo berdiri di belakangnya dengan perasaan gamang. Seakan berdiri di sebuah tanjung dimana gelombang besar sebuah samudera raya sedang marah di bawahnya. Mendadak saja ada yang terbelah dalam dadanya. Dan mendadak saja dia merasa tak bisa bernafas. Dadanya sesak. Pepat.
Diam-diam, Aryo Wangking menyingkir dari tempat itu, menyisih dari kerumunan orang-orang yang berdecak-decak mengagumi lukisan itu. Dia berjalan keluar dari ruang pamer. Berpikir, apa maksud dari meja dan lilin merah itu? Teringat dia akan janji Kanjeng Ratu Kidul dan kepada ancaman Naga Tatmala. Lalu muncul sebuah tanya dalam hati, masihkah mereka memegang janjinya?
Hingga saat coffe break, Aryo tetap tak ingin masuk lagi ke ruang pamer. Para pengunjung keluar dan menuju lobby untuk menikmati hidangan snack dan berbagai jenis minuman sambil terus menerus berceloteh mengomentari lukisan-lukisan karya Pamugaran. Terlebih lukisan tentang gadis dan ular itu.
Sebentar lagi acara lelang akana dimulai. Kabarnya lukisan besar itulah yang akan dilelang, dan hasil pelelangan itu akan disumbangkan, entah kemana. Aryo tak peduli pada itu semua. Namun dia sangat peduli tentang proses pelukisan itu sendiri. Dirinya merasakan kedua tungkainya jadi tegang, tak ingin beranjaak lagi ke dalam, hingga datanglah Dyah Sugihan mendekati.
Dengan gerakan dagu, Dyah menunjuk ke satu arah.
“Itu dia,” ujarnya berbisik.
Aryo memicing, menatap kea rah yang dimaksud Dyah.
“Ya, aku sudah melihatnya,” jawabnya dingin.
“Dia cantik, kan?”
“Dia memang cantik sekali malam ini.”
“Kau menyukainya?”
Aryo menghela nafas panjang sebelum balik bertanya.
“Kenapa kau tanyakan itu?”
“Kalau benar kau menyukainya, rebut dia dari pelukis itu.”
“Kau ini ngomong apa?”
“Entah kenapa, sejak dulu aku kurang menyukai pelukis itu. Kau sendiri, bagaimana?”
“Entahlah, aku hanya merasa ada yang aneh saja pada dirinya.”
“Kau benar. Aku juga merasakan perasaan yang sama. Sepertinya dalam dirinya ada kekuatan supranatural di balik semuanya ini. Lihat, orang mulai mngantre untuk memberikan selamat kepada mereka. Yuk, kita ikut memberikan salam.”
“Ayo.”
Dyah Sugihan segera menggamit lengan Aryo Wangkin. Sambil terus bergandengan tangan mereka mendatangi pasangan Rayun wulan dan Dewa Pamugaran. Mereka terlihat sibuk menerima ucapan selamat dari para tamu kehormatan dan wartawan. Aryo menyalami Rayun dan Pamugaran. Dia juga berkenan untuk berhenti sejenak mengobrol dengan pelukis ganteng separuh baya itu.
Sementara itu, pada kesempatan yang amat sempit itu, Rayun menarik Dyah ke samping, agak jauh dari mereka.
“Kalian datang bersama-sama?” tanya Rayun berbisik-bisik.
Dyah hanya mengangguk sambil tertawa.
“Dia datang menjemputmu tepat jam tujuh?”
“Ya, kenapa, kau cemburu?”
“Jangan bicara seperti itu, aku jadi nggak enak.”
Dyah tetap tertawa tanpa suara.
“Apa kau senang malam ini?” tanya Dyah.
“Jujur saja, aku tak begitu suka suasana seperti ini. Nanti kalau kalian pulang, aku ikut bersama kalian, ya?”
“Yang benar saja. Bukannya kau sedang menjadi primadona pada mala mini? Dan lukisan besar yang mau dilelang itu,…apa kau tidak merasa geli melihatnya? Lihat, tubuhmu nyaris telanjang, dan ular besar itu….iih!”
“Jangan bodoh! Itu hanya lukisan. Dia membuatnya juga berdasarkan imajinasi saja kok, weee. Selalu saja pikiranmu ke situ-situ juga!”
“Meski cuma imajinasi, orang yang melihatnya jadi membayang-bayangkan seperti itulah kau kalau lagi bugil.”
“Ih!”
“Iya, kalau aku jadi kau, amit-amit deh. Meski cuma imajinasi, nggak mau aku!”
“Itu sebabnya dia tidak memilihmu sebagai model, hehehe…”
“Coba lihat, gaunmu itu.” Kata Dyah serius tanpa mempedulikan tawa ejekan Rayun.
“Kenapa dengan gaunku, bagus kan?”
“Bagus sih bagus, tapi kenapa harus bersulamkan ular dengan benang emas seperti itu sih? Benarkah dugaanku, bahwa Pamugaran itu seorang penganut ilmu ular?”
“Ah, kau ini. Bicaramu itu semakin nggak karuan deh, Dyah!”
“Omong-omong,…apa benar kau serius sama dia?”
“Maksudmu,..Pamugaran?”
“Pamugaran, ya! Siapa lagi?”
“Stt, pelankan suaramu Dyah. Nanti dia mendengar.”
“Biar saja dia mendengar, itu akan lebih bagus kan? Biarkan dia tau bahwa kau sedang bimbang akan memilih siapa, dia atau Aryo!”
“Ya ampun, Dyah… kau ini!”
“Tau nggak, dia suka padamu, lho.”
“Pamugaran?”
“Aryo! Bukan Pamugaran!” suara Dyah lebih tinggi. Membuat Pamugaran dan Aryo menolehkan kepala ke arah mereka.
“Oh…” Rayun Wulan meutup mulut dengan telapak tangan.
“Pelankan suaramu,” bisiknya pada sahabatnya.
“Dalam keadaan emosi seperti ini suaraku susah disuruh pelan.”
“Hahaha,…kau ini. Bicaramu membingungkan sih. Melompat-lompat nggak karuan. Jadi, …apa katamu tadi? Aryo menyukaiku, begitu? Betul nih…?”
“Jangan meledek. Aku serius.”
“Jadi bener, tidak bohong?”
“Tadi sempat kulihat dia cemburu berat melihat lukisan dirimu itu.”
“Oh ya? Aduuuh, kau tidak sedang membuatku senang kan, Dyah?”
“Demi Tuhan, Rayun. Tidak pernah aku seserius ini pada orang!”
Namun pembicaraan itu terhenti ketika beberapa wartawan datang mendekati mereka. Tiba-tiba saja kamera mereka menyala,..blap blap! Sinar lampu blitz berkali-kali menyalak. Pamugaran mendekat, kemudian berdiri di sisi Rayun sambil tersenyum lebar kepada kerumunan wartawan. Kembali sinar lampu blitz menyalak. Blap blap. Maka bisa dipastikan besok pagi photo mereka itu sudah akan nampang di halaman depan Koran lokal dan beritanya menyebar, menulis tentang seorang gadis tenar sekaligus novelis terkenal dari Surabaya ternyata adalah kekasih seorang pelukis besar termasyur dari Gianyar, Bali. Kedua orang itu mendadak jadi seperti selebritis. Mereka berdua bahkan diboyong oleh para wartawan menjauhi Dyah Sugihan yang tinggal berdiri di tempatnya semula dengan tatapan mata keruh. Terlihat oleh Dyah, mereka berdua kemudian sibuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan para pemburu berita mengenai hubungan antara mereka.
Di kejauhan, Aryo Wangking bersidekap, menatap semua itu dengan bibir terkatup rapat. Berada dalam suasana seperti itu Aryo bahkan seakan ditelan kesunyian. Dirinya merasa sendirian di tengah riuh rendahnya pengunjung yang membaur dengan nyamuk-nyamuk pers yang bakal membawa nama Pamugaran kian mencuat seiring tampilnya Rayun Wulan di sisinya. Tampak olehnya sebentar sebentar Rayun Wulan melayangkan pandang ke arahnya. Sementara Aryo berdiri diam seakan patung bisu, bersandar ke dinding dan menatap aneh ke arahnya. Sebenarnya Aryo senang melihat tawa Rayun berkali-kali pecah seiring canda dan godaan para tamu, namun ada goresan pedih tatkala menyadari bahwa tawa itu bukanlah untuknya.
Ketika diumumkan bahwa acara lelang akan segera dibuka, para tamu masuk kembali ke ruang pamer. Disitu telah disiapkan beberapa deret kursi menghadap ke arah lukisan besar tentang “gadis cantik dan ular sanca’ yang sedianya akan dilelang. Saat itulah, tanpa diduga, Rayun Wulan malah keluar dan berjalan mendekati Aryo Wangking. Dia menegur Aryo dengan keramahan yang dirasakan Aryo begitu istimewa.
“Boleh mengobrol sedikit denganmu?” ujarnya.
Aryo Wangking tertegun sesaat.
“Aku baru saja akan pulang,” jawab Aryo.
“Kalau begitu aku juga akan pulang.”
“kau akan meninggalkan semua ini begitu saja?”
Rayun Wulan membalas tatapan mata Aryo Wangking. Kemudian memandang sekelilingnya. Tampak olehnya betapa mentereng ruangan itu. Mendadak saja dia merasa muak melihatnya.
“Terus terang, aku tidak suka acara ini. Tak dapat kujelaskan kepadamu betapa aku muak dengan ini semua.”
“Kalau begitu kita keluar saja dari tempat ini,” kata Aryo tersenyum.
“Ya. Kita cari Dyah ke dalam, lalu kita pulang.”
Aryo membantu Rayun membetulkan penutup bahunya yang jatuh. Tanpa disengaja matanya singgah ke leher belakang Rayun. Beberapa anak rambut yang sangat halus tumbuh dibawah sanggulnya yang berhiaskan permata mainan. Saat itu Aryo merasakan getar-getar aneh yang menjalar ke seluruh permukaan hatinya. Seketika rongga dadanya terasa hangat. Dia rasakan kembali perasaan yang sama dengan saat bersama Rara ireng, beratus-ratus tahun lalu yang sering muncul kembali lewat mimpi-mimpi malamnya.

(Bersambung)

Jumat, 09 April 2010

TROWULAN (14)


Rayun Wulan baru saja menyelesaikan bab terakhir novel terbarunya ketika sahabatnya, Dyah Sugihan datang. Gadis bertubuh subur itu berdiri petentang petenteng di beranda depan menunggu pintu dibukakan tuan rumah. Dengan cepat Rayun berlari membukakan pintu, menyambutnya dengan hangat. Kedatangan Dyah Sugihan selalu membuatnya senang. Sebab dengan sahabatnya itu, Rayun bisa bicara apa saja tanpa kuatir rahasianya bocor kemana-mana.
“Memangnya, aku periuk borot?” kata Dyah saat hal itu dikatakan Rayun kepadanya.
Bahkan seluruh perasaannya terhadap Pamugaran dan Aryo Wangking tak luput dari pembicaraan mereka. Tiga hari saja tidak bertemu dengan Dyah, Rayun rasanya kangen. Itu sebabnya, dengan riang, Rayun membukakan pintu lebar-lebar dan langsung memeluknya.
“Ada apa datang?” sindir Rayun sambil menyeretnya masuk.
Dyah Sugihan tersenyum sambil menyerangnya balik:
“Bdetul nih, sudah tak ingin aku datang?”
“Asem! Ayo masuk. Aku lagi sendirian, nih.”
“Mama kemana?”
“Ke Bandung.”
“Semua?”
“Iya. Mau minum apa? Jus, kopi, the, atau apa?”
“Restoran ‘kali. Pakai tanya mau minum apa?”
Rayun tertawa lebar. Dia meletakkan beberapa toples kue ke atas meja. Lalu berbalik ke belakang menyiapkan dua gelas air sirop.
“Selama tiga hari ini, kau kemana saja?” tanya Dyah Sugihan.
“Kau datang kesini?”
“Ya. Tapi Cuma bertemu dengan baying-bayangmu. Rumah ini kosong melulu. Lama-lama bisa berubah menjadi rumah hantu.”
“Ih, maunya!”
Mereka tertawa. Dyah mencomot sepotong kue keju dari dalam toples. Cepat-cepat Rayun menyorongkan sebuah piring kecil untuk menampung remah-remah kue sebelum jatuh ke lantai.
“Aku ke Balekambang,” sahut Rayun.
Mereka duduk dengan santai di ruang tamu. Masing-masing memeluk bantal kursi sambil menikmati alunan musik lembut dari taperecorder mungil yang sengaja dibawa Rayun dari kamar tidurnya.
“Dimana itu?” tanya Dyah.
“Di sebelah Selatan kota Malang. Apa kau belum pernah kesana?”
“Uh, dengan siapa? Tak ada seorangpun yang mengajakku kesana.”
Rayun tergelak melihat mulut temannya jadi manyun.
“Ohhh ya, lupa. Kau belum punya pacar, ya?” godanya sambil terus terbahak-bahak.
“Nggak lucu! Kau sendiri, bagaimana? Apa kau perginya dengan Pamugaran?”
“Dengan siapa lagi kalau bukan dengan dia?”
“Mmmm….seneng dong!”
“Ya,..gitu deh! Tapi tau nggak, disana aku bertemu dengan siapa?”
“Mana aku tau?”
“Dengan Aryo Wangking!”
“Shiit! Seru dong!”
“Seru, bagaimana! Orang aku kesananya sama Pam?”
“Lantas?”
“Ya,..aku Cuma pandang-pandangan saja dengan dia. Kau tau, kedua matanya menatapku dengan tajam..O, Gusti,… rasanya badanku ini tersengat listrik ribuan volt!”
“Bisa mati dong loe, kena strum.”
“Ih. Kasih komentar yang bagus dong, gimana gitu.”
Dyah tersenyum saja. Diambilnya lagi sepotong kue dan menggigitnya pelan-pelan sambil matanya merem melek. Rayun menunggu dengan pandangan aneh ke arahnya.
“He! Kasih komentar dong, masa diam saja?”
“Bener nih, aku boleh kasih komentar?”
“Kenapa tidak. Bukannya aku sudah bilang, menurutmu bagaimana?”
“Kalau kau minta pendapatku, aku pasti akan ngomong kalau si Pamugaran itu memang terlalu tua untukmu. Sori, jangan tersinggung.”
Rayun tertawa kecil.
Melihat Rayun tidak marah, Dyah Sugihan melanjutkan,:
“Kecuali kalau kau punya pertimbangan lain. Penampilan, misalnya. Atau ketenaran, barangkali?”
“Umurnya baru limapuluh dua. Menurutku tidak terlalu tua, kok.”
“Tidak terlalau tua, katamu? Hehehe,…Jangan bilang kalau kau tak memikirkan hubungan seks kalian di masa sepuluh tahun mendatang, dimana saat kau sedang gila-gilanya, dia sudah …ppfft…!!”
Rayun Wulan tertawa ngakak.
“Pikiranmu selalu kesitu-situ juga, Dyah! Hahaha…”
“Eh, jujur. Seks merupakan salah satu factor terpenting penunjang keutuhan rumahtangga loh! Coba, kalau saja dia tidak bisa ngapa-ngapain, apa kau tidak cuma menghitung nyamuk saja setiap malam? Makanya, kalau aku boleh kasih saran, pilih selagi kau bisa. Ambil Aryo Wangking sebelum semuanya teerlambat!”
“Maumu!”
Sepasang mata Rayun berkedap-kedip.
“Tapi memang kau benar,” kata Rayun. “Aku sedang berada dalam kebimbangan.”
“Nah, lho!”
“Ya. Beberapa hari belakangan ini, sejak kami bertemu di Balekambang itu, diriku selalu dihantui mimpi tentang dia. Bahkan pada saat Pamugaran menciumku, bayangannya selalu datang menyelinap di antara kami. Dan kalau sudah seperti itu, napsuku jadi drop ke titik nol. Aku jadi tak ingin meneruskannya.”
“Jadi menurutmu, apa arti dari semua itu?”
“Entahlah.”
“Gimana kau ini, Rayun! Aku jadi benci sekali melihat kebimbanganmu seperti itu!”
“Aku ingin…”
“Sttt! Kedengarannya ada orang datang,…” sela Dyah Sugihan cepat.
Beberapa detik mereka saling berpandangan dan berusaha menajamkan telinga. Benar saja, terdengar suara gerendel pagar dibuka. Ya, pasti ada yang datang. Dyah berdiri dan mengintip keluar jendela melalui celah-celah tirai.
Rayun ikut berdiri dan bersembunyi di balik punggung Dyah.
“Siapa..?” bisik Rayun. “Apakah dia Pamugaran?”
“Bukan,” sahut Dyah berbisik-bisik. “Orang ini membawa jip terbuka. Waduh, gagah sekali dia dengan topi koboinya itu. Ck..ck..ck.”
Rayun terkesiap.
Dia jadi ikut mengintip. Dilihatnya tamu itu, yang tak lain adalah Aryo wangking, tengah mengatupkan pintu pagar kembali. Kemudian dengan tegap berjalan ke arah teras rumah.
“Itu dia Aryo Wangking,” desis Rayun.
“Apa katamu?” Dyah menoleh cepat ke arah Rayun dengan wajah kaget.
“Itu Aryo Wangking, bodoh!”
“Jadi…itu dia orangnya?”
“Hmmm..mmm..”
Dyah menatap wajah Rayun lama. Otaknya berputar, membandingkan penampilan Pamugaran dan Aryo Wangking. Betapa jauh berbeda. Bagaikan langit dan bumi. Kalau saja dirinya yang harus memilih, pasti seleranya akan segera jatuh pada lelaki bertopi koboi di teras depan itu. Namun dirinya bukanlah Rayun. Rayunlah yang dihadapkan pada dua pilihan itu. Dan Dyah Sugihan sangat paham, Rayun bukanlah dirinya yang selalu pandai memilih.
Dyah kembali mengintip. Sepertinya pria bertopi koboi itu ragu-ragu untuk mengetuk pintu.
“Kalau kau lebih memilih Pamugaran, aku tidak menolak kok untuk yang satu ini, hehehe…” Dyah terkekeh.
“Enak saja!”
“Jadi…kau mau juga sama dia?”
“Ssstt…!”
Pintu depan mulai diketuk.
“Ra, buka pintunya!” kata Dyah mendelik.
Rayun beranjak ke pintu, dan memutar kunci. Begitu daun pintu terkuak, dirinya segera menatap sepasang mata yang dikatakannya mengalirkan tenaga listrik ribuan volt itu. Bibir lelaki itu tersenyum tipis. Masih tetap dengan topi warna gelap, namun kali ini dia nampak lebih rapi dan lebih keren dari biasanya. Diam-diam Rayun membenarkan suara hatinya yang paling dalam, bahwa lelaki itu memang gagah.
“Apa kabar, rayon,” sapa Aryo Wangking.
“Oh, baik,…baik.” Sahut Rayun terbata-bata.
“Kaget ya?”
“Iyyya,…wah, tadi sempat kusangka siapa…”
“Kaupikir, siapa?”
Rayun hanya tertawa seraya mempersilakan tamunya masuk.
“Kupikir, seorang pangeran yang datang, habis, keren sekali sih.”
Aryo tertawa tertahan tahan. Membuat dua gadis didepannya jadi terpana melihat tawa yang ditahan-tahan seperti itu. Seperti ingin mengurai busa yang memuai, Rayun ingin sekali bisa jatuh ke dalam pelukannya.
Dyah mencubit pinggangnya, menyadarkan Rayun bahwa disitu masih ada Dyah Sugihan yang ingin diperkenalkan.
“Oh ya, kenalkan. Ini temanku,” kata Rayun seperti bangun dari mimpi. “Namanya Dyah Sugihan. Dyah, kenalkan, dia Aryo Wangking.”
Dyah Sugihan menyodorkan tangan, Aryo menyambutnya dalam sebuah genggaman yang kuat. Mereka saling memperkenalkan diri, lalu duduki bersama dan berbasa-basi. Obrolan yang hangat segera memenuhi segenap sudut ruang. Hingga suatu saat Aryo bertanya tentang kabar Pamugaran.
Dyah mengerutkan kening. Dia mulai menebak, jawaban seperti apa yang akan dikatakan Rayun untuk pertanyaan Aryo Wangking.
“Dia baik-baik saja,” jawab Rayun.
“Kapan berpameran?”
“Dia memang tengah mempersiapkannya. Akhir-akhir ini kelihatannya mulai ngebut melukis. Rencananya akan berpameran tunggal di Sheraton.”
“Bagus. Dia memang pelukis handal. Apa obyek utamanya kali ini?”
“Judul pamerannya kali ini, ‘Wajah Wajah’.”
“Wah, kalau tebakanku benar, pasti kebanyakan berupa lukisan potret. Iya?”
Rayun meringis, membenarkan tebakan itu.
Dengan tak sabar, Dyah menyela cepat,:
“Kebanyakan Rayun yang jadi modelnya.”
Aryo memicingkan mata.
“Oh ya?” cetusnya.
Rayun menyodok perut Dyah dengan siku.
“Ah, tidak banyak,” ujarnya buru-buru. “Malah lebih dominan wajah-wajah pria Bali dan laut. Seperti yang diambilnya di Balekambang itu. Bagus semuanya. Sangat natural.”
Tolol! Pikir Dyah. Secara tidak langsung kau malah memuji karya-karya Pamugaran, Ra!
Aryo cuma tersenyum. Mencoba meredam api cemburu yang mendadak membakar segenap rongga dadanya.
“Boleh merokok?” tanyanya sambil membuka bungkus baru.
“Oh, silakan.”
Cepat-cepat Rayun menyodorkan asbak.
“Sebenarnya aku ingin sekali bisa ikut hadir pada pembukaan pameran itu,” kata Aryo seraya menyulut rokok dengan geretan.
Rayun terus menerus menatapnya sambil menelan ludah. Dia menikmati bagaimana indahnya gaya lelaki itu saat menyelipkan sebatang rokok di bibir, dan menyulutnya dengan mata terpejam. Rayun tidak pernah tau, bagaimana pedihnya sayatan kecemburuan itu dalam hati Aryo hingga mampu membuat matanya berair. Dengan memejam, Aryo berharap kedua gadis di depannya tidak melihat betapa mendadak saja dia jadi demikian cengeng.
“Pameran itu akan dibuka hari Sabtu depan,” kata Rayun begitu Aryo mengangkat wajahnya kembali.
“Tolong dikabari, aku akan datang.”
“Pasti akan dikabari. Ada undangannya, nanti.”
“Kita datang sama-sama?”
Rayun terdiam, mendegut ludah. Dyah segera menolongnya.
“Kalau nggak keberatan, mas Aryo datang bersama aku saja, Bagaimana, bisa?”
Aryo menoleh ke arahnya, menatap kosong, seakan baru sadar bahwa masih ada manusia lain di ruangan itu. Sebelah alis matanya terangkat naik, mengguratkan senyum penuh pemahaman atas ucapan Dyah Sugihan. Taulah Aryo, bawa Rayun pasti akan datang ke pembukaan pameran tunggal itu bersama sang maestro.
“Tentu bisa, tapi bagaimana?”
“Ini alamatku, mas Aryo menjemputku pukul tujuh malam. Oke?”
Aryo menerima kartu nama mungil milik Dyah Sugihan, dan menyimpannya di saku.
“Baiklah. Rayun sendiri bagaimana?” tanyanya berbasa-basi.
“Ah, Rayun berangkat lebih pagi bersama sang maestro. Betul kan, Ra?”
“Oh, ya. Ya.”
“Dia akan mendampingi Dewa Pamugaran, sebagai mascot, katanya.” ujar Dyah lagi making getas.
Aryo merasakan dadanya sesak.
Dia segera bersandar. Kini dirinya sudah hampir tidak tahan lagi. Baik, pikirnya geram. Kini sudah tercacar semua di wajahku. Jangan diteruskan lagi ceritamu itu, nanti darahku jadi beku. Mengaum di telingaku.
Brengsek kaau, Pamugaran! Brengsek!
Sambil mematikan rokok di dalam asbak, Aryo bertanya pada Dyah.
“Jadi kujemput kau pukul tujuh, Sabtu depan?”
“Oke! Aku tunggu mas Aryo.”
Aryo Wangking kemudian berpamitan, Dia bangkit dari duduknya, menyelipkan bungkus rokok dan geretan kedalam genggaman tangan, kemudian berjalan keluar. Dan begitu mereka cuma tinggal beerdua saja, Rayun terlihat marah.
“Loh, kok kau marah?” tanya Dyah kalem.
“Seharusnya kau tidak usah menceritakan kepadanya tentang pameran lukisan yang melibatkanku sebagai mascot itu,” cetus Rayun hampir menangis.
“Kenapa?”
“Dia pasti tidak menyukainya. Dia pasti tak ingin bertemu lagi denganku karena mengira aku sudah amat serius dengan Pamugaran.”
“Kau pikir begitu?”
Rayun mengusap matanya yang sebak.
“Menurut aku, dia tidak seperti itu,” kata Dyah Sugihan. “Aku justru yakin, sama seperti kau, dia juga selalu diganggu mimpi.”
“Maksudmu apa?”
“Aku yakin, dia juga menyimpan perasaan yang sama denganmu.”
“Kau yakin?”
“Yakin seyakin-yakinnya. Apa kau tidak melihat ekspresi wajahnya saat kukatakan bahwa kau adalah mascot dalam pameran itu? Aku bahkan melihatnya dengan sangat jelas, perubahan wajah dan kegeraman dari sorot matanya. Menurutku, dia bukan sejenis laki-laki yang gampang menyerah. Taruhan, dia akan datang dan akan terus datang untuk merebutmu dari tangan Pamugaran”.
“Jangan terlalu memberikan harapan padaku, Dyah.”
“Seharusnya kau berbesar hati. Itu memang kenyataan kok. Aku tidak ingin hanya memberikan angin surga padamu. Aku bahkan yakin bahwa sebenarnya kau lebih suka kepadanya ketimbang kepada pelukis tenar itu. Ayo, jangan membohongi diri sendiri, Rayun. Apa yang kukatakan ini, benar kan?”
“Entahlah, aku bingung jadinya.”
“Dasar! Ayolah Rayun,…keluarlah dari inferiority feelings yang berlebihan itu. Ini dunia nyata, nona. Kendati kau seorang penulis jangan seperti pujangga melankolis yang selalu melukiskan segala kehidupan ini harus selalu ideal, selalu harmonis. Sebagai manusia kau berhak memilih yang terbaik, dan kau boleh melakukannya kapan saja. “
“Kalau aku memilih Aryo wangking,..?”
“Itu bagus.”
“Tetapi Pamugaran sangat baik kepadaku, dia tidak pernah berbuat kesalahan. Apakah aku tidak menjadi orang yang kejam dan tidak tau membalas budi seandainya meninggalkannya tanpa alasan, begitu saja, padahal…”
“Rayuuun, Rayun!” Dyah menghembuskan nafas keras-keras. “Kenapa sih, kau selalu saja takut melakukan kesalahan yang belum tentu salah? Ayolah, hiduplah dengan sikap tegar dan realistis. Yang akan kau bangun itu adalah hidupmu sendiri, kebahagiaanmu!”
Rayun menyandarkan kepala ke sandaran sofa. Sepasanag matanya menerawang jauh.
“Sebenarnya,” lanjut Dyah. “…dalam hidup ini tak ada yang terlalu berat atau terlalu keras untuk dihadapi, Rayun. Tapi usahakan kau tidak melakukan sesuatu yang bagimu berakibat tidak menyenangkan bagi masa depanmu.”
Rayun Wulan mengalihkan pandang matanya kea rah Dyah Sugihan. Dirinya hanyaa tak ingin melukai perasaan orang-orang yang dekat dengannya, seperti Pamugaran maupun Dyah Sugihan. Kebimbangannya muncul saat menatap kedua mata Dyah sahabatnya. Namun tali kerinduan pada Aryo demikian kuat. Benar kata Dyah Sugihan, bahwa dirinya harus segera memilih sebelum semuanya terlanjur dalam dan rancu. Sepertinya penampilan dan gaya hidup sederhana yang dimiliki Aryo lebih dia suka daripada kehidupan glamor seperti yang dihayati Pamugaran selama ini. Tetapi bagaimana dengan perasaan Pamugaran apabila dia tiba-tiba mengalihkan hatinya kepada Aryo Wangking?
Ah,…!
Rayun Wulan memejam.
Dyah Sugihan menghirup gelas siropnya perlahan, membiarkan gadis peragu di depannya berpikir dan terus beerpikir, sampai hari kiamat!

(Bersambung).

TROWULAN (13)


Ternyata doa dan keinginan Rayun wulan terkabul.
Entah bagaimana, mendadak saja pada pagi itu tumbuh dalam hati Aryo Wangking keinginannya untuk pergi menemui Rayun Wulan. Dia akan nekad. Semalam-malaman dia berpikir keras, dan sampai pada satu kesimpulan bahwa tidak bisa tidak, dia harus berhasil memiliki gadis itu. Ancaman Naga Tatmala kembali terngiang di telinganya. Ini bukan berarti Aryo Wangking mau percaya begitu saja pada ancaman seekor naga siluman. Kalau tiba-tiba saja dia ingin memilikinya itu adalah semata-mata karena dorongan yang muncul dari lubuk hati yang paling dalam. Pendapat yang dia katakan pada Pamugaran tempo hari, tidak bisa memungkiri nalurinya sebagai seorang laki-laki. Dengan jujur dia katakan pada diri sendiri bahwa ada keinginan pada tubuhnya yang didorong oleh kebutuhan jasmaniah. Itu terbukti dengan semakin seringnya dia bermimpi tentang gadis itu. Apakah selama hidup dirinya hanya akan berpuas diri dengan mimpi-mimpi yang tak pernah menjadi kenyataan? Tentu saja tidak! Sudah sampai waktunya dirinya harus memiliki seseorang untuk melabuhkan segenap cinta dan hasrat nalurinya.
Sambil berdendang kecil, Aryo merapikan kumis dan jenggotnya. Semenjak kuliah, kumis dan jenggot tebal itu hampir tidak pernah lepas dari penampilannya. Barangkali itu yang menyebabkan teman-teman kuliahnya dulu lebih suka memanggilnya Aryo Brewok. Kini dengan hati berbunga-bunga, Aryo merapikannya, lebih tipis dari biasanya. Kini tampak wajahnya lebih terang. Brewoknya lebih tipis dan rapi. Sambil tersenyum, Aryo menatap puas penampilan wajahnya. Setengah mengagumi paras sendiri dia merasa bahwa dirinya tidak jelek jelek sekali. Kalau dibandingkan dengan Pamugaran, sepertinya dirinya lebih jantan, lebih manly. Pamugaran memang tampan,tetapi terlalu halus kulitnya.
Tiba-tiba Sumirah muncul begitu saja di ambang pintu.
Menyelinap masuk, dan menatapnya dengan pandangan heran.
“Tumben,” katanya. “Pagi-pagi sudah rapi, mau kemana sih?!”
Aryo membubuhkan cairan wangi ke dagu. Sumirah merebut botol itu, mengendus, dan membaca tulisan ‘After Save Lotion’ dengan wajah bodoh. Cairan apa ini, pikirnya. Wangi banget!
“Harum sekali kamu,” celetuknya curiga. “Biar kutebak. Kau sedang mau ke kondangan? Betul kan?”
Aryo Cuma tersenyum dikulum. Dia sedang tak ingin menanggapi kata-kata Sumirah. Kadang-kadang bermain tebak-tebakan adalah salah satu kebiasaan Sumirah kalau sedang ingin memancing pembicaraan agar lebih panjang atau supaya lebih bisa ngelantur kemana-mana. Kelihatannya memang itulah tujuannya. Terbukti, Sumirah kembali meneruskan permainannya.
“Atau…kau sedang mengincar seorang perempuan?”
Kali ini suaranya terdengar menyimpan cemburu.
Kini Sumirah bersandar ke bingkai pintu. Dilihatnya Aryo mengeluarkan sebuah kemeja warna biru pucat dari sebuah gantungan. Seingat Sumirah, kemeja itu adalah kemeja kesayangan Aryo, yang hanya akan dikeluarkan dari dalam lemari kalau pas ada sebuah acara penting. Selebihnya, pria macho itu lebih suka hanya mengenakan sebuah T-Shirt yang ditutup jaket kulit saja. Pria itu lebih percaya diri dengan penampilan sederhana, T-Shirt berkerah dan celana jins. Maka tak heran kalau pagi itu mendadak Sumirah mengernyitkan kening melihat Aryo berdandan lain daripada biasanya. Salahkah kalau dia jadi curiga?
Aryo mengait sepasang sepatu dari bawah kolong tempat tidur.
“Sepatu baru ya?!” celetuk Sumirah lagi tanpa mampu menahan rasa cemburunya.
“Ah, kebetulan yang lama sudah jebol.” Sahut Aryo sekenanya.
“Kau ini mau kemana sih?”
Aryo tetap sibuk dengan kaus kaki dan sepatunya.
“Ar! Kau mau kemana! Jawab dong!! Apa kau mau menghadiri sebuah hajatan?”
Acuh saja, tapi Aryo akhirnya mengangguk.
“Dimana?” kejar Sumirah tak sabar.
“Di Surabaya.”
“Akhirnya kau bisa bicara,” sindir Sumirah sinis. “Siapa yang punya hajat? Apa aku mengenalnya?”
Aryo berdiri. Dia telah selesai dengan sepatu barunya. Kini terlihat mulai bersiap-siap akan berangkat. Kedua tangannya bertolak pinggang, dan sepasang mata rajawalinya menatap keras paras Sumirah.
“Sampeyan tidak kenal. Maaf. Sekarang, biarkan aku pergi Yu.”
“Tunggu,…tunggu!”
“Apalagi?”
“…..”
“Oh ya, ini ada sedikit uang untuk belanja. Seratus, cukup?”
Sumirah menepis uang di tangan Aryo dengan gemas.
“Sialan kamu, Aryo!”
“Loh…”
“Aku tidak butuh ini, tauk!”
“Lantas, apa maunya sampeyan?”
“Kamu…! Ternyata kamu sama jahatnya dengan semua laki-laki di dunia ini.”
“Jujur saja, aku tidak mengerti yang sampeyan maksud.”
“…..”
“Ayolah Yu, cepatlah dikit. Aku tak ingin terlambat.”
“Gayamu! Apa sih yang sedang kau kejar? Pakai takut terlambat segala!”
“Terus terang, ada Yu.”
“Apa? Apa yang sedang kau kejar?”
“yang jelas, ada.”
“Sebuah proyek besar? Poyek harta karun?”
“Lebih dari harta karun.”
“Apa yang lebih dari harta karun,…apa?”
“Perempuan, Yu! Seorang gadis cantik.” Suara Aryo mulai naik satu oktaf.
“Apa kau bilang?” Sumirah melengking.
Sumirah memegang keningnya. Tiba-tiba saja kepalanya terasa mumet. Berputar tujuh keliling. Ya Allah! Begini hinakah aku hingga dua orang lelaki telah Kau beri kesempatan menolakku seperti ini? Kepalanya jadi lebih pening lagi tatkala dilihatnya Aryo malah menyungging sebuah senyuman sinis. Sumirah merasakan dadanya sesak. Darahnya seketika tumpat padat. Aryo Empul, …Aryo Wangking…sama saja! Sungguh, seharusnya Sumirah lebih tau mengapa dua orang itu menolaknya tanpa perasaan. Namun apakah tidak cukup mereka hanya bersikap lembut dan sedikit berbaik hati saja kepadanya, meskipun dirinya tidak seperti perempuan harapan mereka, yang berbudi dan bersih dari segala dosa dan kesalahan? Apakah hanya lelaki saja yang boleh berbuat dosa, sementara perempuan kesepian macam ini tidak boleh? Haruskah dia hidup bagaikan ranting kering yang suatu saat akan dipatahkan oleh kesombongan manusia yang tentunya tak lebih baik daripada dirinya?
“Maaf Yu, aku pergi dulu.”
Aryo keluar pintu. Sumirah terpana. Mendadak sekali dia jadi benci sekali melihat Aryo. Pertama kali dalam hidupnya, dia begitu ingin mencakarnya. Atau kalau bisa: membunuhnya sekalian!
“Aryo!” teriaknya begitu melihat Aryo Wangking melompat ke atas jip terbukanya.
Aryo menengok ke arahnya.
“Ya?”
“Siapa nama gadis itu?” dengan suara gemetar, Sumirah bertanya.
Aryo mengulas senyum di bibir.
“Namanya Rayun Wulan.”
Jadi benar dia,…pikir Sumirah dengan dada terasa pecah oleh kecemburuannya yang membuncah. Jadi benar kartu nama yang pernah dikoyak-koyaknya dulu itu adalah milik gadis yang sedang dikejar-kejar Aryo saat ini. Kenapa pada waktu itu Aryo berbohong kepadaanya dengan mengatakan bahwa mereka tidak punya hubungan apa-apa selain pertemanan?
Setan. Kurang ajar. Sumirah jadi uring-uringan sendiri. Ingin sekali dia tau bagaimana sih, rupa gadis itu? Dia juga ingin sekali bisa menyakiti Aryo Wangking dengan berbagai cara. Tiba-tiba dia merasakan jiwanya kering, yang tanggal bagai ranting ranting. Sumirah merasakan jiwanya mati. (bersambung)