Senin, 25 April 2016

KETIKA SUARA ADZAN BERKUMANDANG

Kejadiannya sangat cepat. Ketika itu kukendarai mobilku dengan sangat kencang. Subuh sudah lewat, namun pagi belum lagi terang. Meliput berita di luar kota membuatku harus pulang saat larut malam, badan capek, mata mulai digelayuti rasa kantuk yang luar biasa, Sekilas kulihat lampu kuning trafic light lenyap dan berganti merah, sebuag truck sampah menderu deras dari arah belakang, mendahului, seakan terbang ke depan. Aku gugup sejenak, kaget membanting setir ke kiri tepat menghantam seorang bapak dan seorang anak kecil dipinggir jalan, membuat mereka terpental ke udara sebelum akhirnya jatuh menghempas ke aspal. Reflek kaki kananku menginjak rem. Mobil berhenti menyentak dengan suara derit mencicit. Sejenak kurasakan kedua tungkaiku lemas. Dari kaca spion kuintip mereka tergeletak tak bergerak. Terkapar. Mati? Entahlah. Tak dapat kupastikan. Secepat itu pula kepanikan menenggelamkanku dalam kecemasan yang luar biasa. Kutengok kanan dan kiri, Suarasana masih sepi. Jalanan lengang. Tak nampak seorang insanpun di perempatan jalan itu. Takutku membuat sekujur tubuh meremang, kalau mereka mati. Apa yang harus kuperbuat? Suara hati menjerit: “Turun! Tolong mereka! Bawa ke rumah sakit!” Namun logika berbicara lain. Kalau aku turun dan membawa mereka ke rumah sakit dan ternyata mereka mati, apakah aku harus dipenjara? Sederhana memang pemikiran seperti itu. Namun kepanikan sudah merajai hati. Tanganku gemetaran, berkeringat mencengkeram kemudi. Otakku berteriak: “Lari. Lari secepat mungkin! Senyampang tidak ada saksi disini. Lari, bodoh! Aku semakin kehilangan akal. Terbayang dibenakku sosok polisi, keluarga korban, dan tetek-bengek yang akan menjadi urusan yang sudah pasti membuatku terbebani berbagai masalah. Sekali lagi aku ,menengok ke belakang. Bapak dan anak itu masih tetap pada posisi semula. Mereka terbujur diam dalam genangan cairan merah yang merayap semakin melebar menjauhi tubuh pemiliknya. “Lari, tolol!” suara hati menghardik. Kali ini jiwa pengecutku menurut. Seketika kuhidupkan mesin, kumasukkan persnelling satu, dan tancap gas. Aku melarikannya dengan kecepatan tinggi, lebih kencang dari semula. Namun kali ini mataku lebih nyalang kedepan. Rasa kantuk menguap sejak tadi. Yang ada hanya keinginan menyelamatkan diri sendiri. Ngebut terus tanpa ampun. Sepanjang jalan ketemui rival, saingan dalam urusan memacu kencaraan, entah itu bis maut, entah itu angkot atau mobil-mobil pribadi yang sama-sama gilanya. Ditempat sepi mobil kuhentikan, aku turun memeriksa sisi sebelah kiri mobil. Tetap utuh. Tak ada kerusakan berarti, hanya sedikit pesok disisi pintu. Bercak darah yang tentu saja bisa segera kubersihkan.Barangkali untuk sementara waktu aku masih bisa bernafas lega. “Hai, bagaimana dengan perjalananmu kemarin?” temanku Titi menyapa pada esok harinya di kantor. “Kau sempat mampir nggak; mampir ke rumah Tommy.” Lanjutnya sambil cengar-cengir. Aku tak menyahut, dadaku ini masih beredebar kencang setiap kali mengingat bayangan bapak dan anak yang terbaring diam kemarin. “Nikmatilah masa-masa indahmu, Sar. Kata orang sih, masa-masa pacaran selalu saja indah, tetapi nanti kalau kau menikah...semuanya jadi berubah. Ah, kok menakut-nakuti, Aku tidak sedang menakut-nakuti lhoh, pokoknya tau sendiri deh.”. Aku diam saja, semua kalimat itu justru semakin menggedor jantungku. Menambah kebingungnaku.Titi masih terus mengoceh, suaranya bagai cicit tikus di telingaku. Samasekali tidak kedengar dia sedang ngomong apa. Tiba-tiba saja Titi menembakku dengan membacakan berita yang benar-benar membuatku KO. “Diperempatan jalan Diponegoro pukul lima pagi kemarin, kedapatan seorang laki-laki paruh baya dan seorang anak kecil tergeletak sebagai korban tabrak lari. Beruntung, ada seorang tukang tambal ban yang sempat mengingat nomor polisi kendaraan itu.” Jemariku yang masih menekan keyboard terhenti seketika. Kaku. Mati. Hilang akal. Itu kamu! Hatiku bicara sengit. Itu kamu, Sarah !. Kamulah yang menabraknya. Kamulah yang membunuhnya. Dan seperti seseorang yang baru saja mendengar berita kematian ibunya, aku terhuyung. Lantai seakan berputar, terbalik. Membuatku serasa ingin muntah. Kupegang ujung meja kuat-kuat agar tidak sampai jatuh. Titi terkejut, dia berdiri dan menopangku agar tetap berdiri tegak. “Sarah, kamu kenapa? Mukamu pucat sekali. Kamu sakit?” “Tidak. Tidak apa-apa. Barangkali Cuma letih,” sahutku berusaha menguasai diri. Titi malah menatapku dengan pandangan menggoda. Bibirnya senyam-senyum. Sungguh tidak lucu! Sambil berkacak pinggang dia menggeleng-gelengkan kepala. “Hebat ya, kencanmu kemarin?Tapi oke, kalau sakit kenapa tidak pulang saja? Minta ijin sama Boss sana ‘gih!” Tanpa ba bi bu akupun segera pergi. Aku memang butuh waktu. Aku butuh udara segar. Kegelisahan itu terus kubawa sampai kerumah.Membuatku susah tidur, susah makam< susah berkonsentrasi. Selalu kubayangkan bagaimana orang-orang menemukan mereka dan membawanya ke rumah sakit? Cacatkah mereka? Atau meninggal? Bagaimana dengan keluarga mereka? Apakah aku sudah jadi pembunuh? Atau seorang buronan yang setiap saat bisa saja ditangkap? Aku jadi bergidik ngeri, Mendadak saja timbul niatku untuk menyerahkan diri ke pihak yang berwajib, tapi aku segera ingat bahwa hari pernikahanku sudah semakin dekat. Bulan depan aku sudah harus mengawali persiapanku untuk menikah dengan Tommy, rencana mencetak undangan, mencari gedung, perias, katering, dan.... ya Allah ya Robb. Apa yang harus kulakukan? Tommy...Tommy... nama itu terus kubisikkan, tak mampu lagi mengingat apa-apa. Padahal setiap akan tidur dzikirlah yang kulantunkan, kini bahkan tak sampai lidahku. Kelu. Pepat. Hingga aku jatuh tertidur dengan sendirinya karena kelelahan. Dalam tidur aku bertemu Tommy, kami saling bergandengan sambil saling tersenyum. Langkah kaki terayun di tengah tamu-tamu, Tommy terlihat keren dengan baju hitam pengantinnya, namun... Ya Allah. Tiba-tiba datang serombongan polisi, mereka menghampiri dam merenggutku dari genggaman tangan Tommy. Aku berteriak histeris saat mereka memasangkan borgol ditanganku.Aku meraung. Menjerit, ya Allah ya Allah...! Aku tergagap bangun dengan sekujur tubuh berjeringat dingin. Dari atas meja rias kuambil koran kemarin yang sempat dibacakan beritanya oleh Titi, kucari pada halaman sekian, dan bertemu. Kubaca lagi, lagi...lagi. tercantum disitu kelanjutan kalimat yang kemarin, : “Jika saaudara masih memiliki hati nurani sebagai manusia, maka tengoklah korban yang saudara bantai di perempatan jalam Dipobegoro pada hari Minggu jam lima pagi, kemarin. Seorang diantaranya melayang jiwanya. Kepalanya pecah.Seorang lagi terbaring di rumah sakit dalam keadaan kritis. Andaikan selamat, anak berusia lima tahun itu akan cacat seumur hidupnya. Kedua kakinya diamputasi. Apa yang saudaralakukan jika musibah itu menimpa bapakmu atau adikmu? Tentu saydaraakan mengimbau juga. Oleh karena itu lewat kolom ini kami mengimbau saudara. Semoga saudara berjiwa besar dan datang mengakui semua perbuatan saudara.” Jadi mereka..... Aku tak kuasa melanjutkan kalimat. Getar tanganku semakin kuat membuat koran itu jatuh seiring guguk tangisku. Kurasakan darahku beku seketika. Dingin merambat dari ujung rambut ke ujung kaki, diriku terasa mati, hati nuraniku menjerit kuat: Pembunuh! Kmu pembunuh! Malam itu aku berjalan kaki menyusuri jalan-jalan sepi tanpa tujuan.Pikiranku berkecamuk, kalut, cemas, dan ngeri membayangkan kejadian itu dan segakla akibatnya. Tentang kematian, tentang masa depan anak kecil itu. Tentang kehidupan yang dengan mudah terbalik balik sesuai kehendakNya. Tanpa kuasa kita menahan atau menghindar, karena seakan sudah tertulis di garis kehidupan masing-masing manusia. Kekalutan rupanya sudah mencapai titik puncak sama dengan titik puncak rasa sakit yang sudah tak tertahan dalam hati seorang manusia, rasa bersalah membuat bahuku luruh, tak berharga lagi jadi manusia. Hingga pagi, dan hingga siang hari kemudian, tak ada satupun yang bisa kuajak bicara. Aku hanya bisa berbicara dengan diri sendiri dan bertanta-tanya, apa yang telah kulakukan ini? Seakan patung batu, aku duduk di taman pinggir jalan raya yang berlalu lintas ramai. Kendaraan seakan lewat tanpa ada yang perduli tentang seorang perempuan yang tengah duduk bingung di dekat air mancur. Mereka berpacu, sama sepertiku kala itu. Mereka takut kehabisan waktu. Kelelahan, kadang bahkan mengantuk dan ingin rebah melepas letih,. Namun begitu banyak urusan dunia yang harus diselesaikan tanpa pernah bisa selesai. Kulangkahkan kaki. Ingin sekali bertemu Titi sahabatku. Begitu sampai di rumahnya dia baru saja selesai menjalankan ibadah sholat ashar. Kamu duduk beredua di beranda depan, menghirup kopi berdua seraya berbasa basi sejenak Aku mulai mempertimbangkan reaksi apa yang akan ditampakkan Titi seandainya aku menceritakan semua kejadian itu. Akankah dia terbelalak, atau berteriak, atau marah? Siapa tau, ada jalan terbaik bagiku yang akan disarankannya. Biasanya dia punya jalan keluar bagi setiap persoalan. Namun muncul lagi kebimbangan, bagaimana kalau dia malah melapor? Mati aku. Apakah mungkin dia tega? Ah, nafasku jadi semamin sesak. Punggungku kembali berkeringat dingin. Benar, matanya terbelalak saat aku menceritakannya secara runtut dan rincil. Bibirnya memucat pasi. Tercelangkap tanpa bisa berkata-kata. Terhenyak dia dengan nafas terengah. “Jadi...kaulah pelakunya” kedua matanya nyalang manatapku. “Kau Cuma becanda, kan? Kau hanya mau menakutiku?” Titi mencecarku sambil mengguncang bahuku kuat-kuat. Seakan tak mau percaya akan semua yang kuceritakan dengan suara terbata-bata. Aku menggeleng. “Jadi betul, kaulah yang menabrak mereka dan melarikan diri? Astagfirullahaladziim ...Sarah!” “Truck itulah yang menyalibku tiba-tiba dan aku ..aku membanting setir kekiri karena kaget...aku...aku...” “Kau kaget karena tidak konsentrasi. Kenapa? Kau mengantuk, lelah...Ya Allah, Sarah. Kalau begitu mau tak mau kau harus menyerahkan diri. Tak ada jalan lain.” “Tapi Ti, aku kan harus.....” “Aku tau. Pernikahanmu sudah dekat, Tapi harus bagaimana lagi? Kau tidak ingin jadi buronan, kan Sar?” Aku tertunduk. “Setelah menikah, lantas apa? Kau akan punya anak, bersekolah, lulus jadi sarjana pula. Hidup keluargamu bahagia dan sukses. Namun apa artinya bila semua itu kau lakukan diatas penderitaan orang lain, diatas penderitaan keluarga lain? Ingat Sarah, anak itu akan cacat seumur hidupnya, bapaknya mati.......!” Kudekap wajahku dalam satu bayangan yang mengerikan. Tidak, aku tidak mau hidup seperti itu. Demi Allah! “Karena itu, akuilah semuanya. Aku akan mengantarmu.” Hatiku makin tak menentu, mendadak saja wajah Tommy membayang jelas dimataku. “Ayolah Sarah, jangan jadi pengecut.” “Aku tak sanggup. Aku tak bisa.” Aku mulai menangis. “Sarah. Akuilah dengan hati jujur, bahwa kau telah menghilangkan nyawa orang,” “Aku tak sengaja!” ”Sengaja atau tidak, pengadilan yang akan menentukan.” Kurasakan kini sepertinya aku memang sedang sendiri. Bahkan Titi tak mampu memberikan aku jalan seperti yang kuinginkan, aku ingin dia mengatakan bahwa ini adalah sebuah ketidaksengajaan, musibah, aku bukan pembunuh, bukan, samasekali bukan! Pelan-pelan semua kejadian berputar kembali dalam ingatanku. Semuanya. Terlebih ucapan Titi, Bergema dan bergaung diteluingaku. Membelit, menuntur sebuah pengakuan bahwa benar aku adalah serupa pengecut yang tidak bertanggungjawab atas penderitaan orang lain yang kutimbulkan. Benar kata Titi< aku berjiwa kerdil. Masih pantaskah aku memiliki kebahagiaan setelah merampas kebahagiaan orang lain? Namun, haruskan aku menyerahkan diri, menyerahkan kebebasanku? Bukankah begitu banyak kasus tabrak lari tanpa seorangpun mengakuinya dan tak terungkap? Aku tak bisa menjabarkan perasaanku yang lebih dalam. Ketika kakiku kembali melangkah meninggalkan rumah Titi, senja mulai menebar. Sebentar lagi malam menggantikannya, dan suasana akan jadi gelap segelap hatiku. Akan pekat sekelilingku. Tiba-tiba terdengar suara adzan, aku jadi tertegun. Langkahku buntu. Alangkah aneh suara itu ditelingaku. Seperti suara tangis yang memanggil-manggil, lirih, sunyi, pasrah, dan penuh rindu. Dan aku terseret. Terasa ada yang lepas dar dada, entah apa. Kelopak mataku basah, Terbayang dimataku bapak itu terbaring sendiri, Kemudian dikafani, dan diselimuti kain batik.. Orang-orang berkumpul membaca doa, kemudian mengusungnya ke kuburan. Sekali lagi mereka berdoa namun kali ini lebih khusuk. Beberapa orang ada yang menangis diam-diam. Lalu jasad itu dimasukkan ke liang lahat yang sempit. Amat sempit. Kemudian gelap. Sebuah kegelapan yang abadi, gelap mati, kemudian....... kemudian,,,, Ah! Tidak. Aku tersentak Dingin malam merambati sekujur tubuhku yang basah oleh keringat. Pipiku lembab, mataku pedih. Sangat pedih. Ya Tuhan, apa yang telah kuperbuat ini? Buron? Kepengecutan yang menjijikkan! Jiwaku menggigil. Lamat-lamat seperti ada yang memanggil dan aku kembali bergetar, sangat kuat. Kuhapus sisa airmata dengan kasar. Kutepis semua bayangan dan harapan. Kulepas satu demi satu semua keinginan untuk hidup bahagia berkeluarga dengan kekasih tercinta, kubuang jauh-jauh. Kulepas. Kutepis. Dan kuambil satu keputusan: Menyerahkan diri. *** .

YANG TAK SEMPAT BERBUNGA

Sudah menjadi kebiasaan baru bagiku untuk selalu datang lebih pagi di perpustakaan. Semua itu kulakukan hanya karena keinginanku melihat Pang Jayadi datang dan melempar senyum samar kepadaku sebelum menenggelamkan wajahnya di depan PC dan setumpukan berkas. Aneh memang. Duduk disini, di belakamg meja yang tepat berada di depan meja Pang Jayadi, aku seakan dilahirkan hanya untuk menjadi ‘si pungguk yang merindukan bulan’. Bagaimana tidak? Setiap pagi cowok berhati batu itu seakan secara kebetulan lewat dan duduk di depan mejaku.dan ....puff, Lenyaplah wajahnya dibalik komputer dan setumpuk berkas. Seolah-olah dia adalah manusia manusia perunggu yang dingin tak berhati. Demikianlah selalu setiap pagi.. dia berjalan dengan langkah tegap dan cepat melintasiku seakan meluncur diatas skateboard tanpa ekspresi selain senyum samar di ujung bibir tipisnya. Diriku ini dianggap bagai pajangan tak bernafas. Astaga! Padahal, jujur saja, banyak teman di kampus tempatku kuliah aku dikatakan sebagai primadona, atau bunga kampus, maka melihat sikap Pang Jayadi yang demikian, aku jadi ragu. Benarkah aku masih bisa dikatakan bunga kampus? Sungguh mati, rasa bangga mendadak runtuh setiap kali berpapasan dengan Pang Jayadi. Agaknya aku sudah tak punya kekuatan daya tarik lagi bagi dia. Perlahan namun pasti, keinginan untuk mendapat sapaan lebih ramah dari ‘gunung es’ itu kian memudar, pupus begitu saja. Seperti biasa pula, pagi imi halaman parkir masih kosong. Tidak mengherankan apabila kemudian kudapati hampir seluruh pintu salle masih terkunci. Gedung tua yang luas itu masih lengang, Memang hari masih terlalu pagi. Jarum jam di pergelangan tanganku baru menunjukkan angka tujuh kurang sekian menit. Sepi dimana-mana, Maka jangan harap bisa menemukan mbak Wied, kepala perpustakaan, duduk di kursinya sambil tersenyum menyambut dengan ucapan khas berbahasa Perancis, “Bonjour, Mademoiselle.” Tanpa singgah ke ruang perpustakaan aku langsungmenuju ke bagian belakanggedung utama Pusat Kebudayaan Perancis untuk ,menemui penjaga, Biasanya pak tua yang ramah itu dengan senang hati akan membiarkanku membuka sendiri pintu-pintu ruang kursus termasuk ruang perpustakaan dengan menyerahkan segenggam anak kunci kepadaku. Saat itulah, di koridor seseorang menyapaku, “Bonjour, Mademoiselle.” “Bonjour,” balasku kaget. Sepasang mata biru yang cerlang menatapku penuh senyum. Keramahannya membuatku tergugah untuk menawarkan bantuan, “Ada yang bisa saya bantu, Monsieur?” tanyaku berbahasa Perancis. “Ya, terimakasih. Saya ingin menemui Philippe Galinier.” “Professeur du Francais yang baru datang dari Paris?” “Ya ya, betul.” Mata biru itu mengerjap senang. “Dia masih tidur,”sahutku menyesal. “Biasanya dia akan keluardari dalam ruang tidurnya sekitarpukul setengah delapan, Mereka, maksud saya Philippe dan Xavier Inglebert, mengajarpada pukul delapan hingga pukul sepuluh. Barangkali Anda bisa menunggu mereka di perpustakaan.” “Perpustakaan? Dimana itu?” “Di bagian kiri gedung utama. Saat ini masih tutup. Sebentar, saya akan mengambil anak kunci untuk membuka bibliotheque. Anda bersedia menunggu?” “Bien sure, avec plaisir. Dengan senang hati.” Sahutnya buru-buru. Rambutnya yang merah kecoklatan kian berguncang dan jatuh menutup sebagian keningnya, Kuteruskan langkah menuju paviliun yang khusus disediakan untuk para penjaga dan tukang kebun. Kemudian dengan menggenggam sekumpulan anak kunci yang kuterima daei pak tua, kami berdua berjalan beriringan ke perpustakaan. “Anda baik sekali,” katanya. “Terimakasih,” “Siapa nama Anda?” “Paramita.” Dia mengeja namaku perlahan dengan lidah asingnya, “Nama Anda bagus sekali,” katanya kemudian. Aku teretawa mendengar ucapannya. Dalam hati aku membenarkan. Namaku memang bagus, itu kata kebanyakan orang. Namun tak cukup bagus untuk menarik perhatian Pang Jayadi. “Dan siapa nama Anda?” tanyaku. “William. Andy William.” “Oh....” aku tak dapat menahan senyum lepas. “Mirip seperti nama....” “Penyanyi ?” “Yes.” Dia mengangkat bahu dengan lucu. “Itu barangkali karena mom and daddy menyukai penyanyi itu maka jadilah saya.” “Hahaha.... you must be kidiing,” tawaku. Dia menatapku dan tersenyum akrab. Aneh, mendadak aku menyukai mata birunya yang cerlang. Sepasang mata yang seakan mampu menyihirku, dan membuatku ingin berpaling dari bayangan sosok Pang Jayadi. Ah, sergahku dalam hati. Lupakan dia dong Mita...! Pang Jayadi teerlalu jauh dari jangkauanmu. “Mama saya juga suka Andy Wiliams< Itu penyanyi favorit mama saya. Kami punya banyak CDnya di rumah.” Kataku menghapus bayangan Pang Jayadi. “Kenalkan saya dengan mama Anda. Saya jamin, dia pasti juga suka sama saya,” Kami saling tertawa. “Anda dari United States?” “Ya. Kebetulan saya mengajardi PPIA. Kami< maksud saya, saya dan Phillippe pernah bersama-sama. Kami teman.” “Bagus.” “Bagus apa maksud Anda Paramita?” “Bagus untuk Anda dan bagus pula untuk semuanya. Bahwa untuk usia yang masih muda, Anda sudah keluar dari negerimu untuk mengajarkan bahasa Inggris yang baik dan benar di negeri orang. Bukankah itu bagus?” “menurut Anda begitu?” “Ya, menurut saya sih. Omong-omong berapa usia Anda ?” “Coba saja menebak.” “Mmmm..... sama seperti Monsieur Philippe...” Dia menahan tawa. Menungguku berpikir-pikir menerka usianya. “Sekitar dua lima?” “Salah.” “Tigapuluh?” “Hahaha.... salah semua. Come on, katakan dulu usia Anda.” “Tanpa berbelit?” “Ya. Menurut saya, usia Anda sekitar....itu.” “Apakah itu penting?” “Bisa penting bisa tidak.” Pada akhirnya kami tidak bisa menebak dengan tepat. Kendati aku tau, usianya tak lebih jauh berbeda dengan Philippe atau Xavier. Kalau dibanding=banding cowok-cowok pengajar dari negeri asing ini hampir sama umurnya. Wajah bule mereka juga saling mirip. Hanya saja mata dan hidung Andy lebih serasi dan pas bagi raut wajahnya yang terlihat lebih lembut dan manis. Dagunya adalah bagian paling mempesona, Rahang serta lekuk dagu TimothyDalton si ‘the best Bond’ membuatku kian terpesona. Kami masuk ke ruang perpustakaan. Kunyalakan air condition, dan membereskan berkas-berkas di meja mbak Wied. Kemudian kusorongkan kursi untuk Andy. “Jadi Anda bekerja disini?” tanya dia. “Semuda ini Anda sudah bekerja. Seharusnya Anda masih kuliah.” “Saya memang masih kuliah di sebuah universitas swasta. Dan satu hal Andy, saya tak lebih muda banget dari Anda.” “Oh...hohoh.” dia tergelak. “Baiklah. Saya akan tebak usia kamu. Duapuluh dua!” ujarnya tertawa-tawa. “He, bagaimana bisa Anda menebak dengan tepat?” “Siapkan taruhannya, “ “Brengsek ah!” “Hehe... Anda bilang apa?” “Sorry. Lebih baik tidak usah saya terejemahkan.” “Saya tau. Saya juga bisa bilang brengsek ah.” “Sial.” “D’accord, senang bisa mengenalmu nona. Bagaimana kalau nanti kita makan siang bersama? Aku traktir.” Kukerutkan kening, “Maksud Anda?” “Just you and me.” Saat itu tiba-tiba daun pintu terkuak. Sosok Pang Jayadi muncul ditengah bingkai pintu. Dia tertegun sejenak. Hunjaman matanya menusuk tepat di jantungku. Seakan aku dapat membaca apa yang tengah tersirat dibenaknya. Adalah sebuah teguran yang tidak terucap. Yang kemudian membuatku gemetar. Andy meluruskan pungggung, menoleh sekejap ke arah Pang Jayadi yang terseok menuju ke arah meja kerjanya. “Okay Paramita. Sebaiknya saya pergi menemui Philippe di kamarnya. Sampai nanti.” Kuikuti langkah Andy dengan pandangan mata. Sebelum dia mencapai halaman, kulihat Philippe dan Xavier telah ditemukannya. Mereka berpelukan dan tertawa-tawa..... Sebuah deheman membuatku berpaling ke arah suara itu. Pang Jayadi masih menatapku dengan gusar. Setumpuk buku disusunnya berkeliling di atas meja, merupakan dinding benteng yang seakan melindunginya dari serangan panah asmara gadis-gadis. Ingin kusapa dia dengan ucapan selamat pagi yang manis, namun sepasang mata diwajah bekunya itu sudah tenggelam dibalik komputer kesayangannya. Maka pupuslah keinginan dan harapanku untuk berbaik-baik dengan Pang Jayadi. ***** Andy mengaduk mie di depannya dengan sepasangsumpit yang masing-masing dip[egangnya dengan tangan kanan dan kiri. Hampir aku tak dapat menahan tawa melihat kecanggungannya mempergunakan sumpitnya. “Kamu belum terbiasa menggunakan sumpit. Mengapaa tak kaugunakan saja sendok dan garpumu, Andy?” Kami sudah terbiasa ber’kamu’ dan ber’aku’. “Ah, aku sudah biasa,” sahutnya. “Oh ya? Dengan ceceran mie di sekitarmangkukmu?” “Cuma sedikit. Tak apa-apa.” Mulutnya menelan segumpal mie dengan lahap. Kemudian tatkala menyadari tatapan mataku yang melotot ke arahnya, dia teretawa kecil. “Baru kusadari, matamu hitam dan besar,” katanya. “Seperti apa?” “Seperti bintang Timur,” jelasnya menahan tawa. “Wah. “ kumiringkan kepala. “Adakah bintang Timur di United States?” “Banyak. Tapi tak satupun bisa mengalahkan pijar dimatamu.” “Uf. Merayu,” “Merayu? Aku tak perenah merasa peerlu merayu gadis-gadis,” sahutnya sambil mendorong mangkuk mie ke tengah meja. “Percuma.” “Kenapa kaukatakan percuma?” “Hanya membuang waktu saja. Apalagi terhadap gadis semacam kamu.” “Kok aneh. Mengapa?” “Karena kamu terlihat sangat tegar dan mandiri. Gadis sepereti kamu tak akan pernah menyerah hanya oleh sebuah rayuan. Aku melihat, kamu seperti batu karang di tengah hempasan ombak. Ya, aku membayangkan begitu. Dan ketegaran itulah yang membuat aku jatuh hati padamu.” Kurasakan kedua mataku merebak. Entahlah. Menatap kebeningan matanya, kelembutan sikap dan tutur bahasanya, sesuatu yang hangat menjalar dalam relung hati. Tiga bulan bersama Andy membuatku jadi semakin tau bagaimana dia. Perlahan namun pasti bayangan Pang Jayadi kiaan kabur dari ingatanku meskipun setiap pagi aku selalu bisa memandangnya dari balik tumpukan buku-buku tebal di mejanya. Kusadari kemudian, kalau ternyataada seseorang yang datang dan mencintaiku apa adanya, mengapa pula aku harus mengejar-ngejar seseorang yang samasekali tak peduli kepadaku? “Mata gadis-gadis Asia pada umumnya membuat aku terpesona,” kata Andy memecahkan keheningan. “Seakan menyimpan misteri yang memikat bagi orang-orang asing sepertiku.” Kulipat kedua tanganku diatas meja, menatapnya dengan gemuruh dalam dada. Cemburukah aku dengan ucapannya? “Ceritakan,” kataku sedikit menahan kemarahan,”Berapa banyak gadis Asia yang telah kau pacari?” Andy teretawa lebar. “Kau pikir aku begitu?” “Habis, apalagi kalau bukan itu? Kebanyakan orang asing sepertimu sangat mudah memikat hati gadis-gadis Asia seperti aku.” “Seburuk itukah?” Kucoba melunakkan suasana dengan tersenyum tipis. Seharusnya aku tak perlu merasa buru-buru dicintai. Seharusnya! Sebab sejak dulu aku berpendapatbahwa orang-orang asing yang datang ke bumi pertiwi ini cepatsekali merasa jatuh cinta pada penduduk asli di tempat mana mereka ditugaskan. Boleh jadi hanya karena iseng atau kesepian. Dan apabila mereka kembali ke negeri asalnya dengan cepat mereka akan melupakan kisah cinta lokasinya di negeri asia seperti ini. Seperti aliran anak sungai yang mengalir deras ke hilir, cinta merekapun akan padaam bersama lenyapnya kami dari pandangan mata. Namum apakah Andy juga seperti itu? Ah! Rasanya tak percaya kalau diapun akan sama dengan laki-laki asing lainnya yang datang ke negeri antah berantah ini. Perasaanku jadi bergumul antara percaya dan tidak pada ketulusan har=ti mereka. Ini membuatku jadi terombang-ambing< Rindu dan bingung saling datang dan meerenggut menyeregap hati. Membuatku gamang. Melayang tanpa akhir. Kutarik nafas dalam-dalam dengan dada sesak. “Andy,” kataku pelan. “Aku kuatir kita ini masih terlalu pagi untuk bicara jauh mengenai hal-hal yang menuju kearah itu, yang menyimpang dari hubungan pertemanan kita, Kadang aku merasa kita ini belum pasti akan perasaan masing-masing. Aku juga bertanya-tanya, apakah perasaan yang tengah kamu rasakan itu Cuma perasaan persahabatan biasa?” “Bagitukah pendapatmu?” “Barangkali, Andy.” Kudengar hela nafasnya. Berat. “Dengar, Paramita. Aku tidak pernah bersungguh-sungguh seperti ini. Aku katakan ini sekadar kamu ketaui. Tidak percayapun, boleh. Namun aku akan tetap berusaha dan akan membuktikan kesungguhanku terhadap hubungan kita ini. Aku ingin memiliki seseorang, dan itu adalah kamu.” “Tapi...” “Sssst, sudahlah. Jangan bicaraapa-apa lagi.” “Aku hanya ingin tau lebih jelas tentang arti kata-kata itu.” “Tak perlu dijelaskan lagi.” senyumnya. Diraihnya tanganku dan digenggamnya erat. Senyumnya itu,... bahkan sampai matipun aku tak akan pernah bisa melupakannya. “Akan hilang keindahannya bila terlalu banyak penjelasan. Cava?” lanjutnya sambil tertawa. Kemudian dengan santai dia bangkit, berjalan ke kasir dan membayarsemuanya. Bayangan dirinya yang selalu memberi gambaran tentang optimisme yang tinggi seperti itulah yang tidak akan pernah kutemukan dalam diri laki-laki manapun di dunia. Bahkan sampai beberapa bulan kemudian saat terakhir perjalanan kami, aku mengantarkannya ke bandara Juanda, dia masih memperlihatkan ketegaran dan optimisme tentang hubungan kami. Setelah masa tugasnya selesai dia ingin menghabiskan masa cutinya dengan berkeliling Indonesia. “Aku ingin lebih mengenal tanah airmu, aku ingin lebih mencintai bukan hanya dirimu namun juga negerimu.” katanya sebelum memasuki gate 3 Bandara Juanda. ***** Hari-hari se;lanjutnya tanpa Andy kurasakan bahkan cinta itu semakin tumbuh di hatiku, Tanpa kehadirannya disisiku, tanpa menatap senyum dan kerjap bola matanya, aku jadi lebih sering disergap kesepian dan kerinduan yang tak bertepi. Mau tak mau aku harus mengakui betapa aku mencintainya. Cinta yang tumbuh perlahan demikian lembut dan dalam. Hingga pada suatu hari,........ Melalui interkom, Monsieur Ledoux memanggilku. Mbak Wied yang ikut mendengarpanggilan itu mengedipkan sebelah mata kepadaku. “Hati-hati,” ujarnya lucu. “..kamu pasti kena marah lagi.” Tetapi, ketika sudah berada di ruang direktur, jantungku serasa berhenti beredetak saat beliau menatapku tajam. Melihat aku tertegun di tengah bingkai pintu, Monsieur Ledoux mempersilakan aku duduk di hadapannya dan menyerahkan sepucuk surat yang sudah dalam keadaan terkoyak sampulnya. “Ini surat dari United States.” Katanya dalam bahasa Perancis tanpa prolog. Kubaca alamat surat di bagian depan sampul. “Tapi surat ini bukan untuk saya,” sahautku seraya mengembalikannya kepadaanya. “Memang bukan, Surat itu dari Madame William untuk saya. Beliau bercerita tentang puteranya yang bernama Andy. Diceritakannya bahwa Andy telah sampai di St Paul, Minneapolis. Mademoiselle Paramita, Anda tentu menegnal baik Andy William?” Detak jantungku berdetak tidak beraturan. Berpacu bagai kuda binal, berhenti, berpacu lagi, melompat hampir keluar dari rongga dada. “Ya, saya mengenalnay dengan baik.” Monsieur Ledoux menyandarkan punggung, kedua matanya meredup tiba-tiba. “Adayang harus saua sampaikan kepada Anda. Tentang Andy.” “Katakan saja, Monsieur.” “Meskipun berat bagi saya, saya akan menyampaikannya. Maaf.” Laki-laki berkacamata tebal dan berhidung besaritu terdiam lama sambil menundukkan kepala. Kemudian dia menambahkan cepat-cepat kalimatnya, sek=akan-akan ingin segera menyelesaikan sesuatu yang membuat sesak dadanya. “Teman Anda itu mengalami sebuah kecelakaan berat di tengah perjalanan dari Minneapolis ke St Paul. Kecelakaan itu terjadi hanya beberapa kilometer saja jaraknya dari tanah pertanian meereka.” Tanganku gemetar, Sekujur tubuhku menggeletar hebat. Betapa dahsyat berita itu menyambar kepalaku. Monsieur Ledoux menatapku dengan pandangan penuh simpati. Tapi sikapnya yang simpatik samasekali tidak mampu menghilangkan keterkejutan yang kualami. Tuhan, desisku tanpa suara. Berikan aku kekuatan menghadapi segala kepahitan yang bakal datang menghadang setiap langkahku. Kepasrahan memang menyakitkan. Tetapi apa dayaku selaik bersikap pasrah pada segala macam bentuk ujian yang Engkau berikan? Surat-surat maupun kartupos dan foto-foto Anda mereka temukan didalam kopornya, Sebetulnya jauh hari sebelum Andy pulang ke United States, ibunya sudah mengetaui hubungan kalian melalui telepon Andy dari Indonesia. Dan ibunya telah merestuinya. Sayangnya.....” Andy selamat, kan?” potongku tak sabar. Beberapa saat dia terdiam. Terlihat ragu. Namun kemudian dengan suara pelan dia menjawab, “Maaf Mademoiselle. Andy tewas seketika itu juga.” Suara penyampaian tentang kematian itu demikian santun, demikian pelan, namun kurasakan gelegarnya bagaikan samabaran halilintar. Memecahkan kepalaku. Memecahkan harapanku, meremukkan hatiku....ya Tuhan...! Mataku nanar menatap wajah direktur Pusat Kebudayaan Perancis di depanku. Nanar menatap dinding yang tiba-tiba kurasakan menyempit dan menghimpit raga. Wajah separuh baya berkacamata didepanku mengabur bersamaan dengan genangan airmata yang membanjir. Ingin kuteriakkan protes, ingin kumaki keadaan. Namun mul;ut ini terkunci rapat. Kering dan dahaga. Kuremas hati agar bisa ikhlas menerima semuanya. Kenyataan pahit yang terpapar di depan mata, menghadang jalan kehidupan dan membaurjan kesedihan menghapus kebahagiaan yang hanya selintasan lewat. Doa keselamatan yang selalu kupanjatkan setiap malam untuknya, ternyata tidak dikabulkan. Tidak ditanggapi semestinya. Lalu apa artinya semua ini? Tuhan telah mempertemukan aku dengan Andy, seseorang yang databng seakan dari langit yang berbeda, padahal kami memiliki langit yang sama birunya yang mana semua itu diceritakan oleh Andy melalui kartupos kartupos yang dia kirim dari Trunyan, Denpasar, Rinjani, Jogja, Bandung, Singkarak, Toba,........Tuhan pula yang membukakan pintu hatiku untuk menyambut kehadiran Andy, dan kini....Tuhan memanggilnya pulang. Mungkin tubuhku mulai merunduk dan nyaris jatuh dari kursi. Direktur berdiri dan memapahku pindah ke sofa besar. “Mademoiselle.....Anda tidak apa-apa?” Suara Monsieur Ledoux seakan bergaung dari dunia lain yang amat jauh. Begitu jauh dan asing. Kian lama kian kurasakan kesunyian menyergap di sekitarku. Wajah Monsieur Ledoux kian kabur. Pandangan mataku gelap seketika. ******

RAHASIA HATI AMEL

Hujan baru reda. Ada pelangi melengkung indah di ujung cakrawala. Merah muda hijau dan kuning, warna warna yang mengingatkan akan pelajaran di sekolah dasar tentang mejikuhibiniu. Gunadi meletakkan ransel ke lantai teras dan mulai mengetuk pintu. Setelah lewat lima tahun baru kali ini Gun melihatnya lagi. Tak bisa dibayangkan bagaimana wajah Melinda sekarang, sejak mereka putus hubungan lima tahun silam. Dulu gadis itu berambut panjang, sedikit ikal. Bermata cerlang dan menyorotkan rasa percaya diri yang mana menurut Gunadi terlalu berlebihan hingga sempat menimbulkan rasa jerih bagi setiap laki-laki yang memandangnya. Kini, bagaimana dia? Yang jelas, Gunadi mendengar kabar burung bahwa gadis itu belum juga mau menikah hingga saat ini. Apakah mungkin Amel – seperti itulah Gun memanggilnya- masih mencintainya? Atau memang sedang senang hidup sendiri meniti karir sebagai penulis kenamaan yang sering dipublikasikan media masa sebagai penulis kontroveadirsial yang sedang booming? Selalu menimbulkan kehebohan dan komentar miring pembacanya? Hebat? Pikir Gun. Tanpa suami, tanpa siapa-siapa dia bisa hidup mandiri dan berkecukupan seperti ini. Gunadi menghela nafas dalam sebelum kembali mengetuk pintu. Apa yang ditunggu Amel? Seorang raja kapalyang kaya raya? Atau seorang penguasa negeri? Kemudian kini di ruang tamu dalam temaram senja sehabis hujan. Amel meletakkan dua cangkir kopi dan kue-kue dalam toples-toples kecil nan manis, Kebetulan ada soesmaker kesukaan Gunadi. Amel me;lihat Gunadi keluardari kamar mandi sambil mengeringkan rambut dengan handuk yang disediakannya. Udara dingin dan kue yang disiapkan Amel membuat Gunadi teringat pada masa-masa kebersamaan mereka lima atau enam tahun yang lalu. Gun duduk meraih cangkir kopi, tertawa senang menatap Amel. “He, ternyata kau masih ingat kesukaanku Mel?” “Tentu dong.” Sahut Amel sekenanya saja sambil tertawa lebar. Sepasang matanya berbinar. Gun melihat. Sungguh mati tak ada tanda-tanda kesepian disana. “Kau masih ingat masa kita bersama dulu saat sama sama mengejar kunang-kunang di pematang sawah Haji Salim? “ Gun mencoba mengorek kenangan lama. “Kau juga mengejar bintang dan memintanya menularkan kecantikannya padamu, Hah. Mana bisa begitu.” Amel tersenyum. “Masa remaja.” Sahutnya. “Taunya cuma gula-gula dan es krim. Padahal dunia ini alangkah lengkap. Manis dan pahit si;ih berganti. Kadang berbaur jadi satu, tapi sungguh menyenangkan bahwa kita punya sesuatu untuk dikenang. Begitu, kan?” “Aku juga ingat kau pernah jatuh di kuda,” “Itu karena aku terpeleset ketika melompat turun!” “Karena kau bego banget naik kuda.” “Mana bisa !” Amel melotot. Ah! Indahnya mata itu saat melotot, saat marah atau jengkel, saat emosinya keluar, gumpalam es dalam sorot mata itu sekarang lumer. Membasahi hati Gun, membuat ingin sekali mengecup dan membuatnya kembali cerlang seperti dulu, “Kau buru-buru melompat dari kuda karena ngambek saat kukatakan hidungmu pesek,” Gun masih tetap menggodanya. Mencoba menggelitik kenangan lama. “Sampai saat inipun aku masih tetap pesek.” “Siapa bilang?” “Aku.” “Kau jauh lebih cantik sekarang,” “Oh ya? Terimakasih kalau kau sadar,” “Bahwa kau cantik?” “Sejak dulu aku cantik, sayang kau buta.” Uf! Gun tersedak. Segera Amel menyodorkan segelas air putih. “Kau masih tetap ingat semuanya,” kata Gun. “Kopi, soesmaker, air putih......” “Ge-er.” Gun terbahak, namun tiba-tiba dia melontarkan satu pertanyaan yang menyodok. “Kabarnya kau pacaran dengan boss-mu. Apa itu benar?” Amel mencibir, “Boss yang mana, maksudmu? Kau mendengarnya dari siapa?” “Jadi benar?” “Ngawur! Sekarang katakan, apa ada hubungannya dengan kedatanganmu kemari?” Gun terdiam. Dicomotnya soesmaker dan djgigitnya dengan nikmat. Yakin kue itu bikinan sendiri. Kelezatannya tetap sama dengan berthun-tahun yang lalu. “Soalnya,” lanjut Gun. “Aku pernah bertemu dengan beliau di Sorong. Kenapa pula kau tak ikut meliput berita disana bersamanya?” Mel menyandarkan punggung. Sepasang matanya mendadak kelam. “Itu urusanku,” jawab Amel. “Memang itu urusanmu, tapi bagaimana dengan orang ketiga?” “Orang ketiga?” “Akhirnya ketauan kau pacaran dengan orang lain, kan?” ‘’Bukan urusanmu,” Amel mulai jengkel. “”Kedengarannya aneh. “ Gun tertawa ringan, “Aku hanya ingin tau apa yang membuat kau tak juga menikah? Jangan terlalu banyak pilihan, kau akan terkejut saat menyadari watumu habis, Maaf Mel, aku masih menyayangimu dan tak ingin kau kecewa akan hidupmu nantinya,” “Kok kau yang jadi bingung sih? Usil bener, Ada apa sebenarnya?” Gun menghabiskan sisa kopinya. Lalu katanya lebih bersungguh-sungguh. “Aku hanya khawatir kau hanyut dan tak mampu berhenti dari keasyikanmu sendiri.” Amel menghela nafas panjang, Sadar bahwa Gun sebenarnya berniat baik. Kekhawatiran lelaki yang pernah menjadi dambaan itu membuatAmel berpikir, apakah mungkin dia masih menyimpan perasaan lebih dari sekadar sayang? Masihkan ada tempat di hatinya untuk Amel walau sekecil apapun itu? Ada getaran di hati Amel, namun segera diredamnya sendiri, dia belum tau apa maksud Gun datang setelah dirasakannya hatinya terlanjur gersang. “Sebenarnya,” kata Amel perlahan, “ ...sulit mengatakan aku adalah pemilih.Sebagai perempuan, aku adalah perempuan yang memiliki pendapat-pendapat sendiri. Otakku ini otak yang tak mau berhenti berpikir. Menurutku, jarang ada lelaki yang suka pada perempuan yang mempunyai pendapat terlalu banyak dalam rumah tangganya. Bagi sebagian besarsuami seorang istri yang mempunyai pendapat sendiri berarti pembangkangan, Hal ini aku lihat jugapada keluarga-keluarga lain pada umumnya, Umpamanya saja, tetangga sebvelah, Dia menceritakan bagaimana suaminya suka menamparbila dia punya pendapat sendiri yang tak sama dengan pendaPat suami.” Ah, Gun jadi merasa tak enak hati. Namun dibiarkannya Amel mengeluarkan seluruh isi hatinya, “Adakalanya perempuan berpikir,” lanjut Amel. “Mungkin akan jauh lebih baik kalau kita hidup sendirian. Tak usah mengurus suami, tak perlu memasak, tak perlu bangun untuk menyediakan kopi. Pokoknya bebas. Bebas dari segala pekerjaan rumah tangga yang tak kunjung selesai.’ “Keliru kalau kau punya pendapat seperti itu,” “Mungkin yang kubutuhkan lebih, tapi....” “Kau membutuhkan kehangatan, ketenteraman hati, kelembutam....” Senja makin gelap. Hujan tak juga mau reda, malam kian merambat datang, Gun mulai menyumpah-nyumpah sambil menatap hujan yangtetap tercurah dari langit, Rencananya dia ingin menemui Henggar, kekasih yang berbulan-bulan tidak bisa ditemuinya akibat berpisahnya kota tempat mereka bekerja. Dan akhir-akhir ini betapa sulit dihubungi. Lokasi pekerjaan yang berejauhan membuat hubungan jadi terhambat. Setiap kali ditelepon< Henggartak pernah menyambutnya, Makin hari Gun makin curiga, tak ada jalan lain, selain datang ke kotanya yang kebetulan sama dengan tempat tinggal Amel. “Hujaan terus. Kapan sih mau berhenti?” Gun mulai mengomel. “Kemarin-kemarin ini semua orang berdoa minta hujan,” kata Amel yang tengah duduk membaca koran sore. “Sekarang sudah hujan, orang pada menggerutu. Memang manusia itu maunya macam-macam, Kadang malah tak tau diri,” “Jadi buntu laku sih Mel!” “Memangnya kalau kena hujan, jadi lumer ya Gun? Iya Gun, lumer?” “Bukannya lumer, tapi dengan cuaca seperti ini gairahku jadi turun ke titik nol. Termasuk gairah untuk bertemu Henggar!” “Cepatlah berangkat kalau begitu. Pakai saja mobilku.” “Aku panggil taxi sajalah!” “sesukamulah Gun.” Singkat katam akhirnya Gun saampai di rumah Henggar. Lama dia menunggu pintu dibukakan kendati berkali=kali jemarinya memencet bel dipintu, Sementara tempias hujan mulai membasahi ujung celananya, Akhirnya daun pintu terkuak. “Oh kau....” Di pintu, Henggarmenatap kaget. Mundur beberapa langkah ketika Gun nekat menyeruduk masuk. “Aku kehujanan, Kau kaget ya? Mana Mama?” “Ke Jakarta.” “Semua?” “ya.” Ladalah! Dasar nasib lagi mujur. Hujan-hujan begini Cuma berdua sama pacar. Bukan main! Rejeki nomplok namanya. Tangannya terjulur hendak memeluk. Namun kebahagiaan itu mendadak musnah ketika dikejutkan oleh munculnya seseorangdari dalam. Seorang lelaki muda yang gagah dan tampan! “Ada tamu siapa?” lelaki itu bertanya sambil memeluk pinggang Henggar, Ragu, Hengga rmenjawab. “Kawan lamaku.” Gun merasakan telinganya berdenging, Kawan? Kawan lama, katanya? Sejak kapan aku jadi kawan lama? “Gunadi,” Gun menyebutkan nama ketika bersalaman. “Wang,” sahut lelaki itu, Telapak tangan Gun gemetardan mendadadk berkeringat. Saat itupun dia mengerti. Melihat tindak tanduk dan sikap penerimaan Henggar yang dingin dan hambar, mendengarbagaimana cara dia memperkenalkan dirinya pada lelaki bernama Wang itu, bagi Gun itu sudah merupakan isyarat bahwa dirinya sudah ditendang diam-diam. Pantas saja tak ada waktu baginya untuk sekedarmenerima telepon. Alasannya sibuk. Inilah rupanya kesibukan itu. Gun menatapnya dengan hati sakit. Dirasakannya kesunyian tiba-tiba membentang diantara mereka. Dan Gunadilah yang pertama memecahkan kesunyian itu. “Sorry bung, saya ingin bicara empat mata dengan nona ini.” “Oh, silakan,” Lelaki itu menyahut dengan lagak bajingan intelek. “Saya rasa tidak apa-apa. Antara kami tidak adarahasia lagi, Bukankah begitu ‘yang’?” Wang menambahkan. Henggar menunduk. Wajahnya pucat, Namun apa yang kemudian dia ucapkan justru membuat kulit wajah Gun jadi lebih pucat. “Apa yang akan kau sampaikan?” Tanya Henggar datar. Laki-laki muda bernama Wabf=g itu memandang enteng kearahnya, Dada Gun gemuruh. Lalu terdengar suaranya. Nadanya menakutkan bagi telinganya sendiri. “Dia ini siapa?” “Kau sudah mendengar tadi, Namanya Wang,” Api berkoba rmembakar kepala Gun, “Pacar kamu?” sergahnya. “Dia baru menamatkan sudinya di Jerman, Dia....” “Aku tidak perduli dia baru menamatkan studi di Jerman atau di hutan, yang kutanyakan dia ini pacar kamu atau bukan!” “...yyya..” “Dan aku ingin tau, siapakah ini?” Gun menunjuk dadanya sendiri. “Apa maksudmu?” “Benarkah aku kawan lamamu?” “Kenapa kau tanyakan itu?” Gun mencibir pahit, Akhirnya dia memutuskan. “Baiklah. Baiklah. Sandiwara yang tidak lucu ini memang harus diakhiri. Basa=basi inipun sudah tak berguna lagi,” Semua terdiam untuk beberapa saat, kemudian Gun menatap wajah wang dengan tajam. “Baiklah bung, cintai dia dengan baik-baik.Dan bila kemiudian kau menemukan kata-kata cinta di ponsel miliknya anggap saja itu dari seseorang yang iseng2 belajar menuliskan kata-kata cinta. Tak perlu dirisaukan, Tak perlu cemburu,” Kemudian Gun keluar, Hujan yang turun tak lagi dia rasakan. Dadanya panas. Pijar, Semakin dirasakan semakin dibayangkan semakin membara. Alangkah liciknya betina itu. Sebagai laki-laki dirinya sudah membatasi diri sedemikian rupa demi kesucian cinta. Padahal dia hidup dikota besarsemacam Jakarta yang selalu bergolak, kota yang tak pernah tidur, yang dengan gampang akan membawa lelaki-lelaki muda yang kesepian padasuatu jalan dimana nilai-nilai kesetiaan akan hancur digilas roda kehidupannya, Gun memang seorang laki-laki normal. Tetapi dia tetap menghormati arti kesetiaan didalam hidup. Dia menilai gadis miliknya terlalu tinggi, Menganggapnya bagaikan sebutir permata yang harus dijaga baik-baik keindahan dan keutuhannya. Harus dihormati Dn disetiKndengN SEPENUH HATI. Ternyata dialah yang berkhianat. Padahal ketika terjadi penundaan perkawinan karena Gun merasa belum siap secarafinansiil, tak bisa dihitung sedu sedannya, Dan penundaan itu belum lagi satu tahun dan cinta itu sudah mati. Betapa waktu telah mampu merenggutkan cintadari hati manusia, Gun terus berjalan. Diguyur hujan. Rambutnya basah kuyup. Berkali-kali tangannya menempiaskan hjan dari wajah, pakaiannya sudah sejak tadi basah, apa pedulinya? Hujan telah menyiram hatinya yang luka hingga terasa benar pedihnya. Berkali-kali dimaki orangkarena jalannya terlalu ke tengah. Apa pedulinya? Ketabrak mobil? Apa pedulinya? Yang jelas dia hanya basah, basah, basah. Namun Gun kaget sekali ketika menyadaribahwa matanya juga basah, Oh!Gun kemali menyipratkan air dari wajah, Tubuhnya yang tadi dia rasakan cukup kuat untuk mengadu tinju, kini pelan-pelan kehilangann tenaga, Ia berjalan dengan gontai bagaikan serdadu kalah perang, Ia tau kini semuanya telah selesai. Gila! Gun mengumpat sendirin lelaki yang kebetulan berpapasan dengannya dan kebetulan menatapnya sekejap. Ia tak peduli, Sungguh ia baru adaperempuan yang gila saat melihat laki-laki yang dianggapnya sukses, Melihat gelar yang didapat dari luar negeri, matanya jadi ijo! Melihat mobil mengkilat, matanya jadi ijo!. Melihat duit bertumpuk, matanya jadi ijo! Payaaah,,,payah, Tetapi bagaimana dengan Amel? Tanpa dia tau apa sebabnya wajah Amel-lah yang kemudian membawa langkahnya pulang. Melinda ternyatabelum tidur ketika Gun naik ke beranda, Dia masih masih asyik menyelesaikan tulisannya di depan komputer bahkan pintu depan tidak dikunci, maka dengan leluasa Gun masuk. Berharap ada pertanyaan atau komentaryang dilontarkan saat melihatair hujan menetes dari ujung celananya ke lantai,. Namun ternyata Amel diam saya, bahkan seakan tidak terganggu sama sekali melihat Gun basah kuyup mengotori lantai rumahnya. Dengan perasaan hampa Gun berjalan ke arah ruang tengah, berdiri tepat di depan Amel yang hanya menatapnya sekilas. “Sedap ya, berhujan hujan sama pacar.” komentarnya tetap asyik menulis, Gun teretawa pahit. Mengambil handuk dari rak dan mulai mengeringkan rambut, Tanpa semangat dia duduk didepan televisi yang masih menyala. “Mel,” katanya pelan. Amel menoleh. Matanya mengerjap indah, namun senyap, “Apa,” sahutnya karena lama Gun terdiam. “Kau belum mengantuk?” Amel menggeleng. “Tolong, kau punya obat sakit kepala?” Gun meremas-remas rambutnya. Amel bangkit meninggalkan kursinya dan ketika kembali dia menyodorkan aspirim dan segelas air putih kepada Gun. “Trims.” Amel masih berdiri mengawasinya selagi dia minum obat. “Tidurlah. Kau terlihat letih,” katanya. Hati Gun terasa semakin pedih. Untuk beberapa saat dipejamkannya mata. Berusaha keras menyembunyikan kepedihan yang membasahi mata. “Apa perlu kupijit?” tanya Amel khawatir, “Tidak. Tak usah.” Jawab Gun cepat. “Duduk sajalah disini, aku ingin mengobrol denganmu,” Amel duduk disebelahnya. Menggodanya, : “Kau genit sih, pakai hujan-hujanan segala.” Gun teretawa tanpa suara. “Kalau sakit lebih baik cepat tidur, ganti baju dulu.” “Hatiku yang sakit, Mel.” “Hatimu?” “Ya.” “Kenapa dengan hatimu?” “Sakit.” Amel tertawa. “Sakit hati obatnya bukan aspirin, tolol!” “Kepalaku juga sakit.” Sunyi sekejap. Lalu,: “Eh Mel....” “Kenapa dengan pacarmu, sakitkah?” “Dia berkhianat.” “Berkhianat?” “Ya.” Kembali sunyi. Hanya suara hujan yang kian gemuruh disertai guruh dan petir, Alampun seakan marah sama marahnya dengan hati paling dasar yang dirasakan Gunadi. “Mel, kenapa sih perempuan selalu silau oleh derajad dan kekayaan lelaki sehingga nilai-nilai kesetiaan harus jatuh dan dicampakkan bagaikan sampah?” Melinda tidak menyahut, dia bahkan berdiri untuk mematikan televisi. “He, mau kemana?” Gun menahan lengannya. “Tivi itu dimatikan saja. Tak ada acara yang bagus, dan kau perlu segera istirahat.” “Tidak usah, duduk sajalah disini.” Amel kembali duduk. Namun hanya duduk saja tanpa ekspresi, “Mel, berapa kali sudah kau patah hati?” “Sudahlah Gun tak perlu lagi kau ributkan. Saat ini kau sedang emosional. Tak perlu kita perbincangan soal cinta dan patah hati, terlalu cengeng bagi kita, susia ini kau masih saja bingung soal itu.” ‘Patah hati,...” Gun tertawa sumbang. “Baru sekali ini kurasakan betapa pedihnya hati yang dilukai. Kurasakan bagaimana pijarnya dibakar cemburu Apa yang harus kukatakan? Rasa-rasanya aku sudah tak ingin memulai lagi. Perempuan! He Mel. Pernahkah kau begitu benci kepada lelaki hingga menyumpahi mereka? Apakah kau juga menganggap lelaki seperti... seperti racun< ular biludak< atau setan belang? O tidak. Tidak mungkin. Matamu begitu bening. Senyummu tulus. Tidak sedikitpun nampak kebencian di dalamnya. Tidak dendam. Tidak juga sakit hati. Kau tidak seperti itu. Mereka itu perempuan matrek< gila harta, gila pangkat. Lebih-lebih bila mereka merasa dirinya cantik. Kau juga cantik< apakah kau....” “Gun, kau ini apa-apaan sih? Bicarangalor ngidul makin nggak keruan saja arahnya.” “Ayolah Mel. Untuk apa kau tutup-tutupi semuanya dengan kemunafikan semu seperti ini? Kenapa?” Amel diam tak mengacuhkannya. Dilipatnya tangan< berssidekap menahan dongkol di hati, orang ini, pikirnya. Ngomong apa sih dia? “Mel...” Amel berdiri. Berjalan masuk kekamar. “Mel.” Langkahnya terhenti. “Mel,...” suara Gun melunak. “kau tidak sedang menunggu raja kapal, kan Mel?” Amel menatapnya tanpa kedip. Dibawah cahaya lampu kedua mata beningnya berkilau, bibirnya bergetar . Gun melihat genangan dimata beningnya kian menggumpal. Perlahan dia mendekat dan dihapusnya cairan bening di pipi Amel. Sesuatu yang pernah hilang kini mendadak kembali memenuhi rongga dadanya. Mengisinya penuh. Begitu nyaman, begitu indah dirasakan. Gun meraih dan mengecup keningnya lembut. Dan ketika isak itu meluapkan kesedihan dari bibir Melinda, Gun merengkuhnya lebih dalam. Inilah cintanya, inilah kelembutan, inilah kehangatan yang selama ini lepas dari hati dan hidupnya . Amel merasakan dekapan Gunadi kian kuat, seakan-akan takut kehilangan sesuatu yang begitu berharga.. kecupan Gunadi pada keningnya sangat lembut. Ada kemudian yang berbaur dalam hati mereka. Cinta, kesetiaan dan airmata. **********