Kamis, 27 Mei 2010

TROWULAN (24)


TERBAKAR CEMBURU.
Perselisihan dengan Raki Keleng yang tersulut secara tiba-tiba pada akhirnya membuat hati Aryo Wangking jadi tidak tenteram. Dirasakannya ada sesuatu dalam sorot mata Raki Keleng yang membuat Aryo Wangking jadi gelisah. Setiap kali berpapasan dan bersitatap dengannya, perasaan Aryo Wangking bergetar. Dia rasakan, seperti berpapasan dengan serigala buas yang siap menerkam dan mencabik-cabik dirinya. Apabila dia berlalu dan meninggalkan Raki Keleng di belakangnya, dia merasakan sekujur punggungnya dingin membeku. Bulu kuduknya meremang dan kegelisahan akan terjadinya sesuatu yang mengerikan mendadak saja datang menyergap dan menyelinap di segenap relung hati.
Hal seperti it uterus saja berlangsung. Ada serigala yang mengintip, ada gadis manis yang seakan semakin demonstratip memperlihatkan kasmarannya kepadanya. Niken kian gigih untuk selalau bisa berdekatan dengannya, tak peduli pada sepasang mata serigala buas yang siap mencabik-cabik dagingnya. Ada saja hal-hal remeh dijadikan alasan agar bisa dekat dengannya di ruang pustaka yang sempit. Kadang bahkan dengan sengaja, gadis itu menempelkan payudaranya ke lengan Aryo. Atau memeluknya dari belakang, atau bersandar ke bahunya, atau….aaggghhhh! Pusing Aryo memikirkannya. Seakan-akan Aryo dihadapkan pada satu situasi yang sulit.
Hingga pada suatu siang, di ruang kerja itulah Niken bersandar ke dada Aryo yang tengah duduk menyadur di mejanya.
“Hari ini aku lelah sekali,” keluh Niken seraya menggeliatkan badan.
Aryo mendorong perlahan, dan memaksa Niken duduk lebih tegak di kursinya.
“Kenapa?” tanya Aryo.
“Entahlah. Perutku ini rasanya nggak enak.”
“Ada yang nggak beres, Ken?”
“Iya sih, kayaknya.”
“Sudah ke dokter?”
“Belum. Kau antar aku, ya?”
“Mmmm….”
“Kenapa? Keberatan?”
“Keberatan sih, enggak. Cuma sibuk saja belakangan ini. Mengurus rencana pernikahanku.”
“Dengan Rayun? Jadi, kamu dengan dia?”
Aryo tertawa tanpa suara.
“Memang kenapa kau tanyakan itu, Ken? Kami sudah saling mencintai, saling mengerti, dan dia mau kuajak menikah. Apalagi? Kdua orang tua dari dua belah pihak juga sudah merestui.”
“Menurutku, kau terlalu terburu-buru.”
“Maksudmu?”
“Yaaa….Masih banyak yang harus kau pikirkan sebelum memasuki jenjang pernikahan. Misalnya, latar belakang kehidupan kalian, status ekonomi kalian, gaya hidup, dan ah…masih banyak lagi hal-hal yang menurutku tidak cocok!”
Aryo melepas tawa lebar.
“Apa, yang tidak cocok? Kau cemburu, atau hanya berlebihan saja menilai sesuatu?”
“Cemburu? Jelas itu!”
“Ah, apa pasal?”
“Selama ini kau anggap apa hubungan kita ini, Yok? Aku kuatir, yang dikatakan Raki benar.”
“Apa yang dikatakannya?”
“Bahwa aku hamil.”
“kau gila!”
“Aku memang gila. Lebih gila lagi, kalaupun aku dihamili laki-laki siapapun dia, aku akan bilang kalau kaulah ayah dari janin yang ada di perutku ini.”
Aryo membereskan tas ranselnya, dan bersiap untuk pergi.
“Aku tak percaya kau berani mengakui kehamilan itu, kalau kau benar-benar hamil.”
“Oh ya? Begitukah pikirmu?’
“Ya, kau tak akan segila itu.”
“Aku sudah gila, tidakkah kau mengerti. Aku gila karena kau!”
“Niken…”
“Aku akan mengatakannya pada orang-orang bahwa kau, titisan Nambi, adalah laki-laki pengecut yang tak berani mengakui kebejatanmu.”
Wajah Aryo merah padam. Namun senyumnya masih mengulas di bibir.
“Sebentar lagi aku menikah, artinya, aku akan menjadi milik orang lain.”
“Itu nanti, bukan sekarang. Sekarang kau masih milik bersama. Kau boleh dengan Rayun, boleh juga denganku. Enak kan?”
Kini Aryo tak lagi bisa tertawa. Dirinya sudah merasa benar-benar tak nyaman lagi berada dalam satu ruang dengan Niken.
“Barangkali kau sudah benar-benar tidak waras lagi, Ken. Kau merendahkan dirimu sendiri.”
“Aku mau jadi tidak waras kalau itu karenamu.”
Aryo menatapnya tajam.
Dia mulai berpikir bahwa gadis itu sudah amat keterlaluan. Tetapi sebelum sempat berpikir terlalu jauh, tiba-tiba Niken sudah meraih kepalanya, menundukkannya dengan paksa dan memagut bibirnya dengan sergapan yang dahsyat. Bibir mereka saling bertaut. Niken membiarkan bibirnya mengulum, menghancurkan pertahanan Aryo wangking. Seakan tak memberi ampun atas segala dosa, menikam lidah hingga ke hulu. Bagai mengairi kemurnian madu.
Aryo Wangking tersentak tak sempat mengelak. Semua kekuatan dalam dirinya sirna bergelayut rindu. Kehangatan dan kekuatan yang dimiliki NIken membuyarkan niat-niat baik yang mulai diukir dalam diri dan jiwanya. Tubuh Niken yang panas bagai bara api tak bisa dipungkiri, lebih brutal dibanding kesantunan yang dimiliki Rayun Wulan. Niken Pratiwi adalah perempuan yang hidup dalam diri. Yang selalu lincah mengelak dari pelukan gemas dan gelap. Bersikeras mencari kepuasan yang tak pernah selesai.
Beberapa lama mereka saling mengulum dan meremas, ketika tiba-tiba pintu digebrak keras, mengagetkan keduanya.
Raki Keleng berdiri di tengah bingkai pintu dengan sepasang mata serigala yang siap menancapkan taring ke dalam daging busuk di depannya.
“Kalian lupa mengunci pintu,” ujarnya tandas.
Niken Pratiwi tergeragap.
Aryo Wangking menghapus bibir dengan punggung tangan. Rasanya bibirnya jadi kotor sekali, penuh dengan bakteri atau setan-setan. Kalau bisa, dia ingin menyayatnya dengan pisau cukur dan menggantinya dengan bibir yang lebih baru dan bersih.
Sambil menyambar tas ransel dari sandaran kursi, Aryo Wangking berjalan keluar. Ketika melewati Raki keleng, dia sempat berujar,
“Maaf, aku harus pergi.”
“Tunggu, Yok!” Niken berteriak memanggil.
Namun Aryo sudah melesat pergi ke ruang depan, dimana meja Rustam berada. Dia menghempaskan diri duduk di samping Rustam dengan dada sesak. Rasa malu dipergoki seperti itu ditambah dengan kekuatiran lain akan datangnya fitnah, membuatnya berkeringat.
Niken Pratiwi ikut bergegas keluar. Namun lengan Raki Keleng menahannya di ambang pintu.
“Biarkan aku keluar,” kata Niken tajam.
“Aku sudah melihat semuanya,” sahut Raki Keleng tak kalah tajam. “Aku melihat kalian berciuman dengan penuh gairah. Aku juga mendengar pembicaraan kalian, kalau kau benar-benar hamil karena…”
“Ya, aku hamil karena dia. Sekarang, apa maumu ha? Apa pedulimu?”
Raki Keleng tertawa pahit.
“Ya, apa peduliku? Tapi aku memang peduli. Tidak banyak. Aku Cuma ingin tau apa kau cukup jujur menjawab pertanyaanku.”
“Apa pertanyaanmu?”
“Kalau kau sudah hamil karena dia, apakah kau masih mau dijamah lelaki lain? Ingat Niken, akupun,…sekali lagi,…akupun pernah melakukannya denganmu. Apa kau yakin anak itu anak Aryo? Atau anakku? Atau anak lelaki lain? Ha?”
Kedua mata Niken membelalak.
“Kurang ajar!” desisnya menahan marah.
Segera tangannya menepis lengan Raki Keleng yang tengah menghalangi jalannya. Namun dengan sigap Raki Keleng menangkap tangannya, dan menariknya ke dalam pelukannya. Bibirnya menancap langsung ke bibir Niken Pratiwi. Menggilasnya dengan kasar dan brutal.
Niken Pratiwi meronta dan menampar wajah Raki Keleng dengan sebuah taamparan keras. Lelaki berkulit hitam itu tidak berusaha mengelak. Dia bahkan tertawa sinis seraya memperketat pelukannya. Seperti ular terjepit besi panas, tubuh Niken meronta, mencakar, dan menggelinjang. Sumpah serapah terlontar. Jerit tangis menambah suasana jadi sangat giris. Aryo dan Rustam berlari kebali ke depan pintu raung pustaka. Keduanya terkejut melihat keadaan begitu mengerikan.
“Raki! Raki! Lepaskan dia. Kamu sudah gila, apa? Raki! Lepaskan!” teriak Rustam.
Tanpa diulang, Raki melepaskan Niken sambil tertawa-tawa.
“Ada apa ini?” tanya Rustam kebingungan. “Kalian ini sudah pada sinting semua. Ini kantor, bukan pasar. Ribut melulu! Ada apa, sih?”
“He, Rustam!” jawab Raki Keleng kurang ajar. “Kau lihatlah dulu siapa yang salah. Apa aku salah mencium perempuan seperti dia? Dia ini, memang harus dikasari. Jujur saja, apa harus dibujuk, dibeli, dirayu? Tertawa meringis. Dia itu pelacur. Kamu dengar? Kalau ndak percaya, tanyalah si Brewok. Berapa lama dia mencengkam malam menghancur luluhkan sepi jiwanya? Mari. Kaupun bisa terengkam. Aaaah, kita ini sama saja. Tak ada beda antara kau, aku, maupun si Brewok yang dikultuskan itu. Semua laki-laki suka yang itu. Turut saja!”
“Kurang ajar kau Raki! Aku tidak terima dengan omonganmu itu!” teriak Niken keras.
Raki Keleng Cuma tertawa-tawa bak orang sinting. Dia kibaskan tangan ke udara bagaikan mengusir lalat. Menatap jemu ke wajah-wajah pucat pasi di sekitarnya. Kemudian dengan lagak tengik berlalu, meninggalkan Rustam yang berdiri kaku dengan wajah bingung, meninggalkan Aryo yang geram dan berkeringat, meninggalkan Niken Pratiwi yang menangis karena marah dan benci. Dia menempelkan dua jari le bibir dan melambaikannya kepada semua orang, seakan mengucapkan bye bye.
“Aku tidak terima,” isak Niken Pratiwi.”Aku benci ucapannya. Aryo, kau harus berbuat sesuatu, jangan diam saja dia mengata-ngatai aku seperti itu…”
“Ah, sudahlah. Lupakan saja,” sahut Aryo dingin.
Rustam membimbing Niken ke sebuah kursi tak jauh dari situ, mengambilkan air minum dengan menghiburnya dengan lembut.
“Sudah, Ken. Tenang saja. Kita semua tidak ada yang mempercayainya. Kita tau betul siapa dia, siapa dirimu, dan siapa Aryo. Raki itu memang tidak beres otaknya, untuk apa ditanggapi serius?”
Aryo menengok arlojinya.
“Sori, aku pergi dulu, Rus.”
“Kau mau kemana?”
“Nengokin rumah kang Empul. Sudah lama tidak dibersihkan.”
Rustam berdiri di depannya.
“Sebetulnya aklu mau minta tolong padamu, Yok.”
“Apa yang bisa kubantu?”
“Aku ingin pinjam kendaraanmu. Sebentar saja. Tadi bapakku menelpon, katanya ibuku sakit dan perlu diantarkan ke dokter. Kalau boleh…”
“Oh, boleh saja, Atau…mau kuantar?”
“Tidak usah, terimakasih. Aku Cuma butuh waktu satu jam saja, Rumah bapakku kan tidak jauh dari sini.”
Aryo Wangking mengambil kunci kontak dari saku celana dan memberikannya pada Rustam.
“Surat kendaraan ada dalam dompet kunci, Rus.” Kata Aryo.
“Terimakasih, Yok. Aku buru-buru.”
“Jangan lupa sampaikan salamku pada kedua orangtuamu. Semoga cepat sembuh.”
“Insya Allah akan kusampaikan. Yuk !”
Rustam berpamitan, bergegas ke halaman. Aryo mengantarkannya sampai di anak tangga depan museum. Setelah melihat Rustam naik ke atas jip, dia berbalik masuk. Namun tiba-tiba….
Blaaaarrrrr….!!!!
Ledakan yang amat kuat mengguncang dinding gedung. Refleks, Aryo melompat , bertiarap merapatkan badan ke lantai. Serasa ada bom jatuh dari langit. Bom? Kening Aryo berkerut. Benarkah itu tadi ledakan bom?
Beberapa kerikil atau pecahan besi terlontar ke teras museum. Ada beberapa yang jatuh ke punggungnya.
Perlahan Aryo menggerakkan kepala, menengok ke belakang, ke arah halaman gedung. Astaga! Lidah api yang cukup besar menjilat-jilat ke udara. Apa sih, yang terbakar? Kembali Aryo mengernyitkan kening. Beberapa detik lamanya, dia tetap tengkurap tanpa gerak kecuali kelopak mata yang berkedip-kedip tanda dia berpikir keras.
Setelah itu, dia berdiri, menoleh, dan ….ya Tuhan…!
Aryo berlari ke halaman, ingin menerobos lidah api yang menjilat garang. Jip! Jip itulah yang meledak. Meledak? Meledak karena apa? Sungguh Aryo tidak pernah menduga bahwa ledakan itu terjadi karena sebuah bom yang sengaja dipasang di bawah mesin.
“Rustam!....Ya Allah, Rustam…!”
Aryo sudah ingin melompat ke dalam kobaran api kalau saja tidak ada tangan-tangan kuat para karyawan lain yang menahannya.
Tanpa sadar, Aryo menangis keras, berteriak, menggeram, menggerung….
Tak jauh dari tempat berkobarnya api, Raki Keleng menggertakkan gigi. Percobaan pembunuhan atas Aryo Wangking telah gagal. Yang mati justru Rustam, karyawan paling baik di dunia. Karyawan yang penuh dedikasi. Yang rela hidup pas-pasan hanya karena kecintaannya pada benda-benda kuno bersejarah.
Dia segera menghubungi Pamugaran melalui ponselnya yang baru dibelikan pelukis dari Gianyar itu.
“Berhasil?” tanya Pamugaran dari seberang sana.
“Gagal, Boss.”
“Bagaimana bisa, bukannya kau bilang pasti berhasil?”
“Sori Boss, ini semua di luar skenario.”
“Apa maksud kamu?!”
“Tanpa saya duga, seseorang meminjam jip itu. Jadi,…’
“Brengsek!”
“……………”
“Terus, sekarang bagaimana.”
“Kita coba lagi dengan cara lain.”
“Baik. Tapi saya nggak mau gagal lagi. Temui saya di tempat biasa, besok, dengan jam yang sama.”
“Baik.”
Raki keleng memasukkan ponsel barunya ke saku celana. Berdiri termangu memandang sisa kobaran api. Disaksikannya beberapa orang berusaha keras memadamkan api, Bibirnya yang kehitam-hitaman akibat nikotin, tersenyum tipis. Paling tidak, dia sudah berhasil meremukkan hati Aryo Wangking dengan tewasnya salah satu sahabat baiknya itu. Rasakan kau, Aryo! Sebentar lagi, tidak lama lagi, kau akan menyusul kea lam baka!
Aryo Wangking terduduk lemas menyaksikan beberapa karyawan tengah berusaha memadamkan api. Pemadam kebakaran sudah diberi tau lewat telepon, juga sudah melaporkan kejadian itu ke polisi. Tinggallah Aryo menatap kuyu sisa kobaran api yang menggosongkan sahabatnya tanpa mampu berbuat apa-apa lagi.
Matanya sembab. Bibirnya kering.
Rustam, rintihnya dalam hati. Ibumu sakit, Rus. Apa yang harus kukatakan kepada beliau tentang kematianmu ini? Apa? Bagaimana harus kuhadapi bapakmu? Sanggupkah aku mengabarkan tragedi ini kepada beliau? Kalau bukan aku, lalu siapa?
Aryo menghapus air di sudut mata dengan kasar. Sakit hatinya. Sakit sungguh! Sebetulnya dia sadar, bom itu diperuntukkan dirinya, bukan Rustam. Mengapa justru Rustam yang kena? Ya Allah, ya Robb…semua itu akan tetap menjadi rahasiaMu. Dan hanya Engkaulah yang tau bahwa kejadian ini sudah Kau rencanakan.
“Mas Aryo, polisi sudah datang.” Seseorang membangunkannya dari kesedihannya.
Aryo mengangguk lemah. Berdiri dengan lemah. Berjalan dengan kaki lemah.
“Suruh mereka ke ruanganku,” ujarnya pelan.
“Ya, mas.”
Aryo terus berjalan, melewati meja Rustam, berhenti sejenak dengan dada perih. Kemudian meneruskan langkah ke ruang pustaka. Sepi, suram, gelap. Niken entah kemana. Yang ada cuma kegalauan yang membelit dan kesedihan yang tiada tara.
Selamat jalan Rus. Semoga jalanmu lapang.

(Berlanjut ke episode depan)

TROWULAN (23)


SEBUAH RENCANA.
Sebuah mobil mewah masuk ke halaman museum. Raki Keleng memicingkan mata, mencoba melihat dengan jelas siapa yang ada di dalamnya. Sementara itu tangannya tak pernah berhenti mencungkil geraham dengan sebatang tusuk gigi. Tungkai kiri diangkat ke atas paha kanan. Duduk bersandar di kursi depan museum dengan hati kesal, Raki Keleng seakan mendapat tontonan mengasyikkan tatkala dari mobil itu turun seorang pria keren dengan T-Shirt ketat warna hitam celana krem, dan sepatu yang ‘wah’ berwarna senada.
Ya, Raki Keleng memang sedang merasa uring-uringan, sebab sudah sejak tadi Niken tak juga mau keluar dari ruang pustaka. Gadis itu ada di dalam bersama Aryo. Itu, yang membuatnya kesal setengah mati. Kekesalan itu mendadak harus disingkirkan ketika pria keren itu naik ke beranda museum. Pria itu mengangguk sopan, dan melempar seulas senyum kepadanya.
“Selamat siang,” ujarnya menyapa.
Raki Keleng berdiri dari kursi pelan-pelan seakan-akan terperangah. Sepasang mata pekat miliknya menatap lekat tamu yang datang. Seperti terkesima, dia membalas senyum pria itu.
“Sebentar,” kata Raki Keleng. “Bukankah Anda Dewa Pamugaran? Ya, ya. Tebakan saya pasti tidak salah. Andalah pelukis yang terkenal itu, kan?”
Pria tampan yang ternyata memang Pamugaran, mengulurkan tangan mengajaknya bersalaman. Raki keleng cepat-cepat memindahkan rokok dari tangan kanan ke tangan kiri, membersihkan tangannya pada belakang celana, lalu bergegas menerima uluran tangan Pamugaran.
“Saya memang Pamugaran, apa kabar?” kata Pamugaran luar biasa ramah. Membuat Raki Keleng semakin terperangah.
“Saya baik-baik saja. Terimakasih. Nama saya Raki Keleng. Saya sudah membaca semua berita tentang sampeyan di Koran. Wah, sampeyan memang hebat. Lukisan sampeyan juga hebat. Harganya pasti tinggi, bahkan dibeli juga oleh orang bule, hehehe.”
Pamugaran tersenyum mendengar pujian panjang itu. Ia justru berpikir, orang ini pastilah teman Aryo Wangking. Kata-katanya itu barangkali sebuah sindiran, sebab tidak mungkin orang ini tidak tau soal perkelahian di apartemen tempo hari.
“Sampeyan mencari siapa?” tanya Raki Keleng ketika melihat Pamugaran celingak celinguk ke arah dalam.
“Saya mencari Niken Pratiwi.” sahut Pamugaran.
Raki Keleng mengerutkan kening.
“Ada perlu apa, sampeyan mencari Niken?”
“Cuma sebuah urusan kecil. Dimana saya bisa bertemu dengannya?”
“Sori, dia sedang sibuk.”
‘Sibuk?”
“Ya, di ruang pustaka bersama Aryo Brewok. Kalau sampeyan nekad masuk, ketok dulu pintunya. Tuh, pintu ruang yang di sebelah Barat itu. Pintunya terkunci dari dalam. Silakan saja.”
Pamugaran tertegun.
Dia merapatkan bibir dan berpikir. Bagi Pamugaran, laki-laki bernama Raki Keleng itu terlihat sekali tidak menyukai Aryo Wangking. Apakah dengan sikap sinis seperti itu dia berusaha memberitakan sebuah gasip murahan, bahwa ada hubungan istimewa antara Aryo Wangking dan Niken Pratiwi? Bagaimana tidak? Laki-laki itu seakan tengah mencurigai keberadaan Niken dan Aryo Wangking yang tengah berdua saja di ruang pustaka yang tertutup rapat. Perasaan cemburu yang tergambar dengan sangat jelas pada sikap, gerak bibir dan ucapan. Kemudian kekesalan itu seakan dengan sengaja ditiupkannya kepada Pamugaran. Jadi, apa maksudnya dengan memperlihatkan kecemburuan dan kebenciannya pada Aryo wangking kepada dirinya?
“Ha! Sampeyan pasti sedang berpikir ke arah sana,” kata Raki Keleng tiba-tiba seraya membuang puntung rokok ke halaman.
“Saya justru tidak mengerti maksud sampeyan, Mas.”
“Masa?”
“Betul, saya tak mengerti sebetulnya ada apa dengan… Yang sampeyan maksud…”
“Main!”
“Main? Maksud sampeyan…?”
“Kita ini bukan anak ileran, Mas Pamugaran. Kita sudah tau apa maksudnya. Jangan pakai pura-pura…!”
Pamugaran berkacak pinggang, tertawa dalam hati. Siapa yang tidak tau? Tapi mana mungkin begituan di kantor. Itu Cuma fitnah saja dari orang yang lagi kesel dan sedang dibakar perasaan cemburu.
“Baik, baik. Jadi saya harus mengetuk pintu kalau ingin menemui seseorang di sini, begitu maksud sampeyan?”” tanyanya kemudian.
“Tidak semuanya. Lihat saja, cuma satu pintu. Ruang itu saja.”
Raki keleng menyulut sebatang rokok, lalu menghisapnya dalam-dalam.
“Sebab,” lanjutnya sambil mengebulkan asap dari mulut dan hidung, “…ada dua orang penting di dalamnya. Yaitu Aryo Brewok dan Niken Pratiwi. Dan pastinya sampeyan ingin tau mengapa pintu itu tertutup rapat?”
“Karena mereka…main?” tanya Pamugaran menahan tawa.
“Ya, sampeyan akan malu sendiri kalau lupa mengetuk, karena akan menyaksikan sebuah adegan yang sangat jorok!”
“Ah, sampeyan terlalu mengada-ada.”
“Sampeyan nggak percaya? Ya silakan saja dicoba. Itu, disitu, ruangannya terlihat dari sini. Silakan saja!”
Pamugaran menatap dengan pandangan aneh. Dia melihat ke dalam, ya, memang di ujung Barat ada sebuah ruangan dengan pintu yang tertutup. Percaya nggak percaya, Pamugaran mendadak dirasuki rasa tak suka melihat ke arah pintu itu. Tumbuh satu pertanyaan dalam hati, kalau memang omongan orang ini benar, apakah lelaki semacam ini yang di inginkan Rayun menjadi calon suami? Lelaki yang tidak setia. Terbukti dia sudah meninggalkan Niken, tetapi sekarang berselingkuh pula setelah menjadi kekasih Rayun. Taukah Rayun, bahwa lelaki jagoannya itu ternyata suka main perempuan? Bukankah Niken pernah bilang, bahwa mereka adalah sepasang kekasih, dan menantangnya untuk membuktikan dengan cara bertanya pada semua orang tentang kebenaran kata-katanya?
“Akhir-akhir ini mereka memang lebih akrab,” kata Raki Keleng tiba-tiba. “Sampeyan sudah lama kenal Aryo Brewok?”
“Belum.”
“Saya sudah bertahun-tahun mengenal dia. Saya tau betul siapa dia!”
“Sampeyan tau banyak tentang dia?”
“Tentu saja. Saya tau dia luar dalam. Memang, kenapa?”
“Jadi benar, mereka adalah sepasang kekasih?”
Sebelum menjawab pertanyaan itu, Raki Keleng tertawa miring.
“Soal itu, sori, saya tak mau menjawab.” sahutnya kemudian.
“Oke, kalau demikian, rasanya lebih baik saya pulang saja.”
“Loh, kok begitu? Sampeyan nggak jadi masuk?”
“Lain kali saja. Permisi.”
“Eh, eh. Tunggu.”
Pamugaran menghentikan langkah. Dia menunggu saat Raki keleng mendekatinya.
“Sebaiknya kita keluar dari sini,” kata Raki Keleng. “Saya ingin ngobrol dengan sampeyan mengenai Aryo Brewok. Tetapi jangan di sini. Bagaimana kalau kita cari tempat lain yang enak untuk bicara?”
Pamugaran mengikuti saran dan permintaan Raki Keleng. Mereka berdua berjalan menuju mobil dan masuk ke dalamnya. Tanpa banyak bicara, Pamugaran menghidupkan mesin. Mobil mewah itupun kemudian meluncur perlahan ke jalan raya. Mereka mencari sebuah rumah makan tak jauh dari Museum. Setelah memesan makanan dan minuman, Raki Keleng membuka pembicaraan dengan serius.
“Sebetulnya saya sudah tau bahwa sampeyan punya masalah tersendiri dengan Aryo Brewok,” katanya.
“Sampeyan juga membaca berita dalam Koran itu?”
“Ya. “
“Dan sampeyan percaya?”
Raki Keleng tertawa.
“Saya percaya. Sayang sampeyan tidak pernah menggunakan hak jawab sampeyan. Jadi saya pikir, berita itu benar seratus persen. Tapi,…sudahlah. Bukan itu tujuan saya membawa sampeyan kesini. Sebetulnya, orang-orang di daerah sini sudah tau semua tentang cinta segitiga kalian, antara sampeyan, Aryo Brewok dan penulis dari Surabaya itu. Tentu, itu dikarenakan kalian adalah merupakan public figure. Jadi ndak heran kalau berita itu justru mengganggu pribadi maupun karir sampeyan.”
Raki keleng menyulut rokok sejenak, menghisapnya dalam-dalam, kemudian menghembuskan asap dari mulutnya.
“Begini, Mas,” lanjutnya. “Sebaiknya saya to the point saja. Kita ini bernasib sama. Karir dan nama baik sampeyan telah rusak karena ulah si Aryo Brewok itu. Hubungan percintaan sampeyan dengan rayon Wulan boleh dikata sudah hancur-hancuran. Sementara itu, hubungan saya dengan Niken Pratiwipun sudah bubrah karena dia. Maka…”
“Sebentar,” potong Pamugaran cepat. “Jadi sampeyan dan Niken pacaran…?”
Raki Keleng mengangguk kuat.
“Bisa dibilang begitu, kalau saja Brewok tidak terlalu mencari-cari perhatian Niken Pratiwi dengan lagak dan gaya yang sok pahlawan itu.”
“Tetapi saya mendengar sendiri dari Niken bahwa dia dan Aryo adalah sepasang kekasih.”
“Itu karangan dia saja. Lebih parah dari itu, mereka itu justru menuduh saya sebagai pengganggu. Mereka selalu menghina dan menuduh saya yang bukan-bukan tanpa mempertimbangkan perasaan saya sama sekali. Bahkan kini semakin menjadi saja lagak mereka. Kantor ini mau dijadikan apa? Setiap saat selalu bermesraan, ngendon dalam ruangan tertutup berdua-duaan. Siapa yang ndak keki, coba!”
“Saya tau bagaimana rasanya ceemburu,” kata Pamuagaran. “Tapi bagi saya, kecemburuan itu tidak ada apa-apanya disbanding karir yang hancur seperti yang sedang saya alami ini. Sungguh, saya tidak terima. Karir ini sudah saya rintis sejak saya berumur delapan belas. Begitu nama saya booming, tau-tau dia menghancurkannya begitu saja.”
“Barangkali karena sampeyan kurang hati-hati. Kedekatan sampeyan dengan Rayun Wulan kurang matematis. Bisa juga karena sampeyan sedang sial saja maka peristiwa itu tiba-tiba masuk Koran.”
“Sayapun tidak mengerti, bagaimana nyamuk-nyamuk pers tau dan datang ke apartemen saya? Apa ada yang memberi tau mass media?”
Raki Keleng menahan tawa di bibir.
“Mungkin saja begitu, siapa tau?” tanya dia balik.
Asap rokok terus mengepul. Sejak tadi Pamugaran memperhatikan, Raki Keleng tak henti-hentinya menyulut rokok. Begitu tinggal seujung jari, dia akan menarik lagi sebatang rokok dan menyulutnya. Terus begitu, dari satu batang rokok ke batang rokok lainnya. Asap terus mengepul dari lubang hidungnya, persis seperti asap lokomotip.
“Saya punya usul,” kata Raki Keloeng tiba-tiba.
“Apa itu?”
“Bagaimana kalau kita habisi saja si Brewok itu?”
“Ah! Jangan berlebihan.”
“Menurut saya itu tidak berlebihan,” ujar Raki Keleng dengan sudut bibir naik ke atas. Lanjutnya lagi,
“Dia telah melakukan sesuatu yang sangat buruk terhadap kita. Sampeyan telah kehilanagn karir samapeyan. Sayapun demiukian. Perasaan saya kepada Niken yang sudah saya bangun selama bertahun-tahun, harus kandas di tengah jalan. Sering dia bersikap baik kepada saya, kalau lagi marahan sama Aryo Brewok. Kalau sudah berbaikan, dia berubah jadi judes kepada saya. Demikian berulang-ulang. Lama-lama saya berpikir, dia menganggap saya ini apa? Ban serep? Mau dibawa kemana hubungan kami ini? Perasaan saya dipermainkan seenaknya oleh mereka. Saya laksana tambal butuh baginya. Selama berhari-hari saya berpikir, apa ndak lebih baik kalau saya habisi saja?”
Pamugaran menyandarkan punggung ke belakang.
Menurut penilaiannya, Raki Keleng adalah tipe anak muda yang terlalu menggebu-gebu. Bicaranya ceplas-ceplos, tidak berpikir panjang, temperamental, namun terbuka dan berwatak kasar.
“Menurut sampeyan, gimana caranya?”
Raki Keleng mendekatkan bibirnya ke telinga Pamugaran.
“Dengan bom,” bisiknya.
Pamugaran terlonjak kaget.
“Bom?” jeritnya tertahan.
Pamugaran langsung tertawa ngakak. Bom, katanya! Pastilah anak muda ini suka sekali dengan hal-hal yang sensasional. Dan pastilah dia amat suka menonton acara criminal di televise.
“Ya! Dengan memasang bom, di mobilnya!” tegas Raki Keleng tanpa memperdulikan tawa ejekan Pamugaran.
“Oh ya? Gimana cara sampeyan memasang bom di mobilnya? Sampeyan bisa?” ujar Pamugaran masih dalam sisa tawa.
“Akan saya pikirkan. Saya punya teman yang bisa mengajari saya. Bom itu akan meledak begitu mesin dihidupkan. Kunci kontak diputar, lalu….bummm…!”
Di ujung kalimatnya, Raki Keleng tertawat ngakak.
Pamugaran tersenyum lebar.
“Jangan-jangan teman sampeyan itu teroris.”
“Ndak masalah, teroris atau bukan, saya ndak peduli. Kalau perlu dia yang merakitkannya untuk saya pasang di kendaraan Brewok. Yang penting, jangan sampai ketauan orang pada saat memasangnya.”
Hmmm. Pikir Pamugaran tersenyum dalam hati.
Pintar juga anak itu merencanakan sebuah kejahatan. Tetapi apalah arti kejahatan selain sebuah kebaikan yang tersiksa oleh lapar dan hausnya sendiri? Sebenarnya, jika kebaikan itu menanggung kelaparan, dia akan mencari makanan walau sampai ke lorong gelap. Dan apabila dia dahaga, dia akan minum walau yang direguknya adalah air beracun.
“Boleh juga rencana sampeyan itu,” kata Pamugaran sambil mengusap dagu yang tidak gatal.
“Jadi, sampeyan setuju?”
“Begini saja, susunlah rencana itu dengan seksama. Saya bukan hanya setuju, tetapi bahkan sangat mendukung pada segi pendanaan. Maka pikirkanlah dengan lebih cermat. Berapapun biayanya, saya bantu.”
“Bagus!”
“Saya tunggu sampeyan besok, di tempat ini?”
“Jam berapa?” tanya Raki Keleng.
Pamugaran menengok arloji di pergelangan tangannya.
“Sama seperti sekarang,” sahutnya. “Jam empat. Akan saya bawakan dananya.”
Raki Keleng tertawa lebar. Dia berdiri dan mengulurkan tangan kanannya.
Pamugaran berdiri, menyambut tangannya dengan hangat dalam sebuah genggaman kuat yang sedikit meremas. Raki Keleng membalas jabat tangan itu dengan tak kalah hangat, tanda kesepakatan yang sudah terjalin.
Sebuah senyum misterius mengambang di sudut bibir Pamugaran.

(Bomnya meledak di episode berikutnya.)

Sabtu, 15 Mei 2010

TROWULAN (22)


SERIGALA JAHAT.
Tiba-tiba saja Niken kembali merasakan perutnya mual. Entah kenapa, suasana dalam gedung itu membuatnya pusing dan mual. Maka dengan bergegas dia berlari ke toilet.
“Hei, kalau jalan jangan pakai ngelamun dong!”
Sebuah suara keras menegur kasar dari arah lorong museum. Niken tau, itu adalah suara Raki Keleng
“Ah, kamu!”
“Dari mana saja?” tanya Raki Keleng lagi.
“Kau melihatnya sendiri, aku mengantar tamu. Rustam ada?”
“Ada di dalam. Siapa sih, dia?”
“Dewa Pamugaran.”
Niken Pratiwi berjalan terus. Sementara Raki Keleng mengekor di belakangnya. Raki Keleng juga seorang arkeolog, sama seperti Aryo Wangking maupun Niken Pratiwi. Namun dia tidak bekerja di museum. Dia hanya senang saja datang dan pergi ke tempat itu mengejar-ngejar Niken Pratiwi. Dia bisa ada dimana saja. Kadang cuma menginap di pendopo Siti Hinggil, kadang tidur di Troloyo. Raki Keleng, lelaki bertubuh kecil, hitam dan berambut keriting itu sering berangan-angan bisa mempersunting Niken Pratiwi sebagai isteri bila suatu saat berhasil menjadi ‘orang’. Namun angan-angan itu ternyata tak semudah yang dia bayangkan. Sebab ternyata Niken Pratiwi sama sekali tidak tertarik untuk menjadi isterinya.
Dulu memang, pernah mereka sangat dekat. Namun entah kenapa, lama-lama Niken jadi muak kepadanya. Mungkin saja kemuakan itu muncul karena Raki Keleng tidak punya pekerjaan tetap, kasar, brutal, dan suka ‘nyepi’ ke tempat-tempat wingit. Laki-laki itu sering bercerita kesana kemari, suatu saat akan menemukan harta karun berupa keris, atau mas perak dari tempat-tempat wingit sekitar Trowulan. Niken sering menyebutnya gila. Namun dengan penuh percaya diri, Raki Keleng selalu sesumbar, keris berluk tiga belas itu pasti akan dia peroleh, dan itu harganya sangat mahal.
Memang, ternyata cita-cita menemukan keris berluk tigabelas itu pernah berhasil dia dapatkan. Keris itu memang terlihat sangat ampuh. Apalagi benda pusaka itu dia dapatkan sesudah mengadakaan penghayatan (samadi) selama tiga hari tiga malam nonstop di Makam Panjang, yang diyakini orang sebagai kubur Syech Syaid Donopuro, di dusun Ungguh Ungguhan.
Konon katanya, keris itu diminta oleh seorang pengusaha kapal di Surabaya dengan ‘mas kawin’ sebesar limapuluh juta rupiah. Sayangnya, uang itu dilipatgandakan di meja judi oleh Raki Keleng hingga mencapai tujuhpuluh juta rupiah. Barangkali nasibnya sedang baik, sehingga dalam sekejap mata saja, Raki Keleng berhasil mendapatkan uang sebesar itu di meja judi. Oleh Raki Keleng uang tersebut dijanjikan untuk beaya pernikahannya dengahn Niken Pratiwi. Tetapi Niken Pratiwi menolaknya mentah-mentah. Uang tersebut lama kelamaan habis juga entah kemana, tak keruan juntrungannya. Dan Raki Keleng tetap begitu-begitu saja tidak pernah berubah menjadi ‘orang’ seperti keinginannya, bahkan menurut kata orang, lelaki itu kian lama kian tidak beres saja. Dia berjudi, minum, dan main perempuan.
Raki Keleng terus mengikuti langkah Niken Pratiwi hingga ke pintu toilet.
“Apa aku mengenalnya?” kejarnya.
“Mana aku tau kau mengenalnya atau tidak,” sahut Niken.
“Sepertinya aku pernah mendengar nama itu, dimana ya?”
Niken masuk ke toilet dan menutup pintu rapat-rapat. Terdengar suara ‘ho-ek, ho-ek’, dari dalam. Raki Keleng mengerutkan kening. Dia mulai berpikir, jangan jangan….!
Tangannya menggedor pintu keras-keras.
“Ken! Kau muntah-muntah ya?”
“Ya.”
Suara ‘ho-ek ho-ek’ kembali terdengar.
“Apa…kau hamil?”
“………”
“Ken! Kau hamil ya?!”
Serunya lagi, mengagetkan Rustam yang kebetulan lewat dekat toilet.
Niken tetap saja ‘ho-ek ho-ek’.
Raki Keleng menggedor dengan berang. Otaknya yang selalu penuh kebusukan kian busuk saja. Dia menduga, pasti Aryo yang menghamilinya. Sebab selama ini dua orang itu kemana-mana selalu’runtang-runtung’ bak sepasang kupu-kupu saja. Selama ini pula Raki Keleng berusaha menarik perhatian Niken kepadanya, namun sama sekali tidak digubris oleh Niken. Kebenciannya kepada Aryo Wangking menumpuk kian lama kian tebal, seakan sudah mendarah daging menulang sumsum. Meracuni jiwa dan pikirannya.
“Ada apa, Ki?” tanya Rustam kepada Raki Keleng.
“Itu. Niken muntah-muntah di dalam. Aku jadi curiga melihat dia seperti itu.”
“Kau curiga kepadanya, alasannya apa?”
“Jangan-jangan dia hamil!”
“Gendeng!”
“Naluriku nggak pernah salah, Rus.”
“Halah! Omong kosong. Paling dia itu cuma masuk angin.”
“Masuk angin? Cuma masuk angin, katamu?”
Tiba-tiba Niken membuka pintu, keluar dari toilet, dan menatapnya dengan pandangan marah dan tersinggung. Raki Keleng membalasnya dengan tatap mata yang mengandung tanda tanya besar.
“Kau melihat apa?” tanya Niken tajam.
“Kau tidak apa-apa?”
“Memang, ada apa? Aku baik-baik saja. Hanya stress.”
“Stress?”
“Ya, melihat mukamu, aku jadi stress.”
Rustam menutup mulutnya rapat-rapat menahan tawa yang hampir meledak.
“Tuh, dengar kan? Dia Cuma stress. Masuk angin. Makanya jangan suka berpikiran ‘ngeres’. Sudah sana. Eh, iya Ken. Tadi Aryo mencarimu.” Ujar Rustam.
Sepasang mata Niken berpijar terang.
“Dimana dia sekarang?”
“Ruang pustaka. Kau sudah makan siang?”
“Belum. Kau?”
“Aku sudah, tadi bersama Darji. Sudahlah, sana makan dulu. Aryo juga sedang menunggumu. Kalau kau suka telat makan, begitulah jadinya. Masuk angin, sakit lambung, stress,…malah sialnya lagi, disangka hamil.”
”Hanya orang gila saja yang punya pikiran seperti itu.” Sungut Niken sambil ngeloyor pergi. Kembali Raki Keleng mengekornya.
“Kau mau makan siang bareng Brewok, Ken?” tanya Raki Keleng gerah. Sejak lama, dia selalu memanggil Brewok pada Aryo Wangking.
“Apa pedulimu?” sahut Niken benci.
“Bagaimana kalau makannya bareng aku saja? Di Sekar Putih ada sate enak. Kau sudah pernah mencobanya? Ayo, kutraktir.”
“Nggak sudi. Lagian aku nggak lapar!”
“Ayolah, Ken. Sekali saja kau turuti keinginanku, kenapa? Sombong sekali kau ini.”
Niken Pratiwi menghentikan langkahnya sebentar di depan pintu masuk ruang pustaka, mendelik ke arah Raki Keleng dengan sebal.
“Aku sedang tidak lapar, dan aku sibuk. Kau mengerti?”
Kemudian gadis itu lenyap di balik pintu ruang pustaka yang dibantingnya dengan keras, tepat di depan hidung Raki Keleng. Sepasang mata Raki Keleng seketika memerah saga. Kalau saja tak ingat betapa gilanya dia pada Niken, pastilah pintu itu sudah ditendangnya kuat-kuat.
Begitu melihat Niken masuk sambil membanting daun pintu, Aryo Wangking berdiri dari kursinya. Tergopoh-gopoh ditariknya sebuah kursi dan dipersilakannya Niken duduk. Niken duduk dengan nafas tersengal menahan amarah. Aryo kembali ke kursinya, berpura-pura sibuk dengan kertas-kertas kuno, dan membiarkan Niken sejenak meredakan amarahnya. Di luar, Raki Keleng merasakan darahnya menggelegak. Naik ke ubun-ubun. Dengan langkah besar, laki-laki itu keluar dari museum. Dalam hati dia bersumpah akan menyingkirkan siapapun yang mencoba menghalangi keinginannya mempersunting Niken Pratiwi. Kalau saja si Brewok bertubuh tinggi tegap itu merupakan kerikil tajam bagi niatnya, dia tidak takut. Raki Keleng mengambil motor Kawasakinya dengan kasar, dan memacunya ke Pendopo Agung.
Rupanya sepi sekali di Pendopo Agung.
Terik matahari musim kemarau terasa membakar. Udara dalam gedung besar itupun seakan-akan tak mampu meredam udara panas yang masuk. Darji keluar dari ruang kerjanya, berjalan ke lorong terbuka yang menuju ke arah belakang gedung. Sambil berkipas-kipas dengan sehelai Koran lawas, dia duduk berselunjur di lantai di bawah selasar. Matanya segera menangkap bayangan Raki Keleng yang mendatanginya. Laki-laki berusia tigapuluhan itupun segera duduk di sebelahnya. Dia menyulut sebatang rokok kretek, sementara dengan cuek Darji tetap berkipas-kipas sambil menatap raut wajah Raki Keleng yang muram.
Merasa tak tahan dengan suasana tegang yang diciptakan oleh raut wajah jelek di sisinya, Darji menegur,
“Ada apa lagi, Ki? Wajahmu mendung begitu, apa kau kalah lagi di meja judi?”
Raki Keleng membuang abu rokok ke lantai.
“Sudah lama aku tidak main,” katanya.
“Syukurlah kalau begitu. Aku senang kau sudah sadar. Lebih baik mulai mencari pekerjaan tetap yang bisa diandalkan. Kau kan tau, manusia itu tidak selamanya muda dan kuat. Pasti akan menjadi makin tua dan lemah. Kalau kau tidak mempersiapkan masa tua sejak sekarang, dan terus menerus hidup tidak menentu, bagaimana kau nanti kalau sudah tua dan jompo? Mending kalau tua itu sehat terus. Apa kau tak ingin menikah dan membina sebuah keluarga yang sakinah, hidup bahagia bersama isteri, anak, dan cucu?”
Raki Keleng tertawa kecil tanpa suara.
“Pikiran kau itu terlalu jauh, Ji. Tau tidak, pikiranmu itu terlalu muluk! Terbang ke awan bagaikan asap, blowing with the wind.” sahutnya sinis.
“Menurutku, itu bukanlah sesuatu yang muluk. Hanya sebuah pemikiran paling sederhana bagi seorang manusia seperti kita. Kecil, kemudian dewasa, mencari nafkah, menikah, beranak dan bercucu. Itu amat sederhana. Tidak perlu aku menganjurkan sesuatu yang muluk atau tinggi menembus awan bagimu. Aku hanya ingin kau memikirkan masa tua. Itu saja kok!”
“Semua orang juga, maunya seperti itu, Ji!”
“Apalagi kau. Iya, kan? Kau punya latar belakang pendidikan tinggi. Kau adalah seorang sarjana arkeologi lulusan Universitas negri yang cukup terkenal di Negara kita ini. Coba pikirkan, apa tidak sia-sia hidupmu kalau kau menjalaninya seperti sekarang ini? Kalau saja bekas guru besarmu tau, betapa malunya dia.”
“Agh. Mencari pekerjaan tetap yang menjanjikan jaman sekarang ini susah, Ji. Apalagi yang benar-benar cocok untukku.”
“Pekerjaan apa sih, yang kau rasakan cocok untukmu? Apakah yang tinggi jabatannya, banyak duitnya, enak pekerjaannya, begitu? Oalah, Ki. Kau ini. Angan-anganmu kurasa terlalu tinggi, Ki!”
“Tidak juga,” sahut Raki sambil menyedot rokok dalam-dalam.
“Kau pernah bilang padaku, ingin punya isteri cantik, rumah gedung di pinggir jalan besar, mobil sedan yang larinya kencang, dan sekali-sekali bisa liburan ke luar negeri. Apalagi namanya itu, kalau bukan angan-angan yang tinggi, dan sulit dicapai oleh orang-orang seperti kita? Kau ini ibarat menggapai bintang di langit sementara dirimu hanyalah si pungguk.”
“Kau merendahkan aku, Ji. Menghina, tau tidak?!”
“Aku tidak menghina. Tetapi kalau kau tidak berusaha dengan bekerja keras, apakah kau bisa memujudkan semua impianmu itu? Sulit, Ki. Sulit.”
Raki Keleng membuang muka sambil meludah di pasir dekat ubin teras. Wajahnya semakin rusuh.
“Kau tadi, darimana?” tanya Darji kemudian.
‘Biasa. Dari museum.”
“Bertemu dengan gadis idamanmu?”
“Gadis idaman apa? Kayaknya malah sulit didekati.”
“Pakailah strategi.”
“Sudah kulakukan. Bahkan sudah kuiming-iming dengan uang puluhan juta, tak juga mau jadi isteriku.”
“Tentu saja dia menolak. Uang itu uang nggak bener.”
“Nggak bener bagaimana? Aku ini orang ‘lelaku’, Ji. Kalau kemudian Sang Ghaib memberiku sesuatu yang kemudian diminta orang dengan mas kawin berpuluh juta, apa itu salah?”
“Sebetulnya tidak ada yang salah dengan barang hasilmu ‘lelaku’ itu, yang salah adalah ketika uang itu kau gandakan di meja judi, maka uang itu berubah menjadi uang haram.”
“Itu namanya rejeki,” sahut Raki Keleng tandas. “Tanpa ijin Allah, mana mungkin aku menang.”
“Pandangan yang seperti itu lebih salah lagi,” kata Darji. “Janganlah kau mencampur-adukkan bujukan setan dengan karunia Allah. Dosa, itu. Sebab kalau kau punya pemikiran seperti itu, sama saja dengan menghalalkan perampokan, pencurian, atau pembunuhan sekaligus.”
Raki Keleng tampak kian emosional, namun dengan cepat Darji meneruskan kalimat petuahnya,
“Dengar, Raki. Kalau saja kau mau bekerja seperti aku, misalnya. Mungkin di mata Niken kau lebih terhormat ketimbang uang berjuta-juta itu. Seharusnya kau bisa. Lihat saja Aryo Wangking itu. Dalam latar belakang pendidikan, kau sama dengannya. Wajah dan penampilanmu juga tidak kalah. Tetapi mengapa orang memandang dia lebih?”
“Agh! Lama-lama aku jadi muak mendengar semua orang mengelu-elukan Aryo Brewok. Memang, apa sih kelebihan dia dibanding orang lain?”
Darji menghela nafas panjang.
“Ya, sudahlah. Lebih baik kita tidak beragumentasi lagi tentang orang lain,” kata Darji seraya berdiri.
Dia tak ingin suasana jadi kian panas. Darji tak mengerti, apa yang membuat Raki Keleng demikian benci kepada Aryo Wangking? Kalau hanya karena kalah tenar di kawasan pelataran Majapahit, pastilah tidak demikian sikap permusuhan yang diperlihatkan Raki Keleng.
“Aku masuk, Ki. Kau tak ingin masuk?” tanya Darji.
“Aku di sini saja cari angin. Eh, pinjam kipasnya, Ji.”
Darji mengangkat Koran lawas yang sejak tadi dipakainya berkipas-kipas.
“Ini, maksudmu?”
“Ya.”
Darji memberikan Koran itu kepada Raki Keleng, kemudian berpamitan masuk.
Raki Keleng merebahkan diri. Tidur-tiduran di lantai berbantal tangan. Dia berpikir keras tentang sikap Niken yang tak pernah lunak menghadapinya. Malah belakangan ini dia jauh lebih judes daripada sebelumnya. Benarkah Niken telah menjatuhkan pilihannya pada Aryo Brewok? Namun bagaimana dengan gossip yang beredar mengenai hubungan Aryo dengan novelis dari Surabaya itu? Selama ini Raki Keleng melihat hubungan antara Niken dengan Aryo memang tidak jelas. Kadang mereka begitu dekat, bahkan seringkali Raki Keleng memergoki Niken tengah bertamu ke rumah Aryo di depan Paduraksa itu selama berjam-jam lamanya, bahkan hingga larut malam. Padahal Aryo Cuma tinggal sendiri di rumah. Apa saja yang mereka bicarakan hingga larut malam seperti itu? Bahkan pintu dan jendela rumah itu sering dalam keadaan tertutup. Alasannya, takut nyamuk masuk. Lantas, apa yang mereka lakukan berdua-duaan dalam rumah yang pintu dan jendelanya tertutup rapat seperti itu? Dan siang ini, tiba-tiba saja gadis itu muntah-muntah. Apa dia hamil, ya. Atau masuk angin? Sakit mag, barangkali? Stress?
Bara api dalam dada Raki Keleng kian marak menyala. Dia rasakan dadanya sesak. Ingin berteriak keras-keras agar sebongkah batu yang menyumbat dadanya bisa terlempat keluar oleh raungannya. Tanpa sadar, tangannya meremas Koran di tangannya. Selembar Koran lama yang baru saja dipergunakannya untuk mencari angin guna meredakan leleran keringat, kini kian lusuh.
Raki Keleng menghempaskan nafas kuat-kuat. Diluruskannya kembali Koran itu dari keriput remasannya, dan mencoba membaca sekena-kenanya. Semua beritanya sudah basi. Tentu saja, karena Koran itu memang Koran terbitan enam bulan yang lalu.
Raki Keleng iseng saja membolak-balik lembaran Koran, dari satu halaman ke halaman lain. Beberapa baris iklanpun ditelusurinya. Lalu, tiba-tiba matanya melotot. Pada halaman sekian, baris sekian, dibacanya sebuah berita lama. Tentang sebuah percobaan pemerkosaan seorang penulis novel oleh seorang pelukis dari Gianyar, di sebuah apartemen di daerah elit bagian Barat Surabaya, yang digagalkan oleh seorang arkeolog dari Trowulan bernama AW.
AW.
Arkeolog dari Trowulan!
Siapa lagi kalau bukan Aryo Wangking!
Raki Keleng tersedak sejadi-jadinya. Hingga berair kedua matanya karena kepedihan yang menyengat di kerongkongannya. Jadi betul, pikirnya setelah batuknya reda. Berita tentang kejadian yang sudah jadi buah bibir orang-orang pelaku penghayat di Trowulan itu, benar. Kalau tidak salah, tamu yang tadi datang ke museum itu adalah pelukis dari Gianyar itu. Namanya, Pamugaran. Dewa Pamugaran, kata Niken.
Raki Keleng duduk bersila. Dia membaca lebih cermat lagi, baris demi baris berita di Koran itu. Ini Koran lama, pikirnya. Jadi begitulah kejadiannya. Pamugaran, 52, berusaha memperkosa seoranag gadis yang berprofesi sebagai penulis, 28, telah digagalkan oleh AW 33, seorang arkeolog …dan seterusnya,…dan seterusnya.
Wah!
Hebat si brewok itu. Tak heran bila kian banyak saja orang di Trowulan yang berebut memuji-muji kehebatannya. Pantas. Pantas saja! Dan pantas pula kalau belakangan ini Niken Pratiwi jadi lebih ngebet dengan lelaki itu. Gigih mengakrabi Aryo Wangking.
Raki Keleng mengatubkan bibir. Awas kau, Aryo! Aku bukanlah Pamugaran. Ingat itu, bangsat. Aku bukanlah pelukis yang lemah lembut, penuh warna. Aku, adalah aku. Raki Keleng yang hanya mengenal satu warna. Hitam pekat! Lalu dengan kesal dia berdiri, menuju motor, dan dengaan kecepatan tinggi balik lagi ke museum.
……
Rustam kaget di cecar pertanyaan seputar tamu dari Gianyar itu, oleh Raki Keleng. Dia bahkan minta diceritakan peristiwa pergumulan di apartemen Citra Land.
“Mestinya kau baca di Koran,” kata Rustam jengkel.
“Ya, aku sudah baca itu.”
“Lalu? Kenapa pula kau suruh aku bercerita padamu, memang aku wartawan, apa?”
“Aku kurang jelas. Kurang detil!”
Rustam tertawa mengejek.
“Lucu, ketinggalan berita kok ngamuk!”
“Tadi dia datang ke sini, kan? Pasti ada alamatnya di buku tamu. Perlihatkan padaku.”
”Untuk apa?”
“Tak usah kau tanyakan. Berikan saja buku tamu itu padaku, biar aku cari sendiri.”
“Tidak.”
“Tidak?”
“Tidak. Sikap memaksamu itu membuat aku jadi curiga, jangan-jangan…”
“Jangan-jangan…., apa?”
“Siapa yang tidak tau kesukaanmu menteror seseorang?”
“Jangkrik!” Raki keleng mengumpat keras. “Kau pikir aku akan memeras lelaki kaya itu, begitu?”
“Aku bahkan berpikir lebih dari itu.”
“Apa yang kau pikirkan?”
“Aku takut kau bahkan membabi buta, lalu membunuhnya, sebab kau sepertinya sedang mabuk minuman keras. Kau barusan minum? Atau…kalah judi? Nggak angin, nggak hujan, datang-datang malah marah-marah….”
“Kurang ajar! Sompret! Kau pikir aku ini apa, he! Pembunuh, gitu? Kenapa sih, semua orang di sini berpikir miring tentang aku? Peminumlah, penjudilah, bahakan sekarang aku dituduh pembunuh. Kalau aku jadi pembunuh, kaulah orang pertama yang bakal jadi korbanku, tau! Ayo ngomong, ngomong…!!!” Raki Keleng berteriak-teriak bagai orang kesetanan seraya merenggut kelepak baju Rustam. Keributan itu terdengar sampai ke ruang pustaka. Aryo Wangking dan Niken Pratiwi keluar. Mereka begitu terkejut melihat kejadian itu.
“Raki!” Niken berteriak. “Apa-apaan kau ini!”
Raki Keleng berbalik menatap Niken Pratiwi dan Aryo Wangking. Bibirnya terkatub keras.
“Dia tanya alamat Pamugaran padaku,” kata Rustam.
“Untuk apa?”
“Bukan urusanmu, berikan saja alamatnya.”
“Tidak.”
“Kau tak berhaak menghalangiku untuk bertemu dengan dia.”
“Memang tidak. Tapi aku tau siapa dirimu. Segala sesuatu yang bisa memberikan keuntungan dan bisa kau manfaatkan sebagai pohon uang, pasti tak pernah selamat di tanganmu. Kau kejar sampai kemanapun. Aku tidak ingin orang memandang kita-kita ini busuk, rendah, mata duitan, tak punya harga diri,…seperti dirimu. Sebaiknya kau urungkan niat menemui dia.”
“Begitu, ya?” ejek Raki Keleng. “Seberapa bagusnya diri kau itu, Niken? Seberapa bersih? Ha ha! Orang juga tau, siapa dirimu, Niken. Siapa pula Aryo Wangking. Tak seindah itu kalian di mataku. Kalau selama ini aku diam dan tidak bekoar kesana kesini tentang kalian, tak berarti kalian luput dari pandanganku. Jangan dikira aku tidak tau. Aku tau semuanya. Se-mu-a-nya!”
“Apa yang kau tahu? Dasar pembual, pemabok!”
Raki Keleng menepiskan tangan seolah mengusir lalat.
“Sudahlah,” katanya. “Apa itu ya, yang membuat kau muntah-muntah pagi tadi? Sudah periksa ke dokter? Siapa yang menghamilimu, non? Siapa?”
“Tutup mulutmu, Raki!” bentak Aryo Wangking.
Raki Keleng tersenyum sinis.
“Ini mulut, mulutku sendiri,” katanya. “Kau tak berhak melarangku bicara. Kalau perlu, aku akan bicara pada pers tentang siapa dan bagaimana dirimu sebenarnya.”
“Silakan saja, apa maunya dirimu. Tapi kuminta, kau minta maaf pada Niken.”
“Munafik!”
“Apa katamu?”
Tangan kokoh Aryo segera menarik leher kemeja Raki Keleng dan mendekatkan wajah Raki Keleng ke wajahnya.
“Dengar, bajingan,” desis Aryo menahan amarah. “Ini memang bukan perselisihan kita. Sekali lagi kuingatkan, mintalah maaf pada Niken. Kalau tidak…”
“Kalau tidak, apa?”
“Kau akan benar-benar berurusan denganku!”
“Dengar, Brewok. Aku bahkan siap melayanimu kapan saja. Aku, Raki Keleng. Tak takut pada siapapun. Tidak pada dirimu, apalagi pada Pamugaran. Tujuanku terhadapmu cuma satu. Menghancurkanmu. Mengerti?”
Aryo Wangking tertegun. Melepaskan cengkeramannya pada leher baju Raki Keleng. Menghela nafas dalam, dan berpikir. Tak menyangka pengangguran itu demikian nekad. Sebenarnya tak ingin bersikeras seperti itu. Namun ketika Raki Keleng mengangkat kapak peperangan seperti itu, akankah dia mundur?
Tidak. Tentu saja, tidak.
Kalaupun Raki Keleng sudah edan seperti itu, Aryo akan melayaninya. Tetapi tanpa kekerasan, kalau bisa. Dia akan melayaninya dengan cara yang lebih berbudaya. Maka dengan perlahan didorongnya Raki Keleng agar menjauh darinya.
“Pergilah,” kata Aryo akhirnya.
Raki Keleng merapikan kerah bajunya, menatap mata Aryo dengan gaya tengik, dan tersenyum mengejek. Kemudian setelah berpaling kea rah Rustam dengan mata mengancam, dia keluar dari museum.
Aryo Wangking bertolak pinggang. Menundukkan wajah sambil menghela nafas dalam-dalam. Ada kekecewaan merebak dan mengalirkan darah di relung hati yang paling dalam. Sebenarnya dia tak suka ada permusuhan, apa lagi bermusuhan denga Raki Keleng, si serigala berhati culas. Tapia pa mau dikata, semuanya terjadi begitu saja. Mau tak mau, dirinya harus menerima sebagai suatu keadaan yang harus dihadapi, apapun resikonya.
“Yok. Sori, kau jadi terlibat seperti ini,” kata Niken.”
“Aku juga minta maaf, “ timpal Rustam. “Kenapa dia jadi seperti itu, ya?”
“Sudahlah, lupakan saja semua ini,” balas Aryo tersenyum sambil menepuk punggung Rustam.
“Kau tidak apa-apa, Yok?”
“Tidak, aku tidak apa-apa.”
“……..”
“Sebaiknya aku keluar dulu,” tambah Aryo setelah lama terdiam.
“Mau kemana?”
“Asal keluar saja, mencari udara segar. Sesak rasanya di sini,” Aryo menunjuk ke dadanya.
Rustam tersenyum tipis.
“Baiklah, Yok. Sebaiknya kau cari udara segar di luar. Kau, ikut dengannya Ken?”
“Aku kembali saja ke pekerjaan. Hati-hati di jalan, Yok!”
“Yak!”
Aryo ngeloyor pergi. Bahunya seakan jatuh ke bawah. Wajahnya tunduk, menatap anak tangga yang menuju pelataran. Tak lama deru mesin jip kesayangannya terdengar kian jauh dari museum. Niken masuk kembali ke ruang pustaka, sementara Rustam kembali ke belakang mejanya sendiri. Udara panas menyengat masuk melalui kisi jendela dan pintu yang terbuka lebar. Mungkin sepanas itulah isi kepala Raki Keleng, pikir Rustam seraya menggelengkan kepala.

(sebuah rencana jahat, di episode berikutnya).

TROWULAN (21)


Niken Pratiwi.
Setelah itu, selama beberapa hari kemudian, hampir setiap saat Niken Pratiwi datang ke Siti Hinggil dan bertanya kepada hampir semua orang tentang keberadaan Aryo Wangking. Sebab hampir seminggu lamanya, wajah ganteng berkumis dan berbrewok itu tidak muncul di kantor. Rustam mengatakan pada Niken, mungkin saja Aryo pergi ke Surabaya.
“Mungkin saja ke rumah mbak Rayun,” tambahnya seakan membubuhkan bensin pada api.
Niken mengerutkan kening. Dadanya seakan gosong tiba-tiba.
“Surabayanya dimana sih?” tanya dia ketus.
“Wah, mana saya tau,’ Rustam mengangkat bahu.
Niken tau, Rustam menyembunyikan sesuatu darinya. Hal itu tentu saja, membuat Niken marah. Dirinya seakan-akan disepelekan, diremehkan, dan dikhianati. Diantara semua teman-teman di Trowulan, siapa yang tidak tau bahwa Aryo adalah kekasihnya? Rustam, Darji, Raki Keleng, bahkan Sikan dan Marlan, siapa yang tidak tau? Tapi sekarang, mereka semua seakan-akan buta dan tuli. Masa, setiap ditanya selalu saja jawabnya ‘ tidak tau’, ‘tidak tau’!
Huh!
Mereka itu seakan berkomplot, kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tau. Sialan! Mengapa sih, pada aksi tutup mulut? Apa kepentingan mereka dengan mendukung Rayun sebagai kekasih Aryo, padahal mengenali gadis itu saja, tidak!
“Apa mungkin dia…menginap di rumah Rayun, ya?” gumam Niken seakan bertanya pada diri sendiri.
Lagi-lagi Rustam menggeleng sambil mengangkat bahu tanda tak tau. Niken Pratiwi jadi gemas sendiri. Dirasakannya teman-teman Aryo benar-benar sudaah berkomplot dan sepakat untuk tetap tutup mulut.
Dikeluarkannya segenggam anak kunci dari dalam tasnya. Diremasnya dengan geram. Aryo Wangking seakan sudah menganggap Niken bukan orang lain. Semenjak mereka saling dekat pada beberapa tahun yang lalu, dia memberikan duplikat kunci rumah dan kunci kamar tidurnya pada Niken Pratiwi, dan membiarkannya bebas keluar masuk ke sana. Namun sebenarnya sudah lebih dari enam bulan anak kunci itu tidak pernah lagi dipergunakan oleh Niken, karena si empunya rumah lama tak pernah lagi bertemu dengannya. Sumirah sudah meninggal, Aryo Empul kabarnya tinggal di Kediri, dan Aryo wangking…
Ya, kemana Aryo Wangking?
Waktu enam bulan itu bukan waktu yang singkat. Apalagi bagi Niken, serasa sudah bertahun-tahun. Dalam perasaannya, Aryo Wangking mulai menghindar darinya sejak peristiwa duel di sebuah apartemen di Citra Land itu, antara Aryo dan Pamugaran. Setelah itu, bayangannyapun sulit ditemui. Mereka tak lagi pernah bertemu secara khusus seperti dulu. Kalaupun bertemu, sikap Aryo teraqsa amat dingin. Hambar. Keadaan seperti itu amat dirasakan Niken sejak Aryo terlihat akrab dengan Rayun.
Mengingat itu semua, jantung Niken berdebar lebih cepat. Kemarahannya berbaur sakit hati dan cemburu yang meluap hingga ke ubun-ubun. Laki-laki yang selama ini diharapkannya menjadi pendamping harus pergi begitu saja, membuatnya kelimpungan, kehilangan tempat berbagi suka dan duka. Tak lagi bisa berbagi rasa dan kepentingan saat menghadapi kesulitan dan masalah, baik di kantor maupun di kehidupan sehari-hari. Sergapan rasa rindu yang membuncah seakan menguap begitu saja. Benci dan rindu sekaligus tumbuh subur dalam benak Niken Pratiwi. Merasa dicampakkan bagai sampah. Dibiarkan membusuk sendirian.
Hingga pada suatu hari…
Tiba-tiba Niken merasa mual pada lambungnya. Beberapa hari ini dirinya memang sulit tidur, malas makan, enggan berhias diri dan segala macam. Segenap ingatan dan pikirannya hanya kepada Aryo Wangking. Hingga tau-tau, tubuhnya terasa lemas dan mual.
Di toilet, Niken tak bisa menahan diri lagi. Dia muntah-muntah. Perutnya serasa di aduk-aduk. Hingga basah kuyup berkeringat, pucat, dan terus menerus memuntahkan semua isi perutnya di kakus kantor. Begitu keluar dari toilet, di lorong dia bertemu dengan Raki Keleng. Lelaki berkulit hitam, tinggi lampai itu, menatapnya dengan tatapan setajam belati.
“Kenapa kamu, masuk angin?” tanya Raki Keleng getas.
Niken tak ingin menyahut. Dia suka sebal melihat laki-laki berkulit hitam berambut keriting itu. Laki-laki itu selalu saja mencuri-curi kesempatan untuk mengejarnya, memaksakan cinta dan seakan mengikuti bagaikan elang lapar. Matanya yang pekat mengintip-intip, menunggu kesempatan terbuka untuk segera menyambarnya jadi santapan birahinya.
Niken Pratiwi segera masuk ke ruang kerjanya di bagian naskah kuno. Dia mencoba menyibukkan diri dengan membenahi beberapa naskah yang rusak dimakan rayap. Menatanya kembali ke dalam sebuah rak. Di tengah kesibukan itulah tiba-tiba seseorang masuk begitu saja ke museum. Seseorang itu adalah seorang pria jangkung setengah baya, berpakaian rapi dan mengenakan topi sofbol, berwajah indo dan sangat tampan.
Semula Niken acuh tak acuh terhadap orang itu. Sebab setiap saat ada saja orang asing keluar masuk ke tempat itu. Kadang malahan ada serombongan pelajar atau mahasiswa yang datang. Terlebih pada hari libur. Jadi tak heran kalau pada siang bolong itu ada orang asing masuk yang segera menemui Rustam di front-office, tak jauh dari ruang naskah tempatnya berada.
Tetapi ketika tanpa sengaja Niken menengok ke arahnya dan melihat wajah tamu itu dengan lebih cermat, mendadak sontak dirinya jadi menaruh perhatian lebih. Dari ciri-ciri yang dimilikinya, Niken jadi teringat pada potret di Koran beberapa bulan yang lalu. Dia yakin orang itu adalah pelukis dari Gianyar, Dewa Pamugaran. Ya, tak salah lagi. Lelaki dengan hidung mancung itu adalah Dewa Pamugaran!
Niken segera menyingkirkan buku-buku kuno dari atas meja dan bergegas menemui lelaki itu di depan meja Rustam.
“Maaf,” kata Niken tanpa prolog. “Bukankah Anda adalah Dewa Pamugaran, pelukis yang terkenal itu?”
Orang itu tersenyum.
“Benar,” jawabnya. “Saya Dewa Pamugaran. Anda mengenali saya?”
“Tentu saja. Siapa tak kenal Dewa pamugaran? Kenalkan, saya karyawan di sini. Nama saya Niken Pratiwi.”
Dewa Pamugaran menerima uluran tangan Niken dan menyalaminya dengan hangat.
“Apa yang sedang Anda lakukan di sini?” tanya Niken kemudian.
“Melihat-lihat situs purbakala, apalagi kalau bukan itu?” tawa Pamugaran. “Di Bali memang banyak bangunan pura, tidak sama dengan yang ada di sini. Di sini bangunan candi pastinya akan lebih memberikan nuansa yang berbeda bagi saya, kan? Tetapi lebih dari itu semua, tentu, saya butuh seorang pemandu.”
“Saya bisa menjadi guide bagi Anda,” sahut Niken dengan cepat. “Bukankah begitu, Rus?”
Rustam yang sejak tadi hanya sebagai pendengar, terlihat terlonjak kaget. Namun segera menutupinya dengan sebuah ulasan tawa lebar di bibirnya. Dia mengiyakan, bahkan segera menyodorkan sebuah brosur kepada Dewa Pamugaran. Tetapi rupanya Dewa Pamugaran lebih suka mengutarakan keinginannya berkeliling kepada pamandu barunya.
“Sebetulnya, saya amat tertarik dengan Gapura Paduraksa,” katanya tanpa mempedulikan brosur wisata candi yang disodorkan Rustam kepadanya.
“Kenapa Anda tertarik pada Gapura Paduraksa? Padahal masih banyak yang tak kalah menariknya dari itu.”
“Yahh… mungkin karena begitu sering saya mendengar bahwa ada pantangan2 bagi siapapun yang datang dan melewati gapura itu.”
“Memang, barangkali itu cuma legenda, atau tahayul. Namun Paduraksa atau Candi Bajangratu memang sering dibicarakan memiliki tuah tersendiri, meski tuah yang tidak mengenakkan. Apakah Anda percaya pada tahayul seperti itu?”
Pamugaran tertawa sebelum menjawab.
“Tentu, tidak bisa saya jawab sekarang. Barangkali saya musti melihatnya lebih dulu,” katanya.
“Kalau begitu kita kesana. Rus, aku pergi dulu ya. Nanti kalau Aryo datang, barangkali, suruh dia menunggu di ruang pustaka.”
Niken mengambil tas di meja kerjanya, kemudian bersama-sama Pamugaran keluar museum.
Setelah masuk ke mobil, dan perlahan-lahan meninggalkan pelataran museum, secara sambil lalu Pamugaran bertanya,
“Anda mengenal Aryo dengan baik?”
“Maksud Anda,…Aryo Wangking?...Hehehe, tentu saja saya amat akrab dengannya. Dia satu ruangan dengan saya. Mengapa Anda tanyakan dia?”
“Kalau tidak salah, tadi Anda berkata, …kalau Aryo datang, barangkali… dan seterusnya. Mengapa harus ‘barangkali’? Apa Anda tidak yakin dia akan datang hari ini?”
Niken menahan nafas sejenak sebelum menjawab pertanyaan itu. Lama, baru dia menoleh ke laki-laki di sampingnya dan berkata,
“Akhir-akhir ini dia memang sering tidak masuk kerja. Entah kenapa.”
Pamugaran menambah kecepatan. Mereka saling berdiam diri sebentar.
“Senang bisa berkenalan dengan Anda,” kata Niken kemudian memecah keheningan.
“Oh ya? Mengapa?”
“Senang bisa mengenal langsung seorang pelukis tenar seperti Anda. Salah satu faktor utamanya mengapa saya begitu berhasrat mengenal Anda, mungkin karena ada kaitannya dengan Aryo Wangking dan Rayun Wulan.”
Pamugaran membuang muka ke kanan. Hamparan sawah yang tak begitu menghijau, pepohonan, dan rumah penduduk seakan berlari ke belakang mobil yang dikendarainya, sama kencang dengan darahnya yang tiba-tiba mengalir deras.
“Percobaan pemerkosaan di apartemen itu menurut saya bukanlah kesalahan Anda semata,” lanjut Niken serius. “Gadis itu juga punya andil cukup besar dalam peristiwa itu. Paling tidak, dia telah memberikan sebuah peluang besar bagi seorang pria untuk melakukannya. Sebenarnya, bagaimana sih, gadis itu?”
“ Maksud Anda?” Pamugaran jadi salah tingkah.
Sialan! Pamugaran mengutuk diri sendiri. Kenapa aku jadi gugup begini sih? Si Niken ini cukup berani juga menelanjangi aku, sialan.
“Gadis itu. Selain cantik, dan kaya raya, dia itu bagaimana?”
“Oh,…sori. Saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu.”
Pamugaran menghapus kasar bibirnya yang mendadak jadi gagap dengan punggung tangan. Tangannya mencengkeram setir dengan kuat, seakan mendadak kejang.
Niken menatap lurus ke depan. Sepasang matanya merah menahan gumpalan amarah dan kegeraman yang hampir meletus.
“Kenapa Anda tidak bisa?” tanya Niken. “Apakah karena Anda sangat mencintainya? Padahal dia sudah tidak peduli pada Anda. Saya kok jadi penasaran. Apa kelebihan gadis itu kecuali paras cantik, berharta, dan terkenal karena dia salah satu dari novelis perempuan yang cukup langka di Surabaya? Apakah dia mampu memenuhi hasrat Aryo yang selalu bergemuruh dan menggeretak bagai gunung berapi itu?”
“bagaimana Anda tau dia bagaikan gunung berapi?”
“Sampai saat ini, saya tau betul bagaimana dia.”
“Oh, sori…Jadi Anda adalah…”
“Saya pacarnya. Sejak selesai perkuliahan, dia dan saya bekerja disini, dan kami berpacaran cukup lama.”
Kedua mata Pamugaran mengerjap kencang.
“Anda kaget?” Niken tertawa sumbang.
“Memang sekarang ini dia sedang menghindari saya. Mungkin karena sudah amat dekat dengan Rayun Wulan. Jadi dia melupakan saya. Anda bisa tanyakan pada para sesepuh di pelataran Majapahit ini tentang siapa saya dan siapa Aryo Wangking. Hubungan kami sudah bukan rahasia kami lagi. Hubungan kami sudah meruap ke udara dan dipahami oleh semua warga Trowulan. Bukankah sangat menyakitkaan bila tiba-tiba saya harus terhempas begitu saja tanpa kata-kata maaf, atau apapun itu, yang dapat dipahami tidak saja oleh saya tapi juga oleh semua orang, apa yang membuatnya pergi meninggalkan saya?” lanjutnya berterus terang.
“Ya, ya. Saya paham…saya paham…”
“Andapun merasakan juga seperti yang saya rasakan?’
Pamugaran membasahi bibirnya yanag kering dengan ujung lidah. Sungguh, sesungguhnya yang dia rasakan jauh,…amat jauh dengan yang dirasakan Niken. Motivasinya sudah lain. Lain sekali. Niken terhempas karena cinta, Pamugaran tercelepak karena harga diri.
Mobil sedan warna merah darah itu melaju cepat, kini sudah melewati Pendapa Agung. Suasana hening mencekam diantara mereka. Musik lembut dan dinginnya air conditioning tak lagi membuat mereka nyaman.
“Saya pernah bertemu agak lama dengan Aryo di Balekambang, “ kata Pamugaran akhirnya. “Di sana dia menjelaskan kepada saya tentang semua hal yang berkaitan dengan kegiatannya. Salah satu di antaranya, dia mengatakan bahwa rumahnya ada di dukuh Keraton, dekat Gapura Paduraksa.”
“Maksud Anda, hari ini ingin berkunjung ke rumahnya? Ingin tau bagaimana dia? Jadi itu yang menyebabkan Anda ingin melihat Gapura Paduraksa? Mengapa Anda tidak berterus terang saja kepada saya? Apakah yang Anda lakukan ini karena pemberitaan tentang keseriusan hubungan Rayun dan dia, di Koran?”
Pamugaran mengoper persnelling lebih rendah karena harus melewati sebuah tikungan tajam. Kemudian menaikkan lagi ke gigi tiga. Melewati jalan kampung atau desa, tidak memungkinkan melaju cepat dengan gigi empat atau lima.
“Berita tentang malam peluncuran buku di Gramedia itu sempat membuat hati saya tersengat,” kata Pamugaran. “Saya jadi ingin tau siapa sebenarnya Aryo Wangking. Laki-laki seperti apa yang bisa mengalahkan saya. Pesona yang bagaimana bisa mencabut seseorang dari jerat pesona saya….”
“Rasa percaya diri Anda ternyata lebih besar dari saya ya?” tawa Niken pedih.
“Mungkin juga ya, mungkin juga tidak. Sungguh, saya tidak rela kalau orang seperti dia menggantikan saya di hati Rayun Wulan. Perbandingannya tak seimbang. Menyimak cerita Anda, saya jadi punya pandangan dan penilaian tersendiri.”
“Apa itu?”
“Bahwa ternyata Aryo Wangking bukan orang baik-baik.”
“Saya tidak pernah merasa bahwa dia bukan orang baik-baik. Saya hanya bilang bahwa setelah menjalin hubungan sangat akrab dan bisa dikatakan berpacaran, dia tiba-tiba meninggalkan saya.”
“Tanpa ba bi bu?”
“Memang belum jelas, apa salah saya hingga membuat semuanya jadi seperti ini.”
“Yang jelas bagi saya, dia tergolong laki-laki yang tidak bertanggung jawab!”
“Belum tentu!”
“Anda masih membelanya? Baiklah, itu hak Anda. Menurut saya, dia itu kurang ajar. Bahkan dia telengas sekali saat menghajar saya.”
“Itu karena Anda ingin memperkosanya. Kalau dia tau ada wanita yang sedang mengalami hal-hal seperti itu, entah itu seorang puteri atau mbok-mbok, dia merasa pantas untuk menghajarnya.”
Pamugaran tertawa ngakak. Ada nada marah, dan sinis dalam tawa itu.
“Begitu ya? Kok sepertinya dia itu pahlawan betul di mata Anda, nona Niken.”
“Yang dilakukan Aryo biasanya selalu punya alasan yang kuat.”
“Termasuk meninggalkan Anda begitu saja?”
Niken tersedak.
“Ya, mungkin. Hanya saya yang belum paham maksud-maksud sebenarnya.”
Pamugaran mengulum senyum. Gadis ini begitu memuja Aryo Wangking. Ah, beruntungnya lelaki brengsek itu dipuja-puja banyak wanita. Itu urusan dia, tetapi berita di Koran itu mejatuhkan aku habis-habisan…sialan.
“Baiklah, kita punya opini masing2, tak perlu lagi kita pertengkarkan. Masih jauhkah rumah lelaki itu?”
“Itu dia, sudah terlihat dari sini. Yak, kita berhenti.”
Sedan merah melaju pelan dan akhirnya berhenti di pinggir jalan, tepat di depan pagar Candi Bajangratu. Pamugaran mematikan mesin, membuka pintu, dan celingukan ke kanan dan ke kiri seperti mencari-cari sesuatu. Niken juga turun. Melepas kacamata hitamnya dan menatap Pamugaran.
“Itu rumahnya,” kata dia.
Pamugaran memalingkan wajah ke arah yang ditunjukkan Niken. Tepat di seberang jalan, persis di depan matanya, berdiri sebuah rumah mungil bercat putih. Jendeklanyapun bercat putih. Dekat rumah itu ada tumbuh sebuah pohon besar yang rimbun. Pelataran rumah itu penuh dengan dedaunan kering yang gugur, berserak dan cukup menandai bahwa rumah itu sudah lama kosong.
Pamugaran berkacak pinggang. Di bawah sorot matahari siang, figur pelukis itu terlihat bukan main. Dia tampan dengan kacamata hitam dan topi sofbol. Niken memandang heran, mengapa Rayun justru mencampakkannya dan memilih pria yang sungguh-sungguh Jawa, dengan kulit sawo matang, kumis tebal, dan brewokan?
“Kelihatannya kosong,” keluh Pamugaran.
“Bukankah itu kebetulan?”
“Maksudnya?”
“Kita bisa masuk dengan leluasa, memuaskan hati Anda bukan?”
“Bagaimana cara kita masuk?”
“Dengan ini.”
Niken memperlihatkan segumpal anak kunci di telapak tangan kanannya.
“Waow. Surprais sekali. Jadi Anda memiliki kunci rumahnya?”
Niken cuma tertawa mendengar jeritan Pamaugaran. Dia mendahului menyeberang, diikuti Pamugaran, bagai anak ayam mengekor induk. Mendadak hati Pamugaran berdebar. Saat seperti sekarang inilah yang dia tunggu. Saat dimana dia bisa melihat kehidupan seorang Aryo Wangking yang sebenarnya. Setimpalkah dengan dirinya? Apakah bukan semacam hulubalang dangn anak raja? Dia, hulubalang. Dan Akulah anak raja itu. Apa yang tidak kumiliki? Semua yang diidamkan perempuan ada padaku. Ketenaran, karir, ketampanan, harta, keturunan, dan aaah, masih banyak lagi. Sementara dia,…apa? Bukan siapa-siapa. Anak desa, dari dukuh Keraton. Jalan di depan rumahnyapun jalanan desa.
“Silakan masuk,” kata-kata Niken membangunkannya dari lamunan. Pintu utama rumah sudah terbuka lebar. Akan masukkah dia?
Niken mengangguk, dan menyuruhnya masuk lebih dulu. Udara pengap menyergap. Pamuigaran melihat berkeliling, ruangan itu kecil sekali. Ada perabotan yang mirip di ruang tamunya, Cuma meja kursi itu, begitu jelek menurut Pamugaran. Sudah amat tidak layak. Berdebu lagi!
“Ini ruang tamunya,” kata Niken.
“…..”
“kalau mau masuk lagi, itu kamar tidur Aryo Wangking.”
Pamugaran masuk lebih ke dalam.
Gelap sekali kamar itu. Namun dalama kepengapan dan kegelapan yang dirasakannya, dia masih bisa melihat ada ranjang di situ, hanya cukup untuk satu orang. Sebuah meja tanpa taplak, dan sebuah kursi butut. Ada televise kecil ukuran 14 inch. Selebihnya, nggak ada yang istimewa.
“Bagaimana, Anda puas mengintip latar belakang Aryo Wangking?’
“Jangan sinis, saya kan cuma…”
“Kecemburuan Anda membuat Anda jadi ingin menilai dirinya dengan angka-angka,” sergap Niken tajam.
“Kami memang cuma orang biasa, tidak tenar, tidak kaya seperti Anda maupun Rayun. Karena itu saya cukup merasa heran, mengapa orang-orang di level Anda tiba-tiba masuk ke dalam level kehidupan kami yang sederhana ini? Mengapa kalian merusak dan menghancurkan kedamaian di hati kami?”
“Nona, jangan salah paham, ini bukan masalah kaya atau miskin, ini masalah harga diri.”
“Berapa tinggi harga diri Anda, Tuan? Saya memang mencintainya dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Saya tidak melihat apakah dia miskin atau kaya. Yang saya lihat bahwa dirinya adalah seseorang yang punya karakter, gigih dan tak terbawa arus moral papa. Saya tidak tau, apakah hal-hal itu yang dilihat oleh Rayun dalam diri Aryo.”
Pamugaran menggigit lidah diam-diam. Cepat dia menengok kea rah Niken. Kedua tangan dalam saku, maka kian tampak jelas keangkuhan dalam bahasa tubuhnya.
“Ya, tapi harus Anda sadari, kini dia tengah mencintai orang lain,” ujarnya getas. “Bukan hanya Rayun saja yang jatuh cinta. Diapun jatuh cinta pada gadis itu, gadis yang glamour, brillian, apakah Anda tidak marah?”
“Anda sendiri?”
“Saya? Oh, jelas, saya sangat marah. Saya lelaki normal yang punya harga diri, cinta, dan arogansi. Tentu, saya amat tersinggung dengan cara dia merebut kekasih saya, tunanagan saya! Kami bahkan sudah amat dekat dengan kursi pelaminan. Terlebih saya merasa tidak satu level dengan dia. Maaf, bukan maksud saya menghina, tapi…”
“Anda bahkan sudah melakukan penghinaan dan pelecehan kepada orang sekelas saya, berarti Anda menghina dan melecehkan saya.”
‘Ops. Apa saya salah bicara?” kata Pamugaran dengan sikap tengik.
Niken tak menanggapi ucapan konyolnya. Dia sangat tersinggung dengan sikap Pamugaran, namun disisi lain, amat sakit hati karena ulah Aryo Wangking.
“Tuhan sangat pandai memutar balikkan nasib orang,” kata Niken.
Pamugaran tidak menyahut. Dia menyeberangi lagi jalan depan candi, kemudian naik ke mobil diikuti Niken. Kendaraan itu berputar balik ke arah semula.
“Kita kembali ke musem,” kata Pamugaran.
“Tidak jadi jalan-jalan?”
“Sori, saya sudah tidak berminat lagi.”
“Saya mengerti. Tapi saya hanya ingin menitipkan sebuah pesan.”
“Apa?”
“Saya tak mau Anda berbuat macam-macam terhadap Aryo. Itu saja.”
Pamugaran membalasnya dengan seulas senyum misterius. Mereka sama sama sudah tak berminat lagi mengobrol. Hingga akhirnya harus berpisah di halaman museum.
“Ini kartu nama saya,” kata Pamugaran sebelum Niken turun. “Kalau Aryo datang, tolong saya dihubungi. Saya ingin bicara empat mata dengannya.”
“Akan saya usahakan,” kata Niken sambil turun dan menutup pintu mobil. Dia menunggu sampai sedan merah itu keluar dari halaman museum, baru melangkah masuk ke museum.

(Raki Keleng, di episode berikutnya. Sabar ya.)

Sabtu, 08 Mei 2010

TROWULAN (20)


CEMBURU.
Kunjungan ke ulangtahun Rayun Wulan bagi Aryo Wangkin merupakan awal dari segalanya. Kunjungan-kunjungan berikutnya makin lama makin memiliki ritme yang lebih. Benang merah mulai terjalin. Semuanya itu dirasakan Aryo bagai tonikum, yang ingin selalu direguknya hingga tuntas. Semangatnya menggebu. Gairah kerja kian lama kian meningkat. Teman-teman dekatnya seperti Rustam, dan Darji merasa ikut senang melihat betapa lelaki dermawan itu terlihat amat bahagia. Semua itu, mereka ketahui, adalah karena adanya Rayun Wulan yang datang menghiasi hari-hari Aryo Wangking.
Setiap kali berbincang dengan Rayun di Surabaya, Aryo seakan menemukan bagian dari dirinya yang hilang sekian ratus tahun yang lalu. Hidupnya dirasakannya kian utuh. Apapun itu namanya, Aryo tidak dapat menyangkal suara hatinya sendiri tatkala disadarinya bahwa cintanya tumbuh subur. Rayun sendiri tampaknya menerima semua perhatian dan cinta yang disodorkan Aryo kepadanya. Bahkan tatkala Aryo memberanikan diri mencium bibirnya, Rayun menyambutnya dengan gairah cinta yang seakan tak terbendung. Gadis itu telah menjatuhkan pilihannya. Dan rasanya, kedua orangtua Rayun juga merasa suka kepada pria muda itu.
Sejak saat itu, mereka berdua sering tampak bersama. Baik dalam kegiatan yang dilakoni Aryo, maupun sebaliknya. Bahkan pada peluncuran buku yang terbit belum lama ini, Aryo juga terlibat langsung dalam penyelenggaraannya. Sebagaimana kehadiran Rayun pada malam pameran lukisan karya Dewa Pamugaran di Sheraton tempo hari, malam peluncuran buku karya novelis cantik itupun tak luput juga mendapat perhatian khusus dari kalangan pers.
Sikap Aryo yang terlihat acuh tak acuh terhadap orang lain, serta mahalnya senyum di wajahnya, membuatnya tampak sangat berbeda dengan penampilan Dewa Pamugaran saat membuka pameran lukisannya. Selain gagah dan ‘gallant’, dia juga nampak seperti berhasil membuat Rayun jadi amat bergantung kepadanya. Bagaikan seorang ‘body guard’, Aryo selalu berdiri di belakang atau di sampingnya. Dengan tatap mata setajam rajawali dia mengawasi semua yang hadir satu persatu.
Penampilannya itu sudah barang tentu membuat fenomena tersendiri bagi kalangan pers. Jepretan lampu blitz berkali-kali menerpa wajahnya dan Rayun. Berbagai spekulasi muncul media massa dengan segala macam pampangan photo mereka, membuat Dewa Pamugaran jadi geram membacanya. Rasa penasaran dan marah membuat lelaki paruh baya itu bersumpah dalam hati akan membuat perhitungan tersendiri terhadap arkeolog dari Trowulan itu.
Jelas teringat dalam benaknya, bagaimana Aryo membuatnya tersudut dengan mengatakan maksud-maksud tertentu dalam dirinya saat menjalin hubungan akrab dengan Rayun Wulan. Seakan anak muda itu ingin mengatakan betapa brengsek dirinya, sudah berumur masih ingin daun muda!
Hari-hari berikutnya jadi lebih menyakitkan. Setelah kejadian yang menghebohkan di apartemannya itu, mendadak nama Pamugaran jadi tenggelam. Bahkan dalam beberapa surat kabar maupun tabloid, dirinya telah dianggap brutal dan tidak berakhlak. Bagaimana bisa, kata media cetak, seorang pelukis ternama mendadak harus babak belur karena percobaan perkosaan? Mereka para wartawan itu, menulis, bahwa perkosaan itu berdasarkan pemujaan terhadap setan. Untungnya ada seorang anak muda, arkeologis yang datang menggagalkannya. AW, inisial Aryo wangking, bahkan dipuji-puji bagaikan seorang pahlawan bermoral tinggi.
Kalangan pers jadi punya kesempatan membuat berita bombastis tentang peristiwa itu. Nama baik Dewa Pamugaran sebagai pelukis kondang dari Gianyar, jadi belepotan. Ketenarannya selama ini karena seringnya mengadakan pameran tunggal di hotel-hotel berbintang lima, mendadak jatuh ke comberan. Stempelnya: menjijikkan!
Sekarang, tau-tau, bagaikan sambaran petir di siang bolong, nama Aryo Wangking muncul dan seakan-akan ditabalkan sebagai calon suami sang novelis, korban perkosaan yang gagal. Aryo wangking seakan jadi tokoh panutan tempatnya bermuara.
Bah!
Ini semua sungguh keterlaluan. Dunia seakan jadi jungkir balik. Kelewatan! Kurang ajar! Sontoloyo kamu Aryo Brewok! Aaaaghhh…. Pamugaran berteriak sekuat suara. Dunianya bagaikan ambruk, kepalanya terbakar, meledak bagaikan bom atom. Koran yang dibacanya diremasnya jadi bulatan sebesar bola tenis. Lalu dilemparkannya jauh melewati pagar balkon. Seperti itulah keinginannya melemparkan Aryo Wangking, agar bisa remuk di lantai dasar!
……..
Di tempat lain, Niken Pratiwi juga membacanya. Dengan perasaan yang sama. Marah, penasaran dan ingin mencekik siapa saja yang mau dicekik. Sebetulnya Aryo wangking bukan orang asing baginya, karena selama bertahun-tahun sejak sama-sama lulus perkuliahan, mereka bekerja di kantor yang sama. Bahkan Niken merasa, mereka berpacaran. Ya, kalau mereka sudah sering jalan bersama, berciuman, saling memeluk, lalu tidur bersama…apa namanya kalau bukan berpacaran? Bahkan lebih, barangkali. Tidak saja berpacaran, tapi lebih, lebih, dan lebih. Kendati hanya sekali berhubungan, tetapi bukankah itu sudah bisa dikatakan kekasih? Memang, dirinya sudah tidak virgin lagi kala itu. Namun mereka menikmatinya tanpa banyak cing-cong. Aryo juga cuek saja, tidak bertanya kok begini, kok begitu. Take and give, dalam artian saling memuaskan.
Tapi kenapa tiba-tiba Aryo memberikan sikap kepada para wartawan bahwa dia sepertinya sudah bertunangan, atau bahwa dia adalah calon suami Rayun Wulan, gadis berwajah suci itu? Lantas, aku bagaimana? Aku ini, apanya? Memang sih, selama ini Aryo tidak pernah berkomitmen apapun kepadanya. Tidak pernah berkata, I love you, misalnya. Atau…kita nikah yuk! Padahal hubungan mereka sudah sedemikian akrab. Meskipun lelaki itu tak pernah bersikap mesra atau menunjukkan cinta kepadanya, bagi Niken tak masalah. Dia biasa saja. Cuek, malah! Sampai tiba-tiba dia membaca berita dalam Koran tentang percobaan perkosaan yang dilakukan seorang pelukis terkenal dari Gianyar, dan berita tentang peluncuran buku karya novelis dari Surabaya itu.
Niken meremas Koran di tangannya. Sepasang matanya berair tiba-tiba. Selama ini dirinya sangat percaya bahwa lelaki gagah itu memang telah diciptakan Tuhan untuk menjadi miliknya. Suara-suara sumbang mengenai hubungan antara Aryo dan Sumirah, yang selalu ditiupkan Sumirah tak pernah sekalipun membuatnya ragu akan keakraban yang terjalin antara dirinya dan Aryo. Memang sih, ada rasa cemburu dalam hati. Namun giliran melihat kenyataan, Niken sama sekali tidak takut Aryo bakal jatuh ke tangan Sumirah. Siapa yang tidak tau Sumirah? Semua orang di tanah Majapahit ini tau, betapa perempuan bertubuh sintal dan berdarah panas itu sering datang ke Siti Hinggil, ngobrol sejenak dengan para lelaki penghayat dari luar kota, lalu menghilang,…entah kemana. Tak seorangpun perduli, apakah dia dibawa ke hotel atau cuma bercengkerama di gelap-gelap di bawah rumpun bambu. Jelas, lelaki baik-baik mana yang mau dengan Sumirah? Dan salah satunya dari lelaki baik di pelataran Majapahit itu adalah Aryo Wangking! Satu hal yang bagi Niken tak habis pikir, bagaimana mungkin orang-orang seperti Aryo Wangking dan Aryo Empul mampu membiarkan Sumirah berbuat seperti itu di tengah para penghayat? Padahal hampir semua orang di sekitar tempat itu percaya betul bahwa Aryo Wangking adalah panutan, seorang yang amat dihormati, sebagai kunang-kunang yang memberikan penerangan di lorong-lorong panjang, bagaikan suluh yang menerbangkan mata, menggali hidup, dan mengajarkan cara berteman dengan alam jagad raya.
Ketika Sumirah tewas oleh racun serangga, orang menganggap kematiannya itu disebabkan karena sebuah pertengkaran hebat antara dirinya dengan suami, yang mengakibatkan Aryo Empul, suaminya itu, minggat. Bahkan Aryo Wangking juga ikut-ikutan minggat. Orang lantas bisa memahami kekalutan hati Sumirah. Yang kemudian membawanya pada satu keputusan: membunuh dirinya sendiri. Tak seorangpun tega untuk mempergunjingkan sebab musabab kematiannya, atau menghubung-hubungkannya dengan hal-hal lain yang tercela. Karena mereka semua masih tetap menghormati Aryo Wangking dan Aryo Empul sebagaimana mestinya.
Bahkan ketika semua Koran baik yang beroplah tinggi maupun yang krece, memberitakan perkelahian antara pelukis dari Gianyar dengan seorang arkeolog dari Trowulan karena sebuah percobaan pemerkosaan, warga setempat ‘sarujuk’ dengan tindakan Aryo Wangking. Mereka semua mendukungnya dan menganggap Aryo telah melakukan suatu tindakan yang sangat tepat dan sangat terpuji. Sebaliknya, pandangan masyarakat umum terhadap Dewa Pamugaran tiba-tiba jadi sinis.
Menurut Niken Pratiwi, persoalannya tidaklah sesederhana itu. Perkelahian dan kejadian yang amat sensasional itu pasti disebabkan oleh sebuah persaingan yang tidak lumrah. Bisa saja karena cinta segitiga. Atau apa. Saat itu memang, Niken belum bisa memastikan. Tetapi sekarang, semua pertanyaan itu seakan terjawab. Kini Dewa Pamugaran sudah tersingkir. Hubungan dengan novelis itu rusak serusak-rusaknya. Aryo Wangking muncul bagai pahlawan. Dialah pemenangnya. Dia telah memenangkan opini masyarakat, juga telah memenangkan simpati bahkan hati Rayun Wulan, gadis cantik kaya raya, putri tunggal seorang pengusaha otomotif di Surabaya.
Judul tulisan dalam Koran, menggugah perasaan Niken Pratiwi. Kenapa? Jawabnya mungkin hanya satu. Bagi Niken berita itu sangat menusuk perasaannya. Sebab di Koran secara tidak langsung diberitakan bahwa pria gagah, pendiam dan berpenampilan sederhana itu adalah calon suami Rayun Wulan. Laki-laki tampan dengan brewok dan kumis itu memang bukan siapa-siapa dibanding Pamugaran. Namun kali ini pria itu berhasil memikat hati putri Condro Hadikusumo, pengusaha sekaligus priyayi berdarah biru, yang mendadak booming selepas peluncuran novel ke limanya, di Gramedia. Semua itu bagaikan petir di siang bolong. Cahaya kunang-kunang yang kecil dan teduh kini mendadak jadi ikut memancar terang, melesat jauh bagai meteor. Kejadian itu mengingatkan Niken pada serat langendriyan tentang Damarwulan-Menakjinggo.
Niken Pratiwi mengamati photo yang terpampang di Koran. Sekarang terlihat jelas bagaimana wajah gadis itu. Dia memang cantik sekali. Niken menatapnya dengan iri dan cemburu. Kecantikan yang tiada tara terpancar dari wajah Rayun dalam photo di Koran itu. Bukan hanya cantik, namun juga menyiratkan bahwa dia juga terlihat sangat terawat sebagaimana takdirnya sebagai gadis kaya, dan bukan keturunan orang sembarangan. Diberitakan, dia masih keluarga berdarah biru, orangtuanya pengusaha sukses, anak tunggal lagi! Oh, betapa beruntungnya gadis itu. Apa, yang tidak dimilikinya? Dia pandai, cantik, tenar, berharta, dan sekarang… dia juga memiliki Aryo Wangking! Mengapa dia tega merebutnya dari tanganku padahal dia sudah memiliki segalanya? Seharusnya dia bersanding dengan orang semacam Pamugaran. Seharusnya! Tapi mengapa tidak jadi?
Sialan!
Kalau dulu harus bersaing dengan Sumirah, Niken tak pernah bingung seperti ini. Dia berhasil mempertahankannya. Namun kalau harus mempertahankannya dari pesona yang dipancarkan Rayun Wulan,…mampukah dirinya? Sanggupkah dia berhadapan dengan gadis lampai nan cantik seperti itu? Agh….rasanya Aryo sudah tak menginjak bumi lagi. Dia sudah berada jauh di atas, bersanding dengan bintang gemerlap di langit ke tujuh. Sementara dirinya tetap di sini, bagai itik jelek yang kebingungan mencari benih.
Niken melipat Koran dengan hati galau. Dibantingnya Koran tak bersalah itu di lantai dan diinjak-injaknya dengan gemas. Apapun, tekadnya, akan kulakukan agar Aryo tak menghilang di balik awan. Apapun!

(Marahnya masih ada di episode berikutnya).