Senin, 26 September 2016

DONOROJO : 1

Ds KALAK, kecamatan DONOROJO.
Malam baru saja menggantikan petang. Belum lagi masuk waktu isya ketika Sindung Aliwawar tiba di depan rumah Tining. Tak seperti biasa, rumah beratap joglo itu terlihat lebih temaram . Sindung membuka pagar. Sambil mengatupkan.pintu pagar kembali, Sindung berpikir, apakah Tining Sudah tidur? Perlahan diketuknya pintu. Menunggu sebentar, sebentuk wajah ayu kemudian muncul,  dan tersenyum manis kepadanya.
"Sudah tidur, Ning?"
Gadis manis berambut ikal itu melebarkan senyum
"Belum," jawabnya. "Masuklah, nDung. Kebetulan bapak dan ibu sedang keluar."
"Adik2?"
"Ada di kamar."
Sindung mengambil tempat duduk, menatap kagum wajah dan penampilan kekasihnya.
"Rapi banget, Ning. Ada tencana pergi kemana?"
Tining tersipu, menyibakkan  rambut dan melempar tawa kecil.
"Ah, ndak kemana mana."
"Cantik banget dandananmu lho."
"Masa iya?"
"Tumben2an dandan seperti itu. Baumu harum, ....wanginya kembang kantil "
Sindung tertawa menggoda.
"Seperti gadis yang mau dikawinin, Ning. ...seperti mau jadi manten"
"Hush, kok kamu ngomongnya gitu sih."
"Aku kagum melihatmu begini."
Tining menunduk. Beberapa helai anak rambut jatuh menutupi sebagian wajahnya.  Lama mereka saling terdiam, hingga Sindung merasakan sedikit sesak dalam dadanya. Ada firasat. Firasat yang tak pernah bisa dimengerti oleh Sindung. Perasaan hampa, atau apa. Sungguh yang dirasakan Sindung cuma kegundahan tanpa sebab.
Hingga akhirnya Sindung memberanikan diri bertanya:
"Ning...."
"Aku memang mau jadi manten nDung." Tining menukas cepat.
Kalaulah ada kalajengking menyengat, mungkin Sindung tidak akan sekaget itu.
Tergagap dia bertanya:
"Aapaa, apa yang kamu maksud?"
"Kau sudah mendengar. Aku memang akan menjadi pengantin tidak lama lagi."
"Maksudmu dengan...." Sindung menunjuk kedadanya sendiri.
Tining menggeleng
Sindung jadi blingsatan.
"Jadi,... Dengan siapa kau akan..."
"Kau tidak mengenalnya."
"Gusti Allah...!"
Sindung meremas rambutnya. Kepalanya serasa pecah. Jadi selama ini kita ngapain saja, Tining? Hah? Kukira kau perempuan paling manis yang menggenggam kesetiaan sampai mati. Minimal sampai kita memasuki gerbang pernikahan. Ternyata...astaganaga! Ya Allah ya Gusti....paringono kiyat!
Tining terlihat begitu tenang menatapnya. Begitu manis menikmati kegalauan Sindung. Begitu dingin melihat kehancuran kekasih hati yang selama ini amat sangat tetlihat mencintainya. Tak seorangpun di desa kecil itu akan menyangkal, betapa keduanya selalu terlihat mesra dimana mana.
"Maaf, nDung. Aku...."
Sindung menngelus dada. Menyisir rambut dengan.jemari, berusaha tenang, berusaha kalem, tidak brangasan, tidak mencaci, tidak mengumpat, tidak membiarkan niat buruknya ingin jadi pembunuh.
Dia cuma bertanya datar:
"Dimana kau mengenal laki2 itu?"
"Di pesisir."
"Kapan?"
"Maaf, nDung. Aku lupa."
Sindung mengatubkan bibir kuat2. Mengertakkan geraham menahan pekik kemarahan yang nyaris meledakkan dada. Sepasang matanya menatap kuyu. Sedikit berair. Terasa seperti mengandung pasir.
"Lupa...?" desisnya. "Bagus. Maka mulai sekarang kau boleh lupa padaku. Kau bebas berbuat apa saja. Sampai disini kita selesai."
"Ndung....kita bisa berteman.."
Sindung berdiri, tetsenyum pahit. Berteman, katanya! Enak amat.
"Mau kemana, nDung?"
Kini Sindung tertawa. Menertawakan diri sendiri. Baru disadari. Betapa goblok dirinya jadi laki laki. Selama ini hampir setiap hari mereka bertemu. Kedua pihak orangtua juga saling mengenal dengan baik. Saling mengetaui hubungan khusus antara dirinya dan Tining. Namun rasanya seperti orang yang baru kemalingan. Baru tau sesuatu yang amat  dicintai telah dicuri orang. Sindung bisa menduga, lelaki yang menginginkan Tining pasti bukan penduduk setempat.

Pulang sekolah. Di pesisir pantai selatan Jawa, lima anak perempuan seusia sepuluh tahun berlarian pulang. Mereka berlari bagai dikejar angin menuju bikit karang pantai selatan, tertawa riang dan menjeritkan nama. Suti di paling depan diikuti kawan2 kecilnya berteriak teriak:       "Poleng Poleng... Poleng...!"
Suara debur ombak milai jelas terdengar. Pantai laut selatan sudah dekat. Anak2 itu kian seru berteriak teriak. Suti menbuka baju seragam dan melepasnya. Kini mengibar ngibarkan ke udara sambil berlari  kencang mendaki
bukit karang yang menjorok kelaut.
Di pantai itu terdapat  tebing karang yang menjulang tinggi, merupakan salah satu gugusan karang yang memberikan pemandangan eksotis. Terjangan ombak yang kencang datang menghantam bebatuan karang dan menciptakan air mancur yang tinggi. Pemandangan ini adalah akibat semburan kencang air laut yang masuk melalui bagian bawah batu karang.
Anak2 itu kini  berdiri  di puncak karang dan terus berteriak seakan mengejek,
"Poleng... Poleng...."
Kini ombak semakin tinggi. Laut yang tadinya tenang mengalun, mendadak seakan gusar. Ombak bergelora, naik setinggi bukit karang, menghempas dan membasahi tubuh anak2 nakal. Mereka tidak takut, malah bersorak gembira.
"Poleng... Poleng....Poleng!!"
Laut makin marah. Kini anak2 itu surut ke belakang. Ombak mengejar ganas. Bukit karang seakan tenggelam.
"Lariiiii......." Suti mengomando.
Teman2nya semburat bubar. Berlari sekencang kencangnya menuruni bukit karang. Turun
ke darat, melaju ke jalan kampung, pulang ke rumah masing2.
Terengah engah Suti menuju.sumur dan menimba air. Maghrib sudah mulai datang. Bisa dipastikan ibu akan marah2.lagi seperti biasanya bila Suti terlambat sampai di rumah. Benar kata ibu, Suti amat berbeda dengan kakak perempuannya, Mintorini. Suti kenyang dengan cubitan ibu di paha, yu Min kakak
nya, tidak sekalipun tersentuh. Yu Min berperilaku lembut walau kadang sinis. Sementara itu, Suti nakal luar biasa.
"Telat pulang, darimana aja?" Yu Min tiba2 sudah di balik dinding sumur, menatapnya tanpa kedip.
Suti membasuh kaki tanpa berusaha,menjawab. Ah, yu Min pasti sudah tau kebiasaan Suti.
"Menggoda si Poleng lagi?"
Tanpa peduli Suti mengambil sandal jepit dari balik dinding sumur. Acuh tak acuh menyahut:
"Nah... itu sudah tau."
"Heran, kok ndak kapok2nya kamu dimarahi ibu."
"Ibu marah2 ...itu sudah merupakan hobbynya, Yu."
"Eh. Beraninya kamu ngomong begitu. Lagian, apa kamu ndak takut disambar ombak?"
"Aku salah apa sampai disambar ombak?"
"Godain putera kesayangan bu Ratu kidul ..kamu katakan salah apa?"
Suti tersenyum. Dia melangkah masuk. Syukurlah, rupanya ibu sedang tidak ada di rumah. Suti tau, ibu juga akan sangat marah seandainya tau Suti  melakukan hal hal seperti iti dipantai. Seperti yang selalu ibu ceritakan, bahwa Poleng, itu adalah nama ejekan bagi putera kesayangan ibu Ratu Kidul, penguasa laut Selatan. Bagi setiap warga pesisir selatan Jawa, cerita itu bukan saja melegenda, tetapi sudah menjadi darah dan daging. Semuanya merasa tabu mengucapkan kata2 itu bila sedangberdiri di pinggir pantai Selatan.

Untunglah, yu Min tidak pernah menceritakan kenakalan Suti sore itu,  pada ibu. Maka makan malam itupun berjalan lancar tanpa insiden seperti biasanya. Bagi Suti makan malam itu sangat menyenangkan. Ibu dengan ceria menceritakan kegiatannya hari itu bersama teman2nya dan bapak mendengarkan dengan menyungging senyum dibibir.
Tiba2 bapak menoleh ke arah mas mbarep, putra tertuanya, Sindung Aliwawar.
"Bagaimana harimu siang tadi, nDung?"
Sindung menunda suapannya sejenak.
"Baik, pak." sahutnya pendek.
"Maksudmu, sekolahmu baik2 saja? Kau tidak pergi ke pesisir menggoda Poleng?"
Suti melihat yu Min  sudah membuka mulut. Hampir saja dia menyahut dan berceloteh bahwa bukan mas barep fetapi Suti, si ragil, yang.....
Tetapi Sindung sudah lebih cepat menyahut peryanyaan bapak.
"Saya ke rumah Tining."
"Oh, pacar kamu yang hitam manis itu?"
"Putrinya mas Mangundirejo?" ibu ikut bertanya terkejut menyadari brtapa pembarepnya masih juga menjalin hubungan dengan gadis itu.
Sindung terdiam. Menunduk dan mempermainkan ibujari.
" Tapi, nDung,.... Bukankah.....?"
"Saya tau."
"Kau sudah tau?"
"Ya, saya sudah tau." Suara Sindung terdengar sumbang.
"Ya ampun ngger.... Jangan lagi kau lakukan. Dia itu sudah mau menikah lhoh."
Sindung mengangkat wajah. Ada kemarahan dan kesedihan tersirat
dalam sorot matanya. Galak, sekaligus tanpa harapan.
Semua mata menatapnya. Menunggu jawaban.
"Kau tau, dengan siapa dia akan
menikah?" tanya ibu lagi. Ada kekuatiran, ada berjuta keingintauan orangtua.
"Ya, dengan siapa? Saya tidak peduli Tining akan dinikahi siapa. Tapi saya yakin, tak ada seorangpun yang tau siapa laki-laki itu. Apa ibu tau?"
Kini semua mata tertuju pada wajah ibu. Ibu menghapus bibir dengan punggung tangan, sebuah kebiasaan yang amat dikenali bila beliau merasakan sebuah kebimbangan . Kini Sindung melepas nafas panjang.
"Saya percaya,..." kata Sindung. "Bahwa seperti orang lain, ibu juga tidak tau. Pernahkah budhe Mangundirejo bercerita kepada ibu? Lantas darimana kita semua tau kalau Tining segera akan menikah?"
Lama ibu terdiam sampai akhirnya bapak menegurnya,
"Bu, ibu tidak sedang tidur kan?"
"Ndung,.." kata ibu. "Tidak penting bagi kita untuk tau dengan siapa gadis itu akan menikah. Bagi ibu, dan bapak, sebaiknya jauhi dia. Ini ibu katakan untuk menjaga nama baikmu, nama baik keluarga kita. Kau mengerti?"
Baik Sidung, Mintorini, bahkan Sutiarsih, tak berani beringsut dari tempat duduk mereka. Terpaku bagai patung bisu bila ibu sudah berkata kata lugas seperti itu. Sebagai putra putri seorang Asisten Wedana (AW) Donorojo, Sindung dan adik2nya tau benar akan pentingnya trep susila dalam bermasyarakat. Tata susila selalu berkaitan dengan.martabat, kehormatan, dan nama baik.

"Berapa sih umur gadis itu kok sudah diminta orang?" tanya bapak.
"Dia teman sekelas saya, pak." Tiba2 saja Mintorini ikut bicara.
Bapak  menoleh dan memasang wajah kaget.
" Masih bau kencur sudah berani omah omah (menikah)!" Bapak setengah berteriak. "Apa kata orangtuanya?"
Sebelum menjawab, ibu menarik tangan bapak dan mengajaknya pindah ke ruang tengah. Ibu hanya ingin melanjutkan pembicaraan dengan bapak berdua saja. Anak2 mengerti tentang isyarat kebiasaan ibu. Maka Mintorini dan Suti segera membereskan meja makan, sedangkan Sindung mengurung diri di kamarnya.
"Apa kata bu Mangun?" Tanya bapak.p
"Menghindari fitnah dan.khilaf, pak."
"Apakah, ...."
"Kata bu Mangundirejo, laki2 itu setiap malam datang ke kamar Tining."
"MashaaAllah! Bagaiman bisa?"
"Nyatanya bisa."
"Masa iya rumah bu Mangun ndak ada kuncinya?"
Ibu mengngkat bahu tanda tidak tau. Bapak menarik sehela nafas panjang. Malam semakin.larut, gelap di luar.  Pepohonan di halaman bahkan seakan tak.bergerak. Sesekali suara jengkerik memecah kesunyian yang tiba2 menggantung.
"Kasihan Sindung," bapak mendesah.
"Ya."
Di belakang rumah, Suti membantu mbakyunya membersihkan peralatan makan.
"Yu...."
"Ya?"
"Yu Min kenal ndak, dengan calonnya yu Tining?"
"Tidak, Kenapa kau tanyakan?"
"Yu Tining itu cantik. Menurut yu Min, cantik ndak?"
"Dia cantik. Cantik dan manis."
"Ho'oh. Pantesnya jadian sama mas mbarep ya ?"
Mintarsih mengusap mata.
"Yu.... Yu Min menangis?"
Mintorini menunduk. Menyembunyikan tangisnya diam diam,
"Aku kasihan pada mas nDung, Sut. Sudah lama aku tau, dia menyukai Tining. Bgaimana perasaannya sekarang, kita pasti bisa ikut merasakan."
"Aku jadi ingin tau," kata Suti gemas. "Seberapa hebatnya sih laki2 itu?"
Makin keras tangis Mintorini Tertahan tahan, hingga menyesakkan dadanya sendiri.
"Sebaiknya besok aku kesana, " kata Suti.
"Hush! Jangan sembrono kamu Sut."
"Yu Min bikin jajan ya, aku antarkan buat yu Tining besok. Siapa tau ada cerita tentang calon suaminya. Yu Min bisa kan?"
Mintorini membersit hidung, mengangguk setuju. Keduanya berpandangan dan tersenyum.
"Dasar kancil. Banyak akalnya," Mintorini menjitak adiknya gemas.
"Jangan sampai ibu tau, Sut."
Suti tertawa lebar.
"Beres, Yu."

PANTAI KLAYAR,  DONOROJO
Julukan bagi kota kecil itu adalah kota seribu goa. Kota kecil itu merupakan salah satu penyedia pantai yang indah. Disini ada lebih sepuluh pantai yang bisa dikunjungi. Sebagian besar memiliki hamparan pasir yang putih dan air laut yang jernih. Berbatasan dengan samudera Hindia,  beberapa pantai memiliki ombak yang tinggi.
Bagi Suti dan teman2 nakalnya, rasanya lebih suka  mendatangi. Pantai Klayar. Pantai yang dikelilingi batu dan bukit karang. Di salah satu karang yang tetletak di ujung paling timur terdapat air mancur yang masuk melalui celah karang. Menjadikan suasana pantai menjadi kian romantis. Disanalah  rupanya Tining bertemu dan berkenalan dengan calon suaminya.
Mintorini mendengarkan kisah itu dari bibir adiknya sepulang Suti dari rumah Tining mengantar penganan buatan Mintorini.
"Jadi mereka berkenalan di Klayar?"  Mintorini menegaskan.
"Siapa nama pemuda itu, Sut? Kau tanyakan juga?"
"Namanya Ronggo yu. Lengkapnya,   Ronggowuni."
Mintorini mengerutkan kening. Sepertinya nama itu tidak asing bagi telinganya. Tetapi..... Ah! Masa iya sih? Mokal. Tidak mungkin Ronggo yang itu!
Suti menatapnya curiga.
"Yu Min mengenalinya?"
Mintorini menggeleng ragu.
"Mungkin bukan Ranggawuni yang kukenal. Tidak mungkin dia."
"Yang yu Min kenal Ronggo yang mana sih?"
Mintorini tersenyum samar.
"Kapan meteka akan menikah?"
"Menurut yu Tining nanti kalau sudah ada goro goro."
"Goro goro apa!"
"Mana aku tau, yu. Dia bilangnya begitu kok. Pokoknya, ndak lama lagi. Kita diminta menyediakan janur kuning saja yu. Untuk menghormati hari pernikahannya nanti."
"Gila!"
Tiba2 Sindung sudah berada diambang pintu, mendengar semua percakapan adik2nya-
Raut wajahnya keruh, bibir terkatub keras.
"Mas...!"
"Tining itu sudah gila." tandasnya.
"Kok mas .nDung ngomongnya gitu."
"Kalau betul laki2 itu Ronggowuni, pasti bukan Ronggowuni yang lain. Itu adalah Ronggowuni putera kesayangan bu Ratu Kidul"
"Ah!"
"Hanya orang gila yang mau menikah dengan alam gaib. Itu mokal. Tidak akan pernah terjadi, kecuali...."
"Kecuali...apa?"
"Kecuali mati."