Jumat, 19 Februari 2010

TROWULAN (4)


PANTAI PUGER.
Secara geografis, pantai Puger sebenarnya tak terlalu berbahaya karena berhadapan langsung dengan Samudra Indonesia. Ombak besar yang datang akan lebih dulu ditahan oleh pulau Nusa Barung yang teerletak di depan Pantai Puger. Kalau dilihat sepintas panorama pantai, tak terkesan keangkerannya selain semilir angin yang memberikan kesejukan.
Nelayan hilir mudik dengan perahunya melaut. Bukit-bukit di sekitar pantai menjulang menghijau. Tetapi begitu memasuki cekungan sempit saat hendak melewati sebuah gugus karang yang disebut Pelawang Maut, keangkeran mulai terasa. Apalagi bila ombak sedang besar.
Padahal pada musim ikan dimana sedang musim kemarau panjang, permukaan air laut sedang surut. Gugus karang muncul kepermukaan laut laksana gigi-gigi tajam yang siap merobek-robek setiap setiap perahu yang melewatinya. Berbeda dengan saat musim penghujan dimana air laut sedang pasang, gugus karang itu tenggelam dan tidak terlalu membahayakan.
Secara bercanda Rayun telah mengatakan bahwa mereka berdua bukanlah pengail yang berpengalaman memancing di laut. Mereka adalah pemancing-pemancing pemula yang tidak mengenal keganasan laut yang ada. Tanpa dibebani kekhawatiran maupun kecemasan, mereka datang ke Puger, dan meniatkan diri memancing ke laut. Pamugaran menyewa sebuah perahu milik seorang nelayan bernama Mui. Melihat bahwa keduanya adalah orang kota yanag datang untuk peertama kalinya ke tempat itu, tanpa tedeng aling-aling, Mui mengingatkan akan keganasan ombak pada musim ikan seperti itu.
“Memang,” kata Mui. “Pada musim ikan seperti ini kami bisa memanen hasil laut sebanyak-banyaknya. Hanya saja bagi kami para nelayan Puger, kegembiraan menyambut musim ikan terkadang berbaur dengan perasaan was-was. Jangan-jangan ombak juga besar. Terutama bila sampai ke gugusan karang itu, sepintas memang tidak mengesankan apa-apa karena hanya berupa tonjolan karang yang berhubungan dengan daratan. Namun, gugusan itu merupakan satu-satunya jalan menuju ke laut bebas. Hati-hati bila melewatinya. Karena kalau kurang hati-hati, ombak akan menghempaskan perahu kita dan bisa-bisa perahu kita akan karam.”
Mendengar keterangan Mui yang cukup panjang itu, Rayun tiba-tiba menjadi ragu. Namun Pamugaran tetap bersikukuh untuk meneruskan niatnya. Dalam hati, dia samasekali tidak percaya nasib sial akan menimpanya seperti yang dituturkan Mui.
“Baiklah,” kata Mui akhirnya.
“Saya akan menyuruh salah satu anak buah saya untuk mengantarkan kalian.”
“Terimakasih, Ki.”
Menjelang malam, Pamugaran dan Rayun mengikuti beberapa orang nelayan lain ke laut. Angin bertiup lembut. Langit bertabur bintang. Ombak juga tidak terlalu besar, sehingga ketika perahu-perahu itu melewati Pelawang Maut yang dikatakan mereka sebagai pintu gerbang menuju ke Keraton Gaib Sang Penguasa Laut, Nyi Roro Kidul, semuanya berjalan lancar. Dengan selamat, mereka melewatinya.
Setelah semalaman berada di tengah laut dan setelah emndapatkan banyak ikan, mereka bermaksud kembali ke darat. Sebentar lagi matahari akan terbit . Para nelayan memutar perahu menuju ke pantai. Perahu-perahu itu tampak sarat oleh banyaknya ikan yang berhasil mereka tangkap, melimpah ruah memadati perahu. Seakan Ratu pantai Selatan sengaja beermurah hati menghadiahi mereka dengan semuanya itu.
Pamugaran segera mengabadikan sebuah siluet indah di ufuk Timur dengan kamera digitalnya. Warna merah, kuning kunyit dan pucat di sana itu amatlah indah. Perahu berwarna warni dangan layar terkembang perlahan meluncur tenang menuju rumah kembali. Alangkah mempesona. Belum lagi suara celoteh dan nyanyian kegembiraan nelayan, timbul tenggelam disapu angin, membuat suasana kian mengesankan.
Namun semuanya itu tidaqk berlangsung lama.
Secara tiba-tiba dengan tak disangka-sangka angin yang tadinya lembut mengalun, mendadak jadi berhembus kencang. Ombak datang bergulung kian lama kian tinggi. Dengan gemetar, Rayun menatap langit yang berubah jadi kelam. Selapis demi selapis awan hitam berkumpul menyatu bersama mendung. Mendung yang tampak kekenyangan itu bergerak perlahan, lalu turun satu satu bagai amarah. Deras berpacu membentuk butiran-butiran besar yang kemudian jatuh ke permukaan laut. Gerimispun kian deras bersamaan dengan ombak yang kian menggila.
Perahu-perahu itu terombang-ambing. Pantai sudah kelihatan namun ketika melewati cekungan sempit gugusan karang Pelawang Maut, ombak semakin besar dan tak kenal kompromi. Sedetik kemudian baik Pamugaran, Rayun Wulan, dan nelayan pemandu mereka merasa bahwa perahu mereka tiba-tiba terangkat tinggi oleh sebuah ombak besar, lalu terbanting ke kanan.
Sekuat tenaga, Pamugaran mencoba bertahan. Sebelah tangan memeluk pinggang Rayun yang ikut tercebur ke laut, sebelah tangan yang lain masih bertahan memegang tepi perahu. Dengan caranya sendiri Pamugaran ingin menyelamatkan gadis itu, namun ketika sebuah ombak besar menggulung mereka, Rayun Wulan terlepas dari tangannya.
Pamugaran mencoba tidak cepat panic. Dengan menenangkan diri, dia mengyelam, mecari kemana Rayun dibawa hanyut. Dimana dia…? Terus menyelam, berputar-putar, namun sosok gadis itu taak dapat ditemukannya. Tungkainya tetap bergerak hingga nyaris kaku, kadang muncul ke permukaan dan ebrteriak, Rayuuuun…! Tapi bayangannya saja tidak kelihatan. Sampai beberapa nelayan mengangkatnya ke perahu lain dan membawanya ke pantai, Pamugaran tetap saja berontak ingin terus menyelam. Dadanya mulai dirajam perasaan khawatir dan panic. Mulutnya berteriak terus menerus memanggil nama Rayun Wulan. Namun dengan sabar para nelayan itu berusaha membuatnya tenang. Sementara itu, ada dua perahu yang tetap berada di tengah Pelawang Maut. Berputar-putar mencari keberadaan Rayun Wulan.
Rayun Wulan sendiri hampir tidak sadar lagi. Tubuhnya meluncur turun sampai ke dasar. Mengagapai-gapai bagaimanapun, jemarinya tak pernah sampai ke permukaan. Dia hanya mendengar gemuruh air bergulung-gulung di sekitarnya. Namun tiba-tiba tangannya menyentuh sesuatu yang lembut. Jemari..?
Jemari tangankah yang disentuhnya itu? Rayun tidak bisa membuka mata. Dia hanya bisa merasakan, bahwa benda itulah yang menyeretnya hingga dia berhasil memeluk suatu benda panjang seperti pohon kelapa. Rayun memeluknya erat, Dia hanya membayangkan bahwa itu adalah sebatang pohon yang hanyut bersamanya. Rayun merasa beruntung saat dirasakannya benda itu perlahan meluncur ke atas permukaan laut.
Namun ketika sampai ke permukaan dan dia berhasil menarik nafas panjang sambil memuka mata,…
Rayun terperanjat bukan kepalang. Ternyata itu bukan pohon biasa. Benda seperti pohon kelapa itu
ternyata bersisik besar-besar dan berkilau oleh pantulan air. Sisik atau bukan? Rayun hanya melihat seakan ada hamparan keping uang logam yang ditata dengan bagus. Berkilat putih keperak-perakan selayaknya uang logam limaratusan yang baru.
Tiba-tiba Rayun dicekam perasaan takut luar biasa. Perlahan dia memahami bahwa benda itu bukan sebatang pohon kelapa, namun seekor ular yang besar sekali. Pelukannya pada batang panjang itu terlepas. Dia berteriak. Namun benda itu segera menenggelamkan diri, menghilang lagi ke dasar laut.
Segumpal air laut masuk kemulutnya. Kembali Rayun Wulan merasa panik dan terbatuk-batuk. Namun air laut lebih banyak lagi tertelan. Aduh mak! Rasanya sudah mau semaput saja menahan rasa sakit pada tenggorokan dan sumpek di lubang hidung. Rayun semakin lemas. Hampir saja dia menyerah dan bertanya-tanya, apakah seperti ini kematian itu datang? Saat itulah dia merasakan sepasang tangan yang kokoh mengangkatnya ke atas sebuah perahu.Dengan tersengal-sengaal Rayun Wulan menghirup udara sepenuh dada, lega dan syukur masih diberi kesempatan untuk tetap hidup.
Seseorang menyelimutinya dengan selembar selimut tebal kemudian memeluknya arat. Perahu itu ternyata perahu motor, bukan perahu nelayan biasa. Rayun mencoba mengerling. Penolongnya ternyata seoranag le3lakia gagah berkumis tebal. Kedua lengannya yang kuat telah menyelamatkannya dari kematian. Menghangatinya dengan selimut tebal dan pelukan yang cenderung posesif. Seseorang yang lain mengulurkan secangkir teh hangat kepadanya dan bertanya,
“Kau tidak apa-apa?”
Rayun hanya mampu menggeleng. Dihirupnya minuman itu cepat, namun dia bahkan terbatuk keras.
Lelaki gagah di sampingnya mengambil cangkir itu.
“Pelan-pelan saja,” ujarnya. Kemudian disentuhkannya bibir cangkir itu ke bibir Rayun.
Bibir Rayun gemetar menahan dingin dan takut. Tanpa kedip lelaki berkumis itu menatapnya.
“Masih terasa dingin?” tanyanya.
Rayun membalas tatap matanya. Laki-laki itu bertopi koboi, berkumis tebal, dan memiliki sepasang mata rajawali. Kini dia bahkan mengulas senyum tipis di bibirnya yang berbentuk garis.
“A…a..aku melihat … seekor ular…” desis Rayun sambil terus menggigil.
Laki-laki itu mengerutkan kening.
“Ular?”
Rayun mengangguk cepat.
“Did…dia…menggendongku ke atas…”
Laki-laki itu meletakkan cangkir ke lantai perahu. Lalu kembali menatap mata Rayun.
“Itu bukan ular. Itu seekor naga,” katanya hati-hati.
“Apa?” Rayun membalas tatapannya dengan kaget. Bibirnya mengatup menahan gemetar yang tiba-tiba saja membuatnya menggigil. Pria berkumis tebal itu tersenyum seakan-akan ingin menenangkannya.
“Beruntung kau bertemu dengannya,” katanya. “Naga itu bukan sembarang naga. Jaman sekarang, mana ada naga beneran?”
“Lalu.., dia itu, apa?”
“Dia adalah seekor naga siluman penjaga ceruk Pelawang Maut. Orang disini menamai dia Naga Tatmala. Sisiknya putih keperak-perakan. Dia memiliki sepasang tanduk pendek di kepalanya. Rahangnya berjenggot panjang dan besarnya…tidak bisa kau bayangkan. Kalau melihat ciri-ciri fisiknya, kita tau bahwa usia siluman itu sudah ribuan tahun. Sebagai siluman, dia bisa berubah wujud menjadi apa saja. Dia bisa menampakkan diri sebagai seekor naga raksasa, atau bahkan sebagai ular kecil sebesar kelingking. Dia bisa berubah menjadi seorang resi berjenggot panjang, namun bisa menjadi seorang kesatria gagah yang tampan dan perkasa. Dia adalah siluman yang baik. Masih kerabat dekat dengan penguasa Laut Selatan, Nyi Kanjeng Ratu Kidul. Tadi dia sudah berkenan mengentaskanmu dari dasar laut, membawamu ke permukaan. Maka ketauilah bahwa dia akan terus datang secara berkala kepadamu dan akan terus membayangimu kemana saja kau pergi. Terlebih bila kau dekat dengan Laut Selatan.”
Merinding tengkuk Rayun mendengarnya. Dia sudah berusaha keras untuk tidak tampak ketakutan. Kendati dikatakan bahwa Naga Tatmala adalah naga siluman yang baik dan tidak kejam, tetap saja dia naga siluman. Kalau suatu ketika harus berdiri berhadap-hadapan, siapa yang tidak takut? Lantas, apa maksud naga itu akan selalu membuntutinya? Dan apa maksud ucapan lelaki berkumis itu?
“Siapa namamu?” tanya lelaki itu.
“Rayun. Rayun Wulan.”
“Kau datang bersama dengan pria dari Surabaya itu. Siapa namanya?”
“Dewa Pamugaran. Apa dia selamat?”
“Alhamdulillah, dia baik-baik saja.”
“Syukurlah. Terimakasih telah menyelamatkan kami.”
Pria yang tak juga mau menyebutkan nama sendiri itu mengangguk dan membiarkan Rayun duduk agak menjauh darinya. Kini dia membuka sebungkus rokok sambil tersenyum pada Rayun.
“Boleh merokok?”
“Oh, silakan.”
Dengan kalem lelaki itu mencabut sebatang rokok dan menyulutnya dengan geretan Zippo berwarna kuning mas. Ketika menyedotnya, kelihatan sekali kenikmatannya.
“Suatu saat, “katanya kemudian. “Kau akan mengenal Naga Tatmala lebih dalam. Oh, hampir lupa. Kenalkan, aku Aryo Wangking.”
Rayun menerima jabat tangannya. Dia merasakan jabat tangan Aryo Wangking sangat kuat dan menekan, namun tidak menyakitkannya. Ada sesuatu yang hangat mengalir dari telapak tangannya dan merasuk ke jantung Rayun.
“Bagaimana caranya mengenali naga itu lebih dalam?”
“Aku tidak bisa menjelaskannya. Kau akan tau dengan sendirinya.”
Rayun sulit mengerti akan kata-katanya. Dia justru tertarik untuk lebih memperhatikan laki-laki itu ketimbang segala macam perkataannya yang rasanya terlalu muskil untuk dipercaya. Beruntung sekali arus lebih tenang dan berhasil membawa mereka ke pantai. Dari jauh sudah terlihat beberapa orang berdiri di bibir pantai menunggu perahu motor itu merapat. Pamugaran juga ada bersama mereka. Ternyata, sepertihalnya Rayun, para nelayan telah berhasil menyelamatkan Pamugaran. Bersamaan dengan redanya hujan, matahari pagi muncul menghangati persada. Mereka turun, dan beramai-ramai menuju ke rumah Mui yang kemudian mempersilakan Rayun dan Pamugaran mengganti pakaian yang basah. Setelah itu Rayun dan Pamugaran ikut bergabung dengan Mui dan beberapa orang lainnya duduk di teritisan rumah menikmati kopi jahe dan beberapa penganan tradisionil.
“Masih untung Bapak bisa berenang dan berpegang erat pada lambung perahu, kalau tidak…” ujar Mui sambil menatap Pamugaran.
“Ya, saya tau akibatnya kalau saya tidak mampu menguasai diri. Lebih bersyukur lagi karena teman saya ini, Rayun Wulan, juga terlepas dari maut. Padahal ketika dia menghilang ditelan ombak tadi itu, saya sempat putus asa Ki.”
“Itu karena Aryo Wangking. Kebetulan dia baru saja balik dari Pelawangan. Sebetulnya dia itu bukan nelayan, tetapi seorang arkeolog sekaligus ahli tirakat yang sering datang kesini. Entah dimana dia sekarang. Tadi saya lihat jipnya masih ada. Barangkali sedang melihat-lihat perahu yang karam itu. Biasanya ada yang bocor pada lambungnya. Perahu itu harus diperbaiki. Kalau tidak rasanya tak mungkin dipakai lagi.”
“Kalau sudah begitu keadaannya, terus bagaimana Ki?”
“Ya harus dijual.”
“Apakah harus?”
“Masyarakat disini punya kepercayaan bila mengalami musibah di laut, perahunya tidak boleh dipergunakan lagi. Lebih baik dijual saja.” Kata Mui. “Saya sendiri tidak pernah merasa jera dengan kecelakaan yang pernah saya alami beberapa kali. Laut sudah merupakan kehidupan saya. Sebenarnya kecelakaan di laut itu semua nelayan gentar menghadapinya. Tapi karena sudah terbiasa, akhirnya kami memiliki jurus-jurus untuk menangkalnya. Sehingga tak sampai mengalami sesuatu yang tragis. Selama ini yang menjadi korban adalah nelayan-nelayan dari luar Puger. Yang kurang mengenal keganasan gugus karang itu. Seperti Bapak berdua inilah, contohnya.”
Pamugaran tersipu.
“Saya heran, kalau mau berwisata mengapa memilih tempat ini sebagai tempat wisata,” lanjut Mui.
“Itu kesalahan saya,” jawab Pamugaran. “Sebenarnya kami hanya ingin bersenang-senang sedikit sambil memancing, dan saya ingin memotret panorama pagi di laut. Tidak disangka malah mengalami musibah yang nyaris merenggut nyawa.”
“Sudahlah. Semuanya sudah lewat. Kita semua merasakan syukur itu. Bapak berdua telah selamat dari gugus karang yang telah banyak menelan korban itu. Dalam tiga bulan ini saja, sudah duapuluh yang menjadi korban. Tragisnya lagi, ada beberapa mayat yang tidak pernah diketemukan hingga kini. Jadi benar, Bapak datang dari Surabaya?”
“Betul, Ki.”
Mui manggut-manggut sambil terus menghisap rokok klobot kesukaannya. Mereka kemudian tenggelam dalam obrolan yang lebih mengasyikkan, hingga tiba-tiba datang seseoranag dengan langkah mantap tanpa kesan terburu-buru menuju k tritisan rumah Mui.
“Itu dia Mas Aryo,” kata Mui.
Rayun dan Pamugaran menengok ke arah yang ditunjuk. Mereka melihat seorang pria datang dengan wajah angker. Hampir separuh wajahnya tertutup topi koboi berwarna gelap dan sebuah kacamata hitam. Kumisnya tebal, mengenakan jaket kulit dan celana jins. Entah kenapa, begitu melihatnya dada Rayun serentak berdebar kencang.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar