Minggu, 28 Februari 2010

TROWULAN (9)


TROLOYO.
Semua orang tau, Troloyo memang kompleks penuh misteri. Beberapa makam yang kurang dikenal identitasnya di tanah pelataran berumput itu, tampak tidak terawat. Tetapi sengaja didatangi peziarah.
Misalnya, sebuah makam dibawah pohon beringin besar di sudut Barat Daya lapangan, oleh warga setempat dikenal sebagai makam seorang waranggana. Tetapi anehnya, mereka bingung menyebutkan namanya. Konon yang sering berziarah kesitu adalah mereka yang berprofesi sebagai waranggana. Tentunya dengan maksud agar suara dan penampilannya punya greget.
Kesanalah Aryo Wangking pergi.
Selepas sholat Isya’, dia mengendarai jip kunonya ke tempat itu. Disanalah Aryo berharap bisa beertemu dengan Aryo Empul maupun istri mudanya sinden Sragen itu. Karena biasanya Sinden itu sering bertafakur di dekat makam waranggana tanpa nama itu untuk pencapaian maksud-maksud tertentu yang dimilikinya.
Aryo menunggu di teritisan rumah Ki Sumari, juru kunci Troloyo. Ditemani Ki Sumari, Aryo menunggu sambil mengobrol, namun hingga hampir satu jam menunggu, tak juga nampak sosok orang yang dicari.
Akhirnya Ki Sumari berkata,:
“Aku memang mendengar berita tentang Ki Empul, kakangmu itu, tetapi maaf, aku tidak yakin dia akan senekad itu mengawini perempuan dari Sragen itu.”
Aryo menatap heran wajah Ki Sumari.
“Begitukah menurut Ki Sumari?”
“Aku punya alasan. Akulah orangnya, kalau memang berita itu benar, yang paling tau soal pernikahan Empul. Sebab baru saja perempuan itu datang dan berziarah, tampaknya dia sendirian saja.”
“Barangkali benar, tapi bisa saja Kang Empul tinggal di suatu tempat, bukan disini.”
“Menurut penerawanganmu, bagaimana?”
“Menurut kacamata supranatural yang saya miliki, dia tinggal di Sooko. Masalah kawin atau tidak dengan perempuan itu, rasanya sama saja dengan kumpul kebo. Kawin siri atau kumpul kebo, nyaris sama saja kan?”
“Itu tidak mungkin,” Ki Sumari tertawa. “Kalau saja benar perkiraanmu, dia pasti datang bersama Anjasmara.”
“Anjasmara? Siapa Anjasmara?”
“Sinden Sragen itu namanya Anjasmara. Apa kau tidak tau?”
“Tidak. Saya tidak tau namanya Anjasmara. Beraninya dia memakai nama itu!”
Sumari tertawa menyadari kegeraman yang tersimpan dalam sorot mata rajawali muda di depannya. Bisa saja Aryo merasa harus geram, karena yang dimakamkan di Troloyo ada tokoh legendaris yang bernama sama. Seharusnya perempuan itu memakai nama yang lain sebagai nama populernya, jangan yang itu.
“Kurasa yang dikatakan orang-orang itu belum tentu benar, Yok.”
“Kalau itu mengenai perselingkuhannya, saya rasa orang-orang benar. Sebab saya melihat dengan mata kepala sendiri, yu Mirah juga melihatnya. Masalah mereka tinggal serumah, resmi maupun tidak, rasa-rasanya sudah tidak bisa ditolerir lagi, Ki. Maksud saya, kalaupun mau kawin atau berselingkuh, janganlah dengan orang-orang di sekitar sini. Carilah perempuan yang tidak pernah dikenal di Trowulan. Berita yang menyebar, membuat saya jadi tidak enak.”
“Sudah, sudah. Bagaimanapun dia adalah darah dagingmu sendiri. Tidak baik menyesalinya. Sepertinya jadi kayak menepuk air di dulang terpercik muka sendiri.”
“Darah memang lebih kental dari air, itu benar. Saya hanya tak ingin melihat Yu Mirah menderita lebih jauh. Kasihan dia.”
Sumari menghela nafas dalam dalam.
“Ya, kasihan dia,” ujarnya mengiyakan kata-kata Aryo.
“Tolong saya, Ki. Carikan berita yang benar. Saya sendiri jadi tak enak tinggal serumah dengan Yu Mirah berdua saja. Takut menimbulkan fitnah.”
“Insya Allah, Amin. Oh ya, Yok. Beberapa hari yang lalu ada seseorang datang kepadaku, minta tolong agar saudara perempuannya yang sedang sakit disembuhkan. Kukatakan kepadanya, aku ini tidak memiliki ilmu apa-apa. Lantas saja aku teringat kepadamu. Kau pasti bisa menolongnya.”
Kini giliran Aryo yang tertawa geli. Disulutnya sebatang rokok, menyelipkannya di bibir sambil bertanya,:
“Lucu, sepertinya Ki Sumari telah menganggap saya ini dukun?”
“Bukan begitu maksudku,” jawab Sumari ikut tertawa lebar. “Paling tidak, doamu lebih makbul ketimbang doaku. Betul begitu, kan?”
“Ah, Ki Sumari ini ada ada saja. Teruskan, Ki. “
“Begini, nama orang itu drs. Bondan Kejawan, asal Banyuwangi. Katanya, dia sudah pergi mencari pengobatan kemana-mana, namun hasilnya nihil. Bahkan sering dikerjain sama dukun-dukun yang dia datangi. Hingga sudah begitu banyak dana yang dia keluarkan tanpa menghasilkan apa-apa. Suatu malam, dia bermimpi.”
Sumari menghentikan bicaranya, sebab dia melihat senyum Aryo yang penuh misteri kian jelas tersungging di bibir, seakan mengatakan padanya bahwa semua kisah tentang Bondan Kejawan itu sudah bisa ditebak melalui terawangannya.
“Kau sudah bisa menebaknya?” tanyanya pada Aryo.
Yang ditanya membuang abu rokok dalam asbak dengan sikap cuek.
“Ya,” sahutnya tanpa basa-basi.
“Jadi…?”
“Saudara perempuan drs. Bondan Kejawan itu memang sedang dijadikan wadal.”
“Wadal?”
“Nenek moyangnya semuanya penganut Segara Kidul. Mereka rata-rata kaya raya hingga tujuh turunan, namun dengan ada salah satu dari keturunannya dalam setiap generasi, akan menderita penyakit kulit yang sangat parah.”
“Cocok! Drs. Bondan Kejawan juga bilang begitu. Saudara perempuannya itu memang sudah amat parah. Dia sudah tidak bisa bangkit dari tempat tidur. Aku jadi tidak bisa membayangkan penyakit kulit macam apa yang membuat seseorang seperti itu?”
“Menurut penglihatanku, kulitnya jadi bersisik seperti ular. Makin lama makin banyak dan membuatnya jadi tidak leluasa untuk bergerak. Penyakit itu akan segera menggerogoti sekujur tubuhnya hingga dia meninggal dalam sebuah kesengsaraan yang menggigit.”
“Astaghfirullahaladziiim….”
“Dimana rumah beliau, Ki?”
“Aku punya kartu namanya, sebentar, kuambilkan dulu.”
Sumari mengambil sebuah kartu nama dan memberikannya kepada Aryo Wangking. Aryo membacanya sebentar, menyentuhkan ujung ibu jari tangan kanannya pada nama pemilik kartunama itu, kemudian mengangguk.
“Simpan saja kartu ini, Ki. Kalau sewaktu-waktu beliau datang lagi, suruh menemui saya di…”
Lama dia terdiam, hingga dengan tak sabar Sumari bertanya,:
“Di…Siti Hinggil, atau di rumahmu?”
“Sulit bagi saya mengatakannya.”
“Ada apa, Yok? Katakan saja, siapa tau aku bisa membantu kesulitanmu itu.”
“Sebetulnya, menyimpang dari pembicaraan kita ini, saya ingin segera memisahkan diri dari Kang Empul. Saya pikir, memang sekaranglah waktunya yang tepat. Toh selain saya jarang pulang, Kang Empul juga tidak lagi kembali ke rumah itu. Namun saya merasa tak enak juga dalam situasi seperti ini oncat begitu saja dari rumah mereka.”
“Apa sudah bulat tekadmu untuk pergi dari rumah itu?”
“Ya, Ki.”
“Tega kau meninggalkan mbakyumu sendirian seperti itu tanpo rowang?”
“Saya rasa itu terbaik yang bisa saya lakukan. Saya tak ingin ada fitnah.”
“Tak ada yang berani memfitnahmu. Semua orang di petilasan Majapahit ini tau siapa dirimu.”
“Diantara yang banyak pasti ada sedikit yang tidak menyukai saya. Itu pasti. Dan saya tak mau menjadi orang yang tidak disukai karena persoalan yang satu itu.”
“Kau benar. Akupun dulu pernah jadi orang muda. Kekhilafan itu begitu dekat dengan urat nadi di leher kita. Karena itukah kau mencari kepastian tentang keberadaan kakangmu?”
“Saya hanya ingin bicara dengannya tentang status Yu Mirah dan perempuannya itu. Kalau memang betul dia lebih memilih Anjasmara, bagaimana dengan Yu Mirah? Dimadu, atau diceraikan? Kalau dicerai, pasti ada caranya. Tidak seperti membuang barang bekas ke tong sampah begitu saja. Tetapi kalau dimadu, juga ada caranya. Kang Empul harus bisa bersikap adil terhadap kedua istrinya. Biasanya itu akan sulit dilakukan para lelaki di dunia ini. Mokal, bisa. Apalagi Kang Empul egonya amat tinggi. Maksud saya, kalau semuanya jelas kan enak. Yu Mirah bisa menikah lagi kalau mau, dan kang Empul insya Allah tidak dibebani dosa.”
“Aku senang melihatmu bijak, Yok.”
“Mudah-mudahan, Ki.”
“Lantas sekarang, bagaimana?”
“Lebih baik saya pulang dulu, mau beres-beres. Siapa tau besok atau lusa saya sudah menemukan tempat lain yang saya maksud.”
“Nanti kubantu mencarikannya.”
“Terimakasih.”
“Jadi kalau drs. Bondan Kejawan datang, aku harus bilang apa?”
“Beliau bisa menemui saya di Musium. Setiap hari saya ada di sana. Atau bisa menitipkan pesan kepada pak Sikan di Siti Hinggil.”
“Baik.”
“Aryo menggamit bungkus rokok dan geretan dari atas meja. Dibenamkannya topi koboinya lebih dalam ke kepala. Pria itu terlihat semakin penuh misteri. Ki Sumari mengantarkannya hingga Nissan tanpa kap itu menghilang di kegelapan malam.

(Bersambung).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar