Sabtu, 27 Februari 2010

TROWULAN (8)


SUMIRAH.
Setelah beberapa hari tidak pulang, akhirnya Aryo Wangking memilih untuk kembali ke rumah Aryo Empul, kakang kandungnya. Apa boleh buat, pikir Aryo. Selama belum menemukan sebuah rumah kontrakan atau kamar sewaan, dia memang harus bisa menahan diri dan perasaan untuk selalu menerima sikap tak enak dan muka masam Aryo Empul.
Sejak kejadian malam itu, saat Empul mengusirnya, kemudian diteruskan dengan perbuatan seronoknya dengan Sumirah yang seolah menyeretnya jadi tidak waras, Aryo Wangking tak pernah lagi bertemu dengan kakangnya itu. Selain merasa terusir, Aryo juga menjadi jengah menatap wajah Aryo Empul.
Kedatangan Aryo kembali ke rumah itu disambut ceria oleh Sumirah. Perempuan itu segera mengingatkan untuk segera mandi, makan dan menurunkan baju kotor untuk dicuci di sumur. Aryo tau betul, Sumirah amat sayang kepadanya. Dia selalu saja terlihat ikhlas melakukan apapun untuknya. Yang sangat tidak disukai Aryo adalah berkembangnya perasaan itu menjadi lebih besar melebihi kewajaran. Jauh di dasar hati, ternyata Sumirah memendam perasaan cinta seorang perempuan kepada seorang laki-laki, pada Aryo. Mula-mula perempuan itu berusaha menyembunyikannya. Tapi belakangan semenjak Aryo Empul mulai bersikap kasar, Sumirah merasa sudah tak perlu lagi merahasiakan perasaan hatinya. Secara terbuka dia mulai memperlakukan Aryo Wangking bagai memperlakukan lelaki yang sangat istimewa baginya.
Mula-mula, memang, dia cuma butuh kawan bicara. Sekadar kawan bicara yang mampu menampung seluruh duka kecewanya. Namun lama kelamaan, Sumirah jadi betul-betul terpikat dengan gaya bahasa dan gaya bicara anak asuhannya itu. Dia jadi suka keasyikan membayangkan senyum dan sorot mata Aryo Wangking. Semua kelebihan itu tidak pernah dia dapatkan dari Aryo Empul yang cenderung brangasan dan grasa-grusu. Maka kian hari mimpi itupun kian erat digenggamnya.
Pada akhirnya Sumirah punya kegemaran baru. Dia suka sekali pergi malam-malam ke Siti Hinggil dan bercanda atau saling menggoda dengan para penghayat di tempat itu. Mula mula dia menganggap semuanya itu hanya seladar penghilang kegundahan kaarena disisihkan dan disepelekan oleh suaminya, Ki Empul. Namun lama kelamaan itu merupakan satu kesenangan yang tak bisa dijelaskan. Meskipun kesenangan berkumpul dengan para penghayat itu tidak bisa dibandingkan kebahagiaannya tatkala bersama Aryo Wangking, namun sepertinya Sumirah mengalami satu kegiatan yang mengasyikkan. Sesekali godaan lelaki yang menjeratnya tak mampu dia tolak. Maka pergilah dia dengan lelaki itu ke Sekar Putih, sebuah hotel mini tak jauh dari Siti Hinggil.
Ketika dengan bangga sambil memanas-manasi , dia ceeritakan itu kepada Aryo Wangking yang cenderung dingin terhadapnya, pria gagah itu mengatakan bahwa Sumirah sudah tidak waras lagi. Bagaimana tidak? Perempuan itu adalah istri kakangnya, namun dia malah menceritakan perselingkuhannya kepada Aryo. Bukankah itu menandakan bahwa perempuan bahenol itu sudah tidak waras lagi?
Aryo Wangking sudah menganggap Empul dan Sumirah sebagai pengganti orangtua sendiri. Karena sejak berusia empatbelas tahun, Aryo mulai ikut dan ddibesarkaan di rumah mereka. Mereka memberinya ruang untuk tinggal, memberinya makan dan beaya sekolah hingga lulus SMA. Ketika Aryo menyatakan bahwa dia ingin meneruskan sekolahnya hingga ke perguruan tinggi, mereka mempersilakan Aryo mencari beaya sendiri karena kemampuan mereka hanya bisa memberikan kesempatan kepada Aryo hingga SMA saja. Aryo harus membeayai kuliahnya di Yogyakarta dengan hasil keringaat sendiri. Namun walaupun berjauhan, Aryo tetap tak ingin kehilangan keluarga satu-satunya itu. Dia masih sering pulang. Bahkan bila liburan semester, dia tetap meneympatkan diri untuk pulang dua atau tiga hari lamanya. Barangkali itu yang membuatnya dekat dengan Sumirah. Apalagi Sumirah dan Empul tak juga dikaruniai momongan. Maka bagi Sumirah, Aryo Wangking adalah pengisi dan penghibur bagi kesepiannya.
Belakangan Aryo Empul mulai terlihat aneh.
Dia mulai sering pulang dalam keadaan mabuk berat. Suka main judi bersama komunitas bengkelnya sendiri. Sering marah dan main gampar sama istri. Aryo Wangking bahkan mendengar selentingan kakangnya itu mulai tertarik kepada seorang sinden asaal Sragen yang suka melakukan tirakatan di Troloyo. Kata mereka, Empul sudah tergila-gila pada perempuan Sragen itu. Dia lupa pada istri, bahkan membencinya. Hingga akhirnya baik Sumirah maaupun Aryo melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Empul Dan sinden itu berkencan di sebuah pondok dekat Troloyo. Hal yang sungguh tak pantas dan memalukan mendapati suami istri saling berselingkuh tanpa kendali seperti itu. Aryo kian lama kian tak suka pada Empul. Dan kian hari kian tidak nyaman untuk tinggal bersama mereka. Namun satu hal yang tak mungkin dilakukan oleh seorang Aryo Wangking, yakni ketidak mampuannya membuang darah dagingnya sendiri.
Kejadian pada malam jahanam itu, membuat batas menjadi kabur. Mana cinta, mana benci. Kini mampukah dia mengatakan Sumirah dan Empul manusia yang tidak waras sementara dirinya sendiri ikut terseret di dalamnya?
Aryo memasukkan anak kunci ke pintu kamar. Memutarnya dua kali lalu membukanya lebar-lebar. Untuk sesaat bau pengab menyebar, membuatnya terbatuk-batuk. Sebuah teguran membuatnya menoleh. Sumirah berdiri tak jauh darinya sambil tertawa kecil.
“Buka lebih lebar pintu dan jendelanya, Yok! Kamarmu itu lama tak dimasuki udara bersih.”
“Ya. Berapa lama aku tidak pulang?”
“Luupa menghitung hari?”
“Biasalah Yu, aku tak pernah menghitung apapun. Bagaimana keadaan Kang Empul?”
Aryo meletakkan ransel ke atas meja tanpa taplak di kamarnya. Lalu duduk di kursi satu-satunya yang ada. Dia biarkan saja Sumirah berdiri di bingkai pintu.
“Sama denganmu, dia sudah tidak pernah pulang selama dua minggu.”
“Sejak kapan?”
Sumirah melangkah masuk, menggulung tirai jendela ke samping dan mengikatnya hingga udara makin leluasa menerobos ke dalam kamar.
“Sejak malam itu.”
“Jadi selama ini yu Mirah sendirian saja?”
Sumirah tertawa.
“Ya iyalah! Memang sama siapa? Kau dan dia, sama saja. Kerjaannya ngelayap melulu.”
“Aku tidak ngelayap, aku kerja.” Jawab Aryo ketus seraya membuka jaket dan melepas sepatu. Didorongnya sepatu itu ke sudut bawah meja.
“Mestinya kau tetap di rumah menemaniku.”
“Maaf Yu, aku tidak tau kalau sampeyan sendirian saja di rumah.”
“Jadi kemana saja kau selama ini?”
“Kerja yu, kerja.”
“Kerja? Apa? Ke kuburan, ke situs purbakala, ke museum?”
“Lha itu. Nyatanya yu Mirah sudah tau.”
“Apa yang kau dapatkan dari pekerjaan itu?”
Aryo tak ingin menjawab. Dia turunkan baju-baju kotor yang selama ini tergantung di dinding lalu memasukkannya ke dalam keranjang besar yang ada di sudut kamar. Sumirah mengeluarkan sisanya dari tas ransel. Memeriksa semua saku celana dan kemeja.
“Mengapa sampeyan selalu memeriksa saku baju-baju itu setiap kali aku menurunkannya?” tanya Aryo merasa aneh dengan kebiasaan itu.
“Siapa tau ada yang tertinggal di dalamnya,” jawab Sumirah enteng. Dia mengeluarkan lembar kertas iuran jalan tol dan karcis parkir dari dalam saku sebuah kemeja.
“Seperti ini,” kata Sumirah sambil membuangnya.
“Ah, itu cuma kertas.”
“Kalau uang, kan yang untung aku?”
“Itu tidak mungkin,” ejek Aryo sambil teersenyum.
“Kenapa tidak?”
“Darimana aku punya uang yang bisa aku simpan hingga lupa menaruhnya dimana, kalau semuanya impas?”
“Impas,…bagaimana maksudmu?”
“Impas, ya impas. Artinya, begitu kudapat begitu pula habisnya.”
Sumirah mengangkat keranjang baju kotor ke sumur. Aryo tertawa membiarkan dia keluar. Tetapi…uts, ada sebuah celana yang kelupaan. Celana itu memang sejak tadi dibiarkan saja oleh Aryo tergeletak di atas kasur, mungkin Sumirah tidak melihatnya. Dengan sigap Aryo menyambarnya dan membawanya ke sumur.
“Ada yang tertinggal, Yu. Ini! Tangkap ya? Hup!”
“Kurang ajar, kau Yok!” kata Sumirah sambil tertawa. “Masa celana kotor dilempar kepada orang yang lebih tua!”
Namun Sumirah tidak tampak marah. Dia justru merasakan keakraban yang amat manis. Seakan-akan tiada lagi batas yang memisahkannya dari Aryo Wangking. Mana kakak, mana adik. Tapi, ah! Masih pantaskah dia menganggap pria dewasa itu sebagai adik? Bukankah mereka telah melakukan sesuatu yanag terlarang pada malam itu? Malam dimana jiwa dan jiwa Aryo menyatu. Tubuhnya tidur dalam pelukannya. Indahnya malam yang dihias dengan suara lolongan anjing… ah. Indahnya malam itu…
“Yu, melamun ya!”
Sumirah tersentak mendengar teguran Aryo. Segera kulit wajahnya memerah jambu saat menerima tatap mata Aryo yang menghunjam telak. Dia merasa, Aryo bisa membaca alam pikirannya, bisa merasakan getaran di dadanya saat mengingat kembali kejadian yang itu.
“Maaf Yu, cuciannya ternyata banyak juga ya,” kata Aryo mencoba memecahkan kebisuan yang menggantung.
Sumirah menggilas cucian dengan tangannya yang kuat di ember penuh deterjen.
“Mmmm, ya. Lumayan. Mau membantu?”
“…………” Aryo berpikir-pikir.
Sumirah tertawa.
“Sudah, tak apa. Tak perlu lagi berbasa-basi. Aku hanya ingin ditemani saja. Kau mau?”
“Boleh.”
Aryo duduk agak jauh, bersandar di tembok dan mulai merokok. Dia mengawasi Sumirah memasukkan baju-baju kotor itu ke dalam ember yang lain. Memisahkan antara celana panjang dan kemeja.
“Sebenarnya, apa yang kau lakukan di situs-situs purbakala itu?” tanya Sumirah sambil mengucek.
“Biasalah,” jawab Aryo.
“Menggali juga?”
“Ada kalanya harus ikut menggali.”
“Kau menemukan benda-benda purbakala?”
“Kadang-kadang ya, kadang-kadang tidak.”
“Lalu?”
“Kalau ada yang ditemukan, kami akan membersihkan, memeriksa dan memberi catatan-catatan kecil sebelum membawanya ke museum.”
Sumirah memasukkan tangan ke saku jins yang tertinggal tadi.
“Kalau kau mau, kau bisa kaya karenanya,” katanya.
Aryo mengangkat wajah, menatap Sumirah tak mengerti.
“Maksud sampeyan, apa?”
“Dengan mengambil benda-benda itu saja, kau bisa kaya.”
Aryo menunduk. Dia tau kemana arah angin membawa pembicaraan itu. Hanya saja dia tidak pernah menyangka bahwa Sumirah memiliki keinginan seperti itu, sama saja dengan orang-orang serakah lainnya yang seakan-akan manusia manusia yang tidak berbudaya.
“Kita hidup butuh makan,” kata Sumirah lagi.
“Aku tau,” sahut Aryo lesu.
“Untuk makan kita butuh duit. Kau juga tau itu, kan?”
“Ya, aku tau.”
Sumirah berbalik, duduk menghadap ke arahnya. Sepasang bola matanya yang besar itu menatap nyalang, seakan-akan menahan amarah, atau kekecewaan yang berat, yang sebenarnya tak pernah Aryo bayangkan sebelumnya.
“Kalau kau menemukannya, ambil. Jual!”
“Masya Allah …Yu!”
Aryo berdiri.
“Jadi sampeyan menyuruh aku jadi maling?”
“Itu bukan maling.”
“Lalu apa?”
“Taruhlah itu hakmu. Berapa duit kau dibayar untuk melakukan pekerjaan berat itu, oleh pemerintah? Tidak akan pernah cukup untuk kau kawin nanti. Tak ada perempuan mau diajak melarat terus!”
Aryo menggigit bibir. Kelu. Marah, kecewa, berbaur menjadi satu.
“Untuk itukah sampeyan sekolahkan aku, Yu? Untuk sampeyan jadikan maling? Yu Mirah, Yu Mirah… Kalau saja aku mau kaya mendadak, tak perlu harus mencuri benda-benda purbakala itu, Yu. Mana meerugikan Negara, mana kalau ketauan bisa jadi buronan. Mudah, Yu. Mudah saja kalau aku ingin kaya. Aku tinggal nyepi di Segara Kidul, minta pada Ratu Kidul, beres Yu…! Tapi, apakah hanya untuk itu kita hidup? Tidak. Menurutku tidak cuma untuk itu. Masih banyak hal lain yang harus kita lakukan di dunia ini.”
“Jangan terlalu idealis jadi orang, Yok!”
“Aku tidak merasa begitu. Tapi tolonglah, jangan lagi bicara soal harta karun. Tidak baik.”
“Jadi aku harus omong soal apa? Soal kakangmu?”
“Kenapa memang dengan kang Empul?”
“Ada kabar kakangmu menikahi sinden dari Sragen itu.”
“Apa kata yu Mirah? Kang Empul kawin lagi?”
“Ya, dua atau tiga hari yang lalu.”
“Dan sampeyan diam saja?”
“Aku harus berbuat apa? Laki-laki yang sudah tidak menghendaki perempuannya, untuk apa dipertahankan lagi? Percuma Yok, percuma!”
“Biar aku saja yanga menemuinya.”
“Tidak. Tidak perlu. Akupun sudah tidak menghendakinya lagi. Aku inginkan kau!”
Aryo terkejut bukan kepalang mendengar ucapan itu.
“Apa?!”
“Menikahlah denganku.”
Aryo merasakan denyut nadi dileherny berhenti berdenyut. Tiba-tiba saja dia takut Sumirah sedang hamil. Bukan karena dirinya, namun siapa tahu justru perempuan itu tengah mengandung janin orang lain. Otomatis, matanya melirik kea rah perut Sumirah.
“Kenapa,” ujar Sumirah sinis. “Kau takut aku sedang hamil dan menimpakannya padamu, begitu?”
“Kayaknya sampeyan stres, Yu.”
“Sialan! Kau tuh, yang stres! Enak saja bicara. Tidak mudah meninggalkan aku, Yok. Camkan itu. Kukatakan kepadamu, tidak mudah membiarkan aku seperti ini. Seperti sampah. Dicampakkan begitu saja. Kalian kakak beradik harus bertanggungjawab atas diriku. Kalau bukan kakangmu, maka kau!”
“Aku? Haha. Sudah gendeng barangkali dunia ini.”
“Kau bilang apa?”
Suhu kian memanas. Suara Sumirah sudah sejak tadi naik satu oktaf lebih tinggi. Kalau saja ada orang atau tetangga yang mendengar, alangkah malunya!
“Sudahlah, lebih baik aku tidur saja.”
“Tunggu!”
“Sudahlah Yu. Sudah. Capek mendengar sampeyan marah-marah seperti ini.”
Aryo tak pedulikan lagi teriakan Sumirah. Dia kembali masuk ke kamar. Tubuh dan jiwanya bagai melayang. Sejak semalam belum makan apa-apa. Minum teh saja belum. Eh, malah harus bertengkar pula. Dia bahkan dikagetkan dengan berita perkawinan Empul dan sinden Sragen itu. Lebih kaget lagi tatkala Sumirah minta dirinya menggantikan kang Empul-nya untuk menjadi suaminya. Tanggungjawab, katanya. Tanggungjawab apa? Edan!
Tiba-tiba…Brak!!
Aryo terlonjak saking kagetnya melihat pintu ditendang dan begitu saja Sumirah sudah ada di tengah pintu. Ditangannya ada dua lembar kartu nama. Aryo mendadak ingat bahwa kartu nama kartu nama itu adalah milik Pamugaran dan Rayun Wulan yang diterimanya dari Ki Mui, dua hari yang lalu di Pantai Puger.
“Nih, tertinggal di saku celanamu!” suara Sumirah getas.
Aryo menerimanya dengan perasaan tidak nyaman. Dan benar saja, Sumirah segera menyemburnya tanpa permisi.
“Siapa mereka!”
“Siapa? Oh…ini, Pamugaran.”
“Satunya?”
“Satunya? Rayun Wulan.”
“Aku tidak bertanya soal nama mereka. Aku tanya, siapa mereka.”
“Aku tidak mengenal mereka.”
“Tidak kenal, tapi menyimpan kartu namanya?”
“Mereka memberikannya setelah aku menolong mereka lepas dari bencana karam di Puger.”
“Begitukah?”
“Ya.”
“Untuk apa mereka memberimu kartu nama?”
“Mana aku tau!”
“Aku tau. Maksud mereka agar kau bisa berhubungan terus dengan mereka, begitu, kan?”
“Aku tidak tau. Begitukah menurut sampeyan?”
“Jangan pura-pura bodoh di depanku. Awas kau kalau main-main denganku!”
“Kok yu Mirah mengancam?”
“Berikan padaku, biar kurobek kartu kartu nama itu.”
Sumirah merampas kartu kartu nama itu dan dengan gemas merobek-robeknya menjadi serpihan kecil, kemudian menebarkannya di lantai seraya tersenyum puas.
“Apa-apaan ini?” protes Aryo keras.
“Itu pantas kau terima, Aryo.”
Aryo mengatupkan geraham menahan marah dan berusaha menahan diri agar tidak terjadi perang mulut yang besar. Bagaimanapun dirinya tidak jauh berbeda dengan Empul, yang berhati keras dan temperamental. Kalau saja Aryo selalu menuruti hawa nafsu, dan tidak berusaha mengekang dengan banyak-banyak tafakur, pastilah perilakunya tak banyak berbeda.
Dipandangnya Sumirah sambil mengelus dada.
“Aku tidak suka perlakuan seperti ini, “ katanya datar. “Aku capek. Biarkan aku tidur sebentar saja. Soal kartu nama itu, bukan siapa-siapa. Aku tidak kenal mereka. Merekapun cuma iseng saja ketika memberikannya kepadaku. Sudahlah, tak perlu diperpanjang lagi.”
“Apa kau memberitau mereka alamat rumahmu?”
“Untuk apa? Aku tidak bicara dengan mereka. Ki Mui yang menemani mereka ngobrol. Dia juga yang mengantar mereka saat akan pulang ke Surabaya. Kartu nama itupun sesungguhnya milik Ki Mui yang kemudian dia titipkan kepadaku.”
“Aku tak percaya,” ujar Sumirah dengan nada suara lebih rendah.
“Terserah. Itu hak sampeyan. Yang penting aku sudah mencoba jujur dan bercerita apa adanya.”
Sumirah terdiam. Merasa sudah keterlaluan, namun jengah untuk minta maaf. Dia hanya berdiri mematung tanpa tau harus bicara apa. Melihat itu, tiba-tiba timbul rasa kasihan Aryo kepadanya.
“Sudahlah Yu, jangan dipikirin hal-hal sepele yang sebetulnya tidak perlu. Sejak kemarin perutku belum kemasukan nasi, sampeyan punya nasi kan?”
Sumirah tersipu sesaat, namun segera mengembangkan senyum lebar.
“Kubelikan nasi pecel. Mau?”
“Wah, mantap itu. Nih, kebetulan aku masih ada uang sedikit. Pakailah untuk berbelanja.”
Aryo merogoh saku kemeja, dan mengulurkan beberapa lembar uang kepada Sumirah. Dibimbingnya perempuan itu keluar pintu dan membiarkan Sumirah keluar. Secepat itu pula pintu segera ditutupnya kembali. Dia bersandar dengan dada gemuruh. Kenapa bisa lupa pada kartu nama itu? Bodoh! Dilihatnya seerpihan kartu di lantai. Dikumpulkannya dan dicobanya merekatnya kembali. Lalu dicatatnya nomor telepon Rayun Wulan dan nomor ponselnya. Kemudian ditaburkannya kembali ke lantai.
Kemudian dicobanya untuk berbaring. Namun alangkah sulit menenteramkan hati yang sudah terlanjur kacau seperti ini. Berita tentang perselingkuhan Kang Empul yang kemudian berkembang lebih hebat dengan sebuah perkawinan, membuatnya resah. Sungguh, dia jadi bingung. Apakah itu artinya dirinya harus cepat-cepat pergi dari rumah ini dan mencari tempat tinggal yang baru? Kalau tidak, apa yang akan terjadi selanjutnya? Bukankah hanya akan menimbulkan fitnah, atau bahkan skandal antara dirinya dan Sumirah? Tanda-tanda kea rah itu semakin lama semakin nyata.
Lalu,…si Rayun Wulan!
Wajah cantik itu kembali terbayang. Wajah yang tak sing bagi Aryo. Bentuk raut mukanya yang bulat telur, dengan tulang pipi di atas, bibir yang manis, hidung yang kecil mancung, dan keningnya bulat, khas wajah Jawa. Dan wajah itu adalah…wajah Rara Ireng yang selama ini selalu datang dan terus datang menemani tafakurnya. Aryo tau betul bedanya antara kulit tubuh seseorang yang masih berdarah biru dengan orang kebanyakan. Kulit yang lembut dan lumer. Meski belum pernah menyentuhnya, namun Aryo merasakan benar bahwa kulit Rayun begitu lembut dan lumer. Telapak kakinya mungil, mungkin ukuran sepatunya antara nomor 36 atau 37. Tak lebih. Dia juga tidak pendek, tetapi juga tidak terlalu tinggi. Tidak gemuk, tidak kurus, namun sintal. Pas. Proporsional. Khas perempuan Jawa idolanya.
Baru tau namanya saja, Sumirah sudah seperti nenek kebakaran susur. Bagaimana kalau melihat orangnya? Seakan-akan cemburu. Cemburukah Sumirah kepada Rayun Wulan yang belum pernah dilihatnya itu? Padahal selama ini perempuan itu tenang-tenang saja melihat Aryo bergaul dengan gadis manapun juga. Bahkan bila melihat Aryo duduk berhimpitan dengan Niken Pratiwi, Sumirah cuek saja. Dia juga tidak pernah perduli bila Aryo pergi dengan Niken hingga larut malam. Sebenarnya, ada apa dengan Sumirah?
(bersambung).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar