Kamis, 11 Februari 2010

TROWULAN


Sinopsis:

Aryo Wangking adalah seorang ahli purbakala yang hidup sederhana di Trowulan, situs purbakala bekas kerajaan Majapahit. Dia menyelesaikan kuliah arkeologi di Yogayakarta, kemudian bekerja sebagai peneliti naskah kuno di Museum Purbakala Trowulan.
Oleh masyarakat setempat dia dipercaya sebagai titisan Mpu Nambi, seorang Rakryan Mahapatih Hamengkubumi pada jaman pemerintahan raja Nararia Sanggrama Wijaya, Brawijaya Pertama.
Pada usianya yang ke tigapuluh dua, secara tiba-tiba dia bertemu seorang gadis yang dipercaya olehnya sebagai titisan Ni Rara Ireng, kekasihnya yang pernah hidup pada jaman yang sama dengan Mpu Nambi. Sayangnya, gadis itu telah menjadi kekasih seorang pelukis dari Gianyar.
Bagaimana cara Aryo Wangking untuk mendapatkan gadis itu? Ikuti kisahnya dalam ‘Trowulan’ berikut ini.
*****
Bab satu
SITI HINGGIL.
Aryo Wangking memarkir jip Nissan tuanya di halaman depan situs purbakala Siti Hinggil. Dari kejauhan dia sudah bisa melihat beberapa pelaku tirakat duduk saling mengobrol di pendopo. Dia melompat turun, mengaitkan tali ransel ke bahu kemudian berjalan menuju ke sana. Langkah kakinya yang terlihat mantap tanpa kesan terburu-buru membuatnya nampak gagah. Tubuhnya tinggi tegap dengan dada bidang dan pundak yang tidak luruh. Kulitnya terang walau tidak bisa dikatakan langsat. Sepasang matanya tajam bagai mata rajawali. Berkumis tebal namun terawat rapi. Yang paling menarik dari seluruh penampilannya adalah senyumnya yang kelewat mahal. Kepalanya tak pernah lepas dari sebuah topi koboi berwarna gelap. Kabar burung mengatakan bahwa dia masih punya garis keturunan dengan Mpu Nambi, seorang Rakryan Mahapatih Hamengkubumi di jaman pemerintahan Prabhu Brawijaya pertama, Nararia Sanggrama Wijaya. Maka tak heran , di Trowulan dia sangat disegani dan dihormati. Bukan saja karena kabar burung yang membumi seperti itu, namun juga dikarenakan sifat dermawan yang dimilikinya. Energi sosialnya sanagat tinggi terhadap masyarakat di sekitarnya. Orang menyebutnya serupa dengan kunang kunang yang terbang menyalakan hidup dari lubuk ke lading dengan pijar perkasa yang mengalir pada setiap hati orang.
Aryo Wangking duduk bersila di sudut pendopo sambil memasang sebatang rokok di bibir. Banyak penghayat di tempat itu segera mengenalinya dan ingin ikut duduk di dekatnya, namun sikap dingin Aryo Wangking membuat hati mereka keder. Aryo sendiri bersikap seolah tidak ingin diganggu. Sambil menghisap rokok pelan-pelan, dia menikmati semua sudut yang terhampar di depannya, Situs Siti Hinggil.
Tiba-tiba seseorang memberanikan diri mendekati Aryo.
“Sugeng enjang, Mas Yok,” sapa orang itu yang tak lain adalah Marlan, pelukis dari Kertajaya.
Uluran tangannya disambut Aryo dengan sebuaah genggaman erat yang hangat.
“Tumben mas Yok datang pagi-pagi di hari libur seperti ini ke Siti Hinggil. Darimana, Mas?”
Sebelum menjawab, Aryo menawarkan rokok pada Marlan, dan lelaki dari Kertajaya itu mencabutnya sebatang, kemudian menyalakannya dengan geretan yang diulurkan Aryo.
“Dari Pamenang, cak Lan.” Sahut Aryo singkat.
“Kediri? Wah iya, ini tanggal satu Suro. Barisan penziarah pasti membludhak . Seandainya kemarin itu bertepatan dengan Jum’at manis, tentulah keramaian di sana tak bisa dibayangkan.”
Aryo mengetukkan abu pada ujung rokoknya ke lantai.
“Di sini ramai juga lho Mas. Malah kabarnya kepala SPSK Jawa Timur rawuh ke pendopo Agung. Tumpengan di sana bersama para penghayat lain.” Lanjut Marlan.
Aryo tersenyum sambil terus menghisap rokoknya pelan-pelan. Kadang bibirnya membentuk bulatan ‘O’ sambil meniupkan asap rokok ke udara, bermain-main dengan asap yang membentuk bulatan-bulatan.
“Saya mendengar selentingan, kabarnya situs kepurbakalaan Majapahit di Trowulan akan ditertibkan. Apa betul itu, Mas?” tanya Marlan.
“Memang begitulah rencananya. Tapi itu urusan mereka yang di atas. Kita sekedar monat manut saja. Bukan begitu, Cak?”
“Ya, rasanya kita memang tidak diharapkan untuk ikut urun rembug. Wong cilik, kita ini Mas! Hehehe.”
Mereka tertawa bersama.
“ Telah terjadi vandalisme berupa pemugaran-pemugaran liar pada beberapa situs peninggalan kerajaan Majapahit di Trowulan. Contohnya, situs Siti Hinggil itu.” ujar Aryo serius.
“Bagaimana dengan kompleks makam kuno di Troloyo?”
“Kompleks makam kuno yang dikeramatkan masyarakat itu persisnya berada di dukuh Sidodadi. Makam-makam di sana itu memang sangat variatif. Bayangkan, ada beberapa yang bercungkup, tapi ada pula yang teerbuka. Ada yang berkelompok, ada yang sendirian. Beberapa makam bahkan memiliki ukuran yang luar biasa, melebihi ukuran normal. Makam atau petilasan Sunan Ngudung itu contohnya. Ukurannya lebih dari lima meter. Kalau dipikir-pikir, kita jadi bertanya-tanya, apa benar orang jaman dulu tubuhnya raksasa?”
“Ceritanya memang tidak setinggi itu tubuh Sunan Ngudung, bukan begitu Mas?”
“Ya. Makam ayah dari Sunan Kudus itu memang berukuran lebih panjang dari makam biasa. Itu hanya akan menunjukkan tentang kisah perjalanannya. Menunjukkan akan tekad dan cita-citanya yang tinggi alias panjang. Sunan Ngudung memang telah tiada, tetapi coba lihat, bagaimana dia mengorbankan jiwa demi tegaknya agama Islam? Kita tidak boleh melupakannya begitu saja.”
Marlan manggut-manggut mengiyakan semua uraian Aryo. Dirinya sendiri sudah sejak lama menjadi penghayat di kompleks makam kuno itu. Maka dia amat setuju dengan semua ucapan Aryo.
“Oh ya, cak Lan masih melukis?”
“Masih, Mas. Malahan baru-baru ini saya ikut pameran di Sanggar Palapa Tunjungan.”
“Apa karya surealisme lagi?”
Marlan tertawa jengah.
“Masih yang itu,” ujarnya di tengah tawa. “Saya mencoba menampilkan lukisan Kanjeng Ratu Kencanawungu. Anehnya, selama beberapa hari berpameran, lukisan itu mendapat perhatian khusus dari para pengunjung tertentu. Saya sendiri,..kok… lama-lama jadi jatuh cinta pada lukisan itu to Mas, hehehe…”
Aryo ikut tertawa, merasa lucu saja mendengar kata-kata Marlan.
“Begitulah kalau terlalu lama nyepi di makam Troloyo,” kata Aryo. “Jangan-jangan cak Marlan jadi lupa pulang ke Kertajaya…”
“Walah… cilaka betul kalau saya sampai pada keadaan seperti itu. Tidaklaah, Mas. Insya Allah jelek-jelek begini saya masih tetap seorang muslim pada percaya seratus persen pada Allah!”
“Ya, ya. Saya mengerti. Pada saat melukis apa cak Mar melakukaqn tirakatan di makam Troloyo?”
“Memang saya sengaja nyepi selama beberapa hari sambil berpuasa. Maksud saya, ingin mendapat petunjuk Tuhan Yang Maha Kuasa tentang kebenaran wajah dan penampilan tokoh yang akan saya lukis. Saya ingin melihat sendiri wajah sang ratu yang menurut penulis sejarah, bapak Anwar Sanusi, terkait dengan kisah langendriyan Damarwulan Kencanawungu dengan kisah sejarah Ratu Jayawisnuwardhani dengan seorang kesatria bernama Cakradara. Rupanya tirakataqn saya terkabul. Ini adalah penghayatan saya yang ketiga. Akhirnya saya berhasil menyelesaikan lukisan itu dengan cepat, kemudian ketika saya ikutkan ke pameran bersama lima pelukis Surabaya lainnya,…waah, sambutannya luar biasa.”
Aryo mematikan sisa rokok, dan menyulut sebatang yang baru. Sambil menyedot rokok dalam-dalam, dia berucap,:
“Lukisan itu ada auranya, sudah ada yang menawar, belum?”
“Banyak, Mas!”
“Nilai nominalnya sampai berapa?”
“Tak usahlah saya sebutkan. Paling-paling mas Aryo sudah tahu.”
Aryo mengulum senyum.
“Tapi,..saya berat melepasnya, Mas.”
“Lho, kok aneh.”
“Itulah anehnya. Rasaanya ‘dia’ tak mau lepas dari tangan saya.”
Aryo kembali tersenyum. Ia tau betul perasaan Marlan.
“Kalau begitu, lukisan itu memang belum waktunya dilepas. Biarkan saja begitu. Nanti bila tiba saatnya, ‘Ratu Kencanawungu’ akan memilih sendiri kepada siapa dia akan ikut. Bisa-bisa kalau sudah pas waktunya, lukisan itu terlepas begitu saja tanpa mas kawin.”
“Dilepas begitu saja dengan gratis, maksudnya?”
“Ya. Begitulah.”
Marlan paham apa maksudnya. Kalaupun sudah takdirnya dia harus melepaskan lukisan itu tanpa sepeserpun uang sebagai mas kawinnya, mau apa lagi? Dirinya adalah seorang penghayat yang mengerti betul akan berjalannya waktu sesuai kehendak yang Maha Kuasa.
Lama mereka mengobrol, dari Barat sampai ke Timur. Dari hal-hal berat sampai kepada hal-hal yang remeh dan sepele. Hingga sampailah percakapan itu pada diri Sumirah.
Sumirah adalah istri Aryo Empul, abang kandung Aryo Wangking. Sumirah sudaha dianggap sebagai orangtua sendiri bagi Aryo Wangking. Namun belakangan ini sikap Sumirah terasa berbeda. Hal itu terlihat jelas ketika Aryo Empul mulai suka mabuk-mabukan. Sebagai seorang yang berprofesi sebagai pande besi, tentu cukup menakutkan apabila dia mulai mabuk, marah-marah, dan memukul. Hampir setiap malam sepulang dari bengkel besinya, dia pulang dalam keadaan mabuk bertat. Kalau sudah demikian, maka tendangan dan pukulan tak luput menimpa tubuh istrinya, Sumirah.
Akhirnya Aryo Wangking merasakan sikap Sumirah berbeda terhadapnya. Perempuan setengah baya itu seakana-akan mencari perlindungan padanya. Namun itu hanya permulaan. Awal dari segalanya. Lama-lama Sumirah semakin berani masuk tanpa ijin ke kamarnya, menidurinya bagai mengeloni seorang bayi merah. Mengendus bagai kucing. Dan semua itu menakutkan bagi Aryo Wangking. Sungguh, Aryo bukan serigala yang demikiana saja melahap daging yang disodorkan orang kepadanya. Dirinya bukanlah pagar yang memakan tanaman. Dia selalu berusaha menjaga diri dari serangan gerilya yang dilakukan Sumirah. Hal itu sering diceritakannya pada Marlan maupun kepada jurukunci Sikan.
“Tadi malam memang,” kata Marlan. “Yu Sumirah datang ke sini. Dia menanyakan keberadaan mas Aryo. Saya pikir pasti ada sesuatu yang penting terjadi di rumah sampeyan. Kalau tidak, kenapa yu Sumirah keroyo-royo datang kemari pada malam selarut itu?”
“Jujur, saya terkadang takut pulang.”
“Kenapa mesti takut?”
“Saya takut sesuatu yang terlarang bakal terjadi antara kami. Saya ini laki-laki normal, Cak.”
Marlan menghela nafas panjang.
“Tapi sampeyan kan punya kacamata rangkap. Artinya, sampeyan selalu bisa memprediksa segala sesuatu yang bakal teerjadi.”
“Justru itulah yang saya lihat melalui penerawangan saya.”
“Apakah tidak ada jalan untuk menghindarinya, Mas?”
Aryo terdiam lama.
“Sebaiknya mas Aryo pulang dulu, melihat apa yang terjadi.”
Aryo menunduk, menatap lantai pendopo seperti melamun. Ada sesuatu yang telah terjadi antara dirinya dan Sumirah. Apapun perasaan itu, barangkali Cuma Aryo yang tau. Dirinya sudah berusaha membentengi dengan cara bergaul lebih akrab dengan gadis-gadis lain, seperti Niken, umpamanya. Dengan Niken, Aryo sering bepergian atau melakukan tugas penelitian bersama-sama ke penggalian-penggalian benda purbakala. Kebetulan gadis itu adalah teman sekantor. Dia bahkan mencoba tak perduli dengan kecemburuan Raki Keleng, salah seorang penghayat yang kebetulan juga menyukai Niken. Tapi Sumirah masih saja menginginkannya. Ah! Aryo tak habis pikir, apa yang membuat Sumirah begitu bergairah terhadapnya? Bukankah dirinya sudah merasa bahwa mereka itu , Aryo Empul dan Sumirah, adalah pengganti orangtuanya? Tapi bagaimana dengan Sumirah, apakah dia juga menganggap Aryo sebagai anak yang dibesarkannya sejak berusia empatbelas tahun? Atau sudah begitu seriuskah perubahan perasaan yang ada?

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar