Senin, 16 Agustus 2010

TROWULAN (29)


TENGAH HARI DI CURAHMAS.
Saat ‘laut’, demikian istilah yang digunakan di perkebunan untuk jam istirahat siang hari bagi para karyawan, seseorang tampak masuk ke halaman rumah kepala perkebunan. Om Harso yang kebetulan adalah kepala perkebunan, menatap tajam pendatang bermotor dan berjaket kulit itu. Ditunggunya sampai lelaki itu mematikan mesin. Dilihatnya kemudian orang tersebut menanggalkan helm, mengangguk takjim kepadanya. Om Harso membiarkan orang tersebut turun dan menstandard motor, melangkah tegap namun sopan, mendatanginya. Rambutnya yang ikal sedikit gondrong, mengenakan topi. Berjanggut dan berkumis lebat, namun tampak teratur rapi. Senyumnya manis menghiasi bibirnya saat mereka berdiri berhadapan.
“Assalamualaikum,” sapa lelaki muda itu.
“Walaikumsalam.”
“Maaf, saya Aryo Wangking dari Surabaya, Pak.”
“Oh,…temannya Rayun ya?”
Lelaki muda berbrewok itu merekahkan senyum lebar.
“Maaf, Pak. Saya mendengar Rayun ada disini. Apa benar, Pak?”
“Benar sekali, nak Aryo. Tapi dia kini sedang berada di bukit sana itu, lagi nyepi, katanya.”
Om Harso tertawa, Aryo ikut tertawa. Dia tau, itu hanya sebuah canda penuh keakraban dari lelaki tua berkacamata di depannya itu.
“Mari, silakan masuk. Pasti melelahkan menempuh perjalanan dari Surabaya dengan mengendarai motor,” ujar Om Harso lagi.
Mereka mengambil tempat duduk masing-masing di ruang tamu.
“Dan panggil saja saya Om. Kita ngobrol sebentar sambil beristirahat. Pukul berapa berangkat dari Surabaya, Nak?”
“Sekitar jam tujuh.”
Seorang pelayan muncul dengan dua cangkir teh hangat dan dua toples kue-kue.
“Silakan diminum, Nak.”
“Terimakasih.”
Merekapun menikmati hidangan sambil mengobrol panjang lebar, sekadar berbasa-basi, atau saling menceritakan jati diri masing-masing yang berhubungan dengan Rayun. Hingga percakapan itu menyentuh masalah yang sedang dihadapi Rayun saat ini. Aryo mencoba meyakinkan Om Harso bahwa hubungannya dengan Niken itu sudah lewat. Dia tidak mengingkari bahwa mereka memang pernah berpacaran.
“Tetapi itu dulu, saat saya belum mengenal Rayun,” kata Aryo.
“Maaf Nak Aryo, apakah benar gadis itu sedang mengandung?”
Lama Aryo terdiam.
“Saya belum tau betul, apakah dia memang sedang hamil,” sahutnya kemudian.
“Kata Rayun, itu adalah hasil hubungan kalian. Apa betul begitu?”
Beberapa saat Aryo terkesiap.
“Apakah…Rayun mengatakan hal itu kepada Om?”
“Ya.”
“Ada seorang laki-laki bernama Raki Keleng yang sangat kasmaran dengan Niken,” kata Aryo mencoba menjelaskan. “Laki-laki itu begitu benci kepada saya, bahkan mungkin kebencian itu sudah mendarah sungsum, hingga membawa korban jiwa.”
“Maksudnya?”
“Laki-laki itu memasang bom di mobil saya, mencoba melenyapkan saya.”
“Lalu?”
“Jip saya meledak, namun bukan saya korbannya.”
“Siapa yang menjadi korbannya, nak?”
“Teman akrab saya, yang sedang ingin meminjam jip saya. Dia tewas seketika.”
“Astaga! Sampai seperti itu?”
“Ya, Om. Raki Keleng inilah yang memfitnah saya, melontarkan kata-kata yang sangat mempengaruhi pikiran Rayun. Barangkali itulah yang akhirnya membuat Rayun pergi meninggalkan saya tanpa pamit.”
“Tetapi, betulkah itu bukan karena dirimu?”
“InsyaAllah, bukan saya.”
Om Harso menghembuskan napas panjang. Melepaskan kacamata dan memasukkannya ke saku. Sepasang matanya berkedip-kedip memperhatikan raut muka Aryo, seakan-akan ingin menemukan kebenaran dari setiap ucapannya.
“Nak Aryo, saya ini orangtua, memang bukan orangtua kandungnya, namun bagi saya Rayun adalah lebih dari sekadar keponakan. Saya tau betul karakternya. Anak ini, sekali bilang merah, maka merah pula katanya sampai mati. Hatinya keras. Namun dia sangat jujur pada orang lain, terlebih pada hatinya sendiri. Soal apakah kau yang benar, atau dia, saya tidak tau. Hanya saja, saya yakin dirimupun sama tersiksanya dengan dirinya. Kalian pernah saling mencintai, namun kejadian itu bisa saja membuat kalian tak bisa bersama lagi kecuali…”
“Kecuali…?”
“Kecuali kau bisa membuktikan bahwa itu bukan perbuatanmu.”
“……….…”
“Nak, kau pasti sangat menyesalinya. Penyesalan itu seakan-akan merupakan pengadilan yang langsung dijatuhkan Tuhan pada kalian. Tanpa diminta. Sesal yang pedih datang menyelinap dan membangunkan kalian agar terjaga dan mulai mawas diri dalam-dalam.”
Raut wajah Aryo sebentar pucat sebentar merah. Perasaan galau dalam hatinya seakan terbaca secara terang benderang oleh tatap mata Om Harso. Dikupas, ditelanjangi.
“Sekarang susullah dia,” kata Om Harso kemudian.
“Saya?”
“Ya. Kau lihat di sebelah Selatan rumah ini ada sebuah bukit. Disitu biasanya dia bermain. Ada gua bernama Gua Macan. Kau bisa naik kuda kesana, sebab tempat itu tidak bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor.”
Tanpa menunggu jawaban, Om Harso mengajaknya ke belakang. Memerintahkan pelayan bernama Supeno untuk menyiapkan seekor kuda berbulu abu-abu untuk Aryo.
“Kau pernah berkuda?” tanyanya tersenyum.
Aryo jadi jengah menerima pertanyaan itu.
“Sebetulnya belum pernah tapi saya akan coba,” sahutnya.
“Itu kan hal yang mudah dipelajari, yang gaib-gaib saja bisa kok.”
Aryo tertawa.
“Kabarnya dirimu seorang supranatural. Betulkah itu?”
“Ah. Saya jadi malu, Om.”
“Kanapa musti malu. Itu sebuah anugerah yang tak semua orang mendapatkannya.”
“Jujur, saya tidak mempelajarinya. Saya mendapatkannya begitu saja sejak saya kecil. Seakan-akan sebuah takdir bagi saya.”
“Ya, mungkin itu memang sebuah takdir. Asalkan kau bisa mengendalikannya dan tidak terbawa hasrat yang tidak benar maka semuanya akan jadi baik bagimu maupun bagi orang lain.”
“InsyaAllah, saya selalu ingat pesan Om.”
“Hm.”
Kuda dawuk sudah siap. Om Harso mempersilakan Aryo segera berangkat. Saat menyaksikan Aryo naik ke atas punggung kuda, Om Harso seperti melihat seorang kesatria yang tiba-tiba saja menjelma di depan matanya. Lelaki brewok itu sama sekali tak terlihat canggung. Bahkan dengan penampilannya, dia seakan-akan seperti seseorang yang telah menyatu dengan kudanya.
Om Harso tersenyum. Dia tau, barangkali inilah sosok Aryo yang sebenarnya. Tak disangkal lagi, dia memang pantas menjadi titisan Mpu Nambi, seorang panglima perang pada jamannya.
Aryo mengangguk, tersenyum sambil meyentuh tepi topinya sesaat. Om Harso terpana sejenak, dan membisikkan sebuah pujian atas kekuasaan Tuhan. Subhanallah…! Dia memang benar titisan!
Kuda dawuk itu meringkik panjang sebelum benar-benar melesat pergi. Seakan Aryo sengaja memacunya kencang menuju bukit Gua Macan.
Tiba-tiba Om Harso mendengar sebuah derum kendaraan bermotor lain memasuki halaman. Bergegas dia menuju halaman depan, dan melihat sebuah sedan mewah berhenti di sana. Seorang laki-laki tampan turun. Mengunci pintu, dan melangkah ke beranda.
“Selamat siang.” Katanya sambil mengulurkan tangan.
Om Harso menerima jabat tangannya.
“Selamat siang. Mencari siapa ya?”
“Saya Pamugaran, teman baik Rayun. Apakah Rayun ada disini, Pak?”
Jadi ini lelaki bernama Pamugaran itu! pikir Om Harso. Lelaki yang sudah berumur, namun terlihat muda dan berkulit bagus. Pasti sangat terawat. Dan sangat mapan. Lihat saja cara dia berpakaian. Necis dan modis. Lelaki yang sukses. Tetapi….ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Om Harso merasa tidak suka. Entah apa. Mungkin pada sorot matanya, atau pada segaris senyum yang menorehkan segores kesombongan dan rasa percaya diri yang berlebihan.
“Memang Rayun ada disini. Ada keperluan apa, ya?”
“Ada yang harus saya sampaikan kepadanya.”
“Katakan saja, nanti akan saya sampaikan.”
“Oh, maaf. Kalau boleh tau, Bapak ini siapanya Rayun?”
“Saya Omnya.”
“Oh, sekali lagi saya mohon maaf.”
“Tidak apa-apa.”
“Tetapi saya harus bertemu sendiri dengan dia, Om.”
Om Harso tertawa miring. ‘Om’, katanya! Memangnya kapan kau jadi keponakanku? Umurnya saja cuma berbeda sedikit, kok memanggilku ‘Om’.
“Kalau begitu susul saja.”
“Kemana? Apakah dia sedang tidak berada di rumah?”
“Dia sedang jalan-jalan ke bukit.”
“Sendirian?”
“Tidak. Dia bersama Aryo Wangking.” Sengaja Om harso menekankan ucapannya untuk memanas-manasi lelaki yang terlihat sok itu. Dan Om Harso senang saat melihat mata sipit itu mendadak menyorotkan kemarahan.
Cemburu kan kamu? Cemburu kan? Pikir Om Harso nakal.
“Anda kenal Aryo, kan?”
“Ya, saya mengenalnya dengan baik.”
Pamugaran melihat ke arah motor yang tadi dikendarai Aryo.
“Itu motor milik Aryo, Om?” tanya dia.
“Ya.”
“Biar saya pinjam, Om.”
“Silakan saja. Kunci kontaknya masih nyantol disitu kok.”
Pamugaran sedikit merasakan ketidaksukaan Om Harso kepadanya. Dia meletakkan kunci mobil ke tangan Om Harso sambil mengangguk.
“Ini kunci mobil saya.”
“…………..”
“Arah bukit Macan di sebelah mana, ya?”
“Tuh, lewat saja ke jalan makadam itu, terus ke Selatan sana. Bukitnya yang itu, terlihat dari sini.”
“Terimakasih, Om.”
“Ya, sama-sama.”
“Saya pamit dulu.”
“Silakan.”
Lelaki bertopi sofbol itu langsung saja memacu motor menuju bukit Macan. Om harso menatap kepergiannya dengan dada manyun. Seperti ada sesuatu yang tidak beres. Sepertinya dia melihat ada sesuatu yang menyembul dari balik jaket lelaki itu. Apa ya…kok seperti…! Ya Ampuuuun. Bukankah itu selempang kulit semacam sarung pistol, yang sering dilihatnya dalam film detektif,yang selalu dikenakan para polisi? Ah, jangan-jangan…
“No, Supeno!” Om Harso berteriak memanggil pelayannya.
“Ya nDoro Kakung…”
“Siapkan kuda untukku dan kamu. Kamu ikut aku ya, ke bukit Macan.”
“Lho…, nDoro? Bukankah tadi…?”
“Wis, ojo kakeyan ngomong. Sana, siapkan dua kuda untuk kita. Cepetan, No!”
“Inggih, inggih….”
“Ciloko! Ciloko tenan kalau terjadi apa-apa disana…!”

(Wah, tembak2annya ada di episode berikutnya)

Sabtu, 14 Agustus 2010

TROWULAN (28)


HATI YANG TERLUKA.
PERKEBUNAN KARET, CURAHMAS.
Rayun Wulan duduk sendirian di ruang makan, mencoba menikmati sepiring nasi goreng dan segelas sari jeruk. Dia makan pelan-pelan, seakan sambil melamunkan sesuatu. Kendati pagi ini ingin segera bekuda, namun rasanya tak perlu tergesa-gesa. Beberapa kali matanya mengerjap. Aneh, nasi goreng bikinan mbok Yem biasanya cukup enak. Kenapa hari ini seperti menelan beling saja rasanya? Untuk yang ke sekian kali, Rayun menenggak sari jeruk sekadar mendorong gumpalan nasi yang menyesak di tenggorokan.
“Enak sarapannya?”
Tiba-tiba Om Harso, adik mamanya, muncul dari kamar. Wajah Om Harso nampak segar dan senyum lebarnya seakan air sejuk pegunungan yang menyiram benaknya.
Rayun mengangguk-angguk, sekedar menyenangkan hati Om Harso.
“Enak,” sahutnya pendek.
“Bikinan mbok Yem, pastilah mak nyus…hehehe…”
“Mbok Yem awet juga ya, ikut sama Om?’
“Yah,…orangtua itu sudah tidak punya siapa-siapa lagi.”
Om Harso menarik kursi lalu duduk di depannya. Membuka piring yang sejak tadi tengkurap, lalu menyendok nasi.
“Kau sedang ingin kemana, pagi ini, Rayun?”
“Saya? Mmmm….mungkin berkuda saja Om.”
“Ingat, jangan dekati gua macan di bukit kecil sebelah Selatan itu.”
“Kenapa? Bukankah sejak kecil dulu saya sering main kesana, Om?”
“Lain dulu, lain sekarang.”
“Iya, tapi kenapa dong.”
Om Harso menyuapkan nasi ke mulut, menelannya sejenak, baru menyahut,
“Bukit di sana itu sekarang sudah tidak berproduksi lagi. Pohon-pohonnya sudah tua dan tidak lagi menghasilkan getah. Jadi sepi sekali sekarang di sana itu. Om hanya kuatir, ada orang iseng mengganggumu di gua itu.”
Rayun tersenyum sambil mengelap bibir dengan tissue.
“Masa ada penjahat di daerah ini, Om? Sepertinya penduduk atau penderes getah karet itu selalu berseliweran saja di bukit-bukit, bahkan mereka sudah sejak lama mengenal saya, kan?”
“Sudah kukatakan, lain dulu lain sekarang.” Si Om bersikeras. Sepasang matanya menjeling dari balik kacamata yang dikenakannya.
“Omong-omong, aku ingin tau mengapa mendadak saja kau datang dan tetirah di tempat sepi ini?” lanjut Om Harso sambil meneruskan sarapannya.
“Saya kangen Om.”
“Kangen kepadaku?” Om Harso tertawa lebar. “Masa?”
“Iya, sumpah! Saya juga kangen dengan masa kecil saya disini bersama Putri dan Rudy, putra-putra Om.”
“Dulu kalian sering berpacu, berlarian layaknya sekumpulan ‘laron’.”
Rayun tertawa kecil. Kedua matanya merawang. Diam-diam Om Harso menatapnya, tak pelak lagi, dia melihat ada segurat kesedihan dalam mata nan cantik di depannya.
Om Harso meletakkan sendok dan garpu di piring yang telah kosong, mengelap bibir sejenak, kemudian berkata seolah mengingatkan.
“Dengan hari ini, kau sudah seminggu berada disini.”
“Mmmm….saya bahkan ingin sebulan disini. Boleh, kan?”
“Boleh boleh saja, asalkan kau mau berterus terang dan berkata jujur padaku. Mamamu mengatakan bahwa ada satu masalah antara kau dan pacarmu. Pemuda itu semalam datang ke rumahmu, menemui orangtuamu, bahkan dia sudah menghubungi sahabatmu pula. Apa betul, kau sedang melarikan diri?”
Rayun tergelak.
“Melarikan diri dari siapa? Hahaha….memang saya seorang buronan?” Rayun menjeling dalam tawa yang terdengar sumbang di telinga Om Harso.
“Sebenarnya ada apa antara kau dan pacarmu itu?” tanya Om Harso telak.
Rayun ragu sejenak.
“Maksud Om,…antara saya dan… Aryo?”
Om Harso tersenyum.
“Jadi nama dia, …Aryo…?”
Rayun meremas serbet seakan sedang meredakan amarah.
“Kenapa tak kau ajak dia ke sini?”
“Mengajaknya? Ow…nggak deh!”
“Mengapa?”
“It’s all over now.”
Om Harso terbatuk.
“Secepat itukah?”
Rayun memainkan garpu dengan kedua tangannya.
“Yap!” sahutnya pendek dan mantap.
“Masalah cemburu?” Om Harso menebak. Telak menonjok ulu hati Rayun.
“Yaa…semacam itulah, Om. Dulu kami bertemu di pantai Puger. Dia menyelamatkan saya. Saya akui, saya sangat tertarik kepadanya. Mabuk kepayang, malah. Kata orang-orang, dia semacam titisan raja pertama Majapahit. Tapi bukan itu yang membuat saya jatuh cinta kepadanya. Menurut saya, dulu… dia adalah seorang pria yang amat menarik. Tapi akhirnya, saya jadi kecewa.”
“Apa yang membuat kau kecewa terhadapnya?”
“Ternyata dia tak seindah bayangan saya, Om.”
Om Harso menyungging seulas senyum arif.
“Apa, yang kau bayangkan tentang dia?” tanyanya.
“Semula saya membayangkan dia adalah seorang pria yang lain dengan pria-pria pada umumnya.”
“Jangan lupa, Om juga seorang pria.”
Rayun tertawa mendengar canda Om Harso.
“Teruskan, Yun.”
“Saya menganggap dia adalah seorang lelaki yang hanya punya satu cinta: ‘saya’. Sebab pada setiap ucapan dan bahasa tubuhnya yang saya dengar dan saya lihat, adalah semacam gambaran tentang cinta dan kesetiaan yang unik. Yang cuma dimiliki para kesatria jaman dulu kepada kekasihnya. Seolah dialah sang Romeo dan sayalah Yulietnya. Sungguh, sangat menyanjung. Dan saya, demi Allah, jadi tersanjung. Merasa bahwa diri saya adalah perempuan paling beruntung dan paling berharga di dunia ini mengingat begitu banyak wanita dikecewakan oleh cinta gombal lelaki. Saya merasa tak lagi menginjak bumi pada setiap pertemuan saya dengannya, tapi…nyatanya….”
Om Harso melipat tangan di atas meja makan, menatapnya tajam, lurus ke manik mata yang mulai berselimut cairan bening di depannya.
“Nyatanya….apa?”
“Ada perempuan lain yang mengaku dihamili olehnya.”
“Masya Allah!”
Kini Om Harso melihat cairan bening itu runtuh, bergulir di pipi gadis yang tengah berusaha menghapusnya dengan tangan gemetaran.
“Barangkali itu cuma fitnah,” kata Om Harso.
“Fitnah atau bukan, saya sudah terlanjur terluka mendengarnya, Om. Yang saya rasakan saat perempuan itu mengaku bahwa dia hamil, adalah seperti sebuah sambaran petir di siang bolong. Saya betul-betul merasa ditonjok, dilukai, ditipu, sekaligus dipermainkan. Lantas saja saya berpikir, kalau orang seperti dia berkelakuan semacam itu, apa bedanya dengan lelaki lain?”
“Mmmm…maksudmu,…dengan Pamugaran, begitu?”
“Om sudah mendengar juga tentang dia?”
“Ya pasti dong. Memang kaupikir aku siapa? Aku ini paman kesayanganmu. Pastilah berita itu sampai juga ke telingaku, nduk!”
“Yah, begitulah. Ternyata dia itu sama saja bajingannya dengan Pamugaran. Mempermainkan perempuan lalu meninggalkannya kala sudah bosan. Jangan-jangan kepiwaiannya di dunia mistik seperti yang selama ini saya dengar, malah disalahgunakan untuk hal-hal yang menguntungkan dirinya saja. Saya jadi nggak ngerti apa seperti itu, laki-laki di dunia ini, Om?”
“Tenang, tenang. Jangan emosi begitu dong. Pemikiranmu yang seperti itu sungguh keliru. Tidak semua laki-laki seperti itu, Yun.”
“Maaf, Om. Saya tidak men-judge semuanya seperti itu. Om laki-laki, papa juga laki-laki. Semuanya terlihat baik-baik saja. Memang begitu ya, Om?”
“Kamu betul.”
“Saya mendengar, Aryo itu masih keturunan Nambi….”
“Nambi sang senapati pamungkas di jaman Majapahit? Kok bisa? Dan kamu percaya?”
“Semula saya percaya bahwa dia itu titisan Nambi. Sayapun semula melihat memang dia sangat berkualitas di bidangnya. Terlihat lebih unggul dibanding manusia lain. Tapi demi Allah, saya tidak mengkultuskan dia seperti kebanyakan orang, saya hanya melihat bahwa dia memang mempunyai kelebihan baik dalam cara bersosialisasi maupun dalam keahliannya menembus waktu. Kalaupun saya pernah mencintainya, itu karena saya mencintainya, karena dirinya, bukan karena pengkultusan. Saya kecewa tatkala mengetahui bahwa dia tak lebih baik dari manusia lain di daerahnya.”
“Kita tidak pernah diijinkan mengkultuskan orang lain. Itu syirik namanya. Sebab kelebihan itu hanya ada pada Tuhan, bukan pada manusia seperti kita, kecuali Nabi-Nabi. Dia adalah manusia biasa yang darahnya masih tetap merah, dan kekhilafan masih tetap saja bisa menimpanya.”
“Yang jelas, saya tak bisa menerima semuanya ini. Seharusnya sejak awal dia berterusterang pada saya bahwa dia pernah…pernah…”
Tangis Rayun pecah.
“Bayangkan, Om. Dia memacari saya bahkan hampir saja bertunangan, sementara di sisi lain ada perempuan yang menderita karena kehamilan akibat dirinya. Sungguh, saya tidak terima. Bagi saya kesetiaan itu adalah mutlak….” Lanjut Rayun dengan suara tercekik.
“Tak ada yang mutlak di dunia ini, nduk!”
“Kejujuran…itu yang saya inginkan dalam sebuah hubungan. Kesetiaan dan kejujuran! Masa tidak bisa? Sakit hati saya, Om. Janji-janjinya pada saya ternyata palsu!”
“Setiap orang bisa saja berbuat salah.”
“Ya, tapi saya tidak pernah sedahsyat itu berbuat kesalahan. Belum lagi dia mengucapkan sumpah setia pada saya, tau-tau…”
“Yun…sabar nak…”
“Cinta saya kepadanya habis seketika. Saya rasakan harga diri saya terinjak lumat. Kepedihan saya luar biasa. Seperti butir-butir gandum yang ditumbuk sampai polos telanjang, diketam digosok, diremas, kemudian dimasukkan kedalam api!”
“Begitulah pekerti cinta atas diri manusia. Itu supaya kamu bisa memahami tentang rahasia hati. Kesadaran itu akan menjadikanmu kian dewasa.”
“Bodoh sekali saya!”
“Sudahlah, jangan diteruskan lagi kemarahanmu itu. Ingatlah, bahwa diri kita ini juga tak pernah luput dari kesalahan. Kita ini ibaratnya sedang berbicara tentang orang yang - menurut kita – bersalah. Seolah dia bukanlah orang yang kita kenal, tetapi orang asing. Seseorang yang hadir di dunia kita bagai duri yang mengganggu. Ingatlah juga kata-kata ini, bahwa orang bijaksana dan paling keramatpun tak akan lebih unggul dari sebuah percikan api tertinggi yang bersemayam dan tersembunyi dalam setiap pribadi. Maka ketahuilah bahwa yang jahat dan paling lemah wataknyapun jadi tak lebih hina dari unsur terendah manusia yang bersarang dalam diri manusia.”
Ditatapnya wajah Rayun yang penuh airmata. Ingin sekali dipeluknya seperti dulu semasa gadis itu masih kecil. Ingin dihiburnya dengan segenggam gula-gula kesukaannya seperti masa Rayun masih berumur sepuluh tahun. Tapi Om Harso tak ingin keponakan kesayangannya itu jadi cengeng. Dia tau, kedua orangtua Rayun selalu mengajarkan hal-hal yang riil. Maka tak heran bila gadis itu jadi tumbuh dengan sikapnya yang sangat realistis ketika harus menatap langit.
“Sebaiknya kita mengambil hikmah dari semua ini,” kata Om Harso. “Jangan terlalu dipikirkan. Masa depan bagimu masih panjang dan cemerlang. Terjunkan saja dirimu dalam kesibukan kepenulisanmu itu. Walaupun itu Cuma sekadar hobi, tapi bisa saja menunjang kehidupanmu di kelak kemudian hari. Bisa jadi akan menjadi karis utamamu, dan aku yakin kau bakal sukses di dunia tulis menulismu itu.”
“Ya Om.”
“Bagus.”
Om Harso melempar senyum tipis, dan Rayun membalasnya walau masih dengan linangan airmata sakit hatinya.
“Oke, Om berangkat ke pabrik dulu ya?”
“Ya Om.”
“Ingat, kalau berkuda jangan jauh-jauh. Di bagian bukit Macan itu, sekarang sepi. Aku tak ingin terjadi apa-apa atas dirimu. Kudamu, si Kacung, sudah menunggu di halaman belakang.”
Rayun berdiri, memeluk Om Harso dan mengucapkan terimakasih.

(Kudanya lari ke episode berikut. Sabar yaaaa..)

TROWULAN (27)


DYAH SUGIHAN.
Pagi-pagi sekali Aryo mencoba menghubungi salah seorang sahabat Rayun, Dyah Sugihan. Sejak kejadian di museum itu, Rayun tiba-tiba menghilang begitu saja tanpa meninggalkan pesan apa-apa. Saat dicari ke rumahnya, orang-orang yang ada di rumah itu mengatakan mereka sama tidak taunya dengan Aryo Wangking. Bahkan Rayun tidak pamit, tidak minta ijin pada kedua orangtuanya atau mengatakan kemana dia pergi. Bahkan saat dihubungi lewat telepon selulernya, hape Rayun selalu off line.
Di rumahnya, saat ditemui Aryo Wangking, Dyah Sugihan terlihat kaget.
“Aneh,” katanya sambil mengerutkan kening. “Tidak biasanya Rayun seperti ini. Menurutku, dia sedang marah. Kenapa ya, dia menghilang begitu saja? Kau tau apa yang membuatnya pergi seperti itu? Atau…kalian sedang bertengkar, barangkali?”
Lama Aryo terdiam.
“Aryo…? Apa kalian sedang bertengkar?” Dyah Sugihan mengulang pertanyaannya.
Sesaat Aryo menyulut rokok. Setelah menghembuskan asap ke udara, barulah dia menjawab perlahan,
“Kami tidak bertengkar. Cuma…”
“Cuma…. Apa?”
“Panjang ceritanya, Dyah.”
“Ceritakan saja padaku. Toh kau sudah berada disini.”
“Ada seorang temanku, arkeolog juga, yang menuduh aku telah menghamili seorang gadis di kantor.”
“Astaghfirullah…” Dyah Sugihan membelalakkan mata sambil mendekap dada.
“Tolong, jangan pandang aku seperti itu.”
“Bagaimana sampai ada tuduhan semacam itu? Pasti ada alasannya. Kurasa tidak ada asap tanpa api!”
“Ya, ya. Aku mengakui dengan jujur bahwa gadis itu dulu memang kekasihku.”
“Tuh, kan!”
“Itu dulu, Dyah. Sebelum aku mengenal Rayun.”
“Katakan dengan jujur, Aryo, apa kau pernah tidur dengannya?”
Leher Aryo bagai dicekik.
“Dulu. Ya.”
“Nah kan! Keterlaluan kamu Aryo. Sungguh mati aku tiddak pernah menyangka, membayangkan saja tidak, bahwa kau…kau sebrengsek itu. Bayangin saja, kalau gadis itu benar-benar hamil…bayangin Aryo!”
“Ssst…” Aryo menahan suaranya. Menurunkan tangan sebagai isyarat agar Dyah lebih menurunkan suaranya satu oktaf.
“Jadi pantas saja kalau dia marah. Pantas kalau dia nanti tidak mau lagi menemuimu. Coba, seandaianya saja aku tau pacarku pernah tidur dengan orang lain…uuuuh….Mungkin aku langsung memutuskan hubungan. No way!”
“Dyah…Dyah…Tolong jangan membuatku semakin tertekan.”
“Tertekan katamu? Hoho…seorang Aryo Wangking tertekan? Nonsens!”
“Aku mencintainya. Sungguh!”
“Oh ya?”
“Aku begitu takut kehilangan dia.”
“…………..”
“Tolong, kasih tau aku kemana kira-kira dia pergi…”
Dyah menatap tajam wajah brewok di depannya. Kemana kegagahan kamu itu Aryo? Saat ini dirimu seperti wayang kehilangan gapit. Lemas, lunglai, pucat…
“Maaf, aku tidak tau.”
“Dyah…”
“Aku tidak tau.”
“Aku yakin kau tau. Dalam penglihatanku, dia pergi ke arah Timur. Tapi tepatnya,…kau pasti tau. Kalian berteman sudah lama. Pasti kau tau.”
Lama Dyah terdiam sambil melipat tangan ke dada. Ada perasaan marah kepada Aryo Wangking. Namun ada juga rasa belas kasihan kepada lelaki yang duduk dengan wajah lelah di depannya, menunggu jawaban dengan wajah harap-harap cemas.
“Kalau gadis itu benar-benar hamil, bagaimana?” cetus Dyah tajam.
“Dia hamil karena orang lain, bukan karena aku.”
“Kau yakin?”
“Masya Allah, Dyah! Aku punya kacamata rangkap. Mana bisa keliru?”
“Kau bukan Tuhan, Aryo! Ingat itu. Jangan sombong karena kelebihanmu itu.”
“Oh ya, maaf. Mungkin dimatamu aku terlihat sombong, jubriyo, atau sok! Tapi kalau kukatakan aku bisa melihat yang orang lain tidak bisa melihat, dan itu adalah kelebihan yang diberikan Tuhan kepadaku, apa aku salah? Aku tau, Rayun tengah terbakar rasa cemburu, dan aku tau, barangkali kesempatanku untuk memilikinya tinggal limapuluh persen, namun ada hal yang ingin kubuktikan kepadanya …”
“Apa? Apa yang akan coba kau buktikan?” potong Dyah keras.
“Aku ingin buktikan bahwa aku benar.”
“Benar? Benar dalam hal apa?”
“Bahwa aku benar-benar tidak menghamili gadis itu.”
“Bagimana caranya?”
“Itu urusan nanti. Sudahlah, tolong katakan saja kemana dia pergi.”
“Baiklah. Aku Cuma ingin tau kapan kau bisa membuktikan bahwa gadis itu tidak mengandung anakmu.”
“Nanti kau akan tau. Aku janji.”
“Oke, kupegang kata-katamu! Menurut ingatanku, Rayun punya seorang paman di luar kota.”
“Dimana?”
“Jember.”
“Jadi benar, dia berada di arah Timur Surabaya.”
“Ya.”
Aryo mengatupkan kedua mata. Mencoba melihat dengan kemampuan spiritualnya, lalu mulai menebak.
“Di sebuah rumah, di daerah pegunungan,…ada hutan…hutan karet…!” ujarnya sambil tetap memejam.
Dyah mengangguk.
“Ya, sebuah perkebunan karet, perusahaan swasta, bukan PTP.”
Aryo membuka mata dan tersenyum.
“Kenapa tidak sejak tadi saja kau katakan itu,” katanya.
“Maumu! Sudah sana, kau pasti bisa menemukannya.”
“Tunggu. Tepatnya dimana?”
“Di sebuah daerah perkebunan, namanya Curahmas.”
Aryo kembali mengembangkan senyum, mematikan rokok ke dalam asbak, berdiri sambil menepiskan belakang celana jins, memakai topi koboinya, kemudian mengambil anak kunci motor yang berhasil dipinjamnya dari Darji.
“Aku ke sana sekarang.”
“Sekarang? Naik apa?”
“Tuh, dapet pinjeman motor.”
“Astaga. Jadi kau mau naik motor ke perkebunan itu?”
Aryo hanya tertawa melihat Dyah tercengang.
“Itu perjalanan yang cukup jauh, Aryo.”
“Aku tau. Memang, kenapa?”
Dyah Sugihan bersidekap, menyaksikan Aryo mengenakan helm dan jaket kulitnya, kemudian menstarter motor.
“Hati-hati di jalan, Aryo.” pesannya.
“Yap!”
Motor yang dikendarai Aryo melaju cepat keluar halaman, menghilang di balik tikungan. Dyah terpaku di beranda rumah dengan perasaan galau. Entah, yang dirasakannya hanyalah semacam kesedihan. Kesedihan yang mungkin saja ada dalam relung hati Aryo Wangking. Atau boleh jadi semacam kesedihan yang tengah dirasakan juga oleh Rayun. Ingin rasanya dia ikut ke perkebunan di Curahmas, menemui Rayun dan ikut membujuknya untuk tidak memutuskan hubungannya dengan Aryo. Sungguh, dia tak ingin melihat Aryo kehilangan Rayun!

MUSEUM.
Pagi itu memang terlihat kesibukan yang lebih ketimbang biasanya. Sebab ada beberapa patung lagi yang berhasil ditemukan setelah benda-benda antik itu sempat menghilang karena penjarahan tatkala terjadi reformasi beberapa tahun yang lalu di Jakarta yang merembet sampai ke Jawa Timur.
Ada patung emas Pradnya Paramita yang dikembalikan dari Jerman. Kali ini beberapa patung berharga lain ditemukan di negeri Belanda. Entah bagaimana caranya benda-benda itu bisa sampai ke negeri salju itu. Yang jelas, benda-benda bersejarah itu kini telah kembali.
Di tengah kesibukan itu, mendadak sebuah sedan merah masuk ke halaman musem. Jelas, pengendaranya adalah Dewa Pamugaran. Dia datang bukan untuk benda-benda kuno itu, melainkan karena ingin bertemu dengan Niken Pratiwi.
Saat dia menapakkan kaki ke lantai museum, dia melihat begitu banyak orang. Ada beberapa karyawan, ada arkeolog-arkeolog senior maupun yunior, dan beberapa mahasiswa dari Fakultas Ilmu Sosial jurusan Antropologi, ikut menyaksikan kedatangan benda-benda bersejarah itu dari luar negeri. Saat itu rupanya waktu yang tepat bagi Pamugaran untuk menyelinap masuk. Orang-orang yang berseliweran disitu bahkan akan menyamarkan kedatangannya.
Sejak kegagalan Raki Keleng tempo hari dalam usahanya meledakkan Aryo Wangking, Pamugaran memang sengaja tidak keluar dari sarangnya. Dia mengurung diri dalam apartemen, melakukan beberapa kegiatan spiritual, minta dukungan kepada arwah leluhur , dan melakukan ritual untuk sang gaib yang dipujanya selama ini, guna menghancurkan Aryo Wangking sang pesaing. Ambisi, ego, dan arogansi membutakan matanya. Dengan cara apapun, dia akan melakukannya asalkan Aryo Wangking bisa musnah dari muka bumi. Dalam apartemennya, dia melakukan sebuah ritual khas leluhur, yakni membuat semacam lingkaran pada permukaan ubin di ruang tengah. Lingkaran itu dibuatnya dari tepung, dengan diameter tujuh meter. Lalu dengan bantuan kompas, dia menentukan arah Utara. Diletakkannya sebatang lilin di situ, dan menyalakannya.. Kemudian menyusul arah mata angin lainnya. Lalu dia duduk di tengah lingkaran, menghadap ke arah Utara.Dari upacara ritual itulah dia kemudian mendapat petunjuk gaib yang membawanya datang ke museum, bertepatan dengan ditemukannya kembali patung dan benda kuno yang pernah dijarah orang.
Kini dia telah berada di dalam musem, di tengah orang-orang. Sepasang matanya mencari-cari, dimana Niken? Secara sembunyi-sembunyi dia terus masuk, menelusuri setiap ruang. Nah itu dia, pikirnya girang.
Dekat toilet, dia melihat Niken sedang berbincang dengan beberapa orang yang tak dikenalnya. Aryo wangking sendiri tidak terlihat disitu, apalagi Raki Keleng. Doanya terkabul, untuk tidak perlu bertemu dengan Aryo Wangking. Pamugaran mendekati Niken, mengendap, perlahan, bagaikan kucing.
Riiiinnngggg…..!
Telepon kuno di atas meja dekat Niken berdering.
Dengan sigap Niken mengangkatnya. Pamugaran memasang telinga lebar-lebar. Menurut firasatnya, telepon itu dari Aryo.
“Hallo, selamat pagi!” suara Niken.
“………”
“OH, kau Aryo! Posisimu dimana sekarang? Apa? Jember? Edan kau ini. Ngapain disitu? Tau, nggak, ribut sekali disini. Patung-patung dari Nederland itu sudah datang. Mestinya kau ada disini menyaksikan mereka membuka peti-peti itu. Bolos lagi, ya? Enak bener.”
“……..”
“Baik, baik! You are still the boss. Polisi memang sering menanyakanmu, jadi apa harus kujawab?”
“…….”
“Alamatmu? Oke.”
Niken mencabut sebuah bolpoin dari dalam saku bajunya, mengambil sebuah blocknote, lalu menuliskan sesuatu di sana. Merobek kertas paling atas, dan menyimpannya di saku bersama dengan bolpoin sekalian, kemudian kembali sibuk.
Pamugaran mendekati meja, mengambil blocknote. Dengan sebuah pinsil, dia mengarsir bekas tulisan yang tembus ke atas kertas di bawah kertas yang di robek Niken tadi. Pamugaran membuat arsiran yang amat halus dengan cara menggeser-geserkan ujung pinsil secara miring di atasnya. Perlahan-lahan timbul tulisan yang kini bisa dibaca. Sebuah alamat, sepertinya nama sebuah perkebunan karet di sebuah daerah pedalaman tak jauh dari pusat kota Jember.
Pamugaran menyeringai, lalu merobek kertas itu. Matanya menyipit. Lebih kejam dari biasanya. Dia yakin,kali ini tak mau lagi ada kegagalan. Harus bisa, ya…dia harus berhasil melenyapkan Aryo Wangking, lelaki kurangajar yang menghancurkan karirnya sebagai pelukis tenar. Dengan langkah lebar dia keluar, menuju kendaraan mewah di areal parkir. Tak lama kemudian mobil berwarna merah menyala itupun meluncur pergi, melaju dengan kencang ke jalan raya.
(lukanya hati ada di episode berikutnya).