Sabtu, 20 Maret 2010
TROWULAN (11)
BALEKAMBANG, MALANG SELATAN
Pantai Balekambang terletak di sebelah Selatan kota Malang. Orang setempat mengatakan pantai laut Selatan ini seringkali meminta korban. Namun menurut penuturan juru kunci Mbah Imam, para korban itu kemungkinan sedang diambil menantu oleh Penguasa Laut. Buktinya, mayat mereka tak pernah ditemukan.
Masih kentalnya kepercayaan masyarakat setempat terhadap pamor Sang Penguasa Laut dibuktikan dengan upacara labuhan setiap tahun. Konon acara ini diadakan untuk melindungi warga masyarakat setempat dari mara bahaya. Di pesisir Selatan Pulau Jawa, acara serupa juga diadakan. Seperti misalnya, di Banyuwangi, Tulungagung, Parangtritis, atau Cilacap. Kendati konotasinya berbeda. Yakni untuk keselamatan para nelayan di laut.
Banyak orang percaya, ketika acara itu berlangsung, Penguasa Laut juga ikut hadir. Dia akan menjaru sebagai penonton. Begitu juga dengan para pengawalnya. Acara acara tersebut tak jarang dipergunakan oleh Sang Penguasa Laut untuk mencari menantu. Sebagai akibatnya, bisa saja secara tiba-tiba ada yang jatuh menjadi korban. Ditelan ombak. Dan mayatnya hilang begitu saja tak pernah kembali. Mereka yang menjadi korban biasanya dikarenakan telah melanggar pantangan yang telah digariskan. Misalnya, mereka yang mengenakan baju hijau, atau mereka yang suka berbicara sombong tak keruan di tempat dimana upacara sedang berlangsung.
Pada hari itu, Rayun Wulan ikut beersama Pamugaran ke pantai Balekambang. Udara terasa sejuk sejak hujan semalam. Angin sepoi bagaikan hembusan nafas bidadari. Rayun sangat menikmati panorama di bibir pantai. Dia duduk melamun diatas sebatang pohon nyiur yang tumbang dan diletakkan orang begitu saja dipinggir pantai. Dipandangnya ombak yang mirip buih sabun, membentuk lingkaran-lingkaran kecil, berputar putar bersama air laut yang menghijau (bukan biru). Rayun tidak tau, kenapa air laut di bibir pantai pulau Balekambang bukan biru atau kesoklatan, namun serupa dengan hijaunya batu topas.
Di langit burung camar melayang-layang menghampiri, serumpun demi serumpun. Begitu tengadah, Rayun melihat langit terbentang luas, biru bersih. Sementara di depannya sana, laut berbusa-busa menghamtam pantai, naik ke bukit karang, lalu pecah dan disusul ombak berikutnya saling kejar mengejar dan berlomba menghantam karang.
Di atas bukit batu karang itulah kini Pamugaran berada untuk mengambil panorama indah bagi lukisannya. Bisa dipastikan, lelaki paruh baya itu akan turun setelah lewat tengah hari. Atau bahkan selewat senja. Sebab kalau sedang berhadapan dengan kanvas dan ebrmain-main dengan cat minyaknya, Pamugaran bisa lupa segala. Dia akan benar-benar tenggelam dalam keasyikan yang sulit dilerai. Gerak dan bahasa tubuh serta jiwanya menyatu, menampakkan sebuah profesionalisme yang kental.
Sore berikutnya, mereka naik ke Pulau Kambang. Diatas pulau itu berdiri sebuah pura Hindu. Pamugaran menyampaikan keinginannya untuk bersamadi disitu. Kini Rayun Wulan tau, bahwa selain melukis, Pamugaran punya kebiasaan bersamadi, seakan dirinya masih memegang teguh budaya nenek moyangnya. Kemunculannya dalam kehidupan Rayun dirasakan bagai kebangkitan sebuah budaya. Pamugaran laksana seseorang yang memiliki daya linuwih karena produk budaya: Bali dan China. Tak sampai disitu, Pamugaran bahkan mengatakan bahwa sebelum mengenal Rayun Wulan, secara berkala dia pergi ke lereng Gunung Semeru mengunjungi Pura Mandara Giri Semeru Agung, yakni sebuah pura terbesar di lereng Gunung Semeru. Kata Pamugaran, di tempat itulah dirinya mendapatkan kemampuan gaib yang datang secara tiba-tiba seakan-akan dituntun oleh para leluhur. Maka ketika Pamugaran masuk ke dalam pura di bukit pulau Kambang itu, Rayun memilih untuk tetap berada di luat. Dia duduk bersandar ke dinding Pura sambil mencobamenggali inspirasi untuk tulisannya yang akan datang.
Tanpa terasa, Rayun Wulan jatuh tertidur.
Angin senja menjelang malam, bertiup lembut. Semilir, mengguncang pucuk pepohonan. Rasa kantuk itupun datang membuat sepasang kelopak mata Rayun jadi terpejam. Dirinya seakan ngelayup. Tidur tidur ayam. Pada saat itu, antara sadar dan tidak, dia melihat mata besar mengintip amat dekat ke wajahnya. Bukan sepasang, namun hanya sebelah. Rayun tersentak (masih dalam alam tak sadar), dan menyaksikan mata besar itu menjauh sebentar. Hanya sesaat. Namun waktu yang hanya sekejaran detik lonceng itu telah mampu membuat Rayun melihat jelas siapa pemilik mata besar itu.
Rayun melihatnya secara utuh.
Pemilik mata besar itu ternyata seekor naga bersisik perak. Sepasang tanduk pendek bertengger di kepalanya. Jenggot panjang berwarna putih melambai di rahangnya. Punggungnya bergerigi pajal, dan ekornya pipih berwarna perak kehitam hitaman. Naga itu panjang dan besar. Ada empat cakar kuat di bawah badannya. Namun anehnya, Rayun samasekali tidak merasa ketakutan saat dua pasang mata mereka saling bertatapan. Dirinya bahkan merasa amat senang seperti tengah bertemu dengan kawan lama yang dirindukannya.
Mendadak Rayun teringat pada Naga Siluman di Pantai Puger. Apakah yang sedang berhadapan dengannya adalah Naga di Pelawang Maut itu? Bagaimana bisa sampai di tempat yang jauh seperti ini? Rayun tidak memahami. Bagaimana hebatnya alam siluman. Sebagai makhluk tak berbadan kasat, pastilah bagi siluman dunia ini tanpa batas waktu dan ruang. Mereka bisa datang dan pergi ke suatu tempat dan masa, dengan sekehendak hati mereka. Tanpa keterbatasan bagai manusia biasa. Kalaupun mereka kadang bisa menampakkan diri ke dunia nyata yang dimiliki manusia, pasti ada sesuatu yang membuat mereka bisa saling bertatap mata, bahkan saling berinteraksi layaknya manusia biasa. Semua itu karena kehendak Yang Maha Kuasa, yang memiliki kehendakNya sendiri, Mengaturnya, dan membuat segalanya yang tidak mungkin terjadi jadi mungkin terjadi.
Rayun tersenyum. Dirasakannya ada segerobak rindu yang luruh dari hatinya. Ingin bisa memeluk Naga itu, namun bagaimana caranya? Apakah bisa? Bagaikan sebuah lukisan, rindu yang ada seolah begitu kental meleleh membasahi kanvas hati. Seakan akan mengerti, Naga itu menjulurkan lidahnya yang bercabang, menjilat wajah Rayun sekilas.
Rayun tertawa geli.
“Siapa nama kamu?” dia bertanya dalam sisa tawa.
Naga itu mengangkat kepala. Dia bergerak dengan gesit melingkari Rayun Wulan seakan-akan mengajaknya main tebak-tebakan.
Masa kau lupa namaku? Bisikan itu, Rayun yakin, adalah suara sang Naga.
“Ya, aku lupa. Tapi tak kusangkal, aku merasa sangat mengenalmu. Apakah kita pernah bertemu sebelum ini?”
Mungkin dengan ini kau akan ingat siapa aku
Naga itu makin cepat bergerak, melingkar-lingkar di sekeliling Rayun Wulan. Kemudian melesat ke udara, meliuk-liuk. Lalu dengan caranya sendiri dia mendekatkan lehernya yang besar ke Rayun Wulan, yang dengan senang hati kemudian memeluknya erat.
Naga besar itu kemudian terbang tinggi, meliuk-liuk, kemudian melemparkan Rayun ke udara. Dengan cepat dia meluncur turun mendahului Rayun mencapai permukaan laut, menggulung tubuhnya dan siap menerima tubuh Rayun yang jatuh. Begitu Rayun jatuh ke atas tubuhnya yang bergelung di atas lidah ombak, Naga itu melemparkannya kembali ke udara dan menerimanya kembali jatuh ke tubuhnya. Demikian berkali-kali, sehingga serupa dengan anak kecil yang bermain lompat-lompatan di atas kasur ibu. Suara jerit kesenangan terdengar sangat nyaring dari bibir Rayun Wulan. Membelah udara malam yang kian datang menjelang. Ombak berdebur kencang. Tinggi menghempas karang.
Rayun tergelak senang, teringat masa kecil bermain lompat-lompatan di ranjang busa. Perasaan serupa itu hampir tak lagi pernah dia rasakan. Kebahagiaan yang aneh merasuk amat dalam ke hati dan jiwanya. Tubuh rampingnya seakan dilempar dan ditangkap sepasang tangan kokoh seorang pria tampan perkasa. Naga itu mengayun, melempar, menangkap. Mengayun lagi, melempar, menangkap. Demikian seterusnya, hingga mendadak ada hempasan angin yang amat kuat, membuat sang Naga menggelepar. Dia tak mampu lagi menangkap jatuhnya Rayun ke permukaan laut. Rayun menjerit kaget saat dirinya jatuh. Bibirnya meneriakkan sesuatu, …sebuah nama…
“Rayun!”
Rayun tersentak bangun. Pertama yang dilihat oleh bola matanya adalah wajah Pamugaran.
“Kau kenapa?” tanya Pamugaran.
Rayun menegakkan punggung dan menjilat bibir yang kering.
“Aku…apakah aku tertidur?”
“Ya, kau tertidur. Sepertinya kau bermimpi. Tadi kau sempat menyebutkan sebuah nama.”
“Apa? Nama?”
“Mimpi apa kau? Nyenyak sekali tidurmu.”
Rayun menggeleng pelan. Nama, kata Pamugaran. Nama…? Siapa?
“Kau tidak apa-apa?” tanya Pamugaran kuatir.
“Tidak, aku tidak apa-apa.”
“Tetapi mukamu pucat sekali. Kau berkeringat.”
“Ah, aku tidak apa-apa. Kau sendiri bagaimana? Sudah selesai samadimu?”
“Ya, baru saja. Kucoba menembus alam gaib. Kata orang, disinilah gerbang menuju ke alam sana. Dan….aku berhasil.”
“Maksudmu,.. kau …berhasil menemui…”
“Ratu kidul? Ya.”
“Apa yang kaubicarakan dengan beliau?”
Pamugaran tersenyum. Dipeluknya Rayun, dan mengajaknya turun ke darat. Mereka menuju ke pondok. Setelah menuruni puncak pulau melalui tangga batu yang cukup tinggi, mereka akan sampai ke jembatan penghubung yang teerbuat dari kayu. Jembatan itulah yang menghubungkan Pulau Kambang dengan daratan.
Rayun terus berpikir.
Naga itu, Naga Tatmala. Ya, nama itulah tadi yang dia jeritkan saat akan jatuh ke laut. Tanpa sengaja dia menjeritkan nama itu. Barangkali itulah maksud Naga Tatmala mengingatkan namanya pada rayon. Ah. Rasanya Rayun jadi ingin bertemu lagi dengan Naga Tatmala. Diam-diam Rayun tersenyum. Malam itu dia telah menorehkan warna merah dalam kanvas kehidupannya dengan sebuah nama baru: Tatmala!
“Hujan.” Kata Pamugaran tiba-tiba.
“Cepat cepat, kalau tidak bisa basah kuyup kita.”
Mereka berdua berlari kecil melintasi jembatan kayu dikejar hujan yang mendadak berubah menjadi badai.
(Bersambung)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar