Sabtu, 13 Februari 2010

TROWULAN (2)


Tiba-tiba Marlan mengalihkan pembicaraan.
“Apa benar, dari penggalian pada tahun 1914, kalau tidak salah, bangunan Siti Hinggil dilingkari tembok bata keliling?”
Aryo mengangguk.
“Dalam arsip arkeologi memang dikatakan bahwa pada penggalian situs yang dulu dikenal dengan nama Candi Kedungwulan itu, pernah ditemukan benda-benda purbakala. Namun situs itu kini sudah banyak berubah. Kini yang menonjol adalah sejumlah bangunan baru. Bangunan kunonya sendiri yang berada di bagian bawah, nyaris tenggelam. Tinggal kaki candi. Sedangkan bagian atsanya, seperti yang kita lihat sekarang, berupa bangunan baru lengkap dengan sanggar peersemedian. Tragisnya lagi, di atas bangunan kuno itu berdiri makam baru serta bangunan berupa arca.”
“Maksud sampeyan, makam Sri Baginda Kertarajasa Jayawardhana?”
“Bukan Cuma itu. Bahkan ada makam lain yang dianggap sebagai makam Gayatri dan Dara Pethak serta dua tokoh lain yang tak tertulis dalam sejarah.”
“Makam Kik Bang dan Nyah Bang?”
“Ya, dua abdi kinasih Sang Prabhu.”
“Tetapi masyarakat sangat mempercayai bahwa …”
“Itulah parahnya. Kita tidak bisa mencegah mereka.”
Marlan manggut-manggut tanpa bisa berkomentar apa-apa. Sedangkan Aryo melihat jam tangannya dan terlihat bersiap-siap akan pergi. Marlan ikut berdiri dan menepis-nepis belakang celananya.
“Mau terus pulang atau mau naik ke makam?”
“Saya pulang saja, Cak.”
“Baiklah kalau begitu. Saya akan menemui Sikan jurukunci di mushola. Selamat siang, Mas.”
Aryo mengambil tas ransel, dan tersenyum tipis.
“Selamat siang, Cak Lan.”
Mereka berpisah di kaki pohon Kesambi besar dekat Candi Kedungwulan. Marlan menuju mushola, sedangkan Aryo berjalan mantap ke areal parkir.
Bab dua.
BAJANG RATU.
Rumah kecil bercat putih itu terletak di Dukuh Kraton, tak jauh dari situs Gapura Paduraksa atau yang lebih dikenal dengan Candi Bajang Ratu., desa Temon. Disitulah Aryo Empul dan isterinya Sumirah tinggal. Disitu pula Aryo Wangking dibesarkan. Ketika dia meneruskan kuliahnya di Yogyakarta, rumah itu hanya ditinggali kakak laki-lakinya saja bersama isterinya. Sampai saat inipun, mereka tidak dikaruniai momongan. Bagi Aryo rumah itu kadang terasa sangat sepi bagai kuburan. Lebih sepi lagi tatkala Empul semakin jarang pulang. Maka apabila Aryo terpaksa tinggal di rumah bersama Sumirah, terasa sekali udara jadi dipenuhi seringai setan. Keadaan seperti ini makin lama dirasakan Aryo semakin menakutkan.
Aryo menghentikan jip Nissannya tepat di depan pintu pagar yang terbuat dari kayu bercat putih. Dia turun, membuang puntung rokok dan menginjaknya sekali dengan ujung sepatu. Dibenamkannya topi lebih dalam, kemudian mendorongnya pintu rumah begitu saja. Pintu memang jarang dikunci. Namun begitu dia masuk, terdengarlah suara gedubrakan dari arah kamar tidur Aryo Empul.
Aryo menemukan ruang tamu berantakan. Ada pecahan jambangan, ada kursi terjungkir balik.
Dia mengeluh dalam hati. Suasana yang sama selalu ditemukan setiap saat dia pulang dari bepergian.
Pertengkaran demi pertengkaran. Pemukulan, dan jerit tangis, seakan-akan bukan hal yang aneh lagi.
Aryo membuka pintu kamarnya sendiri tanpa peduli. Namun sebuah teriakan tertahan, memaksanya untuk menghentikan langkah. Suara seperti cekikan! Aryo merasakan ada sesuatu yanga menakutkan bakal terjadi. Diletakkannya ransel ke lantai dan dengan paksa didorongnya pintu dari mana arah suara terdengar.
“Astaga!” Aryo berteriak.
Di atas lantai Aryo Empul tengah menindih dan mencekik isterinya dengan tangannya yang besar dan berotot. Sumirah tersengal kehabisan nafas. Tangannya menggapai-gapai dan suara mengorok keluar dari mulutnya yang terbuka. Empul lupa, bahwa leher isterinya bukanlah besi keras yang biasa dijepitnya di bengkel. Wajah Empul terlihat beringas, merah padam dan penuh keringat.
Sambil berteriak keras Aryo mendorong tubuh besar Empul sekuat tenaga hingga terjungkal.
Empul berdiri mengusap bibir dengan lengan baju, matanya merah menatap Aryo dengan gusar.
“Sampeyan mabuk lagi, Kang,” kata Aryo.
“Jangan ikut campur kamu! Ini urusan suami isteri, tau!”
“Dia isteri Kakang, tidak boleh Kakang bertindak kasar seperti itu. Ingat Kang. Ingat!”
“Anak kecil tau apa kamu.”
Empul menyingkirkan Aryo sambil berteriak. Tangannya meraih baju Sumirah dan bersiap-siap mendaratkan sebuah bogem mentah ke arah muka Sumirah. Tentu, perempuan itu menjerit begitu menerima hantaman seperti itu. Perempuan itu terhuyung lalu jatuh terjerembab ke lantai. Dengan cepat Aryo kembali mendorong Empul hingga keluar dari kamar.
“Jangan sentuh aku, babi!” teriak Empul sambil menepis tangan Aryo.
Dia bahkan melayangkan tinju yang amat keras ke wajah Aryo yang membuatnya terjungkal membentur tembok. Sumirah menjerit-jerit menyuruh Aryo pergi, namun dengan geram Aryo bangkit dan membalas pukulan Empul. Mereka jadi saling memukul, saling menelikung, bahkan saling menendang. Melihat perkelahian itu Sumirah keluar rumah dan berteriak-teriak minta tolong. Para tetangga datang dan berusaha melerai dua orang bersaudara yang seakan-akan sudah berubah menjadi Rahwana.
Pertolongan orang kampung memang nyaris terlambat. Kedua kakak beradik itu sudah terlanjur babak belur. Kini keduanya berdiri terpisah dengan nafas terengah-engah. Saling menatap dengan garang dana geram.
“Minggat kamu Aryo! Minggat dari rumahku! Aku tak sudi lagi melihat mukamu!” Empul mengumpat.
Aryo menghapus darah pada ujung bibir dengan telapak tangan. Dia tak ingin membalas ucapan kasar kakangnya. Dilihatnya Sumirah sudah berada diantara penduduk kampong. Perempuan itu menangis dengan muka lebam-lebam. Rambutnya yang ikal panjang acak-acakan. Bajunya robek pada bagian dada. Bagaimanapun, Aryo lega mendapati perempuan itu baik-baik saja.
Beberapa warga desa mengamankan Empul dan membujuknya agar lebih tenang. Beberapa yang lain menawarkan tempat tinggal sementara pada Aryo. Namun Aryo menolak dengan halus. Secara diam-diam dia masuk ke kamarnya sendiri. Melepas jaket kulit dan terhenyak di tepi ranjang.
Lama dia berada dalama keadaan seperti itu. Badannya sakit. Tulang pipinya membiru. Bibirnya robek. Tinju Kang Empul lumayan dahsyat, pikirnya. Tak heran karena dia seorang pande besi kawakan. Aryo meringis saat berusaha mengangkat kaki kiri untuk naik ke ranjang. Sial, pikirnya. Kang Empul telah menendangnya di sini. Tepat di selangkangannya. Dan sekarang…aw…alangkah sakit untuk menggerakkan kaki. Dicobanya naik ke ranjang pelan-pelan dan mencoba berbaring dengan relaks. Diaturnya nafasnya hingga tertidur.
Dia tak tahu, berapa lama tertidur saat merasakan seseorang datang dan mengusap kepalanya pelan-pelan.
Aryo membuka mata. Tampak Sumirah tersenyum kepadanya dengan sumringah. Perempuan itu kelihatannya sudaha mendingan. Rambutnya sudah disisir rapid an diikat ke belakang. Luka di keningnya sudah ditutup plester.
“Yu Mirah…?”
“Mana yang sakit?”
Aryo mencoba duduk, namun dengan lembut Sumirah mendorongnya kembali untuk tetap berbaring.
“Dia menendangku di sini.”
“Dimana?”
“Di sini, di bagian bawah ini.”
“Apa kau rasa parah?”
“Aku tidak tahu, tapi sakit sekali.”
“Biar kucoba mengurutnya.”
“Jangan.”
“Kenapa?”
“Aku tidak ingin kang Empul terus marah pada Yu Mirah.”
“Ah, dia sudah pergi.”
“Pergi?”
Sumirah mengangguk.
“Pergi kemana?”
“Mana aku tau. Dia sudah biasa seperti itu, datang dan pergi sesuka hatinya saja.”
“Aku menyesal atas kejadian tadi, Yu.”
“Sudahlah. Apakah bagian sini yang sakit?”
Tangan Sumirah menyentuh bagian bawah. Dia mengurutnya pelan-pelan. Aryo berteriak kecil. Sakit sekali rasanya. Tapi Sumirah terus mengurutnya pelan-pelan.
“Kadang timbul rasa tidak sukaku padanya,” desis Aryo sambil menahan sakit.
“Jangan membencinya. Kalian Cuma dua bersaaudara. Mungkin kau hanya tak suka dengan perilakunya. Dulu dia baik. Tapi belakangan ini…”
“Yu Mirah tau dia punya perempuan lain?”
“Apa kau pernah melihatnya punya perempuan lain?” tanya Mirah balik.
“Aku hanya mendengar dari orang-orang.”
“Aku bahkan pernah melihatnya.”
“Sampeyan, Yu?”
“Ya, dengan mata kepalaku sendiri.”
“Apa…dia cantik?”
Sumirah tersenyum.
“Aku tidak bisa membandingkan diriku dengan perempuan itu. Orang yang akan bisa membandingkan kami. Tapi kurasa, kalau dia tidak menarik mana bisa kakangmu itu terpikat?”
“Maafkan Kakang, Yu.”
“Akh, sudahalah. Sebaiknya kita tidak membicarakan hal itu lagi. Sekarang coba kau lepaskan celanamu. Kita akan melihat apakah aku bisa menyembuhkannya. Kau tidak keberatan?”
Sumirah menatap kedua bola mata Aryo lekat-lekat. Mereka saling memandang. Sekejap Aryo merasakan air ludah di mulutnya lebih asin daripada biasanya. Dia haus sekali. Dia ingin minum. Tetapi kenapa justru dibiarkannya wajah Sumirah menunduk dan semakin dekat ke wajahnya? Dua pasang mata itu saling bertaut, saling memagut. Dan ketika wajah tunduk itu kian dekat, mata Aryo memejam.
Dia merasakan benda lunak yang hangat menyentuh bibirnya. Menjilati, mengulum, menggigit perlahan dan tubuh sintal padat itu kini menindihnya, menggeliat dan membelit bagai ular sanca. Tangannya bergerak terus ke bagian bawah.
“Masih sakitkah di sini, Yok?” bisiknya di telinga.
Aryo mengerang lirih.
Sumirah terus memagut. Tangannya mengegeremat bagaikan kerat. Menggerayang dengan seribu jari. Menjalar bagai sulur. Mengisi segenap rongga jiwa. Memenuhi lorong-lorong hati.
Aryo jadi susah bernafas. Rasa sakit bekas tendangan Empul berbaur dengan nikmat yang ingin ditolak. Tapi sungguh tak berdaya untuk meronta. Tak seorangpun kuasa melepas renggut. Membelit. Mencekung. Memelintir lidah-lidah membara. Udara sesak oleh tuba. Aryo mendesis menahan gejolak jiwa yang menuntut getas. Hatinya terus meronta, ini tidak boleh, ini tidak boleh! Hentikan, selesaikan sampai disini. Jangan diteruskan.
Setan mengintip.
Menjeling genit.
Bertepuk.
Aryo berteriak, aaaahhh!
Sumirah duduk di tepi ranjang, basah oleh keringat. Aryo membuang wajah ke samping, mengusir sisa jahanam yang dirasakannya begitu berpasir. Segala menebal, segala mengental, segala tak dikenal. Dari jauh mengabur suara orang ngomong ditingkah suara anjing menggonggong. Perempuan itu mengikat kembali rambutnya ke belakang, tertawa, mengerling. Darah Aryo berhenti berlari.
“Jam berapa?” tanya Aryo.
“Sudah larut sekali.”
Aryo membuang nafas. Hilang sudah segala makna.
“Ini aspirin. Minumlah,” kata Sumirah. Dia mengulurkan segelas air putih dan sebutir aspirin. Aryo menelannya dalam sekali teguk.
“Berapa umurmu sekarang?”
“Tigapuluh dua.”
Sumirah twersenyum lagi. Diapun turun dari tepi ranjang, mengancingkan baju, berjalan keluar dan menghilang di balik pintu yang ditutupnya. Meninggalkan baying-bayang hitam yang menggelapkan nalar. Aryo memejamkan mata dan mengeluh diam-diam dalam hati.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar