Jumat, 26 Februari 2010
TROWULAN (6)
Citraland, Surabaya Barat.
Kisah cinta pada awalnya memang selalu indah. Semenjak perkawinannya dengan Ni Darni kandas di tengah jalan, Pamugaran selalu punya keinginan untuk kembali mengawalinya. Dia telah bertemu dengan seseorang. Dan dia merasakan ada tanda-tanda saling tertarik. Apabila mata sudah saling bertemu dan tubuh sudah saling bergetar, dia yakin, sesuatu bakal terjadi.
Sungguh, Pamugaran menyukai perasaan itu. Sama seperti sebelum-sebelumnya bila dia bertemu dengan wanita cantik yang akan dia jadikan insprirasi bagi lukisannya. Yang akan melambungkan namanya di dunia seni lukis. Obsesinya adalah menyamai Basuki Abdullah. Dengan cara apapun, Pamugaran akan menjalaninya dengan amat sadar, asalkan impiannya tercapai. Menjadi pelukis istana, bahkan istana raja-raja di manca Negara.
Saat pertama kalai melihat Rayun, sekujur syaraf di tubuhnya mulai bergetar. Sinyal-sinyal gaib yang selama ini menjadi pegangannya seakan menyerukan bahwa inilah dia yang bakal membuat namanya melesat setinggi pelukis idolanya. Maka Pamugaran merasakan jiwa dan pikirannya terayun. Ya, siapa yang bisa menyangkal bahwa Rayun Wulan adalah seorang gadis yang begitu manis dan lembut. Tubuhnya lampai bagaikan sebatang bambu China. Matanya cerlang bak bintang Timur, dan senyumnya manis bagaikan seruni. Pamugaran segera merasa cinta itu tumbuh. Dirinya ingin sekali bisa memiliki seruni itu, memetiknya untuk suntingan.
Hampir semalaman, sepulang dari pantai Puger itu, dia tidak bisa tidur. Pikirannya melayang bagaikan laying-layang putus. Terombang-ambing bagai kapal nelayan. Oleh sebab itu tak heran bila pagi-pagi begini tubuhnya terasa pegal pegal.
Pamugaran bangun dari ranjang.
Dikenakannya sebuah baju hangat lalu berjalan ke balkon. Matahari belum sepenuhnya terbit dari ufuk Timur. Pintu pintu rumah belum sepenuhnya terbuka di pagi hari yang mulai hidup. Sambil bersandar ke pagar balkon, Pamugaran merasakan dari mana arah angin bertiup. Beruntung, dia merasakan arah angin bertiup dari Barat. Lembut dan romantis. Hampir tidak terasa.
Pamugaran tersenyum.
Tangannya memetik sekuntum mawar merah dari pot bunga di pinggir balkon lalu duduk di kursi rotan menghadap ke Timur. Dipandangnya matahari sambil membayangkan wajah Rayun Wulan. Diletakkannya bunga mawar di atas meja di depannya, lalu memejam sambil terus menerus membayangkan wajah gadis itu. Kemudian dia mulai mengatur pernafasan dengan baik dan tenang, hingga merasakan sebuah ketenteraman dan kebebasan bagi jiwanya. Dalam hati Pamugaran memanggil empat elemen yang mempengaruhi manusia yakni udara, api, air, dan tanah. Kemudian menyebutkan keinginannya dan menyimpannya dalam hati.
Cukup lama upacara ritual itu dijalaninya hingga sinar matahari terasa semakin hangat. Bunga mawar itu kemudian dibawanya masuk ke ruang tengah apartemennya. Dinyalakannya dua batang lilin merah dan diletakkannya di kedua sisi bunga mawar. Lilin-lilin itu akan terus menyala sampai bunga mawar merah yang mekar itu menjadi layu. Apabila lilin itu sudah habis terakhir sementara bunga belum layu, dia akan menyalakan lilin yang baru sebagai gantinya. Dia juga akan menjaga jangan sampai nyala lilin itu mati selama bunga mawara masih segar. Apabila bunga mawar itu telah benar-benar layu, dia akan mengambil beberapa lembar daun bunganya untuk disimpan di dalam sebuah kotak khusus sebagai penjaga cintanya sampai dia membutuhkannya lagi. Kemudian dia akan mematikan lilin tidak dengan dihembus melainkan dengan ujung telunjuk dan ibu jari. Setelah itu dia boleh merasa tenang sebab tak akan ada sesuatupun atau seseorangpun mengganggu cintanya kepada Rayun maupun sebaliknya.
Entah, apa yang mendorong Rayun ingin menemui Pamugaran pagi itu di apartemennya. Semenjak peristiwa di Puger itu rasanya sulit bagi Rayun melupakan kejadian itu. Dia ingin sekali membicarakannya bersama Pamugaran. Memang sih, rasanya mustahil Pamugaran akan mempercayai adanya naga siluman di Pelawangan. Namun tak ada salahnya kalau dia juga mengetauinya. Setidaknya pria itu harus tahu bagaimana takutnya dia saat ditimpa gelombang dan terseret hingga ke dasar. Suasana sepi yang teramat hening dengan beberapa ekor ikan penghuni laut berseliweran di sekitarnya, lalu saat sesuatu memegangnya, menaikkan ke atas sebatang ‘pohon’ yang kemudian membawanya ke atas permukaan laut, adalah pengalaman yang semoga saja hanya menimpanya sekali seumur hidup. Kecurigaannya pada sosok Aryo Wangking, terasa sangat mengganggunya. Seperti apakah Aryo Wangking itu sebenarnya? Pria gagah itu seakan tau betul isi hati dan kepala setiap orang yang menerima tajamnya tatap matanya.
Kepada Dyah Sugihan sahabatnya, Rayun juga telah menceritakan pengalaman itu tanpa ada yang disembunyikan. Sahabatnya itu mendengarkan dengan mimik wajah yang sulit diterjemahkan. Kemudian, Dyah menasehatinya panjang lebar dan mengingatkan akan kebenaran ucapan Aryo untuk lebih baik menjauhi pantai Selatan.
“Kenapa aku harus jauh-jauh dari Pantai selatan?” tanya Rayun saat itu.
“Ada pertanda mengatakan begitu.” Sahut Dyah Sugihan serius.
“Pertanda apa?”
“Ya, pertanda. Itu saja.”
Rayun tak puas dengan jawaban itu. Dia terus mendesak.
Akhirnya sahabatnya itu menjawab,:
“Sepertinya itu sebuah pertanda bahwa sesungguhnya ada perjanjian khusus antara kau dan Naga Tatmala.”
“Apa maksudmu dengan …per-jan-jian!”
“Tanyakan saja pada Aryo Wangking. Dia yang paling tau soal itu.”
“Tetapi dia bilang, naga siluman itulah yang menyelamatkan aku.”
“Untuk sementara, ya. Selanjutnya, bagaimana? Mengapa Aryo Wangking menyarankan agar kau menjauhi Pantai Selatan? Tampaknya ada kaitannya antara kau dan penguasa Laut Selatan.”
“Seperti apa?”
“Akh kau! Naif sekali kayaknya kau ini, Yun! Perjanjian atau kaitan khusus. Masa tidak tau!”
“Apakah…semacam…tumbal?”
Dyah Sugihan mengangkat bahu.
“Wadal?” tanya Rayun lagi.
“Entahlah. Barangkali cuma Aryo yang bisa menjelaskannya.”
Dan pada kenyataannya memang Dyah Sugihan tetap tidak bisa membeerikan alas an apa yang membuat Naga Tatmala mendorongnya keluar dari pintu kematian. Barangkali orang lainpun tidak bisa menjelaskannya dengan tuntas. Namun benarkah ada kaitan khusus antara dirinya dengan makhluk besar bersisik itu?
Lalu, si Aryo Wangking itu? Mengapa dia kelihatannya begitu misterius? Pria itu seakan-akan lain daripada yang lain. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Rayun terpesona. Kapankah mereka pertama kali bertemu? Mengapa sosok lelaki itu begitu akrab dalam ingatannya seakan mereka sudah pernah dekat satu sama lain? Tapi, kapan itu?
Lelaki bertopi koboi warna gelap, dengan sepasang mata yang kadang memicing, seolah mengalirkan sejuta getaran arus listrik. Seakan mengandung sihir dan memendam tenaga nuklir. Dia begitu mengagumkan sekaligus menakutkan. Ya, kalau mau jujur, Rayun takut kehilangan tatap matanya. Wajahnya membayangi tidurnya, juga bibirnya yang nyaris membentuk garis itu terkatub kuat seakan-akan menutup segala rahasia dalam dirinya untuk tidak dengan mudah diketaui orang lain. Ataukah lelaki itu menutup segala beban yang menggantung dalam dirinya? Keperkasaannya jadi serupa pohon beringin yang besar dan rimbun, namun senyap. Rayun jadi ingin benar dapat mengungkapkannya. Tetapi bagaimana caranya? Ah, barangkali mereka sudah tak mungkin bertemu lagi, jadi untuk apa dipikirin?
Pagi itulah, Rayun bermaksud ke apartemen Pamugaran. Meskipun dia bukanlah tipe cewek pesolek, namun di pagi yang cerah itu Rayun mendadak ingin sedikit berdandan. Dirapikannya rambutnya sekali lagi, diikat kebelakang dengan sebuah pita kecil yang manis. Digantikannya rok dengan blus berbunga kecil dan celana jins ketat warna biru pucat. Digaetnya sepatu kanvas tanpa kaus dan dikenakannya cepat. Dalam cermin besar di kamarnya, Rayun bisa melihat dirinya tampak begitu manis, sama manis dengan masa kecilnya dulu. Beberapa helai rambut dibiarkannya berjuntai lepas di pelipis. Bibirnya yang merah jambu tak perlu lagi dipoles. Sejenak diaa tersenyum memandangi diri sendiri. Berputar-putar sejenak sambil berpikir, aku nih dandan buat siapa? Untuk Pamugaran, atau… heh! Laki-laki lainnya yang berkacamata hitam ikut tersenyum mengejek. Cepat Rayun menggeleng. Tidak, tidak untuk siapa-siapa.
Aku berdandan ya untuk diriku sendiri, biar terlihat terawat gitu deh! Pikirnya. Rayun tertawa kecil sambil berlari ke garasi. Bergegas dia berangkat menuju apartemen Pamugaran di Citraland.
Rayun Wulan mengetuk pintu tiga kali, lalu menunggu.
Dia btau Pamugaran ada di dalam. Kelihatan dari suara sayup televisi yang dihidupkan. Ditengoknya arloji. Baru jam delapan. Masih pagi. Tetapi taka pa. Pamugaran pasti belum sempat sarapan, sama dengan dirinya. Jadi ada peluang untuk mengajaknya makan di luar.
Rayun mengeluarkan hape dari saku celana, dan memijit nomor hape Pamugaran. Misscall. Benar, sebentar kemudian pintu apartemen Pamugaran terkuak lebar. Wajah pria tampan tersembul dari dalam, tertawa lebar dengan mata berbinar.
“Hai!” Rayun membalas tawanya dengan senyum riang.”
“Baru bangun ya?”
“Aaah tidak. Ayo, masuklah Yun. Aku sudah siap untuk makan luar bersamamu.”
“Kok pemikirannya bisa sama?”
Rayun melangkah masuk dan secepat itu pula kedua matanya menangkap sepasang lilin merah yang menyala mengapit sekuntum mawar merah yang mekar dengan cantiknya dalam sebuah jambangan Kristal.
Pamugaran menutup pintu.
Mengikuti langkah Rayun menuju ke meja lilin.
“Aku tau kau pasti datang pagi ini,” katanya.
“darimana kau tau?”
“Dari bau tubuhmu yang membaur dengan udara kamarku.”
“Mulai deh, rayuannya..”
“Apa gadis setegar dan semandiri kau bisa dirayu?”
Pamugaran mengulum senyum, membuat Rayun sedikit meremang. Ada yang aneh dalam kamar apartemen ini, pikir Rayun. Seakan-akan kedua kakiku gamang melangkah masuk tadi. Aneh, tetapi apa?
“Bunga mawar itu cantik sekali,” kata Rayun tiba-tiba.
Pamugaran tercekat.
“Apa yang sedang kau lakukan dengannya?” tanya Rayun lagi sambil menatap tajam Pamugaran. Agaknya dia tau ada sesuatu yang dikerjakan orang dengan memasang sepasang lilin merah di meja altar dengan sebatang mawar merah yang mekar. Rayun pernah membacanya, entah dimana dia lupa.
Pamugaran mendekat.
Memasukkan kedua tangan ke saku celana. Rayun melihat tak ada sedikitpun keraguan dalam setiap gaya dan langkah Pamugaran. Dia begitu tenang, setenang air gunung.
“Tidak ada,” jawab Pamugaran santai. “Hanya sebuah upacara pagi yang menjadi kebiasaan saja.”
“Sebuah upacara ritual?”
“Tidak. Bukan. Seperti yang kukatakan tadi…”
“Apakah itu begitu penting bagimu?”
“Mungkin penting. Mungkin juga tidak. Tergantung.”
“Tergantung…pada apa?”
“Yaaah, kalau mood aku jelek dan inspirasiku mampet, aku biasanya melakukannya.”
Rayun diam, tampak berpikir-pikir.
“Kau tidak suka?” tanya Pamugaran menghentikan pikiran Rayun yang mengembara kemana-mana.
“Apa harus kumatikan nyala lilin lilin itu?” tambah Pamugaran.
“Tidak. Jangan. Biarkan saja begitu, kelihatannya romantis.”
Rayun memutar tubuh. Menatap lurus kedua bola mata Pamugaran yang tengah berdiri amat dekat dengannya. Bibir Rayun terbuka seperti hendak mengatakan sesuatu, namun terhenti, sehingga terkesan seperti mengundang untuk dikecup. Dada Pamugaran berdebar. Dia menunduk, membalas tatap mata Rayun yang seakan menantang dan mengundang.
He! Apakah benar, itu sebuah undangan? Pikir Pamugaran.
Lelaki itupun kian merapat. Kini dirasakannya sebagian tubuhnya menyentuh tubuh Rayun. Perlahan namun sigap, direngkuhnya pinggang gadis itu dengan pelukan ringan yang tidak terlalu possesif. Dirasakannya sebentar. Gadis itu nampak bagai liliput dibanding dirinya yang perkasa dan setinggi menara. Rayun tidak memberontak, tidak juga memprotes. Begitu pasrah, begitu lembut.
“Matamu begitu mempesona dan penuh misteri, “ kata Pamugaran .
“Berapa banyak gadis pernah mendengar kata-kata itu?”
“Kau pikir begitu?”
“Apa lagi? Laki-laki seusia dan sesukses dirimu akan dengan mudah mengelabui gadis-gadis tak berpengalaman seperti aku, kan?”
“Begitu burukkah penilaianmu tentang diriku?”
Rayun Wulan mengulas senyum di bibir. Mata hitam Pamugaran yang setenang telaga membalas tatapan penuh gairah yang dirasakan Pamugaran lewat mata Rayun. Rayunpun melihat gelombang asmara saling berkejaran di dalam bola mata Pamugaran. Datang menghampiri, deras berpacu, dan siap membawanya hanyut. Tiba-tiba Rayun Wulan menyadari bahwa wajah di depannya mendadak kabur, makin kabur, makin dekat ke wajahnya.
Ah.
Rayun ingin meronta. Namun terlambat. Dekapan Menara Eiffel yang sekokoh jepitan kaki gajah itu tak lagi mampu diurai. Suaranya hilang. Tenaganya terbuang. Ah, sudahlah, pikir Rayun. Tak jadi apa. Siapa ambil peduli? Dia kemudian membiarkan bibirnya lumat dalam bibir Pamugaran. Namun rasanya semua itu bagai mimpi bagi Rayun, sebab di dalamnya tak dia lihat siapa yang tengah memagutnya, namun pria lain. Pria dengan mata Rajawali seakan membawanya melayang ke awan bersama sentuhan bibir yang mengulum. Terasa manis. Tiba-tiba Rayun begitu rindu kepada lelaki itu. Rasa rindu menggelayut, mirip daun daun kapuk yang vlepas dari tangkai, melayang jatuh tak pernah samapai.
Pamugaran merasakan Rayun membalas ciumannya. Mulutnya menggigit dalam mulut Pamugaran. Bagai minum tuak tua, Pamugaran ingin terus, terus, dan terus. Berkendi-kendi. Namun tiba-tiba seruni kecil dalam dekapannya itu meronta kuat, mendorongnya dan berusaha lepas. Pamugaran tak ingin memaksa. Dia membiarkannya lepas. Sesaat mereka saling berpandangan. Kini muncul sesuatu yang galak di mata Rayun. Mata itu mendadak seperti mata seekor kucing hutan yang terluka.
“Maaf, aku…”
Pamugaran ingin meminta maaf, tapi entah kenapa berada di bawah sorot mata seperti itu tiba-tiba dia merasa bagaikan orang dungu yang kehilangan kata-kata.
“Pam,…” Suara Rayun terdengar gemetar. “Aku khawatir kita ini masih terlalu dini untuk melakukan ini. Kita baru saja berteman. Persahabatan itu baru saja terjalin. Aku hyanya merasa kita masih harus belajar mengenali perasaan kita masing-masing. Rasanya apa yang kita lakukan barusan hanyalah sesuatu yang kurang pantas. Maaf Pam, aku…”
“”Itukah pendapatmu?” suara Pamugaran terdengar pahit.
“Barangkali begitu. Jangan tersinggung, Pam.”
Rayun tak lagi menatap bola mata yang mendadak kelabu di depannya.
Pamugaran menghela nafas.
“Asal kau tau, aku bersungguh-sungguh dengan apa yang barusan kita lakukan. Orang seumur aku, pantaskah kalau cuma bermain-main? Kukatakan semua ini kepadamu agar kau mengerti bahwa aku akan terus berusaha, akan kubuktikan kesungguhanku kepadamu. Jujur saja, aku sedanag ingin memiliki seseorang. Dan seseorang itu adalah kau.”
“Tetapi,…”
Pamugaran menutup mulut Rayun dengan telunjuk, dan menggeleng.
“Jangan bicara apa-apa lagi,” katanya.
“Aku hanya ingin menjelaskan tentang sesuatu…”
“Tak ada yang perlu dijelaskan,” sahut Pamugaran seraya tersenyum. Diambilnya selembar tissue dan mengelap bibirnya dengan santai.
Lanjutnya, :
“Keindahan yang baru saja kurasakan akan hilang bila terlalu banyak penjelasan dibelakangnya, kecuali kalau ada laki-laki lain yang kau inginkan. Bukan aku.”
Rayun Wulan mengeluh diam-diam.
Justru itu, desahnya dalam hati. Justru karena ada bayangan lain selain dirimu yang lebih kuat menguasai hatiku ini, Pam! Dia ada di belakangmu saat kau menciumku. Dia ada dalam mulutmu saat kau melumatku. Laki-laki itu adalah dia. Dia yang memiliki karisma jauh melebihi lelaki manapun yang pernah kukenal, dia yang mampu meruntuhkan gunung-gunung! Dia: Aryo Wangking!
(bersambung)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar