Jumat, 19 Februari 2010
TROWULAN (5)
REINKARNASI.
Tanpa kedip Rayun menatapnya. Serasa pernah dia mengenal lelaki itu. Bukan. Bukan di atas perahu motor beberapa jam yang lalu, namun entah kapan. Dulu sekali. Rayun Wulan tak bisa memprediksi kapan waktunya. Namun dia merasakan bahwa suatu ketika, dulu, dia pernah sangat akrab dengan pria gagah itu.
Laki-laki berkumis tebal itu naik ke tritisan. Melepas kacamata dan duduk bersila bersama yang lain. Untuk beberapa saat matanya yang tajam dan penuh percaya diri menatap orang-orang di sekelilingnya. Mui segera memperkenalkannya pada Pamugaran. Saat itulah Pamugaran tau bahwa inilah orang yang disebut-sebut Mui sebagai ahli tirakat sekaligus ahli purbakala itu. Pria keren itu juga dikatakan oleh Mui sebagai seseorang yang sudah seperti saudara sendiri bagi para nelayan di Puger. Itu artinya, dia memiliki pengaruh besar bagi masyarakat setempat.
Aryo Wangking menganggukkan kepala dengan sopan kepada Pamugaran maupun Rayun Wulan. Sekilas tatap matanya singgah dan berhenti beberapa saat di wajah rayon Wulan. Pandangan mata mereka bentrok sekejap. Hanya sekejap. Namun Rayun Wulan merasakan seakan tersengat arus listrik ribuan volt. Tubuh dan jiwanya bergetar. Dadanya gemuruh. Namun sesaat kemudian dia menyaksikan mata rajawali itu beralih ke pantai yang membuncahkan air laut.
Pamugaran menyalaminya dan mengucapkan rasa terimakasih atas pertolongan Aryo Wangking kepada Rayun Wulan. Aryo membalas ucqapan itu dengan seulas senyum tipis. Sambil menyulut rokok, dia menjawab enteng,:
“Itu bukan apa-apa. Kita ini memang diwajibkan untuk saling tolong menolong antara sesama manusia selagi bisa melakukannya. Kalau saja semua kebaikan saling diungkapkan, maka tawa kita jadi berderai. Sebab kebaikan yang kita anggap tinggi di dunia ini, mungkin terendah di alam lain. Betul, tidak?”
“Wah, ternyata mas Aryo ini bukan saja ahli tirakat atau ahli purbakala, tapi juga ahli filsafat,” jawab Pamugaran mengobral senyum.
“Masa? Rasanya kok biasa saja. Merokok, Mas Pam?”
“Terimakasih, saya tidaka merokok.”
Dewa Pamugaran melihat betapa nikmat pria itu menghisap rokok. Dengan sembunyi-sembunyi Rayun ikut memperhatikannya. Dengan asyik dia melihat bagaimana gerak bibir pria itu berbicara, tersenyum, atau saat menyedot rokok. Rayun tidak sadar bahwa terkadang Aryo Wangking dengan sengaja memergokinya dan membalas tatap matanya dengan tajam. Memagut dengan kuat. Dan seakan terhipnotis, Rayun Wulan seperti bingung, tak bisa melepaskan tatap matanya dari mata rajawali itu.
Kalau sudah demikian, Aryo Wangkin akan tersenyum dalam hati. Dia bukannya tak tau tentang yang dirasakan oleh Rayun Wulan saat itu. Aryo mengerti betul, mengapa gadis itu melihatnya dengan pandangan mata seperti itu. Itu karena gadis itu merasakan bahwa mereka ini pernah amat dekat, entah kapan. Aryo tahu, siapa di balik semua itu. Dalam diri Rayun Wulan, ada Rara Ireng. Aroma tubuh Rayun Wulan yang tercium oleh Aryo Wangking adalah aroma tubuh Rara Ireng, kekasihnya pada jaman yang tak terbayangkan oleh pikiran manusia biasa.
Aryo Wangking menyadari, semua itu karena sebuah kelahiran kembali dimana alam pikir manusia yang sudah meninggal lahir kembali ke badan wadag seseorang. Dalam hal ini ke badan wadag Rayun Wulan. Kelahiran kembali semacam itu disebut reinkarnasi atau rebirth, yang punya hubungan erat dengan karma. Bila seseorang yang berada di suatu tempat asing, tiba-tiba merasakan seperti pernah ada di tempat itu sebelumnya, ada kemungkinan dia memang pernah ada di tempat itu pada masa lalu. Artinya, dia pernah hidup dan akrab dengan tempat itu pada masa kehidupannya yang lampau. Kalau saja orang itu mau melakukan samadi atau meditasi dan mencoba menggali kenangan masa lalunya, mungkin saja dia akan bisa mengetaui dengan lebih jelas. Baik Aryo Wangking maupun Rayun Wulan telah merasakannya kini, bahwa mereka pernah bertemu di masa yang lalu. Hanya saja bagi Rayun Wulan, dia tidak bisa menjelaskan pada dirinya sendiri tentang perasaan aneh yang dirasakannya itu. Rasionya sudah terbiasa menatap kenyataan ketimbang kepada hal-hal yang sulit diterima oleh akal sehat. Dia terdidik dalam satu keluarga modern yang tidak percaya akan hal gaib yang sifatnya takhayul.
Aryo Wangking menghela nafas panjang. Dia menundukkan wajah ke lantai. Jemarinya menjentikkan abu rokok ke dalam asbak. Matanya memejam dan mulai berkonsentrasi ke satu titik yang menghubungkan dua dimensi alam yang berbeda. Maka dalam sekejap, suasana di sekitarnya menjadi sunyi. Satu kekuatan maha dahsyat menyeretnya masuk ke satu suasana yang jauh berbeda.
Dia merasa berada di tengah sebuah keramaian. Di tengah berpuluh-puluh prajurit dan pengawal kerajaan. Dilihatnya di situ ada Rakryan I Hino, Rakryan I Halu, Rakryan Maha Menteri I Sirikan, dan beberapa Darmadyaksa. Dirinya sendiri berpakaian kebesaran selaku Rakryan Mahapatih Hamengkubumi, berdiri tak jauh dari Raja Sri Jayakatyengrati Ripujaya.
Hari itu adalah hari Sabtu manis, tanggal 15 bulan genap Srwana, Wuku Medangkungan tahun 1223 Caka, di desa Adan Adan. Pada hari itu Raja berkenan membebaskan tanah dan sawah di desa Adan Adan dari kewajiban membayar pajak. Hadiah itu diberikan kepada resi atau pendeta karena dianggap telah berjasa terhadap Raja, serta bertingkah susila taat menjalankan agama.
Raja Jayakatyengrati Ripujaya (Prabhu Brawijaya Pertama) memerintahkan dibuatkan sebuah batu peringatan atau sasangkala yang terbuat dari logam dimana dituliskan nama Raja sebagai pimpinan kerajaan dan nama tiga istrinya, yakni Sri Bhuwanaswari, Sri Rajendradewi, dan Pradnya Paramita Jayandradewi. Prasasti itu kemudian ditancapkan di Kalitidu.
Sebagai penerima hadiah, Resi Wanagada kemudian mempersilakan Sang Prabhu beserta rombongan untuk singgah di padepokannya sekadar menikmati hidangan yang telah dipersiapkan dan disajikan oleh dua orang putrinya, Ni Wringin Ireng dan Ni Rara Ireng. Sekaligus Sang Resi ingin menawarkan dalam situasi terselubung, kepada Raja, kedua putrinya tersebut untuk dipersunting sebagai garwa paminggir (selir) Paling tidak, salah seorang dari mereka bisa memenuhi selera sang Raja. Tentu, Sang Prabhu sangat berkenan untuk singgah. Sang Prabhu juga ingin memperkenalkan salah satu bayangkari kinasihnya, Nambi, atau Rakryan Mahapatih Hamengkubumi, kepada kedua gadis itu.
Pada saat itulah Nambi sangat terkesan melihat Ni Rara Ireng. Gadis itupun tampaknya juga tertarik kepadanya. Ni Rara Ireng tau betul siapa Nambi yang kini menjabat sebagai Mahapatih kerajaan. Pria gagah itu sekarang adalah Senapati yang banyak dibicarakan orang sebagai salah satu Senapati Raja yang amat berjasa kepada Sang Prabhu saat beliau harus menyingkir dari Keraton Singasari karena dikalahkan oleh Kerajaan Gelang Gelang.
Pada saat itu, Nambi, Lembu Sora, dan Ranggalawe, kemudian diikuti Rasemi dan Rakuti, adalah teman-teman sinarawadhi bagi Sang Prabu yang kala itu masih bernama Raden Nararia Sanggrama Wijaya. Para Senapati itulah yang menemani beliau hingga naik tahta pada tahun 1215 Caka dan mendirikan sebuah kerajaan baru bernama Majapahit. Nama-nama seperti Nambi, Lembu Sora dan Ranggalawe pada saat itu begitu mashur. Hingga tak heran apabila pada detik itu juga, Ni Rara Ireng jadi kasmaran kepada Nambi, sang Rakryan Mahapatih Hamengkubumi.
Namun rupanya itu adalah awal dari sebuah malapetaka bagi kehidupan batin Rakryan Mahapatih Hamengkubumi. Karena ketika sang Resi memperkenalkan kedua putrinya agar sang Prabhu memilih salah satu diantaranya, sang Raja justru menerima keduanya untuk diambil sebagai garwa paminggir. Celakanya lagi, Ni Rara Ireng dengan berani menolak kendati hanya dihadapan ayahandanya, Resi Wanagada. Ni Rara Ireng rupanya tak rela bila harus dijadikan selir seorang Raja Gung Binathara seperti Prabhu Jayakatyengrati Ripujaya. Dia lebih suka menjadi istri satu-satunya bagi seorang Mahapatih seperti Nambi. Sayang, kalau saja Baginda tau pastilah beliau dengan senang hati akan memberikan putri Wanagada itu untuk Rakryan Mahapatih Hamengkubumi. Tetapi Baginda tidak mengetauinya, dan sudaha memutuskan akan mengambilnya sebagai garwa paminggir. Sang Prabhu kemudian berkenan meninggalkan desa Adan Adan dan beerjanaji suatu hari nanti akan menjemput kedua putrid Wanagada dengan mengutus seorang Senapati dan beberapa pengawal dalam satu upacara resmi yang megah.
Suratan Dewata berbicara lain.
Pada kenyataannya, satu kali dalam hidupnya, Nambi tak dapat menolak kodratnya. Dia selalu merasa gelisah bila tak punya kesempatan bertemu dengan kekasih hatinya, Ni Rara Ireng. Dia jadi pandai mencuri-curi waktu keluar dari istana untuk pergi ke Adan Adan.
Awal dari sebuah percintaan itu dirasakan sebagai sebuah petualangan yang amat menggairahkan. Gairah itu menggebu. Rasa rindu kian lama kian menyala, dan keinginan untuk saling jumpa yang terus memburu merupakan daya tarik yang amat memikat.
Waktupun terus berjalan. Tiba saatnya bagi Sang Prabhu mengadakan suatu upacara pernikahan yang walau tidak besar-besaran karena bukan perkawinan utama melainkan perkawinan dengan garwa paminggir, bagi seorang Raja tentu saja tetap megah. Sang Senapati kinasih, Nambi, diutus menjemput dua gadis dari Adan Adan itu. Dengan beberapa puluh pengawal teerpercaya, mereka berangkar ke Adan Adan. Tetapi sesampainya di sana, NiRrara Ireng ternyata menolak keras untuk dibawa ke istana. Tentu saja hal itu merupakan makar. Karena titah Raja adalah hukum dan undang-undang yang tak terbantahkan.
Nambipun merasakan dunianya kiamat. Tak luput Ni Rara Ireng juga merasakan dunianya tamat. Ketika mereka berterus terang kepada Sang Resi, Resi itu jadi amat terpukul.
“Jadi inilah yang kalian lakukan di belakangku?” tanya Resi Wanagada.
“Maaf,” lanjutnya arif. “Ingsun sudah tidak punya kekuatan apa-apa lagi bagi putriku Rara Ireng. Kalau sudah dikehendaki Dewata Agung untuk menjadi garwa paminggir Sang Agung Binathara, kita tidak bisa menghalanginya. Kita tak bisa berbuat apa-apa selain menyerahkannya kepada Dewata Agung dan berdoa untuk kebahagiaannya.”
Nambi, Sang Rakryan Mahapatih Hamengkubumi, merasakan dadanya pecah.
Inikah akhir dari semua mimpinya? Serasa bagai sekuntum duri yang hidup abadi dalam hati. Bagai pelangi dalam mimpi. Bagai ancaman dalam harapan. Bagai tuba dalam asmara. Nambi merasa seperti mereguk racun. Bingung di setiap mimpinya. Seakan akan menyusur dalam gelap. Maka bunga-bunga cinta itupun bagai kunang kunang kesiangan, pucat pasi di dalam senyap.
Keesokan hari, Sang Resi membangunkan putrinya karena dianggap terlalu lama mempersiapkan diri sementara para pengawal sudah menunggu. Saat masuk ke dalam bilik Rara Ireng, sang Resi bagaikan diguncang badai. Seluruh desapun geger. Semburat!
Ternyata Rara Ireng memilih jalannya sendiri. Dia merelakan jiwa dan raganya sebagai tumbal. Tubuhnya ditemukan terbaring di peraduan dengan sebilah patrem kecil menembus ulu hati. Rara Ireng tewas membawa cinta sejatinya. Sekujur tubuhnya berlumur darah, membawa serat cinta dan kesetiaannya kepada Rakryan Mahapatih Hamengkubumi.
Ketika diberitakan kejadian itu kepada Nambi, satria perkasa itu berdiri gemetar menahan perasaan marah dan kecewa. Kedua tangannya mengepal. Darahnya membeku. Hatinya remuk. Dadanya gemuruh dan menjerit minta keadilan pada Dewata Agung.
Begini mudahkah semua persoalan diselesaikan?
Dia mengacungkan kepalan ke langit, berteriak amat keras. Raungannya mengguntur dan merobohkan pohon-pohon. Mendatangkan angin topan. Meruntuhkan batu dan melibas perbukitan. Dunia bagai dikepung badai. Jalan lurus putus. Angin berputar bagai beliung. Saking kerasnya pusaran angin itu, hingga mampu mengangkat tubuh Nambi ke atas lalu menghempaskannya ke bumi. Langitpun marah. Tubuh Nambi seakan patah, bagai terbakar, hilang bentuk.
Aryo Wangking tersentak.
Dada dan sekujur tubuhnya serasa remuk, sakit semua. Sebuah tepukan di pundak membuatnya membuka mata. Pertama-tama yang dilihatnya adalah wajah Mui yang menyungging senyum. Ah, rupanya dirinya sudah keluar dari alam sana, kembali ke dimensi yang lain. Inilah dunia nyata, dimana sehelai tikar pandan terhampar dan suara debur ombak di kejauhan terdengar sayup.
“Mereka sudah pergi?” tanyanya begitu tak lagi melihat tamu-tamu dari Surabaya itu.
“Baru saja. Ini, mereka meninggalkan kartu nama untukmu.”
Aryo menerima dua lembar kartu nama dari tangan Mui, masing-masing milik Dewa Pamugaran dan Rayun Wulan. Semuanya lengkap dengan nomor ponselnya.
“Untuk apa ini semua?” tanya Aryo acuh tak acuh.
“Barangkali maksudnya agar kau mudah menghubungi mereka. Itupun kalau kau ingin. Sepertinya mereka sudah mulai tau kau bukan sekadar arkheolog biasa.”
“Apa mereka bertanya kepadamu?”
“Tidak. Tetapi gaya dan caramu bersamadi itu yang membuat mereka mulai menebak-nebak. Kau mau menghubungi mereka, atau tidak? Barangkali disitulah nantinya mereka berharap akan tau siapa kau yang sebenarnya.”
Aryo menimang-nimang kartu-kartu nama itu sejenak kemudian memasukkannya ke saku celana.
“Kau sudah melihat apa dalam diri mereka?” tanya Mui kemudian.
“Ah tidak, aku tidak melihat apa-apa. Kenapa?”
Mui tersenyum sambil memilin rokok.
“Tak apa kalau kau tak mau mengatakannya padaku.”
“Kayaknya mereka itu berpacaran ya?”
“Kalau iya, kenapa?” jeling Mui sambil menahan tawa.
“Si Pamugaran itu,…terlalu tua untuk dia.”
“Kalau benar, apa pedulimu? Mereka itu kan sekadar wayang yang tengah menjalani lakonnya. Sementara kita ini Cuma penonton bagi mereka.”
“Memang, apa peduli? Ah, aku pulang dulu Ki.”
Aryo berdiri. Diambilnya bungkus rokok dan geretan dari lantai lalu turun dari tritisan.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa alaikumsalam Warahmatullah. Hati-hati di jalan, Yok!”
(bersambung).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar