Minggu, 07 Februari 2010

BADAI PASTI REDA (6-TAMAT)


Kehidupan berjalan terus dari hari ke hari. Ketika pada suatu pagi Intan mengatakan pada Abi akan pergi ke rumah Mamanya karena Reza ulang tahun, Abi menyahut apakah tidak sebaiknya nanti sore saja ke sana bersama-sama.
“Pagi ini ada peresmian jembatan yang dihadiri Gubernur. Apa kau sudah mencarikan hadiah untuk Reza?”
Intan menyorongkan segelas susu ke depan suaminya, dan Abi meminumnya dalam tegukan-tegukan besar.
“Belum,” jawab Intan.
“Apa rencanamu tentang hadiah itu.”
“Aku belum tau. Mungkin dasi?”
“Ah,…” Abi tertawa tanpa bermaksud mengejek isterinya. “Kulihat dia sudah punya segudang dasi. Carikan yang lain saja. Misalnya…apa ya? Lho, kok aku jadi ikut bingung?”
Intan tertawa.
“Biar nanti kulihat di took. Mungkin dengan jalan-jalan aku bisa puny aide bagus untuk hadiah itu.”
“Jangan peergi sendiri. Ajaklah Anita.”
Intan tersenyum. Dia senang suaminya mengijinkan Anita ikut serta, sebab biasanya Anita selalu sibuk melayani Abi di kantor. Anita memang seorang sekretaris yang handal. Abi sangat sayang kepadanya. Begitu juga Intan. Dan Anita sudah barang tentu sangat suka diajak jalan-jalan. Itu artinya cuci mata bagi dia. Setelah berhari-hari bekerja lembur menyelesaikan peke3rjaan ditil menjelang peresmian jembatan baru.
Hampir dua jam, Intan dan Anita berkeliling di Tunjungan Centre. Rasanya belum juga berhasil menemukan sesuatu yang kira-kira disukai Reza. Saat itulah Anita melihat Tommy. Anita melambaikan tangan seraya berteriak,:
“Tommy!”
Intan ikut menoleh kea rah sana dan tertawa riang melihat Tommy.
“Hai Tom!” serunya melambai-lambaikan tangan.
Tommy tertawa melihat mereka, dan berlari kecil menuju ke tempat Anita dan Intan.
“Ngapain disini?” ujarnya .
“Kami sedang cari hadiah untuk Reza.”
“Kado untuk Reza? Ya ampun, aku sampai lupa kalau hari ini dia berulang tahun. Rencananya mau cari apa?”
“Apa ya, Tom? Kami sendiri juga lagi bingung nih.”
Tommy berkacak pinggang sambil berpikir. Apa ya?
“Bagaimana kalau pencukur listrik?´ ujarnya.
Intan dan Anita saling bertukar pandang. Ya, kenapa tidak teerpikir oleh mereka sebelumnya? Bukankah kumis dan jenggot Reza selalu tumbuh subur setiap hari dan harus mencukurnya tiap dua hari sekali?
“Ya ampun, kenapa ya kita tolol sekali hari ini?” tawa Intan berderai.
“Bukan tolol,” kata Tommy terbahak. “Tapi, pikun!”
Mereka tertawa. Sambil tertawa-tawa pula mereka masuk ke toko yang sesungguhnya sejak tadi sudah berkali-kali mereka masuki. Tommy ikut memilih dan menyuruhnya membungkus dengan kartas kado sekalian. Dia sendiri juga membelikan sesuatu untuk Reza. Bahkan Anita juga memilihkan beberapa saputangan dalam doos manis untuk Reza. Jadi nanti sore Reza akan menerima tiga kado sekaligus. Alangkah senangnya dia nanti. Intan merasa lega bisa memberikan sebuah surprais buat Reza. Dia sangat berharap, pada suatu saat nanti Reza tiba-tiba bisa jatuh cinta pada Anita. Diliriknya Anita, gadis yang manis dan pintar. Pasti Mama juga akan suka punya menantu seperti Anita. Hmm.
“Kira-kira, Mama masak apa nanti ya Nit?” tanyanya pada Anita. Membayangkan makan malam yang sangat membahagiakan karena ada Abi yang sudah dua kali tidak pernah datang ke ulang tahun Reza.
Anita tertawa kecil.
“Pastinya ada sup merah,” sahutnya.
“O, itu pasti.”
“Fruit salad?”
“Pasti. Itu kesukaan Reza.”
“Ayam madu!”
Intan tertawa. Mereka mengikuti langkah Tommy ke bagian boneka. Melihat-lihat bermacam boneka yang lucu-lucu membuat mereka jadi kembali kea lam kanak-kanak.
Tiba-tiba wajahnya memucat. Di depannya berdiri Hapsari dan seorang lelaki hitam dengan kepala botak, tersenyum mengejek. Dengan gaya Marilyn Monroe, Hapsari beerlenggak lenggok kian dekat kepadanya.
“Apa kabar, Tom?” sapanya. Tommy tergugu. Kerongkongannya tersumbat. Dilihatnya sekilas, Intan dan Anita tengah memilih-milih boneka tak jauh dari mereka.
Hapsari ikut menengok kea rah Intan dan Anita.
“Siapa dia, pacar kamu?” tanya Hapsari tanpa mengalihkan mata dari Intan dan Anita.
“Ya.”
“Oya? Pasti bukan yang berbaju biru itu kan?”
Tommy ingin segera pergi dari tempat itu, namun langkah Hapsari menghalanginya.
“Berani bertaruh, yang kulitnya putih itu pasti Intan. Ya, kan?”
Tommy merasa taak beerdaya. Namun kekuatirannya akan terjadi sesuatu atas diri Intan, membuat dia berusaha menghalangi jalan menuju kea rah Intan.
“Kenapa kau berdiri disitu, kau takut aku mendekati Intan?”
“Kau pasti marah sekali ditinggalkan Abi,” desis Abi. “Tapi bukan begini caranya.”
“Begini bagaimana? Apa maksudmu?”
“Kalau dendam, bukan pada Intan kau lampiaskan.”
“Oya? Lantas bagaimana caraku melampiaskan dendamku, he? Katakan.”
Belum sempat Abi menjawab, tiba-tiba Intan dan Anita berjalan mendekat. Sayangnya, dulu Tommy tidak pernah memberikan gambaran tentang sosok Hapsari kepada Intan. Tentu saat ini Intan tidak tau bahwa yanag sedang berdiri dengan sikap sangat seksi itu adalah perempuan jalang yang hampir saja menghancurkan keutuhan rumahtangganya. Sebaliknya, Hapsari tau betul, perempuan cantik berbaju biru itu adalah isteri Abi. Dia melihat dengan geram kea rah Intan. Langkah Intan yang gemulai tanpa dibuat-buat, membuatnya gemas. Tommy merasakana tangannya gemetar saat melihat ekspresi wajah Hapsari. Dilihatnya kemudian Hapsari menggedikkan kepala, dan …
Sesuatu benda berkilat tiba-tiba muncul begitu saja di tangan lelaki berkulit hitam berkepala botak yang langsung menyongsong kedatangan Intan.
Darah Tommy tersirap seketika.
Jangan! Batinnya berteriak.
Tapi dengan cepat, secepat petir menyambar, tubuh Tommy melompat menyongsong benda berkilat itu. Dirasakannya kemudian sesuatu masuk ke dalam perutnya, menerbitkan rasa sakit dan pedih luar biasa. Ketika didekapnya, benda cair berwarna darah mengalir dari sela-sela jemarinya.
Abi menggigit bibir kuat-kuat. Tubuhnya terhuyung, kemudian dengan lemas roboh.
Si Hitam botak terkejut , pisau besarnya mengenai sasaran yang salah. Secepat kilat ditariknya tangan Hapsari mengambil langkah seribu,…kabur.
Kejadian itu begitu cepat, secepat kedipan mata. Ketika Intan melihat Tommy jatuh, dipikirnya Tommy terpeleset atau apa. Namun begitu mendekat dan melihat darah merah membasahi kemejanya, Intan menjerit. Kepalanya mendadak berputar. Perutnya bagai diaduk-aduk. Didengarnya Anita juga menjerit disusul datangnya para pramuniaga yang berkerumun mengelilingi mereka.
“Tommy, Tommy, kamu kenapa?”
Intan memeluk dan mendekap kepala Tommy ke dadanya. Airmatanya mengucur deras.
Tommy masih sempat tersenyum tipis.
“Hapsari, Hapsari…” bisiknya.
Intan dan Anita baru sadar apa yang telah terjadi ketika Tommy benar-benar pingsan. Dia berteriak minta tolong kepada orang-oranag yang berkerumun . Dipandangnya wajah-wajah asing disekitarnya, dan memohon, : Tolong securitu, tolong security. Beberapa petugas keamanan yang tanggap, dengan cepat mengejar Hapsari dan pengawalnya.
Beberapa orang lain kemudian mengangkat tubuh Tommy dan membawanya ke rumah sakit terdekat.
Intan setengah berlari mengikuti brankar yang membawa Tommy ke ruang Gawat Darurat. Segera Tommy mendapat pelayanan. Perutnya yang luka segera dijahit, dan jarum infuse segera dipasang. Intan merasa lega sekarang. Dia baru teringat untuk memberitaukan hal itu ke rumah. Anita dimintanya segera ke rumah Mamanya dan menemui Abi di lapangan.
“Ceritakan saja apa adanya, Nit. Biar mas Abi tau, beginilah akibatnya.”
“Ya, Mbak. Lantas mbak Intan sendiri, bagaimana?”
“Aku tetap disini menu nggu sampai Tommy sadar. Oya, katakan pada Reza untuk mengurus ke PMI sebab kita harus mengganti darah yang sekarang ditransfusikan ke Tommy. Jangan lupa, ya Nit.”
Anita memeluk Intan sekejap sebelum pergi meninggalkannya.
Intan duduk di sisi pembaringan. Diam-diam dia berdoa untuk Tommy, memohon kepada Tuhan agar Dia menyelamatkan jiwa Tommy dari kematian.
Ya Allah selamatkanlah dia. Jangan Kau ambil dia dari kami. Dia adalah teman baik bagi anakku Andre, kami semua menccintainya. Hatinya sangat lembut. Maka kumohon, selamatkanlah dia.
Ketika kemudian Tommy membuka matanya perlahan,yang nampak pertama adalah senyum Intan. Ketika INtan menyentuh tangannya, Tommy membalas genggaman itu dengan kuat.
“Syukurlah kau selamat,” katanya. “Terlambat sedikit saja…”
“Apa yang sebenarnya terjadi, Tom? Kenapa dia tiba-tiba ada disitu?”
“Dia sudah mengamatimu sejak lama,” sahut Tommy. “Itu sebabnya mas Abi tidak suka mbak Intan pergi sendirian saja, selalu harus ada yang menemani..”
“Dia sengaja mencari kesempatan untuk menyingkirkan aku?”
Tommy mengangguk.
“Mbak Intan tau, siapa dia?”
“Ya, pada akhirnya aku tau.”
“Oh.”
“Dia memang cantik. Tak heran…”
“Sudahlah. Mas Abi bagaimana?”
“Dia baik-baik saja. Tadi security mall mengejar perempuan itu. Kudengar-dengar mereka tertangkap.”
“Alhamdulillah.”
“Ya, Alhamdulillah.”
“Boleh minta minum, Mbak?”
“Tentu, tapi sedikit-sedikit dulu ya Tom?”
Tommy tersenyum membalas senyuman Intan. Perlahan dia meneguk air putih yang disodorkan Intan kepadanya.
“Tom,..”
“Ya?”
“Kau sudah mengorbankan hampir saja, nyawamu untukku. Untuk sesuatu yang sebetulnya bukan kewajibanmu. Kenapa kau lakukan itu?”
Tommy mengulurkan gelas kosong pada Intan. Ditariknya selimut lebih tinggi, kemudian menjawab peertanyaan itu dengan senyuman di bibir.
“Kau terlalu berharga bagiku, mbak Intan. Lebih berharga dari nyawaku. Kau amat dibutuhkan Andre dan Irin. Bagaimana aku bisa membiarkanmu celaka begitu saja ditangan orang?”
“Terimakasih ya Tom, kau juga amat berarti bagi kami. Kau harus cepat sembuh.”
Tommy tertawa tanpa suara. Digenggamnya tangan Intan erat
“Taukah mbak Intan, bahwa setiap malaam sebelum tidur aku selalu berdoa pada Tuhan agar bisa kutemukan perempuan seperti mbak Intan, yangt sebiru lautan. Tenang, setia, dana lapang hati.”
Mata Intan berkaca-kaca.
“Tommy, yakinlah, suatu saat kau akan menemukan bahkan yang lebih dari itu.”
“Benarkah?”
“Sungguh!”
Tommy tertawa lebar. Mereka saling berpandangan lama. Barangkali Cuma meereka yang tau sesungguhnya apa yang sedang mereka katakana lewat bahasa batin saat itu. Ya, siapa tau?
Suara tapak kaki ramai menuju ke kamar rawat Tommy.
“Mereka datang,” kata Intan.
“Sepertinya mereka membawa pasukan satu batalyon,” kelakar Tommy.
Intan melihat arlojinya, pukul empat sore. Waktu untuk berkunjung. Suara tapak sepatu riuh kian mendekat, dan begitu mereka berada di ambang pinta…Olala, benar saja. Mereka memang membawa pasukan besar. Seluruh keluarga datang menjuenguk, dan beramai-ramai mengerubuti Tommy dengan pertanyaan-pertanyaan.
Intan menyisih. Dari ambang pintu sebelum pergi, dia menengok sekali lagi. Tommy teersenyum kepadanya, dan melambaikan tangan. Sepasang matanya menatap lembut kepergian Intan, membiarkan sebagian hatinya yang lain ikut bersama kepergiannya. Kosong sudah dadanya, namun kebahagiaan yang lain mengisinya kembali segenggam demi segenggam.


(By Indrawati Basuki)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar