Minggu, 28 Februari 2010

TROWULAN (10)


KUBUR PANGGUNG.
Matahari bersinar terik. Jalan berbatu yang panjang menuju Kubur Panggung terasa membuat kulit kian tersengat. Aryo membenamkan topi ke wajah. Langkahnya besar-besar ke arah gundukan tanah setinggi dua setengah meter yang dibatasi dinding-dinding yang membujur dari Utara ke Selatan, dari Timur ke Barat, dan terbuat dari susunan batu bata kuno yang direkatkan tanpa menggunakan semen.
Konon, Kubur Panggung adalah bangunan peninggalan Ratu Tribuwanatunggadewi Wishnuwardhani (ibunda Hayam Wuruk). Tempat itu dibangun untuk menjamu tamu-tamu yang datang agar bisa melihat pemandangan sekitar kerajaan dari ketinggian. Para ahli mengatakannya sebagai salah satu pendopo keraton yang disebut dengan Bangsal Witana. Aryo Wangking menuju ke sana. Setelah dari Bangsal Witana, dia akan ke Pendopo Agung. Dulu, sebelum tahun 1966, di situs Kubur Panggung terdapat duapuluh enam umpak batu yang berjajar dari arah Timur ke Barat. Kini sejumlah enambelas batu umpak kuno telah digunakan untuk tiang-tiang Pendopo Agung. Satu diantaranya untuk tempat Candrasangkala pendirian bangunan Pendopo Agung. Sedangkan sisanya diletakkan begitu saja di halaman.
“Mas!” sebuah suara memanggilnya.
Aryo menghentikan langkah, menengok ke belakang, dan melihat juru kunci Sikan berlari-lari kecil mengejarnya. Aryo berbalik dan menunggu hingga Sikan benar-benar mendekat.
“Ada apa?” tanya Aryo.
“Ada tamu tengah menunggu di Siti Hinggil. Katanya dari Banyuwang8i. Saya sudah coba menyusul ke Musium, tetapi kata orang-orang yang ada di Musium, mas Aryo sedang menuju ke Kubur Panggung. Syukurlah saya bisa mengejar sampeyan, Mas.”
“Siapa tamu itu?”
“Namanya doktorandus Bondan Kejawan.”
“Oh.”
“Mereka menunggu sejak pagi-pagi sekali, di Pendopo Siti hinggil. Bagaimana, apa mas Aryo bisa menemui sekarang atau disuruh menunggu?”
Aryo tersenyum.
“Jauh-jauh datang masa disuruh menunggu,” ujarnya. “Kita temui saja beliau. Yuk!”
Aryo mengurungkan niatnya ke Kubur Panggung. Bersama-sama dengan Sikan, dia kembali ke mobil dan mengendarainya menuju pendopo Siti Hinggil.
Benar juga, di pendopo ternyata sudah banyak orang menunggu. Diantaranya, tamu-tamu dari Banyuwangi itu. Rupanya beliau datang bersama keluarganya. Kedatangan Aryo Wangking mereka sambut dengan uluran tangan dan salam. Mereka dipersilakan duduk kembali di lantai pendopo. Setelah berbasa-basi sebentar, Aryo Wangking mengarahkan pembicaraan ke pokok masalah.
“Begini,” kata drs Bondan Kejawan. “Kakak perempuan saya menderita penyakit kulit menahun. Penyakit itu sudah dideritanya sejak dia berusia sepuluh tahun. Mula-mula gatal-gatal biasa. Tapi lama-lama tumbuh bercak-bercak pada kulitnya yang menyerupai sisik. Dan itu terus berlanjut, tidak pernah sembuh hingga sekarang. Saya sudah mencari obat kemana-mana, dari usaha ke dokter spesialis kulit hingga ke orang-orang pinter. Tapi hasilnya nol besar. Saya hampir putus asa. Hingga pada suatu malam saya bermimpi didatangi seseorang…”
“Seorang perempuan cantik?” potong Aryo.
“Ya. Seorang perempuan yang sangat cantik. Perempuan itu bilang pada saya, coba kau temui seseorang berdarah Majapahit. Dia yang akan menolongmu.”
Aryo wangking tersenyum samar.
“Begitukah katanya?”
“Ya. Lantas saya berpikir. Berdarah Majapahit. Apakah itu artinya saya harus ke Trowulan? Saya bingung lagi, kepada siapa saya harus bertanya untuk menemukan orang yang dimaksud? Maka mulailah saya berburu. Dari satu orang, ke orang yang lain. Saya bertanya tanya dimana bisa saya menemukan seseorang yang dimaksudkan perempuan dalam mimpi saya itu.”
Aryo mendengarkan sambil terus memejam. Seakan merekam dalam alam pikirannya semua kisah yang dituturkan drs. Bondan Kejawan kepadanya.
“Hampir dua bulan lamanya saya mencari, hingga akhirnya saya bertemu dengan Ki Sumari di Troloyo. Beliau yang mengatakan pada saya, bahwa yang dimaksud itu kemungkinan besar adalah mas Aryo Wangking dari desa Temon, dukuh Keraton, tanah pelataran Majapahit. Ki Sumari mengatakan pada saya bahwa andika adalah titisan…”
“Stop. Jangan diteruskan.”
“Oh, maaf.”
“Saya sudah tau semuanya. Sekarang katakan, berapa umur kakak perempuan Bapak?”
“Sekitar limapuluh tahun.”
“Hmm.” Aryo tersenyum. “Cukup lama beliau menderita. Dan sekarang bagaimana keadaannya? Masih bisa jalan?”
Drs. Bondan Kejawan menunduk, tak kuasa menjawab pertanyaan itu.
Aryo Wangking membuang asap rokok ke langit.
“jadi beliau sudah tidak bisa apa-apa,” kata Aryo menjawab pertanyaannya sendiri.
“Bapak percaya kepada Allah?” tanya Aryo selang kemudian.
“Ya, saya percaya kepada Allah.”
“Maka Bapak percaya, hanya Allah yang dapat meletakkan jariNya pada batas antara kebaikan dan keburukan. Batas baik dan buruk pada hakikatnya dapat merasakan rahasia semua ciptaanNya. Kedok kehidupan hanya merupakan topeng misteri yang lebih dalam. Tak ada suatu jalan untuk membebaskannya kecuali dengan bersedekah. Bersedekahlah sebatas puncak kemampuannya.”
“Maksudnya…?”
“Selama ini Bapak berenang dalam kemewahan. Sangat berlebih-lebihan. Maaf, saya ingin tau, seringkah bapak bersedekah kepada fakir miskin dan kepada anak-anak yatim piatu?”
Drs. Bondan Kejawan kembali menundukkan wajah dalam dalam.
“Kalau tidak, maka harus diganti dengan bersedekah seekor kerbau bule pancal panggung. Kepalanya dilabuhkan ke Pantai Selatan, sedangkan daging dan jerohannya untuk fakir miskin. Mengapa harus dilabuhkan ke Pantai Selatan, tentu Bapak sudah mengerti maksudnya.”
Semua yang hadir di pendopo segera bisa melihat betapa drs. Bondan Kejawan menitikkan airmata. Aryo tau, lelaki separuh baya itu tau betul mengapa harus demikian. Kekayaan yang berlimpah itu darimana asalnyapun, dia tau. Jadi penyesalannya itu sesungguhnya tidak ada artinya lagi. Beberapa orang dari beberapa generasi terdahulu, hampir seluruhnya meninggal dengan cara yang aneh. Selalu mengidap penyakit yang tak bisa disembuhkan hingga mereka tewas. Menurut trawangan Aryo, generasi drs. Bondan Kejawan adalah generasi terakhir, yakni generasi ke tujuh. Artinya, perjanjian yang dilakukan nenek moyangnya, sudah harus berakhir sampai disini. Semua itu sudah ginaris oleh suratan takdir. Bahwa kemewahan yang diberikan penguasa Segara Kidul sudah harus selesai sampai disini, dan tumbal-tumbal yang dikorbankanpun sudah mencukupi. Hanya Aryo yang tau, sesungguhnya dirinya hanyalah sebagai pemicu saja. Sebab disukai atau tidak, memang sudah waktunya bagi anak-anak drs. Bondan Kejawan untuk tidak akan bisa hidup mewah lagi seperti generasi sebelumnya.
Aryo kembali memejamkan mata.
“Adik perempuan Bapak, bagaimana?” tanya Aryo tiba-tiba.
Drs. Bondan Kejawan tersentak mengangkat wajah dengan terperanjat.
“Apakah juga mulai ada tanda-tanda penyakit kulit yang sama dengan kakak perempuan Bapak? Hati-hati. Saya lihat, kalau adik Bapak ini lebih bisa diselamatkan. Tolong perhatikan dia sebelum terlambat.”
Kini drs. Bondan Kejawan benar-benar menangis. Dia terisak-isak dengan bahu yang terguncang-guncang. Suasana di pendopo jadi mencekam. Orang-orang yang hadir baik itu keluarga dari Banyuwangi maupun para penghayat yang ada, jadi merasa ikut prihatin. Mencari pesugihan dari Pantai Selatan, ternyata berat akibatnya. Tujuh turunan! Bayangkan.
Aryo mengulurkan saputangan miliknya, namun dengan halus drs. Bondan Kejawan menolak dan mengambil saputangannya sendiri dari saku celana.
“Maafkan saya,” kata Aryo lembut.
“Ssssayyya pasrahhh kepppada mas Arrryo,” jawab drs. Bondan Kejawan tersendat-sendat.
Aryo mengerutkan kening.
“Maksud Bapak, apa?”
Drs Bondan Kejawan menghapus mukanya dengan saputangan, lama baru menjawab,:
“Saya pasrah. Semua uba rampe saya serahkan saja kepada mas Aryo.”
“Apakah Bapak percaya kepada saya?”
“Saya percaya. Saya pasrahkan semuanya kepada mas Aryo. Mimpi saya itu mungkin merupakan sebuah petunjuk dari Yang Maha Kuasa dalam bentuk seperti itu. Dan inilah jalan terakhir yang harus saya tempuh dalam usaha menyelamatkan keluarga saya. “
“Maaf,” kata Aryo. “Maafkanlah saya kalau saya harus berterus terang kepada Bapak bahwa sebetulnya, pembebasan pada penderitaan itu bukanlah hanya sekadar penyembuhan.”
Wajah drs. Bondan Kejawan memucat tiba-tiba.
“Itulah yang saya maksud. Saya tegaskan sekali lagi, bahwa pembebasan dari penderitaannya bukanlah penyembuhan.”
Suara Aryo mengalun tenang, mantap dan kharismatik. Beberapa orang penghayat yang sudah lama menjalankan tirakatan dan memiliki sedikit mata rangkap bisa melihat bahwa yang tengah berbicara itu bukanlah sekadar sosok manusia biasa. Ada aura terang berwarna kebiru-biruan yang melingkari sekujur tubuh Aryo pada saat itu. Cahaya aura itu sangat benderang dan menyilaukan mata. Seakan akan tengah bersaing dengan bias cahaya matahari siang setengah sore yang menyengat.
“Jadi…?” sepasang mata drs. Bondan Kejawan menatap bingung.
“Memang sudah terlambat,” ujar Aryo. “Tapi yang terpenting, beliau bebas dari sangkala. Perjanjian antara nenk moyang Bapak dengan Penguasa Laut yang dipuja, telah larut bersamaan diterimanya labuhan yang dilakukan nanti. Nanti saya yang akan mengantarkannya ke laut. Bapak yang melakukannya.”
Drs. Bondan Kejawan kembali menghapus wajah dengan saputangan, membersit hidung, dan menghela nafas panjang.
“Lantas, bagaimana dengan adik saya?”
“Kalau yang itu, belum terlambat.”
“Jadi bagaimana?”
“Sedekahnya sama. Seekor kerbau bule pancal panggung. Cari yang mulus tanpa cacat.”
Kemudian mereka mencari hari yang baik, dan disepakati melabuhkannya di pantai Balekambang.

(Bersambung).

TROWULAN (9)


TROLOYO.
Semua orang tau, Troloyo memang kompleks penuh misteri. Beberapa makam yang kurang dikenal identitasnya di tanah pelataran berumput itu, tampak tidak terawat. Tetapi sengaja didatangi peziarah.
Misalnya, sebuah makam dibawah pohon beringin besar di sudut Barat Daya lapangan, oleh warga setempat dikenal sebagai makam seorang waranggana. Tetapi anehnya, mereka bingung menyebutkan namanya. Konon yang sering berziarah kesitu adalah mereka yang berprofesi sebagai waranggana. Tentunya dengan maksud agar suara dan penampilannya punya greget.
Kesanalah Aryo Wangking pergi.
Selepas sholat Isya’, dia mengendarai jip kunonya ke tempat itu. Disanalah Aryo berharap bisa beertemu dengan Aryo Empul maupun istri mudanya sinden Sragen itu. Karena biasanya Sinden itu sering bertafakur di dekat makam waranggana tanpa nama itu untuk pencapaian maksud-maksud tertentu yang dimilikinya.
Aryo menunggu di teritisan rumah Ki Sumari, juru kunci Troloyo. Ditemani Ki Sumari, Aryo menunggu sambil mengobrol, namun hingga hampir satu jam menunggu, tak juga nampak sosok orang yang dicari.
Akhirnya Ki Sumari berkata,:
“Aku memang mendengar berita tentang Ki Empul, kakangmu itu, tetapi maaf, aku tidak yakin dia akan senekad itu mengawini perempuan dari Sragen itu.”
Aryo menatap heran wajah Ki Sumari.
“Begitukah menurut Ki Sumari?”
“Aku punya alasan. Akulah orangnya, kalau memang berita itu benar, yang paling tau soal pernikahan Empul. Sebab baru saja perempuan itu datang dan berziarah, tampaknya dia sendirian saja.”
“Barangkali benar, tapi bisa saja Kang Empul tinggal di suatu tempat, bukan disini.”
“Menurut penerawanganmu, bagaimana?”
“Menurut kacamata supranatural yang saya miliki, dia tinggal di Sooko. Masalah kawin atau tidak dengan perempuan itu, rasanya sama saja dengan kumpul kebo. Kawin siri atau kumpul kebo, nyaris sama saja kan?”
“Itu tidak mungkin,” Ki Sumari tertawa. “Kalau saja benar perkiraanmu, dia pasti datang bersama Anjasmara.”
“Anjasmara? Siapa Anjasmara?”
“Sinden Sragen itu namanya Anjasmara. Apa kau tidak tau?”
“Tidak. Saya tidak tau namanya Anjasmara. Beraninya dia memakai nama itu!”
Sumari tertawa menyadari kegeraman yang tersimpan dalam sorot mata rajawali muda di depannya. Bisa saja Aryo merasa harus geram, karena yang dimakamkan di Troloyo ada tokoh legendaris yang bernama sama. Seharusnya perempuan itu memakai nama yang lain sebagai nama populernya, jangan yang itu.
“Kurasa yang dikatakan orang-orang itu belum tentu benar, Yok.”
“Kalau itu mengenai perselingkuhannya, saya rasa orang-orang benar. Sebab saya melihat dengan mata kepala sendiri, yu Mirah juga melihatnya. Masalah mereka tinggal serumah, resmi maupun tidak, rasa-rasanya sudah tidak bisa ditolerir lagi, Ki. Maksud saya, kalaupun mau kawin atau berselingkuh, janganlah dengan orang-orang di sekitar sini. Carilah perempuan yang tidak pernah dikenal di Trowulan. Berita yang menyebar, membuat saya jadi tidak enak.”
“Sudah, sudah. Bagaimanapun dia adalah darah dagingmu sendiri. Tidak baik menyesalinya. Sepertinya jadi kayak menepuk air di dulang terpercik muka sendiri.”
“Darah memang lebih kental dari air, itu benar. Saya hanya tak ingin melihat Yu Mirah menderita lebih jauh. Kasihan dia.”
Sumari menghela nafas dalam dalam.
“Ya, kasihan dia,” ujarnya mengiyakan kata-kata Aryo.
“Tolong saya, Ki. Carikan berita yang benar. Saya sendiri jadi tak enak tinggal serumah dengan Yu Mirah berdua saja. Takut menimbulkan fitnah.”
“Insya Allah, Amin. Oh ya, Yok. Beberapa hari yang lalu ada seseorang datang kepadaku, minta tolong agar saudara perempuannya yang sedang sakit disembuhkan. Kukatakan kepadanya, aku ini tidak memiliki ilmu apa-apa. Lantas saja aku teringat kepadamu. Kau pasti bisa menolongnya.”
Kini giliran Aryo yang tertawa geli. Disulutnya sebatang rokok, menyelipkannya di bibir sambil bertanya,:
“Lucu, sepertinya Ki Sumari telah menganggap saya ini dukun?”
“Bukan begitu maksudku,” jawab Sumari ikut tertawa lebar. “Paling tidak, doamu lebih makbul ketimbang doaku. Betul begitu, kan?”
“Ah, Ki Sumari ini ada ada saja. Teruskan, Ki. “
“Begini, nama orang itu drs. Bondan Kejawan, asal Banyuwangi. Katanya, dia sudah pergi mencari pengobatan kemana-mana, namun hasilnya nihil. Bahkan sering dikerjain sama dukun-dukun yang dia datangi. Hingga sudah begitu banyak dana yang dia keluarkan tanpa menghasilkan apa-apa. Suatu malam, dia bermimpi.”
Sumari menghentikan bicaranya, sebab dia melihat senyum Aryo yang penuh misteri kian jelas tersungging di bibir, seakan mengatakan padanya bahwa semua kisah tentang Bondan Kejawan itu sudah bisa ditebak melalui terawangannya.
“Kau sudah bisa menebaknya?” tanyanya pada Aryo.
Yang ditanya membuang abu rokok dalam asbak dengan sikap cuek.
“Ya,” sahutnya tanpa basa-basi.
“Jadi…?”
“Saudara perempuan drs. Bondan Kejawan itu memang sedang dijadikan wadal.”
“Wadal?”
“Nenek moyangnya semuanya penganut Segara Kidul. Mereka rata-rata kaya raya hingga tujuh turunan, namun dengan ada salah satu dari keturunannya dalam setiap generasi, akan menderita penyakit kulit yang sangat parah.”
“Cocok! Drs. Bondan Kejawan juga bilang begitu. Saudara perempuannya itu memang sudah amat parah. Dia sudah tidak bisa bangkit dari tempat tidur. Aku jadi tidak bisa membayangkan penyakit kulit macam apa yang membuat seseorang seperti itu?”
“Menurut penglihatanku, kulitnya jadi bersisik seperti ular. Makin lama makin banyak dan membuatnya jadi tidak leluasa untuk bergerak. Penyakit itu akan segera menggerogoti sekujur tubuhnya hingga dia meninggal dalam sebuah kesengsaraan yang menggigit.”
“Astaghfirullahaladziiim….”
“Dimana rumah beliau, Ki?”
“Aku punya kartu namanya, sebentar, kuambilkan dulu.”
Sumari mengambil sebuah kartu nama dan memberikannya kepada Aryo Wangking. Aryo membacanya sebentar, menyentuhkan ujung ibu jari tangan kanannya pada nama pemilik kartunama itu, kemudian mengangguk.
“Simpan saja kartu ini, Ki. Kalau sewaktu-waktu beliau datang lagi, suruh menemui saya di…”
Lama dia terdiam, hingga dengan tak sabar Sumari bertanya,:
“Di…Siti Hinggil, atau di rumahmu?”
“Sulit bagi saya mengatakannya.”
“Ada apa, Yok? Katakan saja, siapa tau aku bisa membantu kesulitanmu itu.”
“Sebetulnya, menyimpang dari pembicaraan kita ini, saya ingin segera memisahkan diri dari Kang Empul. Saya pikir, memang sekaranglah waktunya yang tepat. Toh selain saya jarang pulang, Kang Empul juga tidak lagi kembali ke rumah itu. Namun saya merasa tak enak juga dalam situasi seperti ini oncat begitu saja dari rumah mereka.”
“Apa sudah bulat tekadmu untuk pergi dari rumah itu?”
“Ya, Ki.”
“Tega kau meninggalkan mbakyumu sendirian seperti itu tanpo rowang?”
“Saya rasa itu terbaik yang bisa saya lakukan. Saya tak ingin ada fitnah.”
“Tak ada yang berani memfitnahmu. Semua orang di petilasan Majapahit ini tau siapa dirimu.”
“Diantara yang banyak pasti ada sedikit yang tidak menyukai saya. Itu pasti. Dan saya tak mau menjadi orang yang tidak disukai karena persoalan yang satu itu.”
“Kau benar. Akupun dulu pernah jadi orang muda. Kekhilafan itu begitu dekat dengan urat nadi di leher kita. Karena itukah kau mencari kepastian tentang keberadaan kakangmu?”
“Saya hanya ingin bicara dengannya tentang status Yu Mirah dan perempuannya itu. Kalau memang betul dia lebih memilih Anjasmara, bagaimana dengan Yu Mirah? Dimadu, atau diceraikan? Kalau dicerai, pasti ada caranya. Tidak seperti membuang barang bekas ke tong sampah begitu saja. Tetapi kalau dimadu, juga ada caranya. Kang Empul harus bisa bersikap adil terhadap kedua istrinya. Biasanya itu akan sulit dilakukan para lelaki di dunia ini. Mokal, bisa. Apalagi Kang Empul egonya amat tinggi. Maksud saya, kalau semuanya jelas kan enak. Yu Mirah bisa menikah lagi kalau mau, dan kang Empul insya Allah tidak dibebani dosa.”
“Aku senang melihatmu bijak, Yok.”
“Mudah-mudahan, Ki.”
“Lantas sekarang, bagaimana?”
“Lebih baik saya pulang dulu, mau beres-beres. Siapa tau besok atau lusa saya sudah menemukan tempat lain yang saya maksud.”
“Nanti kubantu mencarikannya.”
“Terimakasih.”
“Jadi kalau drs. Bondan Kejawan datang, aku harus bilang apa?”
“Beliau bisa menemui saya di Musium. Setiap hari saya ada di sana. Atau bisa menitipkan pesan kepada pak Sikan di Siti Hinggil.”
“Baik.”
“Aryo menggamit bungkus rokok dan geretan dari atas meja. Dibenamkannya topi koboinya lebih dalam ke kepala. Pria itu terlihat semakin penuh misteri. Ki Sumari mengantarkannya hingga Nissan tanpa kap itu menghilang di kegelapan malam.

(Bersambung).

Sabtu, 27 Februari 2010

TROWULAN (8)


SUMIRAH.
Setelah beberapa hari tidak pulang, akhirnya Aryo Wangking memilih untuk kembali ke rumah Aryo Empul, kakang kandungnya. Apa boleh buat, pikir Aryo. Selama belum menemukan sebuah rumah kontrakan atau kamar sewaan, dia memang harus bisa menahan diri dan perasaan untuk selalu menerima sikap tak enak dan muka masam Aryo Empul.
Sejak kejadian malam itu, saat Empul mengusirnya, kemudian diteruskan dengan perbuatan seronoknya dengan Sumirah yang seolah menyeretnya jadi tidak waras, Aryo Wangking tak pernah lagi bertemu dengan kakangnya itu. Selain merasa terusir, Aryo juga menjadi jengah menatap wajah Aryo Empul.
Kedatangan Aryo kembali ke rumah itu disambut ceria oleh Sumirah. Perempuan itu segera mengingatkan untuk segera mandi, makan dan menurunkan baju kotor untuk dicuci di sumur. Aryo tau betul, Sumirah amat sayang kepadanya. Dia selalu saja terlihat ikhlas melakukan apapun untuknya. Yang sangat tidak disukai Aryo adalah berkembangnya perasaan itu menjadi lebih besar melebihi kewajaran. Jauh di dasar hati, ternyata Sumirah memendam perasaan cinta seorang perempuan kepada seorang laki-laki, pada Aryo. Mula-mula perempuan itu berusaha menyembunyikannya. Tapi belakangan semenjak Aryo Empul mulai bersikap kasar, Sumirah merasa sudah tak perlu lagi merahasiakan perasaan hatinya. Secara terbuka dia mulai memperlakukan Aryo Wangking bagai memperlakukan lelaki yang sangat istimewa baginya.
Mula-mula, memang, dia cuma butuh kawan bicara. Sekadar kawan bicara yang mampu menampung seluruh duka kecewanya. Namun lama kelamaan, Sumirah jadi betul-betul terpikat dengan gaya bahasa dan gaya bicara anak asuhannya itu. Dia jadi suka keasyikan membayangkan senyum dan sorot mata Aryo Wangking. Semua kelebihan itu tidak pernah dia dapatkan dari Aryo Empul yang cenderung brangasan dan grasa-grusu. Maka kian hari mimpi itupun kian erat digenggamnya.
Pada akhirnya Sumirah punya kegemaran baru. Dia suka sekali pergi malam-malam ke Siti Hinggil dan bercanda atau saling menggoda dengan para penghayat di tempat itu. Mula mula dia menganggap semuanya itu hanya seladar penghilang kegundahan kaarena disisihkan dan disepelekan oleh suaminya, Ki Empul. Namun lama kelamaan itu merupakan satu kesenangan yang tak bisa dijelaskan. Meskipun kesenangan berkumpul dengan para penghayat itu tidak bisa dibandingkan kebahagiaannya tatkala bersama Aryo Wangking, namun sepertinya Sumirah mengalami satu kegiatan yang mengasyikkan. Sesekali godaan lelaki yang menjeratnya tak mampu dia tolak. Maka pergilah dia dengan lelaki itu ke Sekar Putih, sebuah hotel mini tak jauh dari Siti Hinggil.
Ketika dengan bangga sambil memanas-manasi , dia ceeritakan itu kepada Aryo Wangking yang cenderung dingin terhadapnya, pria gagah itu mengatakan bahwa Sumirah sudah tidak waras lagi. Bagaimana tidak? Perempuan itu adalah istri kakangnya, namun dia malah menceritakan perselingkuhannya kepada Aryo. Bukankah itu menandakan bahwa perempuan bahenol itu sudah tidak waras lagi?
Aryo Wangking sudah menganggap Empul dan Sumirah sebagai pengganti orangtua sendiri. Karena sejak berusia empatbelas tahun, Aryo mulai ikut dan ddibesarkaan di rumah mereka. Mereka memberinya ruang untuk tinggal, memberinya makan dan beaya sekolah hingga lulus SMA. Ketika Aryo menyatakan bahwa dia ingin meneruskan sekolahnya hingga ke perguruan tinggi, mereka mempersilakan Aryo mencari beaya sendiri karena kemampuan mereka hanya bisa memberikan kesempatan kepada Aryo hingga SMA saja. Aryo harus membeayai kuliahnya di Yogyakarta dengan hasil keringaat sendiri. Namun walaupun berjauhan, Aryo tetap tak ingin kehilangan keluarga satu-satunya itu. Dia masih sering pulang. Bahkan bila liburan semester, dia tetap meneympatkan diri untuk pulang dua atau tiga hari lamanya. Barangkali itu yang membuatnya dekat dengan Sumirah. Apalagi Sumirah dan Empul tak juga dikaruniai momongan. Maka bagi Sumirah, Aryo Wangking adalah pengisi dan penghibur bagi kesepiannya.
Belakangan Aryo Empul mulai terlihat aneh.
Dia mulai sering pulang dalam keadaan mabuk berat. Suka main judi bersama komunitas bengkelnya sendiri. Sering marah dan main gampar sama istri. Aryo Wangking bahkan mendengar selentingan kakangnya itu mulai tertarik kepada seorang sinden asaal Sragen yang suka melakukan tirakatan di Troloyo. Kata mereka, Empul sudah tergila-gila pada perempuan Sragen itu. Dia lupa pada istri, bahkan membencinya. Hingga akhirnya baik Sumirah maaupun Aryo melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Empul Dan sinden itu berkencan di sebuah pondok dekat Troloyo. Hal yang sungguh tak pantas dan memalukan mendapati suami istri saling berselingkuh tanpa kendali seperti itu. Aryo kian lama kian tak suka pada Empul. Dan kian hari kian tidak nyaman untuk tinggal bersama mereka. Namun satu hal yang tak mungkin dilakukan oleh seorang Aryo Wangking, yakni ketidak mampuannya membuang darah dagingnya sendiri.
Kejadian pada malam jahanam itu, membuat batas menjadi kabur. Mana cinta, mana benci. Kini mampukah dia mengatakan Sumirah dan Empul manusia yang tidak waras sementara dirinya sendiri ikut terseret di dalamnya?
Aryo memasukkan anak kunci ke pintu kamar. Memutarnya dua kali lalu membukanya lebar-lebar. Untuk sesaat bau pengab menyebar, membuatnya terbatuk-batuk. Sebuah teguran membuatnya menoleh. Sumirah berdiri tak jauh darinya sambil tertawa kecil.
“Buka lebih lebar pintu dan jendelanya, Yok! Kamarmu itu lama tak dimasuki udara bersih.”
“Ya. Berapa lama aku tidak pulang?”
“Luupa menghitung hari?”
“Biasalah Yu, aku tak pernah menghitung apapun. Bagaimana keadaan Kang Empul?”
Aryo meletakkan ransel ke atas meja tanpa taplak di kamarnya. Lalu duduk di kursi satu-satunya yang ada. Dia biarkan saja Sumirah berdiri di bingkai pintu.
“Sama denganmu, dia sudah tidak pernah pulang selama dua minggu.”
“Sejak kapan?”
Sumirah melangkah masuk, menggulung tirai jendela ke samping dan mengikatnya hingga udara makin leluasa menerobos ke dalam kamar.
“Sejak malam itu.”
“Jadi selama ini yu Mirah sendirian saja?”
Sumirah tertawa.
“Ya iyalah! Memang sama siapa? Kau dan dia, sama saja. Kerjaannya ngelayap melulu.”
“Aku tidak ngelayap, aku kerja.” Jawab Aryo ketus seraya membuka jaket dan melepas sepatu. Didorongnya sepatu itu ke sudut bawah meja.
“Mestinya kau tetap di rumah menemaniku.”
“Maaf Yu, aku tidak tau kalau sampeyan sendirian saja di rumah.”
“Jadi kemana saja kau selama ini?”
“Kerja yu, kerja.”
“Kerja? Apa? Ke kuburan, ke situs purbakala, ke museum?”
“Lha itu. Nyatanya yu Mirah sudah tau.”
“Apa yang kau dapatkan dari pekerjaan itu?”
Aryo tak ingin menjawab. Dia turunkan baju-baju kotor yang selama ini tergantung di dinding lalu memasukkannya ke dalam keranjang besar yang ada di sudut kamar. Sumirah mengeluarkan sisanya dari tas ransel. Memeriksa semua saku celana dan kemeja.
“Mengapa sampeyan selalu memeriksa saku baju-baju itu setiap kali aku menurunkannya?” tanya Aryo merasa aneh dengan kebiasaan itu.
“Siapa tau ada yang tertinggal di dalamnya,” jawab Sumirah enteng. Dia mengeluarkan lembar kertas iuran jalan tol dan karcis parkir dari dalam saku sebuah kemeja.
“Seperti ini,” kata Sumirah sambil membuangnya.
“Ah, itu cuma kertas.”
“Kalau uang, kan yang untung aku?”
“Itu tidak mungkin,” ejek Aryo sambil teersenyum.
“Kenapa tidak?”
“Darimana aku punya uang yang bisa aku simpan hingga lupa menaruhnya dimana, kalau semuanya impas?”
“Impas,…bagaimana maksudmu?”
“Impas, ya impas. Artinya, begitu kudapat begitu pula habisnya.”
Sumirah mengangkat keranjang baju kotor ke sumur. Aryo tertawa membiarkan dia keluar. Tetapi…uts, ada sebuah celana yang kelupaan. Celana itu memang sejak tadi dibiarkan saja oleh Aryo tergeletak di atas kasur, mungkin Sumirah tidak melihatnya. Dengan sigap Aryo menyambarnya dan membawanya ke sumur.
“Ada yang tertinggal, Yu. Ini! Tangkap ya? Hup!”
“Kurang ajar, kau Yok!” kata Sumirah sambil tertawa. “Masa celana kotor dilempar kepada orang yang lebih tua!”
Namun Sumirah tidak tampak marah. Dia justru merasakan keakraban yang amat manis. Seakan-akan tiada lagi batas yang memisahkannya dari Aryo Wangking. Mana kakak, mana adik. Tapi, ah! Masih pantaskah dia menganggap pria dewasa itu sebagai adik? Bukankah mereka telah melakukan sesuatu yanag terlarang pada malam itu? Malam dimana jiwa dan jiwa Aryo menyatu. Tubuhnya tidur dalam pelukannya. Indahnya malam yang dihias dengan suara lolongan anjing… ah. Indahnya malam itu…
“Yu, melamun ya!”
Sumirah tersentak mendengar teguran Aryo. Segera kulit wajahnya memerah jambu saat menerima tatap mata Aryo yang menghunjam telak. Dia merasa, Aryo bisa membaca alam pikirannya, bisa merasakan getaran di dadanya saat mengingat kembali kejadian yang itu.
“Maaf Yu, cuciannya ternyata banyak juga ya,” kata Aryo mencoba memecahkan kebisuan yang menggantung.
Sumirah menggilas cucian dengan tangannya yang kuat di ember penuh deterjen.
“Mmmm, ya. Lumayan. Mau membantu?”
“…………” Aryo berpikir-pikir.
Sumirah tertawa.
“Sudah, tak apa. Tak perlu lagi berbasa-basi. Aku hanya ingin ditemani saja. Kau mau?”
“Boleh.”
Aryo duduk agak jauh, bersandar di tembok dan mulai merokok. Dia mengawasi Sumirah memasukkan baju-baju kotor itu ke dalam ember yang lain. Memisahkan antara celana panjang dan kemeja.
“Sebenarnya, apa yang kau lakukan di situs-situs purbakala itu?” tanya Sumirah sambil mengucek.
“Biasalah,” jawab Aryo.
“Menggali juga?”
“Ada kalanya harus ikut menggali.”
“Kau menemukan benda-benda purbakala?”
“Kadang-kadang ya, kadang-kadang tidak.”
“Lalu?”
“Kalau ada yang ditemukan, kami akan membersihkan, memeriksa dan memberi catatan-catatan kecil sebelum membawanya ke museum.”
Sumirah memasukkan tangan ke saku jins yang tertinggal tadi.
“Kalau kau mau, kau bisa kaya karenanya,” katanya.
Aryo mengangkat wajah, menatap Sumirah tak mengerti.
“Maksud sampeyan, apa?”
“Dengan mengambil benda-benda itu saja, kau bisa kaya.”
Aryo menunduk. Dia tau kemana arah angin membawa pembicaraan itu. Hanya saja dia tidak pernah menyangka bahwa Sumirah memiliki keinginan seperti itu, sama saja dengan orang-orang serakah lainnya yang seakan-akan manusia manusia yang tidak berbudaya.
“Kita hidup butuh makan,” kata Sumirah lagi.
“Aku tau,” sahut Aryo lesu.
“Untuk makan kita butuh duit. Kau juga tau itu, kan?”
“Ya, aku tau.”
Sumirah berbalik, duduk menghadap ke arahnya. Sepasang bola matanya yang besar itu menatap nyalang, seakan-akan menahan amarah, atau kekecewaan yang berat, yang sebenarnya tak pernah Aryo bayangkan sebelumnya.
“Kalau kau menemukannya, ambil. Jual!”
“Masya Allah …Yu!”
Aryo berdiri.
“Jadi sampeyan menyuruh aku jadi maling?”
“Itu bukan maling.”
“Lalu apa?”
“Taruhlah itu hakmu. Berapa duit kau dibayar untuk melakukan pekerjaan berat itu, oleh pemerintah? Tidak akan pernah cukup untuk kau kawin nanti. Tak ada perempuan mau diajak melarat terus!”
Aryo menggigit bibir. Kelu. Marah, kecewa, berbaur menjadi satu.
“Untuk itukah sampeyan sekolahkan aku, Yu? Untuk sampeyan jadikan maling? Yu Mirah, Yu Mirah… Kalau saja aku mau kaya mendadak, tak perlu harus mencuri benda-benda purbakala itu, Yu. Mana meerugikan Negara, mana kalau ketauan bisa jadi buronan. Mudah, Yu. Mudah saja kalau aku ingin kaya. Aku tinggal nyepi di Segara Kidul, minta pada Ratu Kidul, beres Yu…! Tapi, apakah hanya untuk itu kita hidup? Tidak. Menurutku tidak cuma untuk itu. Masih banyak hal lain yang harus kita lakukan di dunia ini.”
“Jangan terlalu idealis jadi orang, Yok!”
“Aku tidak merasa begitu. Tapi tolonglah, jangan lagi bicara soal harta karun. Tidak baik.”
“Jadi aku harus omong soal apa? Soal kakangmu?”
“Kenapa memang dengan kang Empul?”
“Ada kabar kakangmu menikahi sinden dari Sragen itu.”
“Apa kata yu Mirah? Kang Empul kawin lagi?”
“Ya, dua atau tiga hari yang lalu.”
“Dan sampeyan diam saja?”
“Aku harus berbuat apa? Laki-laki yang sudah tidak menghendaki perempuannya, untuk apa dipertahankan lagi? Percuma Yok, percuma!”
“Biar aku saja yanga menemuinya.”
“Tidak. Tidak perlu. Akupun sudah tidak menghendakinya lagi. Aku inginkan kau!”
Aryo terkejut bukan kepalang mendengar ucapan itu.
“Apa?!”
“Menikahlah denganku.”
Aryo merasakan denyut nadi dileherny berhenti berdenyut. Tiba-tiba saja dia takut Sumirah sedang hamil. Bukan karena dirinya, namun siapa tahu justru perempuan itu tengah mengandung janin orang lain. Otomatis, matanya melirik kea rah perut Sumirah.
“Kenapa,” ujar Sumirah sinis. “Kau takut aku sedang hamil dan menimpakannya padamu, begitu?”
“Kayaknya sampeyan stres, Yu.”
“Sialan! Kau tuh, yang stres! Enak saja bicara. Tidak mudah meninggalkan aku, Yok. Camkan itu. Kukatakan kepadamu, tidak mudah membiarkan aku seperti ini. Seperti sampah. Dicampakkan begitu saja. Kalian kakak beradik harus bertanggungjawab atas diriku. Kalau bukan kakangmu, maka kau!”
“Aku? Haha. Sudah gendeng barangkali dunia ini.”
“Kau bilang apa?”
Suhu kian memanas. Suara Sumirah sudah sejak tadi naik satu oktaf lebih tinggi. Kalau saja ada orang atau tetangga yang mendengar, alangkah malunya!
“Sudahlah, lebih baik aku tidur saja.”
“Tunggu!”
“Sudahlah Yu. Sudah. Capek mendengar sampeyan marah-marah seperti ini.”
Aryo tak pedulikan lagi teriakan Sumirah. Dia kembali masuk ke kamar. Tubuh dan jiwanya bagai melayang. Sejak semalam belum makan apa-apa. Minum teh saja belum. Eh, malah harus bertengkar pula. Dia bahkan dikagetkan dengan berita perkawinan Empul dan sinden Sragen itu. Lebih kaget lagi tatkala Sumirah minta dirinya menggantikan kang Empul-nya untuk menjadi suaminya. Tanggungjawab, katanya. Tanggungjawab apa? Edan!
Tiba-tiba…Brak!!
Aryo terlonjak saking kagetnya melihat pintu ditendang dan begitu saja Sumirah sudah ada di tengah pintu. Ditangannya ada dua lembar kartu nama. Aryo mendadak ingat bahwa kartu nama kartu nama itu adalah milik Pamugaran dan Rayun Wulan yang diterimanya dari Ki Mui, dua hari yang lalu di Pantai Puger.
“Nih, tertinggal di saku celanamu!” suara Sumirah getas.
Aryo menerimanya dengan perasaan tidak nyaman. Dan benar saja, Sumirah segera menyemburnya tanpa permisi.
“Siapa mereka!”
“Siapa? Oh…ini, Pamugaran.”
“Satunya?”
“Satunya? Rayun Wulan.”
“Aku tidak bertanya soal nama mereka. Aku tanya, siapa mereka.”
“Aku tidak mengenal mereka.”
“Tidak kenal, tapi menyimpan kartu namanya?”
“Mereka memberikannya setelah aku menolong mereka lepas dari bencana karam di Puger.”
“Begitukah?”
“Ya.”
“Untuk apa mereka memberimu kartu nama?”
“Mana aku tau!”
“Aku tau. Maksud mereka agar kau bisa berhubungan terus dengan mereka, begitu, kan?”
“Aku tidak tau. Begitukah menurut sampeyan?”
“Jangan pura-pura bodoh di depanku. Awas kau kalau main-main denganku!”
“Kok yu Mirah mengancam?”
“Berikan padaku, biar kurobek kartu kartu nama itu.”
Sumirah merampas kartu kartu nama itu dan dengan gemas merobek-robeknya menjadi serpihan kecil, kemudian menebarkannya di lantai seraya tersenyum puas.
“Apa-apaan ini?” protes Aryo keras.
“Itu pantas kau terima, Aryo.”
Aryo mengatupkan geraham menahan marah dan berusaha menahan diri agar tidak terjadi perang mulut yang besar. Bagaimanapun dirinya tidak jauh berbeda dengan Empul, yang berhati keras dan temperamental. Kalau saja Aryo selalu menuruti hawa nafsu, dan tidak berusaha mengekang dengan banyak-banyak tafakur, pastilah perilakunya tak banyak berbeda.
Dipandangnya Sumirah sambil mengelus dada.
“Aku tidak suka perlakuan seperti ini, “ katanya datar. “Aku capek. Biarkan aku tidur sebentar saja. Soal kartu nama itu, bukan siapa-siapa. Aku tidak kenal mereka. Merekapun cuma iseng saja ketika memberikannya kepadaku. Sudahlah, tak perlu diperpanjang lagi.”
“Apa kau memberitau mereka alamat rumahmu?”
“Untuk apa? Aku tidak bicara dengan mereka. Ki Mui yang menemani mereka ngobrol. Dia juga yang mengantar mereka saat akan pulang ke Surabaya. Kartu nama itupun sesungguhnya milik Ki Mui yang kemudian dia titipkan kepadaku.”
“Aku tak percaya,” ujar Sumirah dengan nada suara lebih rendah.
“Terserah. Itu hak sampeyan. Yang penting aku sudah mencoba jujur dan bercerita apa adanya.”
Sumirah terdiam. Merasa sudah keterlaluan, namun jengah untuk minta maaf. Dia hanya berdiri mematung tanpa tau harus bicara apa. Melihat itu, tiba-tiba timbul rasa kasihan Aryo kepadanya.
“Sudahlah Yu, jangan dipikirin hal-hal sepele yang sebetulnya tidak perlu. Sejak kemarin perutku belum kemasukan nasi, sampeyan punya nasi kan?”
Sumirah tersipu sesaat, namun segera mengembangkan senyum lebar.
“Kubelikan nasi pecel. Mau?”
“Wah, mantap itu. Nih, kebetulan aku masih ada uang sedikit. Pakailah untuk berbelanja.”
Aryo merogoh saku kemeja, dan mengulurkan beberapa lembar uang kepada Sumirah. Dibimbingnya perempuan itu keluar pintu dan membiarkan Sumirah keluar. Secepat itu pula pintu segera ditutupnya kembali. Dia bersandar dengan dada gemuruh. Kenapa bisa lupa pada kartu nama itu? Bodoh! Dilihatnya seerpihan kartu di lantai. Dikumpulkannya dan dicobanya merekatnya kembali. Lalu dicatatnya nomor telepon Rayun Wulan dan nomor ponselnya. Kemudian ditaburkannya kembali ke lantai.
Kemudian dicobanya untuk berbaring. Namun alangkah sulit menenteramkan hati yang sudah terlanjur kacau seperti ini. Berita tentang perselingkuhan Kang Empul yang kemudian berkembang lebih hebat dengan sebuah perkawinan, membuatnya resah. Sungguh, dia jadi bingung. Apakah itu artinya dirinya harus cepat-cepat pergi dari rumah ini dan mencari tempat tinggal yang baru? Kalau tidak, apa yang akan terjadi selanjutnya? Bukankah hanya akan menimbulkan fitnah, atau bahkan skandal antara dirinya dan Sumirah? Tanda-tanda kea rah itu semakin lama semakin nyata.
Lalu,…si Rayun Wulan!
Wajah cantik itu kembali terbayang. Wajah yang tak sing bagi Aryo. Bentuk raut mukanya yang bulat telur, dengan tulang pipi di atas, bibir yang manis, hidung yang kecil mancung, dan keningnya bulat, khas wajah Jawa. Dan wajah itu adalah…wajah Rara Ireng yang selama ini selalu datang dan terus datang menemani tafakurnya. Aryo tau betul bedanya antara kulit tubuh seseorang yang masih berdarah biru dengan orang kebanyakan. Kulit yang lembut dan lumer. Meski belum pernah menyentuhnya, namun Aryo merasakan benar bahwa kulit Rayun begitu lembut dan lumer. Telapak kakinya mungil, mungkin ukuran sepatunya antara nomor 36 atau 37. Tak lebih. Dia juga tidak pendek, tetapi juga tidak terlalu tinggi. Tidak gemuk, tidak kurus, namun sintal. Pas. Proporsional. Khas perempuan Jawa idolanya.
Baru tau namanya saja, Sumirah sudah seperti nenek kebakaran susur. Bagaimana kalau melihat orangnya? Seakan-akan cemburu. Cemburukah Sumirah kepada Rayun Wulan yang belum pernah dilihatnya itu? Padahal selama ini perempuan itu tenang-tenang saja melihat Aryo bergaul dengan gadis manapun juga. Bahkan bila melihat Aryo duduk berhimpitan dengan Niken Pratiwi, Sumirah cuek saja. Dia juga tidak pernah perduli bila Aryo pergi dengan Niken hingga larut malam. Sebenarnya, ada apa dengan Sumirah?
(bersambung).

Jumat, 26 Februari 2010

TROWULAN (7)


PERJANJIAN KANJENG RATU.

Hampir lewat dua pertiga malam ketika Aryo Wangking menghentikan kendaraannya di pelataran Siti Hinggil. Mendung kelabu menggantung di langit seperti menggantung di hati. Seakan menangisi sesuatu yang tiada berguna. Sesekali langit dibelah petir dan guntur.
Aryo Wangking menapak anak tangga ke atas Candi Kedungwulan yang tersisa berupa bujur sangkar berukuran sepuluh kali sepuluh meter persegi. Setelah menaiki anak tangga, Aryo harus pula melewati dua pohon tua, Kesambi dan Trenggulun, di kaki candi. Setelah itu Aryo harus membungkukkan punggung saat harus melalui gapura makam.
Di atas candi Kedungwulan itulah terdapat makam yang oleh masyarakat setempat dipercaya sebagai makam Raden Wijaya, raja pertama Majapahit yang bergelar Prabhu Jayakatyengrati Ripujaya atau Kertarajasa Jayawardhana, Brawijaya Pertama. Di depan makam Sri baginda Kertarajasa Jayawardhana itulah, Aryo wangking duduk bersimpuh, menaburkan sekar arum alias bunga rampai, ke atas makam. Dia membaca doa sebentar, kemudian menepuk batu nisan Sang Prabhu tiga kali.
Cukup lama Aryo Wangking bertafakur disitu. Tidak dihiraukannya angin malam berhembus kencang, mengguncang ujung daun pohon Trenggulun dan pohon Kesambi yang menaburkan percikan air di setiap guncangannya ke persada petilasan. Petir yang menggelegar memecah langit, sama sekali tidak membuat Aryo wangking terkejut. Hatinya seakan digayuti rindu. Rindu? Aryo tersentak. Rindukah dia akan sesuatu?
Dalam memejam, Aryo seakan sampai pada jalan setapak. Sendiri dia meniti jalan setapak itu. Mendaki bukit bukit sunyi. Gerimis turun seperti enggan putus. Jauh di sana, dia melihat sebuah bangunan kuno. Bukan, bukan bangunan tua yang menakutkan. Tetapi sebuah puri kecil yang indah.
Aryo meneruskan langkah kaki yang terayun. Tanpa menghiraukan gerimis yang kian rapat, dengan mantap dia mendaki bukit lewat jalan setapak. Sampai di depan puri, Aryo mendorong pintu dan masuk kedalamnya. Segera dia melihat begitu banyak orang berkumpul, duduk di tengah ruang yang sangat luas, mengelilingi seorang wanita cantik berpakaian aneh.
Lampu yang temaram membuat wajah semua orang hanya bagai bayang-bayang yang tidak jelas. Mereka saling berbisik, berbicara dengan suara pelan. Seakan-akan tengah membicarakan sesuatu yang amat rahasia. Menurut perkiraan Aryo, mereka tengah mengadakan sebuah sarasehan. Wanita cantik yang berada di tengah kerumunan itu duduk dengan anggun di atas sebuah dampar kencana. Kedua matanya bersinar terang, rambutnya yang hitam legam terurai menutup hampir seluruh punggung. Dia mengenakan jamang keemasan di kepalanya yang bertahtakan batu permata dan berlian. Setiap kali kepalanya bergerak, jamang emas itu menebarkan sinar terang berkilau-kilauan dibawah sorot lampu yang temaram. Diam-diam, Aryo ikut duduk di antara orang-orang yang samasekali tidak dikenalnya itu. Dia sengaja menyelinap dan mulai memperhatikan wajah-wajah di sekitarnya. Ketika dia tengadah, dia melihat ada balkon di sana, dimana ada beberapa perempuan dan laki-laki muda duduk berkumpul. Aryo memperhatikan mereka dengan seksama dan tiba-tiba darahnya berdesir kencang. Hatinya bagai disentakkan oleh tali yang kuat saat dia mengenali salah seorang diantara mereka adalah Rayun Wulan.
Seakan tak mau percaya begitu saja, Aryo menajamkan mata, mendekatkan wajah lebih dekat kea rah balkon. Ya benar. Itu memang Rayun Wulan. Gadis itu duduk ditempat paling pinggir, menguraikan rambut dan mengenakan kimono warna biru mengkilat.
Aryo tertegun lama. Benarkah itu Rayun, dan kenapa pula dia ada di tempat semacam ini? Perlahan-lahan Aryo berdiri, dan berjalan mendekat kearah tangga yang meliuk menuju balkon. Tetapi tiba-tiba wanita berjamang emas berlian itu menegurnya. Suaranya lembut diucapkan dalam bahasa yang halus. Namun seakan mengandung kekuatan magis yang kuat.
“Kau mau apa ke sana, Ngger? Kau tidak boleh naik tanpa ijin!” katanya.
Aryo berhenti melangkah.
“Dia temanku. Aku ingin menemuinya,” sahut Aryo.
“Aku tau, tetapi tidak berarti kau boleh datang kepadanya tanpa ijin dariku. Sebab sekarang temanmu itu berada dalam kekuasaanku. Dia milikku.”
Sebelah alis mata Aryo naik ke atas.
“Apa? Mengapa bisa begitu? Dia bukan milik siapa siapa. Dia milik Allah.”
Suara orang-orang yang hadir bergaung bagai suara dengung lebah. Puripun seakan terkena gempa. Wanita cantik itu mengangkat tangan, dan suasana kembali reda.
“Kau keliru,” senyum wanita itu. “Seseorang telah memujaku dan aku berkenan memberinya suatu imbalan sesuai dengan keinginannya. Sebagai rasa terimakasihnya diapun memberikan seseorang kepadaku sebagai hadiah. Sekarang, kau sudah mengerti mengapa aku mengatakan bahwa dia sudah menjadi milikku, bukan?”
Akal waras Aryo Wangking bekerja cepat. Dia asegera tau dengan siapa dia berhadapan. Namun rasa marah dan geram membuatnya jadi tak peduli lagi dengan siapa dia sedang bertutur kata. Sambil mengatupkan rahang, Aryo mendesis.
“Katakan kepadaku, siapa manusia tidak tau diri itu.”
Wanita berjamang itu berdiri perlahan. Pakaiannya yang terbuat dari kain yang lembut berkibar bagai ditiup angin. Melamabai lambai bagai sayap sayap transparan. Berjumbai-jumbai, berwarna hijau, biru, putih, berlapis lapis dan berselang seling. Rambutnya yang panjang dan indah, meriap kemana-mana. Seakan berjalan di dalam air, wanita itu melayang kea rah Aryo Wangking. Dia kemudian menggamit tangan Aryo dan mengajaknya ke sebuah meja besar dengan buku besar di atasnya.
“Pandang diriku baik-baik, Wangking. Kau lupa siapa aku?”
Aryo menatapnya tajam. Dia tau siapa wanita di hadapannya itu. Dia sadar akan akibatnya bila dia membangkang. Selama ini, wanita itulah yang sering ditemuinya dalam samadinya, wanita itu pula yang memberikan wewenang baginya untuk mengobati calon-calon korbannya. Ya, dialah Kanjeng Ratu Kidul yang amat ditakuti oleh masyarakat pesisir. Dalam samadinya, Aryo selalu memanggilnya Ibu, karena dia bukan pemuja, namun dia adalah seseorang yang telah dianggap kerabat keraton Laut Kidul. Bagi Aryo, karena dia bukan pemuja Laut Selatan, dia berhak marah atau tidak setuju dengan sesuatu yang dilakukan Kanjeng Ratu Kidul. Namun untuk membangkang terang-terangan, rasanya tidak pantas bagi seorang Aryo Wangking. Diapun menjatuhkan diri, bersila di depan ratu yang ternyata berkaki ular. Dengan hormat,dia menyapa, beruluk salam sebagaimana mestinya.
“Assalamualaikum, maafkan saya, Ibu.”

“Wa alaikumsalam. Kenapa baru sekarang kau mengenaliku. Kau marah? Atau terlalu sombong untuk menyapaku lebih awal? Dalam setiap persemedianmu dan setiap permasalahan, kau selalu datang untuk minta pencerahan. Tapi mengapa tiba-tiba kau datang dalam keadaan penuh amarah seperti ini? Bahkan tanpa kulonuwun kau datang dan masuk ke wilayah terlarang. Kalau saja kau bukan titisan Nambi, pasti sudah kuhajar. Sekarang tanpa basa-basi kau malah ingin menemui calon istri adikku begitu saja. Bagaimana kau ini, Wangking!”
Aryo Wangking terpana seketika. Segera dia menyembah dan meminta maaf atas kelancangan dan kecerobohannya. Ya, semua itu karena kecerobohan. Mana mungkin dia masuk begitu saja secara grusa grusu padahal seharusnya sudah tau tentang aler-aler dan tata krama yang berhubungan dengan alam ghoib?
Kanjeng Ratu Kidul menghela nafas panjang. Sesungguhnya, Nambi adalah kesatria yang telah dianggap sebagai putra baginya. Tentu, kesalahan yang diperbuat oleh anak cucu Nambi juga menjadi cucu kesayangan baginya.
“Baiklah, sekarang kau sudah kumaafkan,” ujarnya. “Kalau kau ingin tau orang yang kukatakan tadi, tengoklah buku besar di meja besar itu, maka kau akan tau dengan siapa kau bakal berhadapan.”
Aryo Wangking menuju meja besar berlapis kain beludru warna hijau di tengah ruang besar itu. Dibukanya buku besar diatasnya. Lalu dibacanya huruf huruf Jawa itu dengan sangat hati-hati. Jemarinya gemetar saat menelusuri barisan nama demi nama yang tercantum di dalamnya. Biasanya nama-nama yang telah tercantum di buku besar itu, pada manusianya di dunia nyata akan ada stempel ghoib di pundak masing-masing, sebagai tanda bahwa nantinya mereka akan pulang bukan kepada Allah melainkan,…
Astaga! Nafas Aryo berhenti. Ternyata benar, nama Rayun Wulan ada di dalamnya.
Darah Aryo Wangking menggelegak. Apalagi saat dia juga menemukan nama lain yang dia kenal ada di samping nama Rayun Wulan. Orang yang menghadiahkan Rayun kepada adinda Kanjeng Ratu Kidul adalah…Dewa Pamugaran. Ya Allah yang Maha Agung dan Perkasa! Pandangan mata Aryo serasa gelap. Seakan disambar halilintar.
Aryo berbalik dengan cepat menatap tajam wajah ayu Kanjeng Ratu Kidul yang dengan arif tersenyum kepadanya.
“Ya, benar,” katanya. “Memang laki-laki itulah yang memujaku. Naga Tatmala memintanya padaku namun bukan untuk korban, melainkan untuk istri. Ketauilah Wangking, kutukan atas Naga Tatmala telah berakhir. Dia sudah bisa menikah dengan siapapun yang dia kehendaki. Kebetulan, seleranya jatuh pada Rayun Wulan. Dia akan mengawasi sukma gadis itu di alammu hingga batas waktu yang ditentukan. Setelah itu Naga Tatmala akan menjemputnya dan akan menikahinya secara baik-baik sesuai dengan aturan alamnya.”
Kepala Aryo seakan berputar. Berpusing bagai gasing. Mana mungkin itu terjadi, mana mungkin?
Dia kembali menjatuhkan diri, lemas di kaki Sang Ratu.
“Saya mohon, Ibu” katanya terbata-bata. “Batalkan saja perjanjian itu. Kasihanilah gadis itu. Bebaskan dia dari kekuasaan Naga Tatmala. Bukankah mereka itu berbeda alam? Gadis itu manusia biasa, sementara Naga Tatmala adalah siluman. Bagaimana mungkin mereka bisa bersatu?”
“Batas waktu, Wangking. Selalu ada batas waktu. Kalau alam mereka sudah sama, mengapa tidak bisa?”
“Saya mohon, bebaskan dia demi saya.”
“Baru sekali ini kulihat kau demikian gugup. Ada apa denganmu? Kau mencintai gadis itu, Wangking?”
“Maaf, saya sendiri belum terlalu yakin. Saya hanya merasa bahwa dia adalah jelmaan Rara Ireng, kekasih Mpu Nambi. Kisah cinta mereka tak pernah sampai. Terus terang, saya memang menginginkannya.”
Kanjeng Ratu Kidul tersenyum.
“Kau boleh saja minta kepadaku untuk membatalkannya, namun ada syarat tertentu yang harus kau jalani.”
“Saya akan memenuhinya.”
“Syaratnya cukup berat, Ngger. Apa kau sanggup?”
“Insya Allah, Ibu.”
“Baiklah. Syaratnya, sebelum kau bebaskan sukma gadis itu kau harus mampu merebutnya sendiri dari genggaman Naga Tatmala dengan cara mengalahkannya lebih dulu. Kedua, kau harus berjanji akan menjaganya dari kekuatan Dewa Pamugaran. Sebab apabila dia gagal mempersembahkan tumbalnya kepadaku, taruhannya adalah jiwanya sendiri. Sudah barang tentu dia tidak akan tinggal diam menyaksikan tumbalnya kau bebaskan dari perjanjian yang dilakukannya. Bagaimana? Kau sanggup?”
Tanpa pikir panjang, Aryo Wangking menjawab:
“Sanggup.”
“Ingat, Wangking. Seorang lelaki sejati harus bisa menjaga janjinya.”
“Saya ingat, dan saya akan memegang janji saya.”
“Bagus. Kalau begitu ijinkan ingsun mengundurkan diri. Assalamu’alaikum.”
“Terimakasih, Ibu. Wa’alaikumsalam.”
Kanjeng Ratu Kidul bergerak cepat. Kali ini dia pergi dalam wujud aslinya, seekor ular hijau yang mengenakan jamang emas di kepalanya. Aryo menunduk dalam-dalam, seakan mengucapkan selamat jalan kepadanya. Sebelum dia menyadari sesuatu, tiba-tiba sebuah hantaman membuatnya terjungkal. Aryo Wangking berdiri dengan geragapan. Segera dia melihat seekor naga amat besar bergelung di depannya.
Naga Tatmala!
Ya, naga besar bersisik putih keperakan itu kini Nampak bersiap-siap menyabetkan ekornya yang besar itu kembali. Sadar akan siapa yang menjadi lawannya, Aryo tak berani bertindak gegabah. Dia segera duduk bersila, mengempos seluruh tenaga dalam, mengumpulkan semua kekuatan ghoibnya, dan membaca mantera berulang-ulang. Bibirnya mengatup keras. Matanya memejam. Lalu setelah semua kekuatan ghoib menyatu dalam dirinya, dia mengangkat tangan kanan lurus ke atas.
Naga Tatmala melihat sinar biru melingkari sekujur tubuh Aryo Wangking. Naga itu meliuk liuk berusaha menembus sinar yang menyelimuti tubuh lawannya. Namun segera dia merasakan sebuah sengatan panas yang membutanya mundur kembali. Beerjurus-jurus serangan dilancarkannya melalui ekornya yang pipih maupun cakarnya yang tajam, namun tak mampu sedikitpun menggoyahkan Aryo Wangking dari samadinya. Aryo bahkan terus merapal. Lidahnya basah oleh beberapa kalimat ghoib. Di atas, langit mendadak kian menghitam. Titik berkumpul membagi mendung. Awan bergerak perlahan. Naga Siluman itu menjadi gelisah. Tubuhnya panas bagaikan dipanggang diatas perapian. Sementara itu, bibir Aryo terus bergerak. Kalimat-kalimat berisi mantera dan doa yang dahsyat terus dilantunkan.
Hujan turun deras bagai amarah. Berpacu. Guntur menggelegar. Petir menyambar nyambar membelah langit. Membahana seakan merobohkan pohon-pohon. Kekuatan Sang Ghoib mulai bicara mengalahkan segala angkara murka. Naga Tatmala berputar, berpiuh di tengah gemuruh hujan dan badai. Dedaunan yang menebar oleh hempasan angin menyatu dengan diri sang siluman. Tatmala menggeram. Melawan dengan amarah semua kekuatan yang terpancar dari diri musuhnya. Namun seakan selembar daun kering, Naga Tatmala tersingkir jauh, menghilang kembali ke dasar samudera.
Pada saat itulah Aryo Wangking melihat sebuah benda biru berkilau jatuh dari langit. Meluncur dengan amat cepat ke bawah. Secara reflex Aryo berdiri. Kakinya menjejak bumi. Sambil berteriak keras tubuhnya dengan ringan melompat tinggi menyambar benda biru yang jatuh bagai meteor ke arahnya. Dengan mendekapnya kuat, Aryo meluncur turun. Di bawah, dirinya baru sadar bahwa benda biru yang jatuh itu bukan meteor, melainkan sukma Rayun Wulan.
Aryo jatuh terduduk di tanah sambil tetap memeluknya. Jadi seperti itulah Sukmanya diserahkan oleh Naga Tatmala kepadanya. Atau bisa saja jatuh secara otomatis begitu kekuatan Naga Tatmala harus kalah oleh kekuatan Aryo Wangking. Entahlah. Yang jelas, hati Aryo terasa bagai disayat sembilu menyaksikan betapa sukma berwujud wadag aslinya itu kini seakan selembar kain biru yang tak berdaya.
Aryo menggigit lidah agar tidak berteriak menyumpahi laknat sang Naga. Hujan yang turun deras menyatu dengan tetesan airmatanya. Rayun, desisnya pelan dalam hati. Seburuk inikah nasibmu?
Teringat Aryo akan janjinya kepada penguasa Laut Kidul. Dia menundukkan wajah, memejam dan membenamkan tangisnya dalam-dalam di dada. Dia tidak ingin karma terus berjalan sama. Dia berjanji dalam hati akan mengubahnya jadi lebih baik dan lebih manis. Pertemuannya dengan Rayun Wulan adalah sebuah jelmaan damba atas takdirnya sebagai Nambi yang menemukan Rara Ireng. Dia bertekad mengubah diri menjadi lebih baik, melupakan semua yang buruk yang dijalaninya selama ini bersama Sumirah maupun Niken Pratiwi. Dia akan mempersembahkan hati dan kehidupan yang bersih bagi Rayun Wulan.
Suara kokok ayam jantan membangunkan Aryo dari tafakur panjang di Candi Kedungwulan Siti Hinggil. Adzan subuh sebentar lagi akan terdengar. Seseorang mendatangi dan ternyata itu adalah Sikan, juru kunci. Ketika dilihatnya Aryo menyulut rokok, dia duduk bersila di sebelahnya.
“Semalaman mas Aryo samadi disini?” tanya Sikan.
Aryo tersenyum dan menoleh kepadanya.
“Sampeyan memohon apa, Mas?” tanya Sikan lagi.
“Seperti yang pernah saya katakan kepada pak Sikan, saya ini sedang mencari keberadaan kekasih saya.”
“Apakah Niken Pratiwi yang mas Aryo maksud?”
Aryo tertawa kecil.
“Bukan dia,” katanya. “Saya dan dia cuma berteman baik. Kenapa? Pak Sikan mengira bahwa dia kekasih saya?”
“Orang-orang bilang begitu, nimas Niken juga bilang begitu kepada saya.”
“Itu gosip.”
“Kalau begitu, gosip lebih santer daripada air terjun. Sebab, sepertinya berita itu sudah bukan rahasia lagi disini. Apalagi Raki Keleng…”
“Raki Keleng memang suka mencemburui hubungan baik saya dengan Niken. Dia iri dan suka marah-marah bila mendapati saya dan Niken berada dalam satu ruang di kantor. Ah, sudahlah. Kekasih yang saya cari itu sekarang sudah saya temukan. Namanya Rayun Wulan. Seorang penulis dari Surabaya. Cuma sayangnya, saat ini dia sudah terlanjur menjadi kekasih orang.”
“Ah, mas Aryo ini. Saya kok makin nggak ngerti.”
“Saya bertemu Rayun Wulan ini di Pantai Puger, dua hari yang lalu. Kacamata spiritual saya mengatakan bahwa dia itu reinkarnasi dari Rara Ireng, kekasih Mpu Nambi.”
“Mpu Nambi, maksud mas Aryo, Mpu Nambi…”
“Ya, Senapatinya Brawijaya Pertama.”
“Oh. Kemudian…?”
“Mungkin takdir telah mempertemukan kami. Mempertemukan Nambi dan Rara Ireng melalui wadag wadag Aryo Wangking dan Rayun Wulan. Kalau sudah seperti ini, apakah saya harus melupakannya begitu saja? Tidak, tentu saja tidak. Saya tidak akan melepaskannya begitu saja. Barusan ini tadi saya bisa menmbus alam Segara Kidul dan bertemu dengan Ibu Kanjeng Ratu Kidul. Ternyata Rayun ada di alam sana, dan ketika saya memintanya, beliau mengijinkan.”
“Jadi begitu ya, ceritanya?”
“Ini bukan cerita. Ini sungguhan.”
“Oh ya. Tentu saja maksud saya, sungguhan. Tetapi saya nggak heran kalau semua keinginan mas Aryo selalu dituruti oleh Kanjeng Ratu Kidul. Kalau saja mas Aryo ingin cepat kaya, pasti beliau juga akan…”
“Eits!” potong Aryo cepat. “Jangan sekali-kali kita meminta hal-hal seperti itu. Taruhannya berat, pak Sikan. Saya pernah ditawari sebongkah emas oleh Ibu Ratu Kidul, tetapi saya tolak mentah-mentah. Sebab apa? Sebab beliau mengatakan kalau saya mau, saya diberi kesempatan selama tujuh belas tahun untuk menikmatinya.”
“Tujuh belas tahun?”
“Ya, sesuai dengan rakaat sholat kita dalam sehari.”
“Setelah itu?”
“Setelah tujuh belas tahun menikmati harta itu, saya mati.”
“Hah?”
“Jadi apa artinya hidup seperti itu? Tidak usahlah seperti itu, dengan benda-benda kuno penemuan saya di situs-situs purbakala itu saja, kalau saya mau menjualnya, saya bisa kaya. Tetapi saya tidak akaan pernah mau melakukannya. Kalaupun saya ini orang bejat, saya tidak akan pernah jadi maling seperti itu. Kanioyo itu namanya, Pak.”
Sikan mengangguk-anggukkan kepala.
“Si Rayun ini orangnya baik,” lanjut Aryo. “Cuma agak keras kepala. Bukan cuma agak, namun benar benar keras. Menurut trawangan saya, hari kelahirannya, Rebo manis.”
“Wah, orang kelahiran Rebo Mani situ termasuk gampang-gampang susah, Mas.”
“Saya tau.”
“Tapi sepertinya adiluhung.”
“Ya, menurut sayapun demikian. Ada kemungkinan dia masih berdarah biru.”
“Ya, Mas. Saya sarujuk dengan pandangan mas Aryo. Yah,…semoga berhasil, Mas. Siapa tau takdir kali ini benar-benar mendapat ridho Allah.”
“Hahaha,…ya semoga saja pak Sikan. Semoga saya bisa menjaganya agar tidak kecolongan ki Naga Tatmala saja.”
“Naga Tatmala? Bukankah dia itu siluman yang pernah mendapat kutukan untuk tidak laku kawin selama beribu-ribu tahun?”
“Benar. Karena dulu dia pernah kepergok sedang berkasih-kasihan dengan Dewi Mumpuni, istri Yamadipati. Seharusnya dia dihukum mati karena perbuatan itu, namun karena dia adalah putra Anantaboga, maka dia cuma dikutuk saja untuk tidak laku kawin selama ribuan tahun. Rupanya, kutukan itu sudah berakhir. Menurut Ibu Ratu Kidul, Naga Tatmala sudah bisa jatuh cinta pada siapa saja, entah manusia atau sesama siluman. Saya kuatir, dia malah jatuh cinta sama Rayun Wulan.”
“Apa bisa, Mas?”
“Bisa saja, kenapa tidak? Ada banyak manusia yang kawin dengan siluman. Ini nyata lho, bukan cuma karangan saja.”
“Ya, ya. Saya tau.”
Aryo mematikan sisa rokok ke lantai candi dan bersiap-ssiap untuk meninggalkan Siti Hinggil.
“Baiklah, saya pulang dulu pak Sikan.”
“Oh, silakan Mas, silakan.”
Aryo mengulurkan salam. Mereka berjabat tangan sejenak sebelum Aryo berjalan ke gapura lalu turun ke pelataran. Langit sudah mulai terang. Ada harapan dan impian bermunculan dan tumbuh di hati Aryo Wangking. Kendati ada rasa kantuk datang menyergap, seyuman tipis tetap nampak tersungging di ujung bibirnya.

(bersambung)

TROWULAN (6)


Citraland, Surabaya Barat.
Kisah cinta pada awalnya memang selalu indah. Semenjak perkawinannya dengan Ni Darni kandas di tengah jalan, Pamugaran selalu punya keinginan untuk kembali mengawalinya. Dia telah bertemu dengan seseorang. Dan dia merasakan ada tanda-tanda saling tertarik. Apabila mata sudah saling bertemu dan tubuh sudah saling bergetar, dia yakin, sesuatu bakal terjadi.
Sungguh, Pamugaran menyukai perasaan itu. Sama seperti sebelum-sebelumnya bila dia bertemu dengan wanita cantik yang akan dia jadikan insprirasi bagi lukisannya. Yang akan melambungkan namanya di dunia seni lukis. Obsesinya adalah menyamai Basuki Abdullah. Dengan cara apapun, Pamugaran akan menjalaninya dengan amat sadar, asalkan impiannya tercapai. Menjadi pelukis istana, bahkan istana raja-raja di manca Negara.
Saat pertama kalai melihat Rayun, sekujur syaraf di tubuhnya mulai bergetar. Sinyal-sinyal gaib yang selama ini menjadi pegangannya seakan menyerukan bahwa inilah dia yang bakal membuat namanya melesat setinggi pelukis idolanya. Maka Pamugaran merasakan jiwa dan pikirannya terayun. Ya, siapa yang bisa menyangkal bahwa Rayun Wulan adalah seorang gadis yang begitu manis dan lembut. Tubuhnya lampai bagaikan sebatang bambu China. Matanya cerlang bak bintang Timur, dan senyumnya manis bagaikan seruni. Pamugaran segera merasa cinta itu tumbuh. Dirinya ingin sekali bisa memiliki seruni itu, memetiknya untuk suntingan.
Hampir semalaman, sepulang dari pantai Puger itu, dia tidak bisa tidur. Pikirannya melayang bagaikan laying-layang putus. Terombang-ambing bagai kapal nelayan. Oleh sebab itu tak heran bila pagi-pagi begini tubuhnya terasa pegal pegal.
Pamugaran bangun dari ranjang.
Dikenakannya sebuah baju hangat lalu berjalan ke balkon. Matahari belum sepenuhnya terbit dari ufuk Timur. Pintu pintu rumah belum sepenuhnya terbuka di pagi hari yang mulai hidup. Sambil bersandar ke pagar balkon, Pamugaran merasakan dari mana arah angin bertiup. Beruntung, dia merasakan arah angin bertiup dari Barat. Lembut dan romantis. Hampir tidak terasa.
Pamugaran tersenyum.
Tangannya memetik sekuntum mawar merah dari pot bunga di pinggir balkon lalu duduk di kursi rotan menghadap ke Timur. Dipandangnya matahari sambil membayangkan wajah Rayun Wulan. Diletakkannya bunga mawar di atas meja di depannya, lalu memejam sambil terus menerus membayangkan wajah gadis itu. Kemudian dia mulai mengatur pernafasan dengan baik dan tenang, hingga merasakan sebuah ketenteraman dan kebebasan bagi jiwanya. Dalam hati Pamugaran memanggil empat elemen yang mempengaruhi manusia yakni udara, api, air, dan tanah. Kemudian menyebutkan keinginannya dan menyimpannya dalam hati.
Cukup lama upacara ritual itu dijalaninya hingga sinar matahari terasa semakin hangat. Bunga mawar itu kemudian dibawanya masuk ke ruang tengah apartemennya. Dinyalakannya dua batang lilin merah dan diletakkannya di kedua sisi bunga mawar. Lilin-lilin itu akan terus menyala sampai bunga mawar merah yang mekar itu menjadi layu. Apabila lilin itu sudah habis terakhir sementara bunga belum layu, dia akan menyalakan lilin yang baru sebagai gantinya. Dia juga akan menjaga jangan sampai nyala lilin itu mati selama bunga mawara masih segar. Apabila bunga mawar itu telah benar-benar layu, dia akan mengambil beberapa lembar daun bunganya untuk disimpan di dalam sebuah kotak khusus sebagai penjaga cintanya sampai dia membutuhkannya lagi. Kemudian dia akan mematikan lilin tidak dengan dihembus melainkan dengan ujung telunjuk dan ibu jari. Setelah itu dia boleh merasa tenang sebab tak akan ada sesuatupun atau seseorangpun mengganggu cintanya kepada Rayun maupun sebaliknya.
Entah, apa yang mendorong Rayun ingin menemui Pamugaran pagi itu di apartemennya. Semenjak peristiwa di Puger itu rasanya sulit bagi Rayun melupakan kejadian itu. Dia ingin sekali membicarakannya bersama Pamugaran. Memang sih, rasanya mustahil Pamugaran akan mempercayai adanya naga siluman di Pelawangan. Namun tak ada salahnya kalau dia juga mengetauinya. Setidaknya pria itu harus tahu bagaimana takutnya dia saat ditimpa gelombang dan terseret hingga ke dasar. Suasana sepi yang teramat hening dengan beberapa ekor ikan penghuni laut berseliweran di sekitarnya, lalu saat sesuatu memegangnya, menaikkan ke atas sebatang ‘pohon’ yang kemudian membawanya ke atas permukaan laut, adalah pengalaman yang semoga saja hanya menimpanya sekali seumur hidup. Kecurigaannya pada sosok Aryo Wangking, terasa sangat mengganggunya. Seperti apakah Aryo Wangking itu sebenarnya? Pria gagah itu seakan tau betul isi hati dan kepala setiap orang yang menerima tajamnya tatap matanya.
Kepada Dyah Sugihan sahabatnya, Rayun juga telah menceritakan pengalaman itu tanpa ada yang disembunyikan. Sahabatnya itu mendengarkan dengan mimik wajah yang sulit diterjemahkan. Kemudian, Dyah menasehatinya panjang lebar dan mengingatkan akan kebenaran ucapan Aryo untuk lebih baik menjauhi pantai Selatan.
“Kenapa aku harus jauh-jauh dari Pantai selatan?” tanya Rayun saat itu.
“Ada pertanda mengatakan begitu.” Sahut Dyah Sugihan serius.
“Pertanda apa?”
“Ya, pertanda. Itu saja.”
Rayun tak puas dengan jawaban itu. Dia terus mendesak.
Akhirnya sahabatnya itu menjawab,:
“Sepertinya itu sebuah pertanda bahwa sesungguhnya ada perjanjian khusus antara kau dan Naga Tatmala.”
“Apa maksudmu dengan …per-jan-jian!”
“Tanyakan saja pada Aryo Wangking. Dia yang paling tau soal itu.”
“Tetapi dia bilang, naga siluman itulah yang menyelamatkan aku.”
“Untuk sementara, ya. Selanjutnya, bagaimana? Mengapa Aryo Wangking menyarankan agar kau menjauhi Pantai Selatan? Tampaknya ada kaitannya antara kau dan penguasa Laut Selatan.”
“Seperti apa?”
“Akh kau! Naif sekali kayaknya kau ini, Yun! Perjanjian atau kaitan khusus. Masa tidak tau!”
“Apakah…semacam…tumbal?”
Dyah Sugihan mengangkat bahu.
“Wadal?” tanya Rayun lagi.
“Entahlah. Barangkali cuma Aryo yang bisa menjelaskannya.”
Dan pada kenyataannya memang Dyah Sugihan tetap tidak bisa membeerikan alas an apa yang membuat Naga Tatmala mendorongnya keluar dari pintu kematian. Barangkali orang lainpun tidak bisa menjelaskannya dengan tuntas. Namun benarkah ada kaitan khusus antara dirinya dengan makhluk besar bersisik itu?
Lalu, si Aryo Wangking itu? Mengapa dia kelihatannya begitu misterius? Pria itu seakan-akan lain daripada yang lain. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Rayun terpesona. Kapankah mereka pertama kali bertemu? Mengapa sosok lelaki itu begitu akrab dalam ingatannya seakan mereka sudah pernah dekat satu sama lain? Tapi, kapan itu?
Lelaki bertopi koboi warna gelap, dengan sepasang mata yang kadang memicing, seolah mengalirkan sejuta getaran arus listrik. Seakan mengandung sihir dan memendam tenaga nuklir. Dia begitu mengagumkan sekaligus menakutkan. Ya, kalau mau jujur, Rayun takut kehilangan tatap matanya. Wajahnya membayangi tidurnya, juga bibirnya yang nyaris membentuk garis itu terkatub kuat seakan-akan menutup segala rahasia dalam dirinya untuk tidak dengan mudah diketaui orang lain. Ataukah lelaki itu menutup segala beban yang menggantung dalam dirinya? Keperkasaannya jadi serupa pohon beringin yang besar dan rimbun, namun senyap. Rayun jadi ingin benar dapat mengungkapkannya. Tetapi bagaimana caranya? Ah, barangkali mereka sudah tak mungkin bertemu lagi, jadi untuk apa dipikirin?
Pagi itulah, Rayun bermaksud ke apartemen Pamugaran. Meskipun dia bukanlah tipe cewek pesolek, namun di pagi yang cerah itu Rayun mendadak ingin sedikit berdandan. Dirapikannya rambutnya sekali lagi, diikat kebelakang dengan sebuah pita kecil yang manis. Digantikannya rok dengan blus berbunga kecil dan celana jins ketat warna biru pucat. Digaetnya sepatu kanvas tanpa kaus dan dikenakannya cepat. Dalam cermin besar di kamarnya, Rayun bisa melihat dirinya tampak begitu manis, sama manis dengan masa kecilnya dulu. Beberapa helai rambut dibiarkannya berjuntai lepas di pelipis. Bibirnya yang merah jambu tak perlu lagi dipoles. Sejenak diaa tersenyum memandangi diri sendiri. Berputar-putar sejenak sambil berpikir, aku nih dandan buat siapa? Untuk Pamugaran, atau… heh! Laki-laki lainnya yang berkacamata hitam ikut tersenyum mengejek. Cepat Rayun menggeleng. Tidak, tidak untuk siapa-siapa.
Aku berdandan ya untuk diriku sendiri, biar terlihat terawat gitu deh! Pikirnya. Rayun tertawa kecil sambil berlari ke garasi. Bergegas dia berangkat menuju apartemen Pamugaran di Citraland.
Rayun Wulan mengetuk pintu tiga kali, lalu menunggu.
Dia btau Pamugaran ada di dalam. Kelihatan dari suara sayup televisi yang dihidupkan. Ditengoknya arloji. Baru jam delapan. Masih pagi. Tetapi taka pa. Pamugaran pasti belum sempat sarapan, sama dengan dirinya. Jadi ada peluang untuk mengajaknya makan di luar.
Rayun mengeluarkan hape dari saku celana, dan memijit nomor hape Pamugaran. Misscall. Benar, sebentar kemudian pintu apartemen Pamugaran terkuak lebar. Wajah pria tampan tersembul dari dalam, tertawa lebar dengan mata berbinar.
“Hai!” Rayun membalas tawanya dengan senyum riang.”
“Baru bangun ya?”
“Aaah tidak. Ayo, masuklah Yun. Aku sudah siap untuk makan luar bersamamu.”
“Kok pemikirannya bisa sama?”
Rayun melangkah masuk dan secepat itu pula kedua matanya menangkap sepasang lilin merah yang menyala mengapit sekuntum mawar merah yang mekar dengan cantiknya dalam sebuah jambangan Kristal.
Pamugaran menutup pintu.
Mengikuti langkah Rayun menuju ke meja lilin.
“Aku tau kau pasti datang pagi ini,” katanya.
“darimana kau tau?”
“Dari bau tubuhmu yang membaur dengan udara kamarku.”
“Mulai deh, rayuannya..”
“Apa gadis setegar dan semandiri kau bisa dirayu?”
Pamugaran mengulum senyum, membuat Rayun sedikit meremang. Ada yang aneh dalam kamar apartemen ini, pikir Rayun. Seakan-akan kedua kakiku gamang melangkah masuk tadi. Aneh, tetapi apa?
“Bunga mawar itu cantik sekali,” kata Rayun tiba-tiba.
Pamugaran tercekat.
“Apa yang sedang kau lakukan dengannya?” tanya Rayun lagi sambil menatap tajam Pamugaran. Agaknya dia tau ada sesuatu yang dikerjakan orang dengan memasang sepasang lilin merah di meja altar dengan sebatang mawar merah yang mekar. Rayun pernah membacanya, entah dimana dia lupa.
Pamugaran mendekat.
Memasukkan kedua tangan ke saku celana. Rayun melihat tak ada sedikitpun keraguan dalam setiap gaya dan langkah Pamugaran. Dia begitu tenang, setenang air gunung.
“Tidak ada,” jawab Pamugaran santai. “Hanya sebuah upacara pagi yang menjadi kebiasaan saja.”
“Sebuah upacara ritual?”
“Tidak. Bukan. Seperti yang kukatakan tadi…”
“Apakah itu begitu penting bagimu?”
“Mungkin penting. Mungkin juga tidak. Tergantung.”
“Tergantung…pada apa?”
“Yaaah, kalau mood aku jelek dan inspirasiku mampet, aku biasanya melakukannya.”
Rayun diam, tampak berpikir-pikir.
“Kau tidak suka?” tanya Pamugaran menghentikan pikiran Rayun yang mengembara kemana-mana.
“Apa harus kumatikan nyala lilin lilin itu?” tambah Pamugaran.
“Tidak. Jangan. Biarkan saja begitu, kelihatannya romantis.”
Rayun memutar tubuh. Menatap lurus kedua bola mata Pamugaran yang tengah berdiri amat dekat dengannya. Bibir Rayun terbuka seperti hendak mengatakan sesuatu, namun terhenti, sehingga terkesan seperti mengundang untuk dikecup. Dada Pamugaran berdebar. Dia menunduk, membalas tatap mata Rayun yang seakan menantang dan mengundang.
He! Apakah benar, itu sebuah undangan? Pikir Pamugaran.
Lelaki itupun kian merapat. Kini dirasakannya sebagian tubuhnya menyentuh tubuh Rayun. Perlahan namun sigap, direngkuhnya pinggang gadis itu dengan pelukan ringan yang tidak terlalu possesif. Dirasakannya sebentar. Gadis itu nampak bagai liliput dibanding dirinya yang perkasa dan setinggi menara. Rayun tidak memberontak, tidak juga memprotes. Begitu pasrah, begitu lembut.
“Matamu begitu mempesona dan penuh misteri, “ kata Pamugaran .
“Berapa banyak gadis pernah mendengar kata-kata itu?”
“Kau pikir begitu?”
“Apa lagi? Laki-laki seusia dan sesukses dirimu akan dengan mudah mengelabui gadis-gadis tak berpengalaman seperti aku, kan?”
“Begitu burukkah penilaianmu tentang diriku?”
Rayun Wulan mengulas senyum di bibir. Mata hitam Pamugaran yang setenang telaga membalas tatapan penuh gairah yang dirasakan Pamugaran lewat mata Rayun. Rayunpun melihat gelombang asmara saling berkejaran di dalam bola mata Pamugaran. Datang menghampiri, deras berpacu, dan siap membawanya hanyut. Tiba-tiba Rayun Wulan menyadari bahwa wajah di depannya mendadak kabur, makin kabur, makin dekat ke wajahnya.
Ah.
Rayun ingin meronta. Namun terlambat. Dekapan Menara Eiffel yang sekokoh jepitan kaki gajah itu tak lagi mampu diurai. Suaranya hilang. Tenaganya terbuang. Ah, sudahlah, pikir Rayun. Tak jadi apa. Siapa ambil peduli? Dia kemudian membiarkan bibirnya lumat dalam bibir Pamugaran. Namun rasanya semua itu bagai mimpi bagi Rayun, sebab di dalamnya tak dia lihat siapa yang tengah memagutnya, namun pria lain. Pria dengan mata Rajawali seakan membawanya melayang ke awan bersama sentuhan bibir yang mengulum. Terasa manis. Tiba-tiba Rayun begitu rindu kepada lelaki itu. Rasa rindu menggelayut, mirip daun daun kapuk yang vlepas dari tangkai, melayang jatuh tak pernah samapai.
Pamugaran merasakan Rayun membalas ciumannya. Mulutnya menggigit dalam mulut Pamugaran. Bagai minum tuak tua, Pamugaran ingin terus, terus, dan terus. Berkendi-kendi. Namun tiba-tiba seruni kecil dalam dekapannya itu meronta kuat, mendorongnya dan berusaha lepas. Pamugaran tak ingin memaksa. Dia membiarkannya lepas. Sesaat mereka saling berpandangan. Kini muncul sesuatu yang galak di mata Rayun. Mata itu mendadak seperti mata seekor kucing hutan yang terluka.
“Maaf, aku…”
Pamugaran ingin meminta maaf, tapi entah kenapa berada di bawah sorot mata seperti itu tiba-tiba dia merasa bagaikan orang dungu yang kehilangan kata-kata.
“Pam,…” Suara Rayun terdengar gemetar. “Aku khawatir kita ini masih terlalu dini untuk melakukan ini. Kita baru saja berteman. Persahabatan itu baru saja terjalin. Aku hyanya merasa kita masih harus belajar mengenali perasaan kita masing-masing. Rasanya apa yang kita lakukan barusan hanyalah sesuatu yang kurang pantas. Maaf Pam, aku…”
“”Itukah pendapatmu?” suara Pamugaran terdengar pahit.
“Barangkali begitu. Jangan tersinggung, Pam.”
Rayun tak lagi menatap bola mata yang mendadak kelabu di depannya.
Pamugaran menghela nafas.
“Asal kau tau, aku bersungguh-sungguh dengan apa yang barusan kita lakukan. Orang seumur aku, pantaskah kalau cuma bermain-main? Kukatakan semua ini kepadamu agar kau mengerti bahwa aku akan terus berusaha, akan kubuktikan kesungguhanku kepadamu. Jujur saja, aku sedanag ingin memiliki seseorang. Dan seseorang itu adalah kau.”
“Tetapi,…”
Pamugaran menutup mulut Rayun dengan telunjuk, dan menggeleng.
“Jangan bicara apa-apa lagi,” katanya.
“Aku hanya ingin menjelaskan tentang sesuatu…”
“Tak ada yang perlu dijelaskan,” sahut Pamugaran seraya tersenyum. Diambilnya selembar tissue dan mengelap bibirnya dengan santai.
Lanjutnya, :
“Keindahan yang baru saja kurasakan akan hilang bila terlalu banyak penjelasan dibelakangnya, kecuali kalau ada laki-laki lain yang kau inginkan. Bukan aku.”
Rayun Wulan mengeluh diam-diam.
Justru itu, desahnya dalam hati. Justru karena ada bayangan lain selain dirimu yang lebih kuat menguasai hatiku ini, Pam! Dia ada di belakangmu saat kau menciumku. Dia ada dalam mulutmu saat kau melumatku. Laki-laki itu adalah dia. Dia yang memiliki karisma jauh melebihi lelaki manapun yang pernah kukenal, dia yang mampu meruntuhkan gunung-gunung! Dia: Aryo Wangking!

(bersambung)

Jumat, 19 Februari 2010

TROWULAN (5)


REINKARNASI.

Tanpa kedip Rayun menatapnya. Serasa pernah dia mengenal lelaki itu. Bukan. Bukan di atas perahu motor beberapa jam yang lalu, namun entah kapan. Dulu sekali. Rayun Wulan tak bisa memprediksi kapan waktunya. Namun dia merasakan bahwa suatu ketika, dulu, dia pernah sangat akrab dengan pria gagah itu.
Laki-laki berkumis tebal itu naik ke tritisan. Melepas kacamata dan duduk bersila bersama yang lain. Untuk beberapa saat matanya yang tajam dan penuh percaya diri menatap orang-orang di sekelilingnya. Mui segera memperkenalkannya pada Pamugaran. Saat itulah Pamugaran tau bahwa inilah orang yang disebut-sebut Mui sebagai ahli tirakat sekaligus ahli purbakala itu. Pria keren itu juga dikatakan oleh Mui sebagai seseorang yang sudah seperti saudara sendiri bagi para nelayan di Puger. Itu artinya, dia memiliki pengaruh besar bagi masyarakat setempat.
Aryo Wangking menganggukkan kepala dengan sopan kepada Pamugaran maupun Rayun Wulan. Sekilas tatap matanya singgah dan berhenti beberapa saat di wajah rayon Wulan. Pandangan mata mereka bentrok sekejap. Hanya sekejap. Namun Rayun Wulan merasakan seakan tersengat arus listrik ribuan volt. Tubuh dan jiwanya bergetar. Dadanya gemuruh. Namun sesaat kemudian dia menyaksikan mata rajawali itu beralih ke pantai yang membuncahkan air laut.
Pamugaran menyalaminya dan mengucapkan rasa terimakasih atas pertolongan Aryo Wangking kepada Rayun Wulan. Aryo membalas ucqapan itu dengan seulas senyum tipis. Sambil menyulut rokok, dia menjawab enteng,:
“Itu bukan apa-apa. Kita ini memang diwajibkan untuk saling tolong menolong antara sesama manusia selagi bisa melakukannya. Kalau saja semua kebaikan saling diungkapkan, maka tawa kita jadi berderai. Sebab kebaikan yang kita anggap tinggi di dunia ini, mungkin terendah di alam lain. Betul, tidak?”
“Wah, ternyata mas Aryo ini bukan saja ahli tirakat atau ahli purbakala, tapi juga ahli filsafat,” jawab Pamugaran mengobral senyum.
“Masa? Rasanya kok biasa saja. Merokok, Mas Pam?”
“Terimakasih, saya tidaka merokok.”
Dewa Pamugaran melihat betapa nikmat pria itu menghisap rokok. Dengan sembunyi-sembunyi Rayun ikut memperhatikannya. Dengan asyik dia melihat bagaimana gerak bibir pria itu berbicara, tersenyum, atau saat menyedot rokok. Rayun tidak sadar bahwa terkadang Aryo Wangking dengan sengaja memergokinya dan membalas tatap matanya dengan tajam. Memagut dengan kuat. Dan seakan terhipnotis, Rayun Wulan seperti bingung, tak bisa melepaskan tatap matanya dari mata rajawali itu.
Kalau sudah demikian, Aryo Wangkin akan tersenyum dalam hati. Dia bukannya tak tau tentang yang dirasakan oleh Rayun Wulan saat itu. Aryo mengerti betul, mengapa gadis itu melihatnya dengan pandangan mata seperti itu. Itu karena gadis itu merasakan bahwa mereka ini pernah amat dekat, entah kapan. Aryo tahu, siapa di balik semua itu. Dalam diri Rayun Wulan, ada Rara Ireng. Aroma tubuh Rayun Wulan yang tercium oleh Aryo Wangking adalah aroma tubuh Rara Ireng, kekasihnya pada jaman yang tak terbayangkan oleh pikiran manusia biasa.
Aryo Wangking menyadari, semua itu karena sebuah kelahiran kembali dimana alam pikir manusia yang sudah meninggal lahir kembali ke badan wadag seseorang. Dalam hal ini ke badan wadag Rayun Wulan. Kelahiran kembali semacam itu disebut reinkarnasi atau rebirth, yang punya hubungan erat dengan karma. Bila seseorang yang berada di suatu tempat asing, tiba-tiba merasakan seperti pernah ada di tempat itu sebelumnya, ada kemungkinan dia memang pernah ada di tempat itu pada masa lalu. Artinya, dia pernah hidup dan akrab dengan tempat itu pada masa kehidupannya yang lampau. Kalau saja orang itu mau melakukan samadi atau meditasi dan mencoba menggali kenangan masa lalunya, mungkin saja dia akan bisa mengetaui dengan lebih jelas. Baik Aryo Wangking maupun Rayun Wulan telah merasakannya kini, bahwa mereka pernah bertemu di masa yang lalu. Hanya saja bagi Rayun Wulan, dia tidak bisa menjelaskan pada dirinya sendiri tentang perasaan aneh yang dirasakannya itu. Rasionya sudah terbiasa menatap kenyataan ketimbang kepada hal-hal yang sulit diterima oleh akal sehat. Dia terdidik dalam satu keluarga modern yang tidak percaya akan hal gaib yang sifatnya takhayul.
Aryo Wangking menghela nafas panjang. Dia menundukkan wajah ke lantai. Jemarinya menjentikkan abu rokok ke dalam asbak. Matanya memejam dan mulai berkonsentrasi ke satu titik yang menghubungkan dua dimensi alam yang berbeda. Maka dalam sekejap, suasana di sekitarnya menjadi sunyi. Satu kekuatan maha dahsyat menyeretnya masuk ke satu suasana yang jauh berbeda.
Dia merasa berada di tengah sebuah keramaian. Di tengah berpuluh-puluh prajurit dan pengawal kerajaan. Dilihatnya di situ ada Rakryan I Hino, Rakryan I Halu, Rakryan Maha Menteri I Sirikan, dan beberapa Darmadyaksa. Dirinya sendiri berpakaian kebesaran selaku Rakryan Mahapatih Hamengkubumi, berdiri tak jauh dari Raja Sri Jayakatyengrati Ripujaya.
Hari itu adalah hari Sabtu manis, tanggal 15 bulan genap Srwana, Wuku Medangkungan tahun 1223 Caka, di desa Adan Adan. Pada hari itu Raja berkenan membebaskan tanah dan sawah di desa Adan Adan dari kewajiban membayar pajak. Hadiah itu diberikan kepada resi atau pendeta karena dianggap telah berjasa terhadap Raja, serta bertingkah susila taat menjalankan agama.
Raja Jayakatyengrati Ripujaya (Prabhu Brawijaya Pertama) memerintahkan dibuatkan sebuah batu peringatan atau sasangkala yang terbuat dari logam dimana dituliskan nama Raja sebagai pimpinan kerajaan dan nama tiga istrinya, yakni Sri Bhuwanaswari, Sri Rajendradewi, dan Pradnya Paramita Jayandradewi. Prasasti itu kemudian ditancapkan di Kalitidu.
Sebagai penerima hadiah, Resi Wanagada kemudian mempersilakan Sang Prabhu beserta rombongan untuk singgah di padepokannya sekadar menikmati hidangan yang telah dipersiapkan dan disajikan oleh dua orang putrinya, Ni Wringin Ireng dan Ni Rara Ireng. Sekaligus Sang Resi ingin menawarkan dalam situasi terselubung, kepada Raja, kedua putrinya tersebut untuk dipersunting sebagai garwa paminggir (selir) Paling tidak, salah seorang dari mereka bisa memenuhi selera sang Raja. Tentu, Sang Prabhu sangat berkenan untuk singgah. Sang Prabhu juga ingin memperkenalkan salah satu bayangkari kinasihnya, Nambi, atau Rakryan Mahapatih Hamengkubumi, kepada kedua gadis itu.
Pada saat itulah Nambi sangat terkesan melihat Ni Rara Ireng. Gadis itupun tampaknya juga tertarik kepadanya. Ni Rara Ireng tau betul siapa Nambi yang kini menjabat sebagai Mahapatih kerajaan. Pria gagah itu sekarang adalah Senapati yang banyak dibicarakan orang sebagai salah satu Senapati Raja yang amat berjasa kepada Sang Prabhu saat beliau harus menyingkir dari Keraton Singasari karena dikalahkan oleh Kerajaan Gelang Gelang.
Pada saat itu, Nambi, Lembu Sora, dan Ranggalawe, kemudian diikuti Rasemi dan Rakuti, adalah teman-teman sinarawadhi bagi Sang Prabu yang kala itu masih bernama Raden Nararia Sanggrama Wijaya. Para Senapati itulah yang menemani beliau hingga naik tahta pada tahun 1215 Caka dan mendirikan sebuah kerajaan baru bernama Majapahit. Nama-nama seperti Nambi, Lembu Sora dan Ranggalawe pada saat itu begitu mashur. Hingga tak heran apabila pada detik itu juga, Ni Rara Ireng jadi kasmaran kepada Nambi, sang Rakryan Mahapatih Hamengkubumi.
Namun rupanya itu adalah awal dari sebuah malapetaka bagi kehidupan batin Rakryan Mahapatih Hamengkubumi. Karena ketika sang Resi memperkenalkan kedua putrinya agar sang Prabhu memilih salah satu diantaranya, sang Raja justru menerima keduanya untuk diambil sebagai garwa paminggir. Celakanya lagi, Ni Rara Ireng dengan berani menolak kendati hanya dihadapan ayahandanya, Resi Wanagada. Ni Rara Ireng rupanya tak rela bila harus dijadikan selir seorang Raja Gung Binathara seperti Prabhu Jayakatyengrati Ripujaya. Dia lebih suka menjadi istri satu-satunya bagi seorang Mahapatih seperti Nambi. Sayang, kalau saja Baginda tau pastilah beliau dengan senang hati akan memberikan putri Wanagada itu untuk Rakryan Mahapatih Hamengkubumi. Tetapi Baginda tidak mengetauinya, dan sudaha memutuskan akan mengambilnya sebagai garwa paminggir. Sang Prabhu kemudian berkenan meninggalkan desa Adan Adan dan beerjanaji suatu hari nanti akan menjemput kedua putrid Wanagada dengan mengutus seorang Senapati dan beberapa pengawal dalam satu upacara resmi yang megah.
Suratan Dewata berbicara lain.
Pada kenyataannya, satu kali dalam hidupnya, Nambi tak dapat menolak kodratnya. Dia selalu merasa gelisah bila tak punya kesempatan bertemu dengan kekasih hatinya, Ni Rara Ireng. Dia jadi pandai mencuri-curi waktu keluar dari istana untuk pergi ke Adan Adan.
Awal dari sebuah percintaan itu dirasakan sebagai sebuah petualangan yang amat menggairahkan. Gairah itu menggebu. Rasa rindu kian lama kian menyala, dan keinginan untuk saling jumpa yang terus memburu merupakan daya tarik yang amat memikat.
Waktupun terus berjalan. Tiba saatnya bagi Sang Prabhu mengadakan suatu upacara pernikahan yang walau tidak besar-besaran karena bukan perkawinan utama melainkan perkawinan dengan garwa paminggir, bagi seorang Raja tentu saja tetap megah. Sang Senapati kinasih, Nambi, diutus menjemput dua gadis dari Adan Adan itu. Dengan beberapa puluh pengawal teerpercaya, mereka berangkar ke Adan Adan. Tetapi sesampainya di sana, NiRrara Ireng ternyata menolak keras untuk dibawa ke istana. Tentu saja hal itu merupakan makar. Karena titah Raja adalah hukum dan undang-undang yang tak terbantahkan.
Nambipun merasakan dunianya kiamat. Tak luput Ni Rara Ireng juga merasakan dunianya tamat. Ketika mereka berterus terang kepada Sang Resi, Resi itu jadi amat terpukul.
“Jadi inilah yang kalian lakukan di belakangku?” tanya Resi Wanagada.
“Maaf,” lanjutnya arif. “Ingsun sudah tidak punya kekuatan apa-apa lagi bagi putriku Rara Ireng. Kalau sudah dikehendaki Dewata Agung untuk menjadi garwa paminggir Sang Agung Binathara, kita tidak bisa menghalanginya. Kita tak bisa berbuat apa-apa selain menyerahkannya kepada Dewata Agung dan berdoa untuk kebahagiaannya.”
Nambi, Sang Rakryan Mahapatih Hamengkubumi, merasakan dadanya pecah.
Inikah akhir dari semua mimpinya? Serasa bagai sekuntum duri yang hidup abadi dalam hati. Bagai pelangi dalam mimpi. Bagai ancaman dalam harapan. Bagai tuba dalam asmara. Nambi merasa seperti mereguk racun. Bingung di setiap mimpinya. Seakan akan menyusur dalam gelap. Maka bunga-bunga cinta itupun bagai kunang kunang kesiangan, pucat pasi di dalam senyap.
Keesokan hari, Sang Resi membangunkan putrinya karena dianggap terlalu lama mempersiapkan diri sementara para pengawal sudah menunggu. Saat masuk ke dalam bilik Rara Ireng, sang Resi bagaikan diguncang badai. Seluruh desapun geger. Semburat!
Ternyata Rara Ireng memilih jalannya sendiri. Dia merelakan jiwa dan raganya sebagai tumbal. Tubuhnya ditemukan terbaring di peraduan dengan sebilah patrem kecil menembus ulu hati. Rara Ireng tewas membawa cinta sejatinya. Sekujur tubuhnya berlumur darah, membawa serat cinta dan kesetiaannya kepada Rakryan Mahapatih Hamengkubumi.
Ketika diberitakan kejadian itu kepada Nambi, satria perkasa itu berdiri gemetar menahan perasaan marah dan kecewa. Kedua tangannya mengepal. Darahnya membeku. Hatinya remuk. Dadanya gemuruh dan menjerit minta keadilan pada Dewata Agung.
Begini mudahkah semua persoalan diselesaikan?
Dia mengacungkan kepalan ke langit, berteriak amat keras. Raungannya mengguntur dan merobohkan pohon-pohon. Mendatangkan angin topan. Meruntuhkan batu dan melibas perbukitan. Dunia bagai dikepung badai. Jalan lurus putus. Angin berputar bagai beliung. Saking kerasnya pusaran angin itu, hingga mampu mengangkat tubuh Nambi ke atas lalu menghempaskannya ke bumi. Langitpun marah. Tubuh Nambi seakan patah, bagai terbakar, hilang bentuk.
Aryo Wangking tersentak.
Dada dan sekujur tubuhnya serasa remuk, sakit semua. Sebuah tepukan di pundak membuatnya membuka mata. Pertama-tama yang dilihatnya adalah wajah Mui yang menyungging senyum. Ah, rupanya dirinya sudah keluar dari alam sana, kembali ke dimensi yang lain. Inilah dunia nyata, dimana sehelai tikar pandan terhampar dan suara debur ombak di kejauhan terdengar sayup.
“Mereka sudah pergi?” tanyanya begitu tak lagi melihat tamu-tamu dari Surabaya itu.
“Baru saja. Ini, mereka meninggalkan kartu nama untukmu.”
Aryo menerima dua lembar kartu nama dari tangan Mui, masing-masing milik Dewa Pamugaran dan Rayun Wulan. Semuanya lengkap dengan nomor ponselnya.
“Untuk apa ini semua?” tanya Aryo acuh tak acuh.
“Barangkali maksudnya agar kau mudah menghubungi mereka. Itupun kalau kau ingin. Sepertinya mereka sudah mulai tau kau bukan sekadar arkheolog biasa.”
“Apa mereka bertanya kepadamu?”
“Tidak. Tetapi gaya dan caramu bersamadi itu yang membuat mereka mulai menebak-nebak. Kau mau menghubungi mereka, atau tidak? Barangkali disitulah nantinya mereka berharap akan tau siapa kau yang sebenarnya.”
Aryo menimang-nimang kartu-kartu nama itu sejenak kemudian memasukkannya ke saku celana.
“Kau sudah melihat apa dalam diri mereka?” tanya Mui kemudian.
“Ah tidak, aku tidak melihat apa-apa. Kenapa?”
Mui tersenyum sambil memilin rokok.
“Tak apa kalau kau tak mau mengatakannya padaku.”
“Kayaknya mereka itu berpacaran ya?”
“Kalau iya, kenapa?” jeling Mui sambil menahan tawa.
“Si Pamugaran itu,…terlalu tua untuk dia.”
“Kalau benar, apa pedulimu? Mereka itu kan sekadar wayang yang tengah menjalani lakonnya. Sementara kita ini Cuma penonton bagi mereka.”
“Memang, apa peduli? Ah, aku pulang dulu Ki.”
Aryo berdiri. Diambilnya bungkus rokok dan geretan dari lantai lalu turun dari tritisan.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa alaikumsalam Warahmatullah. Hati-hati di jalan, Yok!”
(bersambung).

TROWULAN (4)


PANTAI PUGER.
Secara geografis, pantai Puger sebenarnya tak terlalu berbahaya karena berhadapan langsung dengan Samudra Indonesia. Ombak besar yang datang akan lebih dulu ditahan oleh pulau Nusa Barung yang teerletak di depan Pantai Puger. Kalau dilihat sepintas panorama pantai, tak terkesan keangkerannya selain semilir angin yang memberikan kesejukan.
Nelayan hilir mudik dengan perahunya melaut. Bukit-bukit di sekitar pantai menjulang menghijau. Tetapi begitu memasuki cekungan sempit saat hendak melewati sebuah gugus karang yang disebut Pelawang Maut, keangkeran mulai terasa. Apalagi bila ombak sedang besar.
Padahal pada musim ikan dimana sedang musim kemarau panjang, permukaan air laut sedang surut. Gugus karang muncul kepermukaan laut laksana gigi-gigi tajam yang siap merobek-robek setiap setiap perahu yang melewatinya. Berbeda dengan saat musim penghujan dimana air laut sedang pasang, gugus karang itu tenggelam dan tidak terlalu membahayakan.
Secara bercanda Rayun telah mengatakan bahwa mereka berdua bukanlah pengail yang berpengalaman memancing di laut. Mereka adalah pemancing-pemancing pemula yang tidak mengenal keganasan laut yang ada. Tanpa dibebani kekhawatiran maupun kecemasan, mereka datang ke Puger, dan meniatkan diri memancing ke laut. Pamugaran menyewa sebuah perahu milik seorang nelayan bernama Mui. Melihat bahwa keduanya adalah orang kota yanag datang untuk peertama kalinya ke tempat itu, tanpa tedeng aling-aling, Mui mengingatkan akan keganasan ombak pada musim ikan seperti itu.
“Memang,” kata Mui. “Pada musim ikan seperti ini kami bisa memanen hasil laut sebanyak-banyaknya. Hanya saja bagi kami para nelayan Puger, kegembiraan menyambut musim ikan terkadang berbaur dengan perasaan was-was. Jangan-jangan ombak juga besar. Terutama bila sampai ke gugusan karang itu, sepintas memang tidak mengesankan apa-apa karena hanya berupa tonjolan karang yang berhubungan dengan daratan. Namun, gugusan itu merupakan satu-satunya jalan menuju ke laut bebas. Hati-hati bila melewatinya. Karena kalau kurang hati-hati, ombak akan menghempaskan perahu kita dan bisa-bisa perahu kita akan karam.”
Mendengar keterangan Mui yang cukup panjang itu, Rayun tiba-tiba menjadi ragu. Namun Pamugaran tetap bersikukuh untuk meneruskan niatnya. Dalam hati, dia samasekali tidak percaya nasib sial akan menimpanya seperti yang dituturkan Mui.
“Baiklah,” kata Mui akhirnya.
“Saya akan menyuruh salah satu anak buah saya untuk mengantarkan kalian.”
“Terimakasih, Ki.”
Menjelang malam, Pamugaran dan Rayun mengikuti beberapa orang nelayan lain ke laut. Angin bertiup lembut. Langit bertabur bintang. Ombak juga tidak terlalu besar, sehingga ketika perahu-perahu itu melewati Pelawang Maut yang dikatakan mereka sebagai pintu gerbang menuju ke Keraton Gaib Sang Penguasa Laut, Nyi Roro Kidul, semuanya berjalan lancar. Dengan selamat, mereka melewatinya.
Setelah semalaman berada di tengah laut dan setelah emndapatkan banyak ikan, mereka bermaksud kembali ke darat. Sebentar lagi matahari akan terbit . Para nelayan memutar perahu menuju ke pantai. Perahu-perahu itu tampak sarat oleh banyaknya ikan yang berhasil mereka tangkap, melimpah ruah memadati perahu. Seakan Ratu pantai Selatan sengaja beermurah hati menghadiahi mereka dengan semuanya itu.
Pamugaran segera mengabadikan sebuah siluet indah di ufuk Timur dengan kamera digitalnya. Warna merah, kuning kunyit dan pucat di sana itu amatlah indah. Perahu berwarna warni dangan layar terkembang perlahan meluncur tenang menuju rumah kembali. Alangkah mempesona. Belum lagi suara celoteh dan nyanyian kegembiraan nelayan, timbul tenggelam disapu angin, membuat suasana kian mengesankan.
Namun semuanya itu tidaqk berlangsung lama.
Secara tiba-tiba dengan tak disangka-sangka angin yang tadinya lembut mengalun, mendadak jadi berhembus kencang. Ombak datang bergulung kian lama kian tinggi. Dengan gemetar, Rayun menatap langit yang berubah jadi kelam. Selapis demi selapis awan hitam berkumpul menyatu bersama mendung. Mendung yang tampak kekenyangan itu bergerak perlahan, lalu turun satu satu bagai amarah. Deras berpacu membentuk butiran-butiran besar yang kemudian jatuh ke permukaan laut. Gerimispun kian deras bersamaan dengan ombak yang kian menggila.
Perahu-perahu itu terombang-ambing. Pantai sudah kelihatan namun ketika melewati cekungan sempit gugusan karang Pelawang Maut, ombak semakin besar dan tak kenal kompromi. Sedetik kemudian baik Pamugaran, Rayun Wulan, dan nelayan pemandu mereka merasa bahwa perahu mereka tiba-tiba terangkat tinggi oleh sebuah ombak besar, lalu terbanting ke kanan.
Sekuat tenaga, Pamugaran mencoba bertahan. Sebelah tangan memeluk pinggang Rayun yang ikut tercebur ke laut, sebelah tangan yang lain masih bertahan memegang tepi perahu. Dengan caranya sendiri Pamugaran ingin menyelamatkan gadis itu, namun ketika sebuah ombak besar menggulung mereka, Rayun Wulan terlepas dari tangannya.
Pamugaran mencoba tidak cepat panic. Dengan menenangkan diri, dia mengyelam, mecari kemana Rayun dibawa hanyut. Dimana dia…? Terus menyelam, berputar-putar, namun sosok gadis itu taak dapat ditemukannya. Tungkainya tetap bergerak hingga nyaris kaku, kadang muncul ke permukaan dan ebrteriak, Rayuuuun…! Tapi bayangannya saja tidak kelihatan. Sampai beberapa nelayan mengangkatnya ke perahu lain dan membawanya ke pantai, Pamugaran tetap saja berontak ingin terus menyelam. Dadanya mulai dirajam perasaan khawatir dan panic. Mulutnya berteriak terus menerus memanggil nama Rayun Wulan. Namun dengan sabar para nelayan itu berusaha membuatnya tenang. Sementara itu, ada dua perahu yang tetap berada di tengah Pelawang Maut. Berputar-putar mencari keberadaan Rayun Wulan.
Rayun Wulan sendiri hampir tidak sadar lagi. Tubuhnya meluncur turun sampai ke dasar. Mengagapai-gapai bagaimanapun, jemarinya tak pernah sampai ke permukaan. Dia hanya mendengar gemuruh air bergulung-gulung di sekitarnya. Namun tiba-tiba tangannya menyentuh sesuatu yang lembut. Jemari..?
Jemari tangankah yang disentuhnya itu? Rayun tidak bisa membuka mata. Dia hanya bisa merasakan, bahwa benda itulah yang menyeretnya hingga dia berhasil memeluk suatu benda panjang seperti pohon kelapa. Rayun memeluknya erat, Dia hanya membayangkan bahwa itu adalah sebatang pohon yang hanyut bersamanya. Rayun merasa beruntung saat dirasakannya benda itu perlahan meluncur ke atas permukaan laut.
Namun ketika sampai ke permukaan dan dia berhasil menarik nafas panjang sambil memuka mata,…
Rayun terperanjat bukan kepalang. Ternyata itu bukan pohon biasa. Benda seperti pohon kelapa itu
ternyata bersisik besar-besar dan berkilau oleh pantulan air. Sisik atau bukan? Rayun hanya melihat seakan ada hamparan keping uang logam yang ditata dengan bagus. Berkilat putih keperak-perakan selayaknya uang logam limaratusan yang baru.
Tiba-tiba Rayun dicekam perasaan takut luar biasa. Perlahan dia memahami bahwa benda itu bukan sebatang pohon kelapa, namun seekor ular yang besar sekali. Pelukannya pada batang panjang itu terlepas. Dia berteriak. Namun benda itu segera menenggelamkan diri, menghilang lagi ke dasar laut.
Segumpal air laut masuk kemulutnya. Kembali Rayun Wulan merasa panik dan terbatuk-batuk. Namun air laut lebih banyak lagi tertelan. Aduh mak! Rasanya sudah mau semaput saja menahan rasa sakit pada tenggorokan dan sumpek di lubang hidung. Rayun semakin lemas. Hampir saja dia menyerah dan bertanya-tanya, apakah seperti ini kematian itu datang? Saat itulah dia merasakan sepasang tangan yang kokoh mengangkatnya ke atas sebuah perahu.Dengan tersengal-sengaal Rayun Wulan menghirup udara sepenuh dada, lega dan syukur masih diberi kesempatan untuk tetap hidup.
Seseorang menyelimutinya dengan selembar selimut tebal kemudian memeluknya arat. Perahu itu ternyata perahu motor, bukan perahu nelayan biasa. Rayun mencoba mengerling. Penolongnya ternyata seoranag le3lakia gagah berkumis tebal. Kedua lengannya yang kuat telah menyelamatkannya dari kematian. Menghangatinya dengan selimut tebal dan pelukan yang cenderung posesif. Seseorang yang lain mengulurkan secangkir teh hangat kepadanya dan bertanya,
“Kau tidak apa-apa?”
Rayun hanya mampu menggeleng. Dihirupnya minuman itu cepat, namun dia bahkan terbatuk keras.
Lelaki gagah di sampingnya mengambil cangkir itu.
“Pelan-pelan saja,” ujarnya. Kemudian disentuhkannya bibir cangkir itu ke bibir Rayun.
Bibir Rayun gemetar menahan dingin dan takut. Tanpa kedip lelaki berkumis itu menatapnya.
“Masih terasa dingin?” tanyanya.
Rayun membalas tatap matanya. Laki-laki itu bertopi koboi, berkumis tebal, dan memiliki sepasang mata rajawali. Kini dia bahkan mengulas senyum tipis di bibirnya yang berbentuk garis.
“A…a..aku melihat … seekor ular…” desis Rayun sambil terus menggigil.
Laki-laki itu mengerutkan kening.
“Ular?”
Rayun mengangguk cepat.
“Did…dia…menggendongku ke atas…”
Laki-laki itu meletakkan cangkir ke lantai perahu. Lalu kembali menatap mata Rayun.
“Itu bukan ular. Itu seekor naga,” katanya hati-hati.
“Apa?” Rayun membalas tatapannya dengan kaget. Bibirnya mengatup menahan gemetar yang tiba-tiba saja membuatnya menggigil. Pria berkumis tebal itu tersenyum seakan-akan ingin menenangkannya.
“Beruntung kau bertemu dengannya,” katanya. “Naga itu bukan sembarang naga. Jaman sekarang, mana ada naga beneran?”
“Lalu.., dia itu, apa?”
“Dia adalah seekor naga siluman penjaga ceruk Pelawang Maut. Orang disini menamai dia Naga Tatmala. Sisiknya putih keperak-perakan. Dia memiliki sepasang tanduk pendek di kepalanya. Rahangnya berjenggot panjang dan besarnya…tidak bisa kau bayangkan. Kalau melihat ciri-ciri fisiknya, kita tau bahwa usia siluman itu sudah ribuan tahun. Sebagai siluman, dia bisa berubah wujud menjadi apa saja. Dia bisa menampakkan diri sebagai seekor naga raksasa, atau bahkan sebagai ular kecil sebesar kelingking. Dia bisa berubah menjadi seorang resi berjenggot panjang, namun bisa menjadi seorang kesatria gagah yang tampan dan perkasa. Dia adalah siluman yang baik. Masih kerabat dekat dengan penguasa Laut Selatan, Nyi Kanjeng Ratu Kidul. Tadi dia sudah berkenan mengentaskanmu dari dasar laut, membawamu ke permukaan. Maka ketauilah bahwa dia akan terus datang secara berkala kepadamu dan akan terus membayangimu kemana saja kau pergi. Terlebih bila kau dekat dengan Laut Selatan.”
Merinding tengkuk Rayun mendengarnya. Dia sudah berusaha keras untuk tidak tampak ketakutan. Kendati dikatakan bahwa Naga Tatmala adalah naga siluman yang baik dan tidak kejam, tetap saja dia naga siluman. Kalau suatu ketika harus berdiri berhadap-hadapan, siapa yang tidak takut? Lantas, apa maksud naga itu akan selalu membuntutinya? Dan apa maksud ucapan lelaki berkumis itu?
“Siapa namamu?” tanya lelaki itu.
“Rayun. Rayun Wulan.”
“Kau datang bersama dengan pria dari Surabaya itu. Siapa namanya?”
“Dewa Pamugaran. Apa dia selamat?”
“Alhamdulillah, dia baik-baik saja.”
“Syukurlah. Terimakasih telah menyelamatkan kami.”
Pria yang tak juga mau menyebutkan nama sendiri itu mengangguk dan membiarkan Rayun duduk agak menjauh darinya. Kini dia membuka sebungkus rokok sambil tersenyum pada Rayun.
“Boleh merokok?”
“Oh, silakan.”
Dengan kalem lelaki itu mencabut sebatang rokok dan menyulutnya dengan geretan Zippo berwarna kuning mas. Ketika menyedotnya, kelihatan sekali kenikmatannya.
“Suatu saat, “katanya kemudian. “Kau akan mengenal Naga Tatmala lebih dalam. Oh, hampir lupa. Kenalkan, aku Aryo Wangking.”
Rayun menerima jabat tangannya. Dia merasakan jabat tangan Aryo Wangking sangat kuat dan menekan, namun tidak menyakitkannya. Ada sesuatu yang hangat mengalir dari telapak tangannya dan merasuk ke jantung Rayun.
“Bagaimana caranya mengenali naga itu lebih dalam?”
“Aku tidak bisa menjelaskannya. Kau akan tau dengan sendirinya.”
Rayun sulit mengerti akan kata-katanya. Dia justru tertarik untuk lebih memperhatikan laki-laki itu ketimbang segala macam perkataannya yang rasanya terlalu muskil untuk dipercaya. Beruntung sekali arus lebih tenang dan berhasil membawa mereka ke pantai. Dari jauh sudah terlihat beberapa orang berdiri di bibir pantai menunggu perahu motor itu merapat. Pamugaran juga ada bersama mereka. Ternyata, sepertihalnya Rayun, para nelayan telah berhasil menyelamatkan Pamugaran. Bersamaan dengan redanya hujan, matahari pagi muncul menghangati persada. Mereka turun, dan beramai-ramai menuju ke rumah Mui yang kemudian mempersilakan Rayun dan Pamugaran mengganti pakaian yang basah. Setelah itu Rayun dan Pamugaran ikut bergabung dengan Mui dan beberapa orang lainnya duduk di teritisan rumah menikmati kopi jahe dan beberapa penganan tradisionil.
“Masih untung Bapak bisa berenang dan berpegang erat pada lambung perahu, kalau tidak…” ujar Mui sambil menatap Pamugaran.
“Ya, saya tau akibatnya kalau saya tidak mampu menguasai diri. Lebih bersyukur lagi karena teman saya ini, Rayun Wulan, juga terlepas dari maut. Padahal ketika dia menghilang ditelan ombak tadi itu, saya sempat putus asa Ki.”
“Itu karena Aryo Wangking. Kebetulan dia baru saja balik dari Pelawangan. Sebetulnya dia itu bukan nelayan, tetapi seorang arkeolog sekaligus ahli tirakat yang sering datang kesini. Entah dimana dia sekarang. Tadi saya lihat jipnya masih ada. Barangkali sedang melihat-lihat perahu yang karam itu. Biasanya ada yang bocor pada lambungnya. Perahu itu harus diperbaiki. Kalau tidak rasanya tak mungkin dipakai lagi.”
“Kalau sudah begitu keadaannya, terus bagaimana Ki?”
“Ya harus dijual.”
“Apakah harus?”
“Masyarakat disini punya kepercayaan bila mengalami musibah di laut, perahunya tidak boleh dipergunakan lagi. Lebih baik dijual saja.” Kata Mui. “Saya sendiri tidak pernah merasa jera dengan kecelakaan yang pernah saya alami beberapa kali. Laut sudah merupakan kehidupan saya. Sebenarnya kecelakaan di laut itu semua nelayan gentar menghadapinya. Tapi karena sudah terbiasa, akhirnya kami memiliki jurus-jurus untuk menangkalnya. Sehingga tak sampai mengalami sesuatu yang tragis. Selama ini yang menjadi korban adalah nelayan-nelayan dari luar Puger. Yang kurang mengenal keganasan gugus karang itu. Seperti Bapak berdua inilah, contohnya.”
Pamugaran tersipu.
“Saya heran, kalau mau berwisata mengapa memilih tempat ini sebagai tempat wisata,” lanjut Mui.
“Itu kesalahan saya,” jawab Pamugaran. “Sebenarnya kami hanya ingin bersenang-senang sedikit sambil memancing, dan saya ingin memotret panorama pagi di laut. Tidak disangka malah mengalami musibah yang nyaris merenggut nyawa.”
“Sudahlah. Semuanya sudah lewat. Kita semua merasakan syukur itu. Bapak berdua telah selamat dari gugus karang yang telah banyak menelan korban itu. Dalam tiga bulan ini saja, sudah duapuluh yang menjadi korban. Tragisnya lagi, ada beberapa mayat yang tidak pernah diketemukan hingga kini. Jadi benar, Bapak datang dari Surabaya?”
“Betul, Ki.”
Mui manggut-manggut sambil terus menghisap rokok klobot kesukaannya. Mereka kemudian tenggelam dalam obrolan yang lebih mengasyikkan, hingga tiba-tiba datang seseoranag dengan langkah mantap tanpa kesan terburu-buru menuju k tritisan rumah Mui.
“Itu dia Mas Aryo,” kata Mui.
Rayun dan Pamugaran menengok ke arah yang ditunjuk. Mereka melihat seorang pria datang dengan wajah angker. Hampir separuh wajahnya tertutup topi koboi berwarna gelap dan sebuah kacamata hitam. Kumisnya tebal, mengenakan jaket kulit dan celana jins. Entah kenapa, begitu melihatnya dada Rayun serentak berdebar kencang.

(bersambung)