Senin, 15 Februari 2010
TROWULAN (3)
Pusat Kebudayaan Perancis.
Gedung kuno nan besar dan luas di Darmo Kali itu sedikit lengang kendati dikabarkan ada Pameran Bersama, lima orang pelukis ternama, di aula. Selesai kursus bahasa Perancis, Rayun Wulan menuju aula. Beberapa lukisan di pajang disana. Sebuah katalog yang dicetak berwarna dan amat bagus disodorkan kepadanya. Beberapa nama pelukis di katalog itu, Rayun sudah pernah dengar. Tetapi yang satu ini…
Hmm, pikir Rayun. Lumayan juga orangnya. Tidak bertampang seperti kebanyakan pelukis, yang satu ini berpenampilan sangat apik. Disebutkan dalam profil pelukis itu, namanya adalah Dewa Pamugaran. Memiliki darah campuran antara Bali-Cina-Italia. Dirinya amat dikenal sebagai seorang yang selalu menerima adanya kemanisan dan kelembutan sebagai kodratnya. Dia tidak pernah menkhianatai isi hati kesenilukisannya yang menghendaki kemanisan dan kelembutan.
Photo wajah yang terpampang dalam halaman katalog tentang pelukis itu menggambarkan bahwa dia adalah pria yang sudah sangat matang. Tersirat di dalam gurat-gurat wajahnya bahwa hidupnya memang hanya untuk melukis. Perawakannya tinggi dan atletis. Berkulit kuning langsat, bermata sipit, berhidung mancung. Bibirnya berbentuk gendewa dan selalu tak pernah berhenti tersenyum. Jelas bagi Rayun Wulan, Dewa Pamugaran adalah sosok yang diciptakan Yuhan dengan begitu sempurna.
Lama Rayun berdiri di depan sebuah lukisan karya Pamugaran yang dipajang dalam ukuran manusia. Gadis itu mengamatinya dengan perasaan kagum. Lukisan itu menggambarkan potret seorang gadis Bali yang tengah sibuk menyanggul rambutnya dan menyuntingkan sekuntum bunga kamboja. Memang, dalam lukisan itu Rayun Wulan melihat adanya sebuah gubahan gambar ihwal alam besar yang sangat puitis, yang acap ditemukan dalam lukisan Tiongkok. Bersamaan dengan itu, dia dihadapkan pada bentuk yang mengacu pada realitas. Sementara di sisi lain ada kecermatan sungging ala seni dekoratif tradisional Bali yang tersirat di dalamnya. Tiga unsure daya pikat itu secara stimulant hadir dalam beberapa karya lukis Dewa Pamugaran yang dipamerkan pada saat itu.
Maka ketika pelukis itu mendatangi dan mengulurkan tangan untuk berjabatan dengannya, Rayun menyambutnya dengan antusias. Mereka saling memperkenalkan diri, berbasa-basi sebentar, kemudian mulai menjalin percakapan yang akrab melalui dunia seni yang kebetulan sangat dipahami oleh Rayun Wulan.
Rupanya Dewa Pamugaran adalah orang yang mudah berkomunikasi. Dia enak diajak bicara, bukan cuma dalam hal seni lukis, namun dia juga handal dalam membangun percakapan tentang berbagai hal dengan suasana yang nyaman. Bahkan mereka dengan santai sudah memanggil nama masing-masing tanpa embel-embel lain. Rayun memanggilnya Pam, dan Pamugaran memanggilnya Yun. Itu kesepakatan mereka. Dan mereka menikmatinya tanpa risih.
Pamugaran menunjuk lukisan gadis Bali itu dengan telunjuk.
“Kau suka lukisan itu?” tanya Pam.
“Sangat suka. Lukisan itu menurutku bagus sekali. Bukan Cuma ini yang aku suka, tapi dari lima lukisanmu yang ada di pameran ini, aku suka. Tetapi,…lukisan ini, berjudul…” Rayun membuka katalog. Mencari-cari judul lukisan yang terpampang di depannya itu.
“Ni Darni,” cetus Pamugaran cepat.
“Ya, lukisan Ni Darni ini kelihatan lebih indah dari yang lain. Apakah dia gadis model kesayanganmu, Pam?”
Pamugaran tersenyum.
“Memang beberapa kali aku melukisnya. Dari lima yang ada di sini, empat diantaranya adalah tentang Ni Darni. Kalau kau bertanya padaku apakah dia gadis model favoritku,…mungkin saja kau benar. Apa kau sudah melihat lukisan tentang Ni Darni yang lain?”
Merekia berbicara sambil berjalan berkeliling. Memang tidak hanya lukisan Pamugaran yang dipamerkan, namun ada empat pelukis lain dari Surabaya dan Bali yang ikut berpameran di gedung itu. Rata-rata dari mereka sudah punya nama.
Kini mereka berdua berdiri di sebuah lukisan yang lain tentang Ni Darni. Posenya lebih menggairahkan daripada yang lain. Kali ini gadis dalam lukisan itu (masih tetap) menata sanggul. Namun dengan payudara yang terbuka. Kedua lengannya terangkat ke atas, menyunting kembang goyang, sementara kedua matanya yang memanjang kesamping mengerling dengan jelingan memikat.
“Astaga, ini indah sekali, Pam…”
“Bibirnya, kau lihat? Sangat mengundang, bukan?”
“Mantap…!”
Rayun tersenyum penuh arti. Dia menoleh ke arah Pamugaran di sampingnya. Beberapa detik lamanya dia mengamati senyum yang terbias di bibir Pamugaran. Dari hasil pengamatannya, dia tahu lelaki paruh baya ini pernah kasmaran pada gadis dalam lukisan itu. Adakah hubungan mereka sangat istimewa?
“Sebentar,” kata Rayun. “Sepertinya kau mencintai dia. Benarkah?”
Mata sipit yang menawan itu seakan terkejut. Sadar tak mampu lagi menyembunyikan isi hati, lelaki paruh baya itu tertawa lepas.
“Aku? Mencintainya? Hoho. Kenapa kau beertanya seperti itu?”
“Kenapa pula kau seakan terkejut dan malu mengakuinya? Bagiku, tidak aneh bila seorang pelukis mencintai modelnya.”
“Bisa jadi begitu, bagi pelukis lain. Tapi, bagiku tidak.”
“Oh ya? Kau yakin? Padahal banyak juga penulis novel jatuh cinta pada tokoh dalam tulisannya. Nggak usah malu mengakuinya. Apalagi yang satu ini: Ni Darni. Aku jadi berpikir, bagaimana cara kau melukisnya? Apakah begitu saja seperti apa adanya atau dibumbui dengan daya imajinasi?”
Pamugaran menatap mata Rayun lekat-lekat. Tidak pernah disangka, gadis belia ini tahu betul soal lukisan dan pelukisnya. Mendadak saja Pamugaran merasa mulai menyukainya. Lelaki bertubuh lampai itu memasukkan kedua tangan ke saku celana, menghela nafas sebentar, kemudian katanya,:
“Hampir semua karyaku sering dianggap cuma menggelar eksotisitas saja bahkan sering dikecam sebagai penganut visi yang tidaka realistik, dan semata-mata bertujuan komersial. Menurut para kritisi, karya-karyaku hanya menawarkan sesuatu yang bagus-bagus saja atau yang enak-enak. Yang dirasa hanya cocok untuk selera turis yang akan membawa lukisan-lukisan itu sebagai souvenir ke negaranya. Aku bahkan disindir sebagai pelaku seni yang terjebak dalam komersialisme karena banyak menghasilkan lukisan dunia penari yang harum dan eksotik. Memang sih, selama duapuluh tahun tinggal di Bali, Bali tak pernah lepas dari pandanganku. Bali yang teduh, tenang dan manis. Apa boleh buat kalau kemudian aku melukis hal-hal yang turistik untuk obyek lukisanku. Rasanya bukanlah hal yang aneh. Sebab: adakah di Bali yang bukan obyek turisme?”
Rayun Wulan merasa jawaban Pamugaran yang panjang lebar itu tidak nyambung dengan pertanyaannya tentang perasaannya sebagai pelukis dengan model lukisannya. Tapi, tak apalah. Barangkali itu merupakan sebuah rahasia paling dalam yang tak ingin diceritakan pada orang lain.
Mereka kemudian kembali berjalan menyusuri sudut-sudut gedung CCCL (Centre Culturel et de Corperation Linguistique) nan luas , melihat-lihat berbagai lukisan yang terpajang di dinding.
“Kau tidak keliru kalau itu adalah manifestasi dari kejujuran kesenilukisanmu,” kata Rayun Wulan sambil menjajari langkah Dewa Pamugaran. “Aku melihat hanya lima lukisan milikmu yang dipamerkan. Biasanya berapa lukisan yang kau ikutkan dalam pameran bersama seperti ini?”
Pamugaran mengangkat bahu.
“Tidak banyak. Tetapi dalam setiap pameran hampir selalu tidak bersisa. Aku pamerkan lima, mereka minta tujuh. Aku pamerkan tujuh, mereka minta sepuluh.”
“Oh ya? Biasanya kelarisan karya akan menyebabkan seorang pelukis tidak memiliki karya bermutu di rumahnya. Bagaimana, apakah relitas seperti itu juga hinggap dalam dunia senimu?”
“Tentu saja tidak. Kelarisan selalu kuimbangi dengan hasrat menabung karya untuk koleksi pribadi. Aku menyimpan tak kurang dari limapuluh karyaku sendiri, di rumah.”
Rayun tersenyum sambil manggut-manggut. Mereka terus mengobrol, hingga tak terasa waktu sudah menjelang siang.
Pamugaran menengok arloji di tangannya.
“Sudah jam satu. Bagaimana kalau kita break dulu? Ayo, kutraktir kau makan.”
“Ah, tidak usah. Terimakasih.”
“Jangan menolak. Perkenalan ini harus dirayakan sedikit. Sebab jarang aku mendapat simpati besar seperti ini dari pengunjung pameran. Kau suka es krim? Aku tau tempat yang nyaman.”
“Kau masih suka es krim, Pam?”
“Kau pikir, apa? Walau sudah berumur, aku sehat, tidak mengidap diabetes atau kolesterol. Kita akan teruskaan mengobrol sambil menikmati makanan kecil. Bagaimana, setuju?”
Rayun Wulan tertawa kecil melihat antusiasme Pamugaran, rasanya tidak tega untuk menolak.
“Baiklah, kita mau kemana?”
“Nanti kau akan tau tempat favoritku.”
Pamugaran tertawa senang. Tanpa rasa canggung diraihnya tangan Rayun dan menyeretnya keluar. Rayun benar-benar tak bisa menolak ajakan itu. Dia ikut saja tanpa protes. Rasanya memang sudah seperti teman lama saja , gaya akrab dan familiar yang ditunjukkan Pamugaran membuat Rayun merasa nyaman saja saat duduk disampingnya dalam sebuah mobil mewah berwarna merah marun milik Pamugaran.
Di café favorit Dewa Pamugaran, mereka duduk berhadapan. Dipisahkan oleh sebuah meja kecil berbentuk bulat yang dihiasi jambangan mungil dengan setangkai mawar merah yang manis di tengahnya.
“Jadi kau tinggal di Ubud sudah duapuluh tahun? Sebelumnya kau tinggal dimana?” tanya Rayun sambil memasukkan es krim sesuap demi sesuap ke mulutnya.
“Sebelum itu aku menyelesaikan sekolah di Surabaya. Mula-mula aku mencoba melukis dengan alat-alat yang sederhana. Aku mencoba dengan obyek-obyek yang sederhana pula. Aku berusaha melukis dengan obyek yang sederhana namun bisa menghasilkan lukisan yang luar biasa.”
“Dan kau berhasil?”
“Mula mula memang, aku merasa gamang. Hampir saja aku tak percaya pada kemampuanku. Sampai lulus SMA, aku masih terus belajar melukis dengan cat minyak dan belajar anatomi manusia. Aku tidak meneruskan ke perguruan tinggi. Aku bekerja. Apa saja, asalkan bekerja. Di tengah kesibukan itu aku terus belajar melukis. Setelah punya modal untuk bekerja sebagai pelukis, aku berangkat ke Bali. Di sana aku berkembang dan bertekad menjadi seorang professional dalam seni lukis. Kemudian aku bereksperimen dengan cat air di atas kanvas. Setelah bertahun-tahun, akhirnya aku melahirkan karya karya lukisan yang khas. Dengan berteknik seperti itu aku terus berjalan di jalur seni rupa.”
“Kemudian berkeluarga?”
“Pernikahanku kandas di tengah jalan, bayiku meninggal begitu dilahirkan.”
“Oh, maaf.”
“Tidak apa. Kau sendiri bagaimana?”
“Aku sih biasa saja. Tumbuh sebagai anak tunggal, lulus setahun lagi. Cuma itu. Nggak ada yang istimewa.”
“Pacar?” selidik Pamugaran. Rayun tertawa lebar.
“Belum lahir, ‘kali…hehehe.”
“Selain kuliah, apakah kau tidak melakukan apa-apa, berorganisasi atau apa?”
“Aku tak suka berorganisasi. Aku buta soal politik. Hanya saja, selain sibuk di perkuliahan, aku mencoba jadi penulis.”
“Untuk Koran?”
“Novel. Aku menulis novel. Kalaupun untuk Koran itu adalah cerita pendek. Selebihnya, ya…tidur.”
Mereka berdua tertawa.
“Oke, selain itu, apa lagi?”
“Mmm, apa ya? Oh ya, aku suka memancing bersama teman-temanku.”
“Bagus! Aku juga memancing. Bagaimana kalau suatu hari nanti kita mancing sama-sama?”
“Boleh. Tapi dimana?”
“Pokoknya di tempat yang asyik.”
“Iya, iya. Dimana?”
“Kalau sedang musim kemarau panjang seperti ini biasanya sedang musim ikan di Pantai Puger. Gimana, kau setuju kita kesana?”
“Kapan?”
“Minggu depan.”
“Itu baru asyik.”
“Kau suka?”
“Entahlah. Aku belum pernah mancing di laut. Kau?”
“Sama.”
Rayun tergelak.
“Ampuuun,” katanya di tengah tawa. “Kupikir kau sudah jago!”
Tawa mereka pecah bersama.
“Kau tau, ada kisah unik bagi para pengail baru,” kata Rayun dalam sisa tawanya.
“Ceritakan padaku.”
“Katanya, ikan-ikan tidak mau menggigit umpan yang dipasang oleh pengail-pengail baru yang belum berpengalaman.”
“Kenapa, memang?”
“Karena mereka belum saling berkenalan.”
“Hahaha…” Tawa Pamugaran meledak lagi.
“Baiklah,” kata Pamugaran. “Kalau tak ada seekor ikanpun mau menggigit umpanmu, biarlah aku menyelam sampai ke dasar."
“Untuk apa?”
“Untuk menggigit umpan di mata kailmu itu.”
Kali ini tawa Rayun yang meledak. Sambil terkekeh-kekeh Rayun membalas kata-kata Pamugaran,:
“Kalau begitu, kita harus datang siang-siang.”
“Kenapa?”
:”Ya kita harus datang pada saat mereka sedang lapar.”
“Siapa tau justru makan siang mereka lebih lezat dibanding umpan kita?”
“Apa kau pikir mereka sudah makan di warteg?”
“Siapa tau di dasar laut sana memang ada wartegnya?’ Atau bahkan mereka menghilang begitu saja.”
“Menghilang?”
“Ya, ikan-ikan itu pada ngumpet.”
“Kenapa?”
“Karena mereka malu.”
“Malu?”
“Malu. Karena mereka sedang tidak memakai celana untuk menutupi aurat mereka, padahal mereka semua berjenis kelamin jantan. Tentu saja mereka malu melihat kau melotot terus kea rah mereka!”
Mereka kembali tertawa tergelak-gelak.
(bersambung)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar