Jumat, 30 Juli 2010

TROWULAN (26)


PENCETUSAN SEBUAH DOSA.

Tapi sebuah tangan kokoh mendadak menahannya. Memegangnya kuat hingga membuat Raki Keleng menoleh dengan sangat marah. Sepasang matanya bersitatap amat getas dengan sepasang mata milik Aryo Wangking.
“Apa yang sedang kamu lakukan, Raki?” ujar Aryo Wangking dingin.
“Sialan kau Aryo! Kenapa sih, selalu mencampuri urusanku?”
“Sebenarnya aku tak ingin, kalau urusanmu benar. Tapi kalau tindakanmu tidak benar, masa iya aku harus mendiamkanmu saja? Sekarang katakan, kenapa kau ingin menamparnya? Apa kau pikir, dengan memukuli seorang perempuan kau bakal menang dengan gagah, begitu? Tentu saja dia tidak bisa menandingi kekuatanmu. Sebaiknya kalau kau mau berkelahi, cari lawan yang seimbang dong!”
Raki Keleng mengatupkan geraham dengan geram.
“Dengar, Brewok! Apa kau tau dia sedang hamil, ha? Dia itu sedang mengandung janin di perutnya, tau! Sebentar lagi perut itu akan menggembung. Lantas aku ingin bertanya padamu, siapa ayahnya? Kau tau siapa ayahnya, Brewok?”
Aryo Wangking merasakan darahnya tersirap. Di sampingnya, Rayun Wulan berdiri dengan kening berkerut. Pembicaraan sekasar itu tak pernah ditemuinya seumur hidupnya. Komunitas yang dimiliki Aryo seakan-akan begitu asing baginya.
Aryo sudah tau kemana arah pertanyaan Raki Keleng. Maka dia tak ingin menanggapi. Diseretnya Rayun menuju pintu keluar. Namun dengan wajah beringas, Raki menghadang jalannya.
“Jawab dulu pertanyaanku,” ujarnya tandas. “Kau tau siapa ayahnya?”
“Siapa? Kau tentu lebih tau, Raki!”
“Ya!” Raki mengangguk angguk dengan bibir tersenyum miring. “Aku!”
Aryo menghela napas dalam. Diulurkannya tangan dan diterima Raki keleng dengan sinis.
“Selamat,” ujar Aryo pendek.
“Sama-sama,” jawab Raki sama pendek.
“Bohong!” tiba-tiba Niken berdiri dan berteriak.
“Aku tidak merasa kau ayahnya,” lanjutnya dengan wajah pias dan mata sembab. “Aku tidak mau! Tidak!”
“Niken, apa ….maksud…kamu…?” Aryo mendadak merasa dadanya berdebar. Dia merasakan ada sesuatu yang bakal dikatakan Niken, yang akan membuat hubungannya dengan Rayun memburuk, firasatnya mengatakan….
Namun sebelum Aryo mencegah, tiba-tiba Niken sudah berkata lantang sambil menudingkan jari ke muka Raki Keleng.
“Orang macam kamu mana bisa bertanggungjawab atas semua ini? Mana bisa menghidupinya? Orang kamu tidak punya masa depan, tidak punya penghasilan, pekerjaanmu berjudi melulu, kesana kesini tanpa tujuan seperti daun kering. Jadi untuk apa kamu berlagak pahlawan mengakuinya kalau sesungguhnya bukan kamu pelakunya? Kau tak punya hak…”
Lalu…bla…bla…bla…segala kata-kata pedas dilontarkan Niken kepada Raki Keleng. Semuanya itu membuat lelaki itu jadi naik pitam. Harga diri di injak-injak sampai lumat. Maka tanpa dapat dicegah, tangan kanannya terayun kuat. Dan….
Plaaaak!!
Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Niken. Semua itu begitu tiba-tiba, dan sangat mengejutkan bagi Aryo Wangking dan Rayun Wulan. Dengan hati tercekat mereka menyaksikan betapa wajah Niken jadi berbarut bekas telapak tangan Raki Keleng.
Niken terhuyung sejenak. Namun sebentar kemudian dia erdiri tegak dengan mata merah membelalak kea rah Raki Keleng.
“Kurang ajar!” teriaknya.
Matanya tersaput cairan bening, bergumpal-gumpal, lalu turun deras ke pipi. Menggelinding jatuh ke lantai. Bibirnya gemetar merasakan sakitnya, bukan hanya di pipi namun juga tembus ke dalam hati. Jauh di dasar hati yang paling dalam, Niken merasakan dirinya mati. Kosong. Hampa, saat sekilas menyaksikan Rayun memeluk lengan Aryo dengan ketakutan. Kecemburuan membuncah, membakar sekujur tubuhnya. Menyengat panas, menusuk getas.
Kini dia jadi terguguk. Menangis tersedu-sedu hingga sesak napas.
“Aku benci kamu, Raki. Sampai matipun aku tak sudi membiarkan diriku jadi istri kamu. Aku benci kamu!”
Raki Keleng berkacak pinggang, menatap lurus wajah Niken bagaikan Burisrawa. Marah, uring-uringan, kesal, dan kecewa menjadi satu dalam jilatan sorot mata Raki keleng.
“Baik,” katanya. “Kalau bukan aku, lantas siapa? Dia? Ya, pasti yang kau maksud adalah dia, kan? Sama saja! Aku atau dia! Sama! Hahaha…Aryo, kita patungan saja menghidupinya, hahahaha….”
Niken jadi makin gelap mata. Dia menjerit-jerit, memaki-maki, berteriak dengan histeris. Dia membalas ejekan Raki Keleng dengan cara mencakarinya, memukulinya dengan membabi buta. Gila, pikir Aryo kebingungan. Ada apa ini? Terus bagaimana melerainya, sementara disisinya ada Rayun Wulan yang gemetar menahan ketakutan?
Beberapa karyawan masuk.
Mereka memandang dengan keheranan semua peristiwa itu. Bahkan ada yang tiba-tiba nyeletuk,
“Barangkali benar,” katanya. “Dengan ditemukannya kembali patung emas dari Jerman itu mendadak saja museum ini jadi sering mengalami hal-hal yang aneh. Mungkin setan-setan sudah pada bergentayangan disini, ya?”
“Hush!” sahut temannya berbisik. “Tahayul. Semua ini tak luput dari pelakunya, Cak. Peristiwa semacam ini manusiawi sekali. Orang namanya cemburu tak iye!”
Raki keleng menahan cakaran Niken dengan tangannya yang kuat, mendorongnya hingga jatuh ke sofa. Sungguh, Aryo tak tega melihat keadaannya. Dicobanya menyabarkan Raki keleng. Namun lelaki berkulit hitam itu malah menjadi salah paham. Dia mendorong Aryo dengan beringas. Menatap benci ke arahnya.
“Semua ini karena kamu!” katanya.
“Kenapa aku?”
“Kamu yang mempermainkannya. Ngaku sajalah!”
Kini Aryo jadi ikut-ikutan marah.
“Kamu yang selalu bikin onar di sini. Jaga sikap kamu, Raki. Jaga omongan kamu. Sebab disitulah letak harimau kamu!”
“Oya?” ejek Raki keleng. “Lantas, harimau kamu ada dimana? Selalu sok baik, sok suci. Apa kamu lupa, berapa kali aku memergoki kalian berciuman sepenuh gairah di ruang pustaka hah? Berapa kali aku melihat kalian ngobrol berjam-jam di rumah kamu dengan pintu dan jendela yang tertutup rapat hingga subuh? Berapa kali kalian berjam-jam mengurung diri di ruang naskah dengan pintu tertutup? Maka sungguh, aku tak perlu heran kalau dia hamil. Aku sudah mencoba menolongnya dengan memberikan status yang jelas. Sayangnya, dia tetap saja keras kepala memilih kamu. Jadi jelas toh, siapa yang membuntinginya?”
“Itu fitnah!” desis Aryo dengan bibir memucat.
Jadi inilah arti dari firasatnya, pikir Aryo. Inilah saatnya!
“Oho….Jelas kamu nggak mau ngaku, Brewok. Sebab disini sedang ada putri salju yang menjadi saksi pengakuan Niken. Semuanya terkupas disini hingga tandas. Pastilah kamu mau mungkir!”
Tangan Aryo merenggut kerah kemeja Raki dan menengadahkannya ke wajahnya.
“Katakan kalau itu adalah kebohongan terbesarmu!”
Dengan sedikit menyungging senyuman di bibir liciknya, Raki mengangkat kedua tangannya ke atas tanda menyerah.
“Itu semua terserah kamu, Brewok. Ter-se-rah…kamu. Disinilah hati nuranimu diuji. Apa benar, pengkultusan itu pantas untuk dirimu, ataukah kamu akan sama bejatnya denganku yang selalu dipandang sebelah mata oleh orang-orang di Trowulan ini. Menurutku, kau sama saja denganku. Doyan yang itu, huahaha…”
“Kamu memang bedebah. Bangsat!”
Aryo Wangking mengangkat tangannya tinggi, siap membanting lawannya ke lantai. Namun Raki Keleng sudah lebih dulu mendaratkan sebuah tinju telak ke ulu hatinya, membuat Aryo jadi serasa ingin muntah.
Niken menjerit saat melihat mereka jadi baku hantam. Cuma sekejap, dia lantas jatuh pingsan. Beberapa karyawan yang ada di ruangan itu jadi heboh melihat Niken roboh ke lantai. Beramai-ramai mereka menolongnya dengan membaringkannya ke atas sofa.
“Yok! Dia pingsan, Yok!” mereka meneriaki Aryo. “Hentikan perkelahian kalian!”
Aryo melompat kaget, mendekati mereka. Menepuk-nepuk pipi Niken dan memanggil-manggil namanya. Sementara itu, dengan lagak tengil Raki malah tertawa-tawa kecil.
“Itulah namanya orang hamil muda, gampang pingsan,” katanya sampil ngeloyor pergi. “Yuk ah! Aku pergi. Urus saja pasienmu itu, Brewok! Heheheh…..”
Aryo memeluk kepala Niken ke dadanya. Seakan dirinya lupa bahwa masih ada Rayun Wulan disitu, menyaksikan semua kejadian itu tanpa putus. Rayun juga melihat dengan jelas, betapa penuh perhatian Aryo kepada Niken. Kedua matanya tiba-tiba saja merebak, basah, dan mulai berkunang-kunang.
Rayun pernah percaya pada sumpah dan cinta yang diucapkan Aryo Wangking pada setiap pertemuan mereka. Seolah semuanya sudah menjadi sumsum dan darah yang sehari-hari dia kunyah dan mamah. Namun tatkala dia menyaksikan semuanya itu, mendengar semua percakapan dan umpatan yang baru saja diucapkan oleh masing-masing mereka, Rayun mendadak jadi bimbang. Beginikah kehidupan mereka yang sebenarnya? Kehidupan yang sangat kasar, keintiman yang cenderung bebas tanpa batas. Semuanya menjadi rancu bagi Rayun, mana teman, mana kekasih? Mana yang baik, mana yang jahat? Mana yang berbuat dosa, dan mana yang berbohong?
Bagaikan direnggut, dada Rayun Wulan mendadak kosong melompong. Hampa. Sepi. Tak ada apa-apa lagi di sana. Dirinya ingin lari dari semuanya itu. Bebas. Terlepas. Merdeka. Seakan tak ada lagi cinta yang mengakar, tak lagi ada kekaguman yang bersemi. Lingkaran kehidupan seputar Aryo Wangking, Niken Pratiwi, Raki Keleng, dan siapa siapa lagi,…begitu membingungkan bagi Rayun yang terbiasa hidup dalam lingkungan yang teratur, bersikap sopan terhadap siapapun, berkata-kata baik dan terkendali. Ah, dadanya mungkin terlalu kecil, kepalnya mungkin terlalu kecil. Terpaan badai semacam ini begitu saja meruntuhkan bukit yang tengah dibangunnya. Menanggalkan ranting ranting mati dan menghunjamkannya ke akar jantung.
Rayun merasa tak lagi dibutuhkan berdiri di tempat itu. Semuanya bukan suasana kehidupannya. Mereka begitu asing. Mereka juga tak mengenalnya. Mereka tidak tau siapa gadis lampai berwajah pucat , dan mengapa pula dia berada di tempat itu.
Rayun Wulan mundur perlahan. Tanpa suara dia melangkah cepat meninggalkan tempat yang menurutnya sangat aneh dan menyiksa. Dalam sekejap, anak-anak tangga sudah berada di belakangnya. Berlari kecil dia menuju Innova warna perak di areal parkir, lalu melompat kedalamnya. Seakan tengah bermimpi buruk, tangannya memutar kunci kontak, menghidupan mesin, dan meluncur kencang meninggalkan museum yang penuh pepohonan di halamannya, menuju jalan raya.
Aryo tersadar begitu mendengar derum mesin mobil milik Rayun. Dia ingin mengejarnya, tetapi saat itu terdengar Niken merintih perlahan, memangil namanya. Gadis itu sudah sadar dan tengah berusaha untuk duduk.
“Apa aku pingsan?” tanya dia terbata-bata.
“Ya, kamu pingsan. Bagaimana, sekarang?”
Niken mengusap kedua mata dengan telapak tangan, mendesah lirih seakan menanggung beban berat di hati.
“Alhamdulillah, aku sudah merasa enakan. Maafkan aku, sudah membuatmu repot,”
“Ah, tidak apa. Jangan dipikirkan.”
“Boleh minta minum?”
Aryo mengulurkan segelas air mineral.
“Lebih baik kamu pulang saja,” kata Aryo. “Mau kuantar?”
Bibir pucat itu tersenyum, mengangguk.
“Ayolah. Kita naik motor saja. Kamu masih kuat, kan?” kata Aryo sambil membimbingnya keluar.
“Ya, mudah-mudahan.”
Mereka keluar lewat pintu samping, kemudian dengan motor milik Niken, Aryo mengantarkannya pulang. Selama dalam perjalanan, batin Aryo seakan terkoyak-koyak. Matanya menyaksikan Rayun pergi begitu saja tanpa pamit. Pasti dia tak suka melihat dirinya merawat Niken seperti itu. Parsti cemburu. Pasti marah. Marah? Marahkah gadis itu melihatnya memeluk Niken? Bukankah semua itu dilakukannya hanya sekadar sebagai wujud kemanusiaan saja? Tetapi bagaimana kalau Rayun benar-benar marah? Bukankah dia juga mendengar ucapan-ucapan Raki keleng yang disampaikan dengan cara amat vulgar? Bagaimana kalau Rayun memutuskan hubungan mereka?
Aryo menghela napas panjang. Dia tak ingin bermain tebak-tebakan dengan diri sendiri. Dia harus bertanya langsung kepada Niken, benarkah dia hamil, dan siapa pula ayah dari janin yang ada di perutnya itu? Kalau benar, sungguh dunia ini sudah carut marut. Seingatnya sudah sejak enam bulan yang lalu dia tak lagi berkencan dengan Niken. Ya, sejak dia mengenal Rayun dengan dekat. Niken juga dekat dengan Raki Keleng. Bahkan dengan beberapa penghayat di Siti hinggil,…kata orang sih begitu. Lantas apa bedanya antara Niken dan Yu Mirah?
“Stop! Kita sudah sampai.”
Suara Niken memutuskan lamunannya.
“Oh. Sorry, “
Aryo menghentikan laju motor tepat di depan pagar rumah Niken.
“Kurasakan kau ngelamun saja sejak tadi.” tegur Niken dengan suara yang diwarnai perasaan kecut dan cemburu.
“…………”
“Kau melamun tentang Rayun, atau tentang aku?”
Aryo tersenyum tipis. Ditatapnya wajah di depannya. Sejenak dia menghembuskan napas yang menyesak.
“Aku terus saja ya?” ujarnya sambil memasukkan motor ke garasi.
“Bawa saja motor itu, Yok.”
“Tidak ah, terimakasih. Aku jalan saja.”
“Tidak mampir dulu?”
“Terimakasih, aku terus pulang saja. Sebaiknya kamu istirahat dua atau tiga hari di rumah, jangan masuk kantor dulu. Kalau perlu apa-apa, kamu bisa menghubungi aku di rumah kang Empul. Kalau ingin periksa ke dokter, biar kuantar.”
“Terimakasih, kau baik sekali. Sorry atas kejadian tadi.”
“Nggak apa-apa. Yuk. Aku pergi dulu, Ken.”
“Ya, sekali lagi terimakasih.”
Aryo mengangguk.
“Assalamualaikum,” ujarnya bersalam.
“Wa alaikumsalam.”

(Nyambung di episode yang akan datang)

Minggu, 25 Juli 2010

TROWULAN (25)


ANCAMAN.
Pemakaman sudah selesai.
Sebetulnya siapa yang dimakamkan? Bukankah yang ada cuma serbuk kehitam-hitaman bercampur serpihan tulang belulang? Mengapa manusia seputih Rustam, mendadak menjadi arang hitam seperti itu? Sungguh, Aryo tak habis mengerti, mengapa tak juga ada firasat tertentu yang menandai kepergian Rustam?
Seperti gila rasanya, saat dia menyaksikan kematian tragis sahabatnya itu. Tak pernah dibayangkan, justru mobilnyalah yang dijadikan pembantainya. Dia harus menyadari bahwa target pembunuhan adalah dirinya. Tetapi, apa dan siapa yang menginginkan kematiannya?
Setelah kejadian itu, Aryo harus rela berjalan bolak=balik ke Mapolsek sekadar memberikan penjelasan dan kesaksian atas kejadian itu. Beberapa karyawan museum bahkan sudah mengisyaratkan bahwa pelakunya adalah Raki Keleng, si biang kerok atau si trouble maker. Namun itu saja tak cukup untuk dijadikan bukti atas semua saksi yang bernyanyi menurut lagu semau gue. Polisi takkan sebodoh itu. Padahal ada satu saksi kunci yang sempat melihat bahwa ada dua orang yang berjalan mondar-mandir di sekitar jip celaka itu pada pagi hari sebelum kejadian. Salah satunya, …tak salah lagi, dialah orangnya. Raki Keleng. Tetapi mereka tidak yakin, sebegitu jahatkah Raki Keleng menjadi manusia? Atau…bisakah dia, mampukah dia…meletakkan bom di mesin Jip Nissan itu? Sepandai apakah dia? Sebab memasang bom pada mesin yang dihubungkan dengan kabel stater bukanlah pekerjaan yang gampang dan dapat dilakukan dengan waktu yang singkat. Maka satu-satunya harapan, polisilah yang harus membuktikannya. Sementara itu, Aryo Wangking seolah sudah tak mau memikirkannya lagi. Hatinya begitu terluka, dan semakin membicarakannya, semakin lebar luka itu menganga. Seharusnya dia sudah tau, ya, memang dia sudah tau. Tetapi apa gunanya? Dia hanya tak ingin mengatakannya pada orang lain, apalagi pada polisi. Sebab bisa saja itu dianggap sebagai sesuatu yang ‘ngoyo-woro’. BUkankah semua orang tau, Raki selalu memusuhinya? Dan apakah mereka tidak berpikir, dengan mengatakan hasil penglihatan gaib atau terawangan yang diketauinya itu, adalah semacam aksi timbal balik atas kebencian Raki keleng kepadanya? Hati dan pikirannya terus berputar sekitar peristiwa itu, dan terus berputar menggulung penyebab dari kebencian Raki kepadanya.
Apa yang membuat Raki Keleng tega berbuat sekeji itu, apa tujuannya? Kalau hanya menginginkan Niken, kenapa pula harus mengorbankan jiwa seseorang? Kebencian dan rasa iri dengki yang menyumbat pikiran waras, membuat Raki Keleng seolah telah berubah sebagai serigala yang haus darah. Licik, dan penuh tipu muslihat. Dan pada saat dia sudah tidak sabar lagi, inilah yang terjadi. Kegalauan pikiran yang bertentangan dengan suara hati nurani, bahwa sesungguhnya tak ada seorang manusiapun yang punya hati keji, kecuali sudah berubah menjadi setan, membuat Aryo malas melakukan kegiatan apapun selain terpekur saja di rumah. Termasuk : lupa mengapeli Rayun Wulan!
Hingga pada suatu siang, Aryo memaksakan diri masuk kantor. Ada perasaan tidak nyaman saat dia melangkah masuk ke halaman Museum. Rasa kesepian yang amat menyayat, sebab wajah Rustam yang selalu bijak, tak lagi bisa ditemui di sana. Hatinya serasa ‘gothang’. Kosong. Ada bagian yang hilang, yang tak lagi bisa ditemukan. Siang itu dirinya hanya menemukan Niken Pratiwi di teras depan Museum. Gadis itu duduk termenung sendirian sambil memeluk tas di dada. Wajahnya, alangkah murung. Sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Sepasang matanya tak lagi bercahaya. Bibirnya tak lagi tersenyum ‘kenes’.
Aryo menjatuhkan diri duduk di sebelahnya.
Lama saling diam, akhirnya Aryo menyapa lebih dulu.
“Kamu kenapa, sakit?’
Niken menggeleng pelan.
“Aku sedang berpikir,” sahutnya.
“Apa yang kau pikirkan?”
“Banyak hal. Salah satunya adalah kejadian tempo hari. Kau tau? Aku sedang berpikir, jangan-jangan yang melakukannya adalah Raki Keleng.”
Aryo tertawa lirih.
“Kita serahkan saja pada pihak yang berwajib.” Ujarnya.
“Memang, tapi tak ada yang bisa melarangku untuk…”
“ Apa yang membuat kau menduga-duga seperti itu?”
“Kau kan tau, dia sangat membencimu, Aryo. Dia cemburu padamu, pada kelebihanmu, pada karirmu…!”
“Ah!” Aryo menepis dingin. “Apa kelebihanku, karirku? Omong kosong semuanya.” Katanya.
“Yang terutama, dia cemburu. Dia cemburu karena aku sangat emncintaimu.”
“Apa katamu?” Aryo menoleh dan tertawa ringan. “Kau mencintaiku? Benarkah masih ada cinta di hatimu, Ken? Orang seperti kamu, ….hahahaa….”
Niken menatap tajam wajah Aryo. Bola matanya merah, berselaput bening. Dia hampir saja tak bisa menahan jatuhnya cairan bening itu dari matanya.
“Apa kau pikir, aku seorang maniak, atau monster, yang…yang tak mengerti apa itu cinta? Ha? Kau tega menertawakan aku, Aryo, kau tak kenal siapa diriku…Kau melecehkan perasaanku…!”
Aryo menutup mulutnya rapat.
“Sori, Ken. Sesungguhnya memang, aku tidak kenal siapa dirimu. Kau bagaikan seekor kupu-kupu yang begitu indah dan menawan, tetapi rasanya sulit bagi seorang pria menangkapmu. Terbangmu terlalu cepat, kesana kemari…”
Niken mulai terisak.
“Kau bergaul dengan siapa saja. Semuanya seakan tidak ada yang lebih istimewa. Semuanya kau perlakukan sama. Tiada beda satu dengan yang lain. Jadi,…yah…” kata Aryo melanjutkan.
Dengan perasaan iba, Aryo memeluk bahunya.
“Nah, kau melamun lagi. Apa sih, yang ada dalam kepalamu, Ken?”
“Kau.”
“Aku?”
“Kalau saja kau jadi menikah dengannya, bagaimana dengan aku?”
Aryo mengulum senyum tipis, disentuhnya tangan Niken dengan lembut. Lalu katanya,
“Kita akan tetap berteman. Aku akan tetap mengingatmu sebagai salah satu teman terbaikku, bukankah selama ini kita selalu menjalaninya bersama dalam susah dan senang?”
Niken terdiam, mengangkat bahunya seakan tak percaya.
“Sudahlah, jangan terlalu dipikirin.” Dan Aryopun tertawa menghibur. Meringis sedikit, lalu katanya,
“Aku pipis dulu, yah? Kebelet, nih!”
Tanpa menunggu jawaban, Aryo sudah melompat pergi ke arah toilet di bagian belakang Museum.
Niken menarik nafas panjang, mendesah lirih. Dibiarkannya Aryo masuk ke dalam. Seperti bicara dengan dirinya sendiri, Niken mulai menggerumeng tak menentu. Bibirnya bergerak terus mengikuti jalan pikirannya.
Salahku sendiri, katanya menggumam. Seminggu belakangan ini aku emang muntah-muntah terus. Mencium bau kamar mandi, muntah. Mencium aroma bedak, muntah, makan buah segigitan, eh yang keluar malah seliter. Gila, aku memang sudah gila. Menagap semua itu kulakukan hanya karena perasaan cemburu yang menggosongkan hati? Kenapa aku jadi membabi membuta seperti itu? Siap ayah dari bayi diperutku ini? Ingat-ingat,…ayo…ingat-ingat…!
Masa lalu, sebelum mengenal Aryo Wangking, memang Niken amat dekat dengan Raki Keleng. Lalu datang Aryo singgah di hatinya. Laki-laki itu datang dari Yogya, bertubuh tinggi tegap, berbrewok, berkumis, gagah, ganteng, hangat, ramah, dan…Ya Allah, mengapa pula saat bersentuhan tangan sekujur tubuhku jadi merinding? Pikir Niken. Sentuhan tangannya saat menndekap dan meraba punggung, leher, dagu, bibir, dan dada….ya ampuuun… ciumannya sangat dahsyat. Lidahnya memelintir,bibirnya mengulum….
Lalu, saat Aryo sibuk mondar mandir Surabaya-Mojokerto,…Niken dibelit perasaan bingung dan cemburu. Begitu banyak laki-laki yang menginginkannya, mengapa harus seperti menunggu jatuhnya rembulan? Tak apalah melampiaskan hasrat kerinduan dengan laki-laki lain. Mereka itu ada yang pengusaha, kontraktor, pegawai perum,…dan semuanya begitu pandai merayu, menjilatinya bagaikan anjing geladak. Hingga mampu sejenak membuatnya lupa akan Aryo Wangking yang dikultuskan masyarakat setempat.
Hidupnya bukannya tambah terhormat, namun hanya semakin nista saja di mata orang. Laki-laki itu, semuanya, tak ada yang diketahuinya bertempat tinggal dimana. Merekapun tak lagi datang, atau peduli kepadanya. Lantas,…janin ini milik siapa?
Brengseknya aku, keluh Niken perlahan dengan leher penuh keringat. Begoknya aku! Mengapa aku menjalani semuanya itu tanpa rasa malu? Benarkah kata Raki, aku ini pelacur? Pelacur yang bagaimana? Pantaslah kalau orang seperti Aryo Wangking tak pernah bisa kuyakinkan tentang perasaanku kepadanya. Bukankah dia bisa melihat dengan kacamata spiritualnya bahwa aku….bahwa aku…
O Allah, Gusti!
Nyuwun ngapuro!
Ampunilah saya Tuhaaaannn….!
Niken membungkuk, menghapus air mata dengan ujung gaun dan telapak tangan yang gemetar karena takut akan azab Allah yang barangkali saat inilah ditimpakanNya kepadanya. Hatinya merintih, pedih, perih. Sekarang baru disadarinya, alangkah berbeda dirinya dibanding Rayun, di mata Aryo. Perbedaan itu begitu mencolok. Bagaikan menatap matahari, mata Niken jadi silau membelek.
Penyesalan memang selalu datang belakangan. Namun niatnya untuk memiliki Aryo tetap kuat. Biar saja orang mengira janin ini adalah milik Aryo. Niken sudah tak peduli lagi. Justru barangkali Rayunlah yang mundur teratur apabila tau Aryo sudah menghamili orang lain. Biar saja dia mati terkejut, mati berdiri atau mati membelalak. Pret, prĂȘt!
Tiba-tiba…
Tuli luli lulit…. tula lula lulit…..
Niken Pratiwi tersentak kaget, menengok ke samping. Suara itu terdengar dari arah dalam tas ransel milik Aryo yang ketinggalan di kursi sebelahnya. Niken melongok ke dalam. Sepi. Bayangan tubuh Aryo saja tidak kelihatan. Barangkali masih di toilet.
Tuli luli lulit,…tula lula lulit…
Telepon itu berbunyi lagi. Niken memberanikan diri membuka tas ransel milik Aryo dan mengeluarkan sebuah telepon genggam dari dalamnya. Dengan jelas, Niken bisa melihat bahwa yang menelpon adalah Rayun Wulan. Tertera di layar kaca telepon genggam itu. Perlahan, didekatkannya ke anak telinganya. Suara lembut mengalun memasuki otaknya.
“Halo sayang,…”
Niken menggigit bibir. Suara itu betapa indah. Dadanya terasa beku sesaat.
“Ar, kamu ada dimana sekarang?” suara itu mengalun lagi. Niken hampir saja tersedak, namun dengan sigap telapak tanganny mendekap bibir sendiri.
“Aku sudah hampir dekat Museum. Nih, Innovanya aku bawa sekalian buat kamu mondar mandir ke Surabaya, biar nggak repot naik bis. Jip kamu masih di bengkel, kan? Tolong dong, kamu siap aja di depan ya, supaya aku nggak usah turun. Kita langsung saja, oke?”
Niken memutuskan hubungan telepon dengan jemari gemetaran. Cepat, ponsel itu dimasukkannya lagi ke dalam ransel. Segera dia sadar, bahwa hubungan Aryo dan Rayun tak lagi main-main. Mereka akan segera melangsungkan pernikahan, kata Aryo. Benarkah? Memang Niken sempat tidak percaya, dan berpikir, ‘mana mau, gadis seperti Rayun mau sama Aryo’? Lantas, kini gadis itu datang mengantarkan Innova! Wah, bukan main! Apakah seperti itu anak orang kaya merayu lelaki? Dengan memberikan hadiah mahal? Seperti handphone, misalnya. Dan mobil? Atau, rumah gedung berlantai dua? Sekalian jalan-jalan ke luar negeri, begitu?
Huek….huek…!
Niken mau muntah rasanya karena mendadak jadi stres.
Oh, bukan hanya ingin muntah. Namun kini dia benar-benar harus berlari masuk karena benar-benar sudsah muntah. Masih sempat dilihatnya, sebuah Kijang Innova silver masuk ke halaman Museum. Seorang gadis turun, tubuhnya lampai, berkulit bersih, rambut hitam legam, dan wajah sedikit keindo-indoan. Tumitnya memakai selop yang serasi dengan gaunnya. Melangkah bagaikan seekor angsa, mendekat,…mendekat…
Aaaaggghh!
Niken berlari masuk, makin cepat makin baik. Hatinya perih, dadanya sesak. Niken makin merasa dirinya hanyak seekor itik yang buruk rupa. Kakinya bergerak cepat bagai dikejar setan. Namun belum lagi sampai ke depan pintu toilet, perutnya sudah tak tahan lagi. Dia sudah hoek hoek lagi. Menabrak Aryo di lorong, lalu ambruk ke dalam dadanya.
“He! “ Aryo berteriak. “Ada apa ini?”
Namun mendadak tubuh Niken terasa amat berat. Gadis itu menggelandot, dan hampir saja menggelosor ke lantai kalau saja Aryo tak cepat tanggap atas sesuatu yang terjadi.
“Ken…Ken! Kau pingsan, ya? Waduh, gimana sih kau ini. Ken…Ken…”
Aryo segera mengangkat tubuhnya, menggendongnya ke sofa. Membaringkan tubuh gadis itu pelan-pelan, namun mendadak saja Niken memeluknya erat dan mencium bibirnya kuat-kuat. Aryo kian gelagapan tatkala tiba-tiba dari arah pintu, muncul wajah Rayun.
“Ar…yo…?”
Cepat Aryo berusaha menguraikan lengan Niken yang melingkar di lehernya.
“Oh,…kau Rayun…”
“Kenapa dengan dia?” tanya Rayun keheranan seraya melangkah mendekat.
Aryo mengangkat bahu dengan sikap kikuk.
“Entahlah, tahu-tahu pingsan begitu saja.”
“Tadi kulihat dia nggak apa-apa di teras depan.”
“Ya, akupun merasa tadi dia tidak apa-apa.”
Aryo mencoba tersenyum.
Rayun membalas senyumnya dengan sebuah seringai pedih.
“Tadi kulihat dia…menciummu,” ujar Rayun pelan.
“Oh, masa? Aku…tidak merasa…”
“Itu seperti sebuah eksekusi kejam bagiku, Aryo.”
“Sori, tapi sejak beberapa hari yang lalu dia memang terlihat kurang sehat. Entah mengapa hari ini tiba-tiba dia…Kurasa…kurasa,…mmmm…”
Aryo kian tidak enak hati melihat wajah Rayun tak terlihat marah. Hanya saja lebih pucat dari biasanya. Mungkinkah dia sakit hati? Cilaka, kalau benar begitu, pikir Aryo gelisah.
“Coba tanyakan, sudah ke dokter, belum?”
“Katanya sih, belum. Entahlah.”
“Siapa namanya?”
“Niken. Niken Pratiwi.”
Niken tetap memejam. Bibirnya membungkam. Airmatanya seakan ingin tumpah. Namun ditahannya meski ada duka nestapa yang meruyak di dada. Kalau gadis cantik itu bisa menahan diri, mestinya aku juga harus bisa menahan diri, pikir Niken.
Terakhir, dirasakannya ruangan lebih sepi. Niken beranjak duduk. Benar, Aryo telah mengajak Rayun ke ruang pustaka. Mereka berbicara lama di ruang itu.
Niken mengatupkan telapak tangan ke wajah, menangis diam-diam. Wajahnya tengadah saat terdengar gereten Raki yang bermerk Zippo berbunyi ‘cling’ saat dinyalakan. Dilihatnya Raki Keleng tengah duduk di depannya sambil menyulut sebatang rokok.
“Kau menangis?” tanya lelaki berkulit hitam berambut ikal itu dengan lagak tengik.
“Cemburu?” ujarnya lagi sambil menghembuskan asap dari hidung.
Niken menghapus sisa airmata dengan sehelai tissue.
“Ken, Ken! Kau mimpi barangkali. Lihatlah si Rayun itu. Bukankah dia sangat cantik dan anggun? Bandingkan dengan dirimu, betapa jauh bedanya. Sebesar apapun usahamu merebut Aryo kembali, kau takkan berhasil. Seberapa kuat usahamu, tak akan bisa lagi merenggut jagoanmu itu dari tangannya. Lebih baik kau dengan aku saja. Kwinlah denganku. Jadi istriku! Aryo Brewok itu sudah amat dekat ke pelaminan, Ken. Sadar, dong! Dia bahkan gembar gembor ke sana ke sini. Gadis itu anak orang kaya, Ken. Anaknya konglomerat. Apalagi yang kau tunggu? Aku sanggup kok, menghidupi kamu lahir batin. Tak ada gunanya menunggu bulan runtuh dari langit!”
“Kamu ini ngomong apa, Ki! Membual terus!”
“Aku bicara tentang realita. Kenyataan> Sekarang kau mau bilang apa pada dunia? Ha?” Bahwa kau dan Aryo masih…?”
“Aku memang akan bilang begitu pada dunia, memang kenapa?’
Hebat! Rasa percaya dirimu memang cukup besar. Tak salah aku memilihmu sebagai sebuah damba yang tak pernah padam. Cuma,…apa kau tidak terlalu berlebihan?”
“Aku akan bisa membuktikan bahwa aku sedang mengandung anaknya.”
Raki Keleng terlonjak.
“Uts! Jadi benar kau hamil?
Raki Keleng tertawa ngakak.
“Kau mencoba menjeratnya, begitu? Hahaha….dasar perempuan. Seharusnya kau tau bahwa di sana ada tetesan darahku. Anak itu, kalau ia memang harus lahir, pasti punya bapak lebih dari satu. Hahaha….gila. Dunia ini memang sudah gendeng. Hahaha….”
“Tutup mulut kamu yang busuk itu, Raki! Kau memang bedebah!”
Raki keleng masih menyisakan tawa besarnya. Namun sepasang matanya menyambar tajam.
“Dengar Niken, aku ini laki-laki normal. Sebusuk apapun aku, tak suka dihina perempuan yang sama bedebahnya dengan diriku. Atau kutampar mulutmu!”
“Tampar! Tampar! Sekali saja kau menamparku…”
“Baik. Ini. Rasakan!”
Tangan Raki Keleng bergerak cepat.

(Berlanjut sabtu depan, bye bye)