WANG, ijinkan aku mencintaimu.
Wang saja bangun pagi ketika aku ke wismanya. Langsung kuketuk pintu kamarnya sambil berteriak,
“Wang, bangun! Sudah siang nih!”
Suara berkerusekan terdengar dari dalam, lalu muncul wajah Iwang dengan rambut awut-awutan dan mata setengahy merem.
“Aduh, ribut amat sih!”
“Kau bilang mau jalan-jalan ke telaga. Jadi pergi, nggak?”
Mata sipit itu berkedip lucu.
“Oh ya ya. Aku lupa. Jam berapa nih, silau amat di luar.”
“Ini sudah Jam tujuh, tolol! Kamu belum sholat subuh kan?”
Gadis berkulit putih itu tertawa malu sambul menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal
“Sori, aku sudah sembahyang subuh tadi. Tapi ketiduran lagi. Gara-gara semalam sih.”
“Semalam? Memang ada apa semalem?”
Iwang membuka pintu kamar lebih lebar seakan mempersilakan aku masuk. Kulihat dia masih berpiyama lengkap. Kasur acak-acaka. Di meja kamar ada buah-buahan dan martabak sisa semalam.
“Aku mandi dulu yah.” Katanya menyambar sehelai handuk dari rak.
“Kamu duduk di teras sana ‘gih!” lanjutnya.
Mataku menatapnya curiga.
“Memang ada apa, semalem?Ada tamu?!” tanyaku dengan suara tidak enak.
Gadis itu sudah masuk ke kamar mandi, dan menjawaku dari dalam.
“Iya,” katanya.
Sialan. Siapa sih yang berani-beranian bertamu ke kamar cewek pada jam sepuluh malam?
“Siapa?”
“Ada deh.”
“Katamu sudah ngantuk semalam, makanya aku pulang cepat. Terus tamu itu datang jam berapa?”
“Ala, sudahlah. Kok kamu sewot bener sih?”
Dengan marah aku duduk di kursi teras depan kamar sambil membuka Koran lebar-lebar. Kucoba membaca sekilas huruf-huruf besar pada berita utama sampai ke iklan motor. Namun pikiranku samasekali tidak berada sisitu. Sumpah mati, aku jengkel sekali dengan jawaban Iwang yang seolah mengejekku. Dia pikir, aku cemburu, apa? Bull shit!
Kudengar dia sudah keluar dari nkamar mandi. Lama, karena tidak ada suara apa-apa lagi, aku menengok ke dalam.
“Jadi benar, ada tamu?” desakku lagi.
“Iya…”
Iwang mengait sepatu kets dari bawah dipan. Mengenakannya tanpa kaus kaki.
“Siapa dia? Apa aku mengenalnya?”
“Tak usya ya…”
“Iwang!” aku jadi benar-benar marah.
Iwang terlihat kaget oleh kerasnya suaraku. Kami saling bersitatap sesaat.
“Sekali lagi aku tanya kamu, siapa yang datang kesini tadi malam?”
“Cemburu nih?” senyumnya seraya mendorongku keluar kamar
“Apa tidak boleh, begitu?”
Dia berbalik dan mengunci pintu. Kutatap punggungnya sambil berpikir. Apa sih yang membuatku jatuh cinta kepadanya? Apkah karena sikap cueknya? Tingkah lakunya yang serba seenaknya sendiri? Atau… karena dia adalah gadis paling jujur yanag pernah kukenal selama ini? Sepertinya kian hari aku jadi kian lengket saja kepadanya.
Ketika dia berbalik lagi dan menatapku, kedua matanya mengerjap. Seakan bisa menangkap betapa marahnya aku hingga kemarahan itu tersirat dari tajamnya tatap mataku. Bibirnya lantas saja mengulas senyum. Kalau sudah demikian, hatiku jadi luluh melihat kelembutan yang terpancar dari senyuman dan sorot matanya.
Lengannya menggelendot ke lenganku. Kami berjalan menuruni anak tangga menuju ke jalan setapak yang menuju kea rah telaga. Matahari memang sudah memancarkan sinarnya, namun belum lagi mampu mengusir seluruh halimun yang menyelimuti permukaan telaga.
“Jared Hogan,” tiba-tiba Wang menyebutkan sebuah nama.
“Jared Hogan?”
“Aku semalam membaca novel karya Jared Hogan, sampai larut.”
“Jangan terlalu banyak membaca,” kataku.
“Itu kan baik,” sahut Iwang sambil bersandar ke bahuku.
“Nanti kau akan terus hidup dalam angan-angan.”
“Tidak, malahan menurutku membaca akan memperkaya batin.”
Kupeluk bahunya erat. Terasa sekali, betapa aku mencintainya. Dengan cara dia mengulaikan kepalanya kebahuku, hatiku lantas saja menjadi lembut dan tenteram.
“Tetapi hidup ini adalah kenyataan, Iwang.” Ujarku sambil sesekali menciumi harum rambutnya. “Sedangkan yang digambarkan oleh para penulis itu melulu sesuatu yang ideal. Terkadang terlalu muluk dan khayali. Aku tidak suka kau terkubur dalam bacaan. Aku ingin kau memandang hidup ini dengan mata yang realistik, hidup yang sebenarnya, bukan hasil ciptaan mereka yang kau kagumi itu. Kau tahu, di dalam buku-buku yang baik terlalu baik dan yang buruk keterlaluan pula buruknya. Padahal itu tidak mungkin, toh? Atau…kaupikir hidup memang demikian? Yang buruk terlalu buruk, yang jelek keterlaluan pula jeleknya? Kau harus tau, di dalam jiwa sang penjahatpun kadang terdapat kemanusiaan, dan sebaliknya di dalam jiwa seseorang yang kelihatan baik dan sholeh, terdapat jiwa setan.”
Iwang diam saja. Langkah kami perlahan-lahan semakin mendekati tepi telaga. Terlihat beberapa pelancong dari luar Magetan, banyak bercengkerama di tepi telaga. Ada yang mulai berperahu, ada pula yang sekedar minum kopi jahe di warung-warung dadakan.
“Buku apa yang kau baca semalam?”
“The Golden Abides.”
“Berapa halaman?”
“Tidak banyak.”
“Seratus?”
“Lebih.”
“Seratus limapuluh?”
“Lebih.”
Iwang menahan tawa di mulutnya.
“Dua ratus?”
“Lebih.”
Kali ini dia benar-benar tertawa ngakak.
Aku menunduk, mencari-cari jawaban yang benar dalam matanya yang sengaja dia picingkan rapat-rapat.
“Itu kau katakana tidak banyak?” teriakku.
“Alaaa, lebih sedikit aja.”
Kuhela nafas panjang. Tidak heran, kalau pagi ini dia ketelatan bangun.
“Apa sih yang diceritakan di buku itu?”
“Tentang seorang seorang laki-laki sederhana yang menikah dengan seorang perempuan milyuner.”
“Apa akhirnya mereka hidup bahagia?”
Dia tidak menyahut. Kini kami berjalan menyusuri tepian telaga menjauh dari orang-orang, menuju ke balik telaga sebelah sana. Disana katanya, ada sebidang tanah berumput yang di sekitarnya diselang-seling dengan pepohonan pinus. Kata orang pula, tempat itu sangat indah. Biasanya banyak pasangan muda, baik yang tengah berpacaran atau keluarga-keluarga muda duduk bersantai atau bermain dengan putra putri mereka yang masih balita. Mungkin, disitulah kami akan menemukan jawaban, benarkah sudah hubungan yang sedang kami bangun ini, baik ataukah tidak baik? Terus, ataukah putus?
“Aku belum selesai membacanya, Pras,” sahut Iwang.
“Barangkali, seperti biasanya mereka hidup bahagia,” lanjutnya.
“Nah itulah hidup yang diciptakan para pujangga. Khayal. Khayal! Maka kita akan terus dinina bobokkan oleh Khayal!”
“Ih, aku tak senang kau berkata begitu.”
“Memang kenapa? Kata-kataku benar, kan?”
“Sebagian saja. Sebagian lagi salah. Menurut pendapatku, buku adalah cermin. Buku yang baik akan meerupakan cermin yang baik. Manusia memang harus sering bercermin. Itu sudah pernah kukatakan kepadamu, kan?”
Aku mengangkat bahu.
“Pras,” katanya pelan. “ Masalahnya, kau tidak suka membaca. Aku tidak tidak akan memaksamu agar kaupun suka membaca kalau kau tak suka, asalkan biarkan saja aku berada dalam keasyikanku membaca.”
“kau ini seperti nenek-nenek,” kataku.
Ki8ni kami sudah sampai pada hamparan rumput hijau nan subur yang terpangkas dengan rapi. Beberapa pohon pinus menaungi dan menebarkan aroma khas bercampur udara pagi yang masih basah.
“Karena aku tak senang dengan pesta-pesta, kebut-kebutan, dan lebih suka duduk sendirian membaca atau menekuni buku, maka kau bilang aku seperti nenek-nenek?”
Aku duduk diatas hamparan rumput, dan mencoba tidur terlentang berbantal tangan menatap langit. Sungguh, aku merasaa kecil bila sedang berdiskusi dengannya tentang arti makna kehidupan. Aku jadi merasa kalah dewasa.
Dia duduk di sebelahku, bersila, dan mencabuti batang-batang rumput dengan wajah sendu.
“Aku jadi berpikir, Pras. Apakah anak muda macam kita tidak boleh menekuni buku? Apakah itu hanya bagian bagi orang-orang tua saja? Bukankah mending di masa muda ketika kita masih belum dibebani tanggungjawab dari hidup yang sesungguhnya? Apakah menurutmu menekuni buku adalah di masa tua ketika hidup sudah lepas dari tanggungjawab? Pras, Pras,..mending kalau sudah tua masih ada kesempatan berbuat demikian, tapi justru tak jarang orang yang sampai tua tidak pernah lepas dari tanggungjawab. Punya anak, punya mantu, punya cucu, bukannya tinggal ongkang-ongkang malah harus mengurus anak, menantu, dan cucu!”
Dadaku mendadak sesak. Entahlah, aku tiba-tiba saja menjadi sedih. Apakah aku kelak akan seperti itu, sudah tua malah harus bertanggungjawab kepada anak, menantu, dan cucu? Wek! Sampai mati akan terus seperti itu? Astaganaga! Sungguh mengerikan!
“Ah, sudahlah, jangan diperpanjang,” kataku sedih membayangkan yang bukan-bukan.
” Pras, hidup ini Cuma sekali, singkat pula.”
“Mmm…ya. Maka nikmatilah. Masa muda tak akan kembali. Masa muda kini menjadi milik kita dan sebentar lagi akan kita lepas.”
“Aku akan menikmatinya dengan caraku sendiri,: sahutnya tegas.
Aku menengok ke arahnya, menatapnya dengan pandang tak percaya.
“Menurutku kau terlalu alim sebagai gadis masa kini.”
“Begitukah menurutmu?”
“Jangan-jangan bila telah tua nanti, kau baru menyadari bahwa kau banyak kehilangan sesuatu.”
“Kurasa tidak. Justru aku telah banyak menemukan sesuatu yang aku yakin tak banyak ditemukan orang-orang sebayaku. Sesuatu yang sangat berharga. Amat berharga!”
“Apa itu?”
“Hidup yang sesungguhnya.”
Aku tertawa.
“Sepertinya kau terlambat dilahirkan, Wang. Mestinya kau dilahirkan seabad yang lalu. Tidakkah terpikir olehmu bahwa hidup yang sesungguhnya hanya akan ditemukan sambil kita menjalaninya, bukan apa yang kita dapatklan dari teori orang lain?.”
Wajahnya memerah seketika. Bibirnya terkatup sepi seperti biasa bila kami tak sependapat.
“Tapi sungguh, bagiku kau adalah segalanya. Aku suka padamu.” Kataku sambil duduk bersila menghadap ke arahnya. Dia menundukkan wajah. Masih tetap dengan kegiatannya mencabuti rumput.
“Tapi kau selalu mengejekku,” sahutnya kemudian.
“Habis, aku benci dengan kealimanmu. Aku toh ingin sesekali membawamu pergi seperti orang lain membawa pacar mereka. Karena sekarang bukan jamannya ‘tai ayam pakai debu, ini jaman modern tau’.
Bibirnya tertawa tanpa suara, mungkin merasa lucu saja dengan kalimatku.
“Bagaimana, masih tetap menolak?”
“Tentu,” tawanya ngakak.
“Gila! Dungunya aku, cinta ini tetap tak mau pergi. Gila, gila!” teriakku.
Iwang tersenyum-senyum sendirian. Lama kami saling terdiam seperti kehabisan kata-kata. Hingga tiba-tiba aku ingin menggodanya dengan berpura-pura ada janji dengan orang lain.
“Oh, hampir saja akun lupa,” kataku.
“Apa?”
“Hari ini aku seharusnya pergi dengan mas Arif kepertunangan saudaranya.”
“Kapan itu?”
“Ya malam ini. Waduh, gimana nih. Kita pulang sekarang?”
Kepalanya mengangguk berat. Ada sebersit kekecewaan membayang. Namun dengan riang dia menutupinya cepat.
“Oke. Kita pulang?”
“Kau…tidak marah?”
“Marah?” matanya kembali bersinar seperti biasa.
“Kau ikut ke pertunangan saudara mas Arif?”
“Siapa bilang aku mau ikut. Kita pulang saja ke Madiun, kau mengantarkanku dulu, kemudian kalau kau ada janji dengan mas Arif, ya pergi saja.”
“Ternyata kau belum bergeser juga dari tempatmu,” ujarku kecewa bukan main. KUpikir, dia mau ikut, atau marah sekalian. Eh, tidak taunya…Huft!
Aku berdiri, menepis-nepiskan rerumputan dari belakang celanaku.
Iwang ikut berdiri, kini kami sama-sama berjalan kembali ke wisma.
“Barangkali kau benar,” kata Iwang. “Aku belum mau bergeser dari tempatku Makan rame-rame, pergi rame-rame, atau ke pesta rame-rame,…rasanya tidak cocok buatku. Dan bukankah seharusnya kau sadar, bahwa kita ini sudah bukan anak-anak baru besar (ABG) melainkan sudah lebih dewasa dari itu. Kita ini sudah hampir sarjana, Pras.”
“Akh, sekali-sekali tak apa. Memangnya, dosa?”
“Rame-rame begitu?”
“Kan tidak selalu harus rame-rame. Teman-temanku bukan berandalan. Bahkan seperti mas Arif, dia itu seniorku. Mereka semua bersama pacar mereka, kecuali aku! Ayolah Wang, pergilah bersamaku malam nanti”
“Maaf, Pras. “
Kuhempaskan nafas panjang. Kumasukkan kedua tanganku ke saku celana dan kukatupkan bibirku dengan marah.
“Maaf Pras,” katanya sekali lagi. “Aku tau aku memang bukan gadis masa kini yang hidup di alam yang dipenuhi dengan kebebasaan dan dikelilingi bermacam-macam hiburan maupun kesenangan dari yang muirah sampai yang sangat mahal sekalipun. Keluargaku bukan keluarga yang kolot. Kau tau betul tentang itu. Tetapi di alam kemajuan macam ini ketika segalany kemilau dan gemerlap, ketika semua itu menjadi impian banyak orang, kami tetap mengenal lima waktu sembahyang, dan berpuasa di bulan suci Ramadhan. Kami mengenal semua perintah Allah yang diturunkanNya kepada agama yanag kami anut.”
Langkah kupercepat. Mungkin ini jawaban dari hubungan kami? Entahlah.
“Pras!”
Iwang mencoba terus menjajari langkahku.
“Mestinya kita tidak berpacaran,” katanya.
Blap!
Kuhentikan langkahku seketika. Diapun terpaksa berhenti dan memandangku dengan sepasang matanya yang cerlang.
“Apa katamu?” sergahku. “Kaupikir kita…? Kita memang tidak berpacaran. Apakah yang begini kaqu sebut berpacaran?”
Wajahnya memerah.
“Mestinya kita tidak berpacaran,” sahut Iwang keras.
“Jadi apa?”
“Dunia kita bertolak belakang. Kau rasakan itu kan?”
“Alaa… kau ini kenapa? Kau terlalu serius memandang hidup dan persoalan-persoalannya. Padahal hidup ini sederhana saja. Sederhana saja!!”
“Mestinya kau berpacaran dengan orang lain yang suka berhura-hura, suka ke pesta, suka nonton, tanpa lupa waktu sembahyang. Disitulah manisnya. Carilah orang seperti itu. Kau tak akan pernah bisa memaksaku ikut dalam gemerlap duniamu. Pras,.. apakah kau pernah sembahyang?”
Lama aku terdiam.
Suara gemerisik daun bambu diterpa angin membuatku manyun. Seakan-akan dedaunan dan angin tengah bercumbu, berposah-pasih, melagukan tembang asmaradana.
Aku menatap kedua matanya tajam.
“Dulu aku sembahyang,” kataku. “Itu semua kulakukan karena semua orang disekitarku melakukannya. Lama-lama aku berpikir, dan suka tertawa sendiri. Bayangkan, membaca ayat-ayat tanpa tahu artinya. Bukankah itu ibarat tupai membolak-balik buah kelapa?”
Dia memeluk lenganku, lembut. Selembut suaranya tatkala berbicara padaku.
“Pras, kata-katamu itu membuat dadaku sesak. Mungkin kau benar. Namun bagiku itu sudah merupakan kemurtadan. Barangkali aku termasuk penganut agama yang fanatik. Tidak mengerti artinya berarti tidak berguna, begitukah? Tidak! Tak ada sesuatu yang tidak berguna. Tetapi mengerti tentu saja akan lebih baik. Kami semua, aku dan keluargaku, lalu mempelajari artinya. Semua ini kukatakan kepadamu, agar kau mengerti.”
Senyumnya membias melihat aku tak lagi segarang tadi. Hati ini mendadak luluh oleh kelembutannya. Sungguh, aku tak tau. Masihkah ada kisi-kisi buatku masuk ke dalam hatinya?
“Kau percaya pada Tuhan, Pras?”
“Tentu. Tapi dengan caraku sendiri.”
“Maksudmu?”
“Tuhan menciptakan semuanya ini untuk dinikmati.”
“Untuk dihayati, Pras.”
“”Itu menurutmu. Sudahlah. Kalau melangkah jangan terlalu jauh, bisa celaka nanti. Urusan kita adalah urusan anak muda, kita jalani saja dan kita nikmati. Itu akan sama artinya dengan kita mensyukuri nikmat Allah, kan?”
“Mungkin aku melangkah terlalu jauh. Tetapi kau menyelam terlalu dangkal. Aku kurang setuju dengan caramu mensyukuri nikmatnya Allah. Terserah kau mau menertawakan aku atau tidak.”
Biasanya, memang, aku selalu menertawakannya dengan semua filasafat yang kuanggap aneh. Tapi kali ini aku tidak sedang ingin tertawa. Aku bahkan seperti tersungkur di bawah pasir panas gurun Sahara.
“Bagiku, hidup ini punya arti tersendiri,” kata Iwang. “Katakanlah aku kuno. Tapi yang sebenarnya aku lahir dari sepasang manusia yang taat dan takut kepada Tuhan. Kau tau, kedua oraqngtuaku bukan orang-orang yang dungu. Merekia pernah tinggal di luar negeri sebagai Atase Militer. Tetapi ayahku sering bilang, semakin jauh dia melihat dunia, semaki8n dekat dia pada Tuhannya. Maka kalau sampai saat ini kita masih juga belu7m bergeser dari tempat kita masing-masing, aku khawatir kini tiba saatnya kau memberiku ciuman perpisahan…”
“Kau seharusnya tinggal di gunung,” jawabku getir.
“Ayahku tidak tinggal di gunung.”
“Seharusnya aku tidak mencintaimu.”
“Ya. Seharusnya kau sekarang berada di rumah teman-temanmu bergembira dengan memutar film atau bermain futsal.”
“Wang,” leherku tercekat. “Apakah…apakah aku harus taat bersembahyang dan berpuasa di bulaan Ramadhan bila ingin memilikimu? Apakah aku harus meninggalkan teman-temanku main futsal atau …”
“Tidak Pras. Tidak ada yang melarangmu atau memaksamu untuk berbuat sesuatu. Apa kaupikir agama hendak memperbudak manusia dari kesenangan duniawi? Kaulihat ayahku, dia sembahyang, dia berpuasa, tetapi dia tetap hidup wajar sebagai manusia. Tak ada yang emngharuskan kita melakukan itu semua kecuali diri kita sendiri. Pras, kau tak akan kehilangan apa-apa karena mencintaiku. Yakinlah bahwa aku tidak aan memperkosa hak-hakmu sebagai manusia.”
Kugenggam tangannya erat, kucium punggung tangannya takzim. Iwang, gadis bermata sipit berkulit putih, sementara aku, pria dengan kulit sawo matang dan mata nyalang, kaukah itu wanita dambaan semua lelaki?Beruntungnya aku bisa mendekapmu dalam lengkung hati yang paling dalam.
“Jadi…aku…kau ijinkan untuk…?”
“Cintailah aku, Pras. Aku mencintamu. Dekat aku dalam dadamu, maka kaau akan menemukan diriku yang sesungguhnya.”
Kami saling mendekat dan mengulurkan tangan. Kudekap dia erat dan dengan ikhlas pula dia membalas pelukanku tanpa gamang sedikitpun.
(Iwang, kaulah hati dipelarian masa muda. Langit diatas hening sekali. Gugusan mega putih berarak antara bunyi degupan jantung. Sekali pernah kubayangkan, kemesraan ini akan kuhisap habis bersama dengan kelembutan yang terbaring sunyi dimatamu.)
By Indrawati Basuki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar