Minggu, 31 Januari 2010

BADAI PASTI REDA (3)


Intan menatap wajah Tommy lekat-lekat. Seakan tengah berusaha membaca setiap gurat di wajahnya, mencari-cari kejujuran dan kebohongan yang tersirat. Perempuan itu tau, adaa perang sabil dalam benak Tommy, antara mengatakan atau tidak profil Hapsari yanag sebenarnya.
“Dengar, Tom,” kata Intan pada akhirnya. “Apa kau tau, mereka akan menyingkirkan aku?”
“Apa?” Tommy terlonjak bagai disengat kalajengking.
“Mereka akan segera menikah. Kau tau itu kan?”
“Tidak, tidak mungkin! Itu tidak akan pernah terjadi.”
“Di dunia ini apa yang btidak mungkin, Tom? Kau lupa pada kekuasaan Tuhan. Semua yang ada di dunia ini bisa berubah dengan cepat. Termasuk mas Abi. Termasuk kau juga.” Sindir Intan. Bibirnya mengulas senyum, namun menurut Tommy senyuman itu samsekali tidak lagi menyejukkan seperti biasanya. Senyumnya laksana ujung panah yang menembus jantung. Memedihkan, menyakitkan.
“Aku yakin itu cuma isu. Itu Cuma fitnah dari orang yang menginginkan kehancuran rumah tangga mbak Intan. Percayalah padaku, Mbak. Perempuan itu tidak akan punya keberanian untuk melakukannya terhadap keluarga mas Abi.”
Intan tertawa mengejek.
“Ini bukan fitnah. Kenyataan itu harus bisa kuterima. Karena rencana pernikahan itu kulihat sendiri dengan mata kepalaku. Dengan sadar aku membacanya. Dan mas Abi tidak pernah membantahnya. Jadi, kau mau bilang apa lagi?”
“Ya Allah, “ Tommy menangkupkan kedua telapak tangan ke wajahnya. Brengsek kamu Hapsari! Setan alas kau Abi! Bagaimana bisa kalian melakukan kejahatan ini terhadap perempuan seperti mbak Intan? Setega itukah kalian?
“Mas Abi telah jatuh cinta kepadanya,” desis Intan.
Tommy mengangkat wajah. Matanya nanap memandang senyum yang tak kunjung lenyap dari bibir Intan. Setegar itukah kau? Pikir Tommy. Mengapa kau tidak menangis saja meraung-raung? Kenapa kau masih bisa tetap tersenyum seperti itu? Manusia seperti apakah kau, mbak Intan? Lahir batinmu, cantik. Perasaanmu lembut dan manis. Sementara kini kau tetap tegak membiarkan dagingmu dikunyah-kunyah serigala. Astaga!
“Kalau benar, “ kata Tommy setelah lama terdiam, : “Aku yakin mas Abi tidak pernah memberikan cintanya kepada perempuan itu. Dia bukan lelaki bodoh yang dengan sembarangan memungut …maaf…tahi di jalan dan mencampakkan berlian. Barangkali semua itu hanya merupakan godaan sesaat. Pesona sesaat. Pada umumnya, dalam setiap perkawinan, suatu saat kita akan mengalami titik-titik rawan dimana rutinitas dan kejenuhan siap mengaburkan rasa cinta suami isteri. Kukira saat ini ma Abi sedang berada pada titik rawan itu. Dia sedang jenuh. Aku yakin kalian masih tetap saling mencintai. Hanya saja pertemuan setiap hari membuat segalanya menjadi biasa, rutin. Sebab itu ubahlah hari esok dari yang biasa itu menjadi luar biasa. Aku yakin, tak lama lagi mas Abi akan kembali seperti mas Abi yang dulu lagi.”
Tommy menyentuh tangan Intan perlahan.
“Berjanjilah,” katanya.
Intan memandangnya dengan takjub.
Tapi,..apakah bisa aku melakukannya?” tanya Intan ragu. Sudah terlalu lama jarak itu bagai terbentang antara dirinya dan Abi. Akankah semudah itu dilakukan?
“Bersabarlah sedikit, Mbak. Hanya dirimu sendiri yang bisa menyelamatkan rumahtanggamu. Lebih baik mbak Intan jangan mengambil jarak atau berubah sikap.”
Intan menghala nafas panjang.
“Rasanya berat sekali untuk menjadi seseorang yang lapang hati,” ujarnyaa seperti melamun. “Aku toh manusia biasa yang berhak punya rasa marah dan dendam? “
Mereka jatuh dalam kebisuan panjang. Tommy tak hendak memecahkan kesunyian yang menggantung . Dibiarkannya Intan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Sementara itu terbayang dalam benaknya, siapa sebenarnya Hapsari. Perempuan itu memang cantik, tetapi cantik yang mengesankan wanita murahan. Senyum dan kerling matanya bukan saja untuk Abi, namun untuk semua makhluk kalau itu berjenis kelamin jantan. Sungguh, kalau saja Tommy mau nekad atau termasuk lelaki yang rakus, pastilah perempuan itu sudah berhasil dilahapnya. Dengan mata kepalanya sendiri, Tommy melihat Hapsari jalan beersama seorang lelaki gendut dalam sebuah mobil mewah. Masuk keluar hotel, tak terhitung lagi. Kalau dengan pria-pria semacam itu Hapsari mau melakukannya, pastilah dengan Abi dia tidaka akan menolak. Bisa dibilang, mendapat durian runtuh. Sebab sebagaiseorang laki-laki yang terbilang masih muda dan sudah sukses sedemikian rupa, Abi bukanlah lelaki berparas buruk. Lelaki itu sangat tampan. Dengan kulitnya yang bersih dan postur tubuh yang tinggi tegap, siapa yang tidak mau menjadi kekasih gelapnya? Itu sebabnya …mungkin… yang membuat Hapsari berusaha keras mendesak agar dinikahi Abi. Hapsari sangat ingin memiliki status terhormat, dengan menjadi istri Abi. Dan kalau Abi geblek, tentu dia akan meluluskan keinginan itu tanpa syarat.
Tommy beranjak dari duduknya, dan minta diri.
Intan mengantarkannya hingga ke pagar depan. Namun sebelum Tommy benar-benar pergi, Intan menatapnya penuh harap.
“Kalau saja perkawinan kami bisa diselamatkan, kau mau berjanji padaku?” tanyanya.
“Katakanlah.”
“Maukah kau tetap menjadi sahabat kami dan kembali bekerja bersama dengan Abi?”
Tommy menunduk. Untuk sejenak dia ragu. Tetapi sungguh mati, dia memang tak pernah bisa menolak permintaan perempuan berparas indah itu. Sejak dulu, sejak dia dan Abi masih kuliah di Institut Teknologi, sejak Abi masih pacaran dengannya, Tommy memandang Intan begitu istimewa. Apapun akan dilakukannya asalkan perempuan itu merasa senang. Hati Tommy akan bahagia bila melihat tawa Intan mekar karena keinginannya terkabul. Senangnya lagi, Abi tidak pernah merasa cemburu melihat keakraban mereka berdua. Dia adalah lelaki yang sangat percaya diri, sehingga tidak akan merasa khawatir Intan akan berubah pikiran memilih Tommy ketimbang memilih dirinya. Dan memang, Intan lebih mencintai dan memilih Abi sebagai suami. Tommy harus cukup puas dianggap sebagai sahabat saja bagi Intan, Abi, maupun Andre putra mereka.
Akhirnya, seperti biasa, Tommy mengangguk.
“Aku berjanji,” ujarnya pelan.
Intan memeluknya dan mendaratkan sebuah kecupan sekilas di pipi Tommy. Tommy memejam dengan dada perih. Asmara terpendam selama bertahun-tahun, seakan menonjok dada. Sakit, sakiiit sekali.
Ya Tuhan, keluhnya dalam hati. Seandainya Engkau menijinkan, berikan padaku seseorang berhati bersih seperti perempuan ini. Dia baik, dan setia. Kau dengarkah permohonanku ini ya Tuhan?
“Terimakasih Tom, kau baik sekali,” bisik Intan tersenyum.
Tommy membalas senyumnya. Memberanikan diri mengecup dahi Intan. Dan ketika kakinya melangkah pergi, dia merasa ada sebagian dari hatinya tertinggal di rumah itu.
(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar