Sabtu, 22 Oktober 2016

DONOROJO 6

Pagi2 Suti sudah bangun. Ingin sekali dia menjenguk Ambar di rumahnya. Bagaimana keadaan kakinya? Luka yang kemarin, pagi ini pasti akan terasa lebih sakit, atau mungkin malah membengkak. Kalau dipikir-pikir, masih beruntung kemarin ada mas Wo, yang dengan senang hati bersedia mengantar Ambar sampai ke rumah. Kalau tidak, bagaimana caranya mengantar Ambar? Lantas, siapakah mas Wo itu, dan darimana? Sejak semalam pertanyaan otu secara sadar melingkar-lingkar terus do nenak Suti. Seseorang seperti mas Wo, selama ini tidak pernah ditemui di Kalak. Seseorang dengan kulit sebersih itu dan dengan pakaian serapi dan seapik yang dikenakan.mas Wo. Jarang ada pria muda segagah mas Wo di desa kecil sperti Kalak, kecuali mas nDung. Sudah barang tentu bagi Suti, mas nDung adalah pujaan, karena dia adalah mas kebanggaan keluarga.

"Sut,..." tiba-tiba yu Min datang menghampiri. "Boleh minta tolong?" ujarnya.
Suti tertawa kecil. Biasa, pikir Suti geli. Selalu saja minta tolong dengan suara lembutnya yang rasanya sulit ditolak.
Sambil meneruskan mengepang rambut, Suti balik bertanya, :
"Minta tolong apa sih, yu?"
"Gula ibu habis. Tadi memintaku ke toko oom Yan, tapi..."
"Tapi.... Apa."
"Kamu saja ya yang kesana."
"Kenapa sih yu, keliatannya yu Min wegah banget ke toko oom Yan?"
"Kan ada kamu."
"Apa hubungannya antara 'ada aku dan toko oom Yan', hayo." Suti tertawa menggoda.
Ia tau, oom Yan yang masih muda itu cukup menarik dengan mata birunya. Meskipun dia orang bule, tapi cukup fasih berbahasa Jawa. Dia tidak sombong dan suka sekali menanyakan kabar yu Min pada Suti.
"Kamu kan bisa lebih cepat daripada aku," Mintorini berkilah.
"Makanya, belajar naik sepeda to Yu. Biar bisa lebih sering bertemu oom Yan."
"Hush, maumu! Sudah sana. Ini uangnya. Beli kopi sekalian ya. Rokok Oepet buat kang Triman jangan lupa."
"Aduh aduh, banyak banget titipannya. Aku kan mau ke rumah Ambar sih, Yu. Mumpung hari libur."
"Ya nanti, sesudah dari oom Yan."
"Bisa kesiangan, yu!"
"Halah."
Walau dengan bersungut-sungut, Suti akhirnya mau juga mampir dulu ke toko oom Yan.
Oom berwajah menarik itu tersenyum menyambut pelanggan.kecilnya.
"Butuh apa kowe cah ayu," sapanya.
"Gula, oom. Kopi dan Oepet."
Oom yang baik itu segera meladeninya.
"Bagaimana kabar mbakyumu, non?"
Suti tersenyum sambil menerima belanjaannya.
"Dia baik2saja, oom."
"Bakyumu itu kerasan sekali di rumah. Sekali2ajaklah dia ke toko oom. Nanti kuajarin kalian berbahasa Belanda. Kamu mau kan belajar bahasa Belanda?"
Suti malu2.
"Saya mau oom, tetapi saya tidak tau apa yu Min mau juga? Yu Min susah diajak keluar rumah."
"Lhoh, memang kenapa? Takut disambar elang?"
Suti tertawa geli.
"Malu, oom"
"Malu kepada siapa?"
"Malu, tidak bisa bersepeda."
"Hahaha....." si oom tertawa ngakak.
"Ini, kubawakan permen coklat buat mbakyumu, mudah2an dengan ini, besok sudah bisa bersepeda kesini."
"Halah, oom Yan ada2 saja! "
Suti ikut tertawa.  Cepat2dia bebalik keluar dari toko oom Yan.
Tetapi....uts!
Hampir saja dia bertabrakan dengan seseorang yang juga ingin belanja di toko satu2nya yang ada di Kalak.
"Mas Wo!" Suti memekik senang.
"Kamu?"
"Mas Wo mau kemana?"
"Kamu sendiri, sedang apa disini?"
"Beli gula, mas. Sekarang  mau membawa pulang belanjaan ke rumah."
"Rumah kamu dimana, jauh tidak?"
"Sangat dekat mas, tuh yang di sudut pertigaan.,"
Mas Wo melihat ke arah pertigaan tak jauh dari tempat itu.
"Bukankah itu tempat tinggal pak 'sten'?"
Suti mengngguk. Istilah sten sudah umum di daerah Kalak , Donorojo. Kebanyakan orang menggunakan nama panggilan itu untuk menyingkat kata Asisten Wedana.
"Ya.mas Wo, saya putrinya."
Jiwo menatap wajah Suti lekat2.
"Kamu putrinya pak Yudo?"
Suti mengngguk kencang. Kuatir tidak dipercaya oleh Jiwo.
"Mas Jiwo ndak percaya saya putrinya bapak?"
"Oh.... Bukan. Bukan ndak percaya, saya hanya merasa takjub bahwa pak sten memiliki putri seberani kamu. Berani, dan pinter. Boleh saya mampir ke rumahmu?"
"Untuk apa?"
"Kebetulan saja, saya ada perlu dengan beliau. Kemarin itu saya baru datang dari Madiun,  mengunjungi Patih Prawirohadi di Kabupaten, terus ke pak Wedana. Saya juga ingin bertemu pak Yudonegoro. Beliau ada di rumah, kan?"
Suti mengangguk ragu. Namun akhirnya  setuju mengajak Jiwo ke rumahnya.
"Sebentar ya, mas Wo beli sesuatu dulu untuk oleh2."
"Ah, ndak usah mas Wo!"
Jiwo tersenyum. Tetapi tetap saja dia mendekati oom Yan dan berbicara dalam bahada Belanda dengan oom Yan. Segera saja Suti melihat mereka asyik mengobrol panjang lebar dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Suti. Sesekali Jiwo menoleh kepadanya dan mengangguk-angguk, seakan tengah membicarakannya. Jiwo juga membeli beberapa kaleng biskuit dan gula2. Akhirnya mereka bersalaman. Jiwo memeluk bahu Suti dan berkata sambil tersenyum,:
"Suti, saya tadi bilang sama oom Yan, bahwa sejak minggu depan kamu boleh belajar bahasa Belanda kepadanya dengan gratis. Kamu mau kan?"
Suti terperanjat bukan main.
Sungguh dia tidak pernah bermimpi untuk bisa belajar bahasa secara gratis di rumah oom Yan.
"Sini, kubawakan barangmu," kata Jiwo. Begitu mereka berjalan pulang ke rumah Suti.
"Ndak usah, mas. Terimakasih. Ndak berat kok."
Bagi Suti, naik lagi nilai Jiwo dimatanya, bahwa seorang pribumi begitu fasih berbahasa Belanda, itu menunjukkan sesuatu kelebihannya di mata Suti.
Jiwo menatap mata bola Suti sambil tersenyum.  Entah kenapa, timbul rasa sayangnya pada Suti. Mungkin karena dipandangnya anak itu pinter, polos, dan spontanitasnya cukup tinggi. Jiwo berpikir, apakah mbakyunya  juga seperti yang sudah dia dengar dari paklik R Prawirohadi, sama cerdas seperti adiknya ini ?  Jiwo memang telah banyak mendengar tentang keluarga Yudonegoro dari pakliknya, Patih R. Prawirohadi,  pemangku bupati Pacitan. Bahkan beliau  cenderung mendorongnya untuk lebih mengenal putra putri bapak sten sebelum dirinya dipromosikan sebagai walikota Madiun. Mengapa harus mengenal putra putri pak sten? Mungkin hanya Patih R. Prawirohadi yang tau ada maksud apa  dibalik  semua itu.
(Betsambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar