Senin, 25 April 2016
KETIKA SUARA ADZAN BERKUMANDANG
Kejadiannya sangat cepat. Ketika itu kukendarai mobilku dengan sangat kencang. Subuh sudah lewat, namun pagi belum lagi terang. Meliput berita di luar kota membuatku harus pulang saat larut malam, badan capek, mata mulai digelayuti rasa kantuk yang luar biasa, Sekilas kulihat lampu kuning trafic light lenyap dan berganti merah, sebuag truck sampah menderu deras dari arah belakang, mendahului, seakan terbang ke depan. Aku gugup sejenak, kaget membanting setir ke kiri tepat menghantam seorang bapak dan seorang anak kecil dipinggir jalan, membuat mereka terpental ke udara sebelum akhirnya jatuh menghempas ke aspal.
Reflek kaki kananku menginjak rem. Mobil berhenti menyentak dengan suara derit mencicit. Sejenak kurasakan kedua tungkaiku lemas. Dari kaca spion kuintip mereka tergeletak tak bergerak. Terkapar. Mati? Entahlah. Tak dapat kupastikan. Secepat itu pula kepanikan menenggelamkanku dalam kecemasan yang luar biasa. Kutengok kanan dan kiri, Suarasana masih sepi. Jalanan lengang. Tak nampak seorang insanpun di perempatan jalan itu.
Takutku membuat sekujur tubuh meremang, kalau mereka mati. Apa yang harus kuperbuat? Suara hati menjerit: “Turun! Tolong mereka! Bawa ke rumah sakit!” Namun logika berbicara lain. Kalau aku turun dan membawa mereka ke rumah sakit dan ternyata mereka mati, apakah aku harus dipenjara? Sederhana memang pemikiran seperti itu. Namun kepanikan sudah merajai hati. Tanganku gemetaran, berkeringat mencengkeram kemudi. Otakku berteriak: “Lari. Lari secepat mungkin! Senyampang tidak ada saksi disini. Lari, bodoh!
Aku semakin kehilangan akal. Terbayang dibenakku sosok polisi, keluarga korban, dan tetek-bengek yang akan menjadi urusan yang sudah pasti membuatku terbebani berbagai masalah.
Sekali lagi aku ,menengok ke belakang. Bapak dan anak itu masih tetap pada posisi semula. Mereka terbujur diam dalam genangan cairan merah yang merayap semakin melebar menjauhi tubuh pemiliknya.
“Lari, tolol!” suara hati menghardik.
Kali ini jiwa pengecutku menurut. Seketika kuhidupkan mesin, kumasukkan persnelling satu, dan tancap gas. Aku melarikannya dengan kecepatan tinggi, lebih kencang dari semula. Namun kali ini mataku lebih nyalang kedepan. Rasa kantuk menguap sejak tadi. Yang ada hanya keinginan menyelamatkan diri sendiri. Ngebut terus tanpa ampun. Sepanjang jalan ketemui rival, saingan dalam urusan memacu kencaraan, entah itu bis maut, entah itu angkot atau mobil-mobil pribadi yang sama-sama gilanya.
Ditempat sepi mobil kuhentikan, aku turun memeriksa sisi sebelah kiri mobil. Tetap utuh. Tak ada kerusakan berarti, hanya sedikit pesok disisi pintu. Bercak darah yang tentu saja bisa segera kubersihkan.Barangkali untuk sementara waktu aku masih bisa bernafas lega.
“Hai, bagaimana dengan perjalananmu kemarin?” temanku Titi menyapa pada esok harinya di kantor. “Kau sempat mampir nggak; mampir ke rumah Tommy.” Lanjutnya sambil cengar-cengir.
Aku tak menyahut, dadaku ini masih beredebar kencang setiap kali mengingat bayangan bapak dan anak yang terbaring diam kemarin.
“Nikmatilah masa-masa indahmu, Sar. Kata orang sih, masa-masa pacaran selalu saja indah, tetapi nanti kalau kau menikah...semuanya jadi berubah. Ah, kok menakut-nakuti, Aku tidak sedang menakut-nakuti lhoh, pokoknya tau sendiri deh.”.
Aku diam saja, semua kalimat itu justru semakin menggedor jantungku. Menambah kebingungnaku.Titi masih terus mengoceh, suaranya bagai cicit tikus di telingaku. Samasekali tidak kedengar dia sedang ngomong apa. Tiba-tiba saja Titi menembakku dengan membacakan berita yang benar-benar membuatku KO.
“Diperempatan jalan Diponegoro pukul lima pagi kemarin, kedapatan seorang laki-laki paruh baya dan seorang anak kecil tergeletak sebagai korban tabrak lari. Beruntung, ada seorang tukang tambal ban yang sempat mengingat nomor polisi kendaraan itu.”
Jemariku yang masih menekan keyboard terhenti seketika. Kaku. Mati. Hilang akal.
Itu kamu! Hatiku bicara sengit. Itu kamu, Sarah !. Kamulah yang menabraknya. Kamulah yang membunuhnya.
Dan seperti seseorang yang baru saja mendengar berita kematian ibunya, aku terhuyung. Lantai seakan berputar, terbalik. Membuatku serasa ingin muntah. Kupegang ujung meja kuat-kuat agar tidak sampai jatuh. Titi terkejut, dia berdiri dan menopangku agar tetap berdiri tegak.
“Sarah, kamu kenapa? Mukamu pucat sekali. Kamu sakit?”
“Tidak. Tidak apa-apa. Barangkali Cuma letih,” sahutku berusaha menguasai diri.
Titi malah menatapku dengan pandangan menggoda. Bibirnya senyam-senyum. Sungguh tidak lucu! Sambil berkacak pinggang dia menggeleng-gelengkan kepala.
“Hebat ya, kencanmu kemarin?Tapi oke, kalau sakit kenapa tidak pulang saja? Minta ijin sama Boss sana ‘gih!”
Tanpa ba bi bu akupun segera pergi. Aku memang butuh waktu. Aku butuh udara segar. Kegelisahan itu terus kubawa sampai kerumah.Membuatku susah tidur, susah makam< susah berkonsentrasi. Selalu kubayangkan bagaimana orang-orang menemukan mereka dan membawanya ke rumah sakit? Cacatkah mereka? Atau meninggal? Bagaimana dengan keluarga mereka? Apakah aku sudah jadi pembunuh? Atau seorang buronan yang setiap saat bisa saja ditangkap? Aku jadi bergidik ngeri, Mendadak saja timbul niatku untuk menyerahkan diri ke pihak yang berwajib, tapi aku segera ingat bahwa hari pernikahanku sudah semakin dekat. Bulan depan aku sudah harus mengawali persiapanku untuk menikah dengan Tommy, rencana mencetak undangan, mencari gedung, perias, katering, dan.... ya Allah ya Robb. Apa yang harus kulakukan?
Tommy...Tommy... nama itu terus kubisikkan, tak mampu lagi mengingat apa-apa. Padahal setiap akan tidur dzikirlah yang kulantunkan, kini bahkan tak sampai lidahku.
Kelu. Pepat.
Hingga aku jatuh tertidur dengan sendirinya karena kelelahan. Dalam tidur aku bertemu Tommy, kami saling bergandengan sambil saling tersenyum. Langkah kaki terayun di tengah tamu-tamu, Tommy terlihat keren dengan baju hitam pengantinnya, namun...
Ya Allah. Tiba-tiba datang serombongan polisi, mereka menghampiri dam merenggutku dari genggaman tangan Tommy. Aku berteriak histeris saat mereka memasangkan borgol ditanganku.Aku meraung. Menjerit, ya Allah ya Allah...!
Aku tergagap bangun dengan sekujur tubuh berjeringat dingin. Dari atas meja rias kuambil koran kemarin yang sempat dibacakan beritanya oleh Titi, kucari pada halaman sekian, dan bertemu. Kubaca lagi, lagi...lagi. tercantum disitu kelanjutan kalimat yang kemarin, : “Jika saaudara masih memiliki hati nurani sebagai manusia, maka tengoklah korban yang saudara bantai di perempatan jalam Dipobegoro pada hari Minggu jam lima pagi, kemarin. Seorang diantaranya melayang jiwanya. Kepalanya pecah.Seorang lagi terbaring di rumah sakit dalam keadaan kritis. Andaikan selamat, anak berusia lima tahun itu akan cacat seumur hidupnya. Kedua kakinya diamputasi. Apa yang saudaralakukan jika musibah itu menimpa bapakmu atau adikmu? Tentu saydaraakan mengimbau juga. Oleh karena itu lewat kolom ini kami mengimbau saudara. Semoga saudara berjiwa besar dan datang mengakui semua perbuatan saudara.”
Jadi mereka.....
Aku tak kuasa melanjutkan kalimat. Getar tanganku semakin kuat membuat koran itu jatuh seiring guguk tangisku. Kurasakan darahku beku seketika. Dingin merambat dari ujung rambut ke ujung kaki, diriku terasa mati, hati nuraniku menjerit kuat: Pembunuh! Kmu pembunuh!
Malam itu aku berjalan kaki menyusuri jalan-jalan sepi tanpa tujuan.Pikiranku berkecamuk, kalut, cemas, dan ngeri membayangkan kejadian itu dan segakla akibatnya. Tentang kematian, tentang masa depan anak kecil itu. Tentang kehidupan yang dengan mudah terbalik balik sesuai kehendakNya. Tanpa kuasa kita menahan atau menghindar, karena seakan sudah tertulis di garis kehidupan masing-masing manusia. Kekalutan rupanya sudah mencapai titik puncak sama dengan titik puncak rasa sakit yang sudah tak tertahan dalam hati seorang manusia, rasa bersalah membuat bahuku luruh, tak berharga lagi jadi manusia.
Hingga pagi, dan hingga siang hari kemudian, tak ada satupun yang bisa kuajak bicara. Aku hanya bisa berbicara dengan diri sendiri dan bertanta-tanya, apa yang telah kulakukan ini? Seakan patung batu, aku duduk di taman pinggir jalan raya yang berlalu lintas ramai. Kendaraan seakan lewat tanpa ada yang perduli tentang seorang perempuan yang tengah duduk bingung di dekat air mancur. Mereka berpacu, sama sepertiku kala itu. Mereka takut kehabisan waktu. Kelelahan, kadang bahkan mengantuk dan ingin rebah melepas letih,. Namun begitu banyak urusan dunia yang harus diselesaikan tanpa pernah bisa selesai.
Kulangkahkan kaki. Ingin sekali bertemu Titi sahabatku. Begitu sampai di rumahnya dia baru saja selesai menjalankan ibadah sholat ashar. Kamu duduk beredua di beranda depan, menghirup kopi berdua seraya berbasa basi sejenak Aku mulai mempertimbangkan reaksi apa yang akan ditampakkan Titi seandainya aku menceritakan semua kejadian itu. Akankah dia terbelalak, atau berteriak, atau marah? Siapa tau, ada jalan terbaik bagiku yang akan disarankannya. Biasanya dia punya jalan keluar bagi setiap persoalan. Namun muncul lagi kebimbangan, bagaimana kalau dia malah melapor? Mati aku. Apakah mungkin dia tega? Ah, nafasku jadi semamin sesak. Punggungku kembali berkeringat dingin.
Benar, matanya terbelalak saat aku menceritakannya secara runtut dan rincil. Bibirnya memucat pasi. Tercelangkap tanpa bisa berkata-kata. Terhenyak dia dengan nafas terengah.
“Jadi...kaulah pelakunya” kedua matanya nyalang manatapku.
“Kau Cuma becanda, kan? Kau hanya mau menakutiku?” Titi mencecarku sambil mengguncang bahuku kuat-kuat. Seakan tak mau percaya akan semua yang kuceritakan dengan suara terbata-bata.
Aku menggeleng.
“Jadi betul, kaulah yang menabrak mereka dan melarikan diri? Astagfirullahaladziim ...Sarah!”
“Truck itulah yang menyalibku tiba-tiba dan aku ..aku membanting setir kekiri karena kaget...aku...aku...”
“Kau kaget karena tidak konsentrasi. Kenapa? Kau mengantuk, lelah...Ya Allah, Sarah. Kalau begitu mau tak mau kau harus menyerahkan diri. Tak ada jalan lain.”
“Tapi Ti, aku kan harus.....”
“Aku tau. Pernikahanmu sudah dekat, Tapi harus bagaimana lagi? Kau tidak ingin jadi buronan, kan Sar?”
Aku tertunduk.
“Setelah menikah, lantas apa? Kau akan punya anak, bersekolah, lulus jadi sarjana pula. Hidup keluargamu bahagia dan sukses. Namun apa artinya bila semua itu kau lakukan diatas penderitaan orang lain, diatas penderitaan keluarga lain? Ingat Sarah, anak itu akan cacat seumur hidupnya, bapaknya mati.......!”
Kudekap wajahku dalam satu bayangan yang mengerikan. Tidak, aku tidak mau hidup seperti itu. Demi Allah!
“Karena itu, akuilah semuanya. Aku akan mengantarmu.”
Hatiku makin tak menentu, mendadak saja wajah Tommy membayang jelas dimataku.
“Ayolah Sarah, jangan jadi pengecut.”
“Aku tak sanggup. Aku tak bisa.” Aku mulai menangis.
“Sarah. Akuilah dengan hati jujur, bahwa kau telah menghilangkan nyawa orang,”
“Aku tak sengaja!”
”Sengaja atau tidak, pengadilan yang akan menentukan.”
Kurasakan kini sepertinya aku memang sedang sendiri. Bahkan Titi tak mampu memberikan aku jalan seperti yang kuinginkan, aku ingin dia mengatakan bahwa ini adalah sebuah ketidaksengajaan, musibah, aku bukan pembunuh, bukan, samasekali bukan!
Pelan-pelan semua kejadian berputar kembali dalam ingatanku. Semuanya. Terlebih ucapan Titi, Bergema dan bergaung diteluingaku. Membelit, menuntur sebuah pengakuan bahwa benar aku adalah serupa pengecut yang tidak bertanggungjawab atas penderitaan orang lain yang kutimbulkan. Benar kata Titi< aku berjiwa kerdil. Masih pantaskah aku memiliki kebahagiaan setelah merampas kebahagiaan orang lain? Namun, haruskan aku menyerahkan diri, menyerahkan kebebasanku? Bukankah begitu banyak kasus tabrak lari tanpa seorangpun mengakuinya dan tak terungkap? Aku tak bisa menjabarkan perasaanku yang lebih dalam.
Ketika kakiku kembali melangkah meninggalkan rumah Titi, senja mulai menebar. Sebentar lagi malam menggantikannya, dan suasana akan jadi gelap segelap hatiku. Akan pekat sekelilingku.
Tiba-tiba terdengar suara adzan, aku jadi tertegun. Langkahku buntu. Alangkah aneh suara itu ditelingaku. Seperti suara tangis yang memanggil-manggil, lirih, sunyi, pasrah, dan penuh rindu. Dan aku terseret. Terasa ada yang lepas dar dada, entah apa. Kelopak mataku basah, Terbayang dimataku bapak itu terbaring sendiri, Kemudian dikafani, dan diselimuti kain batik.. Orang-orang berkumpul membaca doa, kemudian mengusungnya ke kuburan. Sekali lagi mereka berdoa namun kali ini lebih khusuk. Beberapa orang ada yang menangis diam-diam. Lalu jasad itu dimasukkan ke liang lahat yang sempit. Amat sempit. Kemudian gelap. Sebuah kegelapan yang abadi, gelap mati, kemudian....... kemudian,,,,
Ah!
Tidak.
Aku tersentak Dingin malam merambati sekujur tubuhku yang basah oleh keringat. Pipiku lembab, mataku pedih. Sangat pedih. Ya Tuhan, apa yang telah kuperbuat ini? Buron? Kepengecutan yang menjijikkan! Jiwaku menggigil. Lamat-lamat seperti ada yang memanggil dan aku kembali bergetar, sangat kuat.
Kuhapus sisa airmata dengan kasar. Kutepis semua bayangan dan harapan. Kulepas satu demi satu semua keinginan untuk hidup bahagia berkeluarga dengan kekasih tercinta, kubuang jauh-jauh. Kulepas. Kutepis. Dan kuambil satu keputusan: Menyerahkan diri.
***
.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar