Senin, 25 April 2016

YANG TAK SEMPAT BERBUNGA

Sudah menjadi kebiasaan baru bagiku untuk selalu datang lebih pagi di perpustakaan. Semua itu kulakukan hanya karena keinginanku melihat Pang Jayadi datang dan melempar senyum samar kepadaku sebelum menenggelamkan wajahnya di depan PC dan setumpukan berkas. Aneh memang. Duduk disini, di belakamg meja yang tepat berada di depan meja Pang Jayadi, aku seakan dilahirkan hanya untuk menjadi ‘si pungguk yang merindukan bulan’. Bagaimana tidak? Setiap pagi cowok berhati batu itu seakan secara kebetulan lewat dan duduk di depan mejaku.dan ....puff, Lenyaplah wajahnya dibalik komputer dan setumpuk berkas. Seolah-olah dia adalah manusia manusia perunggu yang dingin tak berhati. Demikianlah selalu setiap pagi.. dia berjalan dengan langkah tegap dan cepat melintasiku seakan meluncur diatas skateboard tanpa ekspresi selain senyum samar di ujung bibir tipisnya. Diriku ini dianggap bagai pajangan tak bernafas. Astaga! Padahal, jujur saja, banyak teman di kampus tempatku kuliah aku dikatakan sebagai primadona, atau bunga kampus, maka melihat sikap Pang Jayadi yang demikian, aku jadi ragu. Benarkah aku masih bisa dikatakan bunga kampus? Sungguh mati, rasa bangga mendadak runtuh setiap kali berpapasan dengan Pang Jayadi. Agaknya aku sudah tak punya kekuatan daya tarik lagi bagi dia. Perlahan namun pasti, keinginan untuk mendapat sapaan lebih ramah dari ‘gunung es’ itu kian memudar, pupus begitu saja. Seperti biasa pula, pagi imi halaman parkir masih kosong. Tidak mengherankan apabila kemudian kudapati hampir seluruh pintu salle masih terkunci. Gedung tua yang luas itu masih lengang, Memang hari masih terlalu pagi. Jarum jam di pergelangan tanganku baru menunjukkan angka tujuh kurang sekian menit. Sepi dimana-mana, Maka jangan harap bisa menemukan mbak Wied, kepala perpustakaan, duduk di kursinya sambil tersenyum menyambut dengan ucapan khas berbahasa Perancis, “Bonjour, Mademoiselle.” Tanpa singgah ke ruang perpustakaan aku langsungmenuju ke bagian belakanggedung utama Pusat Kebudayaan Perancis untuk ,menemui penjaga, Biasanya pak tua yang ramah itu dengan senang hati akan membiarkanku membuka sendiri pintu-pintu ruang kursus termasuk ruang perpustakaan dengan menyerahkan segenggam anak kunci kepadaku. Saat itulah, di koridor seseorang menyapaku, “Bonjour, Mademoiselle.” “Bonjour,” balasku kaget. Sepasang mata biru yang cerlang menatapku penuh senyum. Keramahannya membuatku tergugah untuk menawarkan bantuan, “Ada yang bisa saya bantu, Monsieur?” tanyaku berbahasa Perancis. “Ya, terimakasih. Saya ingin menemui Philippe Galinier.” “Professeur du Francais yang baru datang dari Paris?” “Ya ya, betul.” Mata biru itu mengerjap senang. “Dia masih tidur,”sahutku menyesal. “Biasanya dia akan keluardari dalam ruang tidurnya sekitarpukul setengah delapan, Mereka, maksud saya Philippe dan Xavier Inglebert, mengajarpada pukul delapan hingga pukul sepuluh. Barangkali Anda bisa menunggu mereka di perpustakaan.” “Perpustakaan? Dimana itu?” “Di bagian kiri gedung utama. Saat ini masih tutup. Sebentar, saya akan mengambil anak kunci untuk membuka bibliotheque. Anda bersedia menunggu?” “Bien sure, avec plaisir. Dengan senang hati.” Sahutnya buru-buru. Rambutnya yang merah kecoklatan kian berguncang dan jatuh menutup sebagian keningnya, Kuteruskan langkah menuju paviliun yang khusus disediakan untuk para penjaga dan tukang kebun. Kemudian dengan menggenggam sekumpulan anak kunci yang kuterima daei pak tua, kami berdua berjalan beriringan ke perpustakaan. “Anda baik sekali,” katanya. “Terimakasih,” “Siapa nama Anda?” “Paramita.” Dia mengeja namaku perlahan dengan lidah asingnya, “Nama Anda bagus sekali,” katanya kemudian. Aku teretawa mendengar ucapannya. Dalam hati aku membenarkan. Namaku memang bagus, itu kata kebanyakan orang. Namun tak cukup bagus untuk menarik perhatian Pang Jayadi. “Dan siapa nama Anda?” tanyaku. “William. Andy William.” “Oh....” aku tak dapat menahan senyum lepas. “Mirip seperti nama....” “Penyanyi ?” “Yes.” Dia mengangkat bahu dengan lucu. “Itu barangkali karena mom and daddy menyukai penyanyi itu maka jadilah saya.” “Hahaha.... you must be kidiing,” tawaku. Dia menatapku dan tersenyum akrab. Aneh, mendadak aku menyukai mata birunya yang cerlang. Sepasang mata yang seakan mampu menyihirku, dan membuatku ingin berpaling dari bayangan sosok Pang Jayadi. Ah, sergahku dalam hati. Lupakan dia dong Mita...! Pang Jayadi teerlalu jauh dari jangkauanmu. “Mama saya juga suka Andy Wiliams< Itu penyanyi favorit mama saya. Kami punya banyak CDnya di rumah.” Kataku menghapus bayangan Pang Jayadi. “Kenalkan saya dengan mama Anda. Saya jamin, dia pasti juga suka sama saya,” Kami saling tertawa. “Anda dari United States?” “Ya. Kebetulan saya mengajardi PPIA. Kami< maksud saya, saya dan Phillippe pernah bersama-sama. Kami teman.” “Bagus.” “Bagus apa maksud Anda Paramita?” “Bagus untuk Anda dan bagus pula untuk semuanya. Bahwa untuk usia yang masih muda, Anda sudah keluar dari negerimu untuk mengajarkan bahasa Inggris yang baik dan benar di negeri orang. Bukankah itu bagus?” “menurut Anda begitu?” “Ya, menurut saya sih. Omong-omong berapa usia Anda ?” “Coba saja menebak.” “Mmmm..... sama seperti Monsieur Philippe...” Dia menahan tawa. Menungguku berpikir-pikir menerka usianya. “Sekitar dua lima?” “Salah.” “Tigapuluh?” “Hahaha.... salah semua. Come on, katakan dulu usia Anda.” “Tanpa berbelit?” “Ya. Menurut saya, usia Anda sekitar....itu.” “Apakah itu penting?” “Bisa penting bisa tidak.” Pada akhirnya kami tidak bisa menebak dengan tepat. Kendati aku tau, usianya tak lebih jauh berbeda dengan Philippe atau Xavier. Kalau dibanding=banding cowok-cowok pengajar dari negeri asing ini hampir sama umurnya. Wajah bule mereka juga saling mirip. Hanya saja mata dan hidung Andy lebih serasi dan pas bagi raut wajahnya yang terlihat lebih lembut dan manis. Dagunya adalah bagian paling mempesona, Rahang serta lekuk dagu TimothyDalton si ‘the best Bond’ membuatku kian terpesona. Kami masuk ke ruang perpustakaan. Kunyalakan air condition, dan membereskan berkas-berkas di meja mbak Wied. Kemudian kusorongkan kursi untuk Andy. “Jadi Anda bekerja disini?” tanya dia. “Semuda ini Anda sudah bekerja. Seharusnya Anda masih kuliah.” “Saya memang masih kuliah di sebuah universitas swasta. Dan satu hal Andy, saya tak lebih muda banget dari Anda.” “Oh...hohoh.” dia tergelak. “Baiklah. Saya akan tebak usia kamu. Duapuluh dua!” ujarnya tertawa-tawa. “He, bagaimana bisa Anda menebak dengan tepat?” “Siapkan taruhannya, “ “Brengsek ah!” “Hehe... Anda bilang apa?” “Sorry. Lebih baik tidak usah saya terejemahkan.” “Saya tau. Saya juga bisa bilang brengsek ah.” “Sial.” “D’accord, senang bisa mengenalmu nona. Bagaimana kalau nanti kita makan siang bersama? Aku traktir.” Kukerutkan kening, “Maksud Anda?” “Just you and me.” Saat itu tiba-tiba daun pintu terkuak. Sosok Pang Jayadi muncul ditengah bingkai pintu. Dia tertegun sejenak. Hunjaman matanya menusuk tepat di jantungku. Seakan aku dapat membaca apa yang tengah tersirat dibenaknya. Adalah sebuah teguran yang tidak terucap. Yang kemudian membuatku gemetar. Andy meluruskan pungggung, menoleh sekejap ke arah Pang Jayadi yang terseok menuju ke arah meja kerjanya. “Okay Paramita. Sebaiknya saya pergi menemui Philippe di kamarnya. Sampai nanti.” Kuikuti langkah Andy dengan pandangan mata. Sebelum dia mencapai halaman, kulihat Philippe dan Xavier telah ditemukannya. Mereka berpelukan dan tertawa-tawa..... Sebuah deheman membuatku berpaling ke arah suara itu. Pang Jayadi masih menatapku dengan gusar. Setumpuk buku disusunnya berkeliling di atas meja, merupakan dinding benteng yang seakan melindunginya dari serangan panah asmara gadis-gadis. Ingin kusapa dia dengan ucapan selamat pagi yang manis, namun sepasang mata diwajah bekunya itu sudah tenggelam dibalik komputer kesayangannya. Maka pupuslah keinginan dan harapanku untuk berbaik-baik dengan Pang Jayadi. ***** Andy mengaduk mie di depannya dengan sepasangsumpit yang masing-masing dip[egangnya dengan tangan kanan dan kiri. Hampir aku tak dapat menahan tawa melihat kecanggungannya mempergunakan sumpitnya. “Kamu belum terbiasa menggunakan sumpit. Mengapaa tak kaugunakan saja sendok dan garpumu, Andy?” Kami sudah terbiasa ber’kamu’ dan ber’aku’. “Ah, aku sudah biasa,” sahutnya. “Oh ya? Dengan ceceran mie di sekitarmangkukmu?” “Cuma sedikit. Tak apa-apa.” Mulutnya menelan segumpal mie dengan lahap. Kemudian tatkala menyadari tatapan mataku yang melotot ke arahnya, dia teretawa kecil. “Baru kusadari, matamu hitam dan besar,” katanya. “Seperti apa?” “Seperti bintang Timur,” jelasnya menahan tawa. “Wah. “ kumiringkan kepala. “Adakah bintang Timur di United States?” “Banyak. Tapi tak satupun bisa mengalahkan pijar dimatamu.” “Uf. Merayu,” “Merayu? Aku tak perenah merasa peerlu merayu gadis-gadis,” sahutnya sambil mendorong mangkuk mie ke tengah meja. “Percuma.” “Kenapa kaukatakan percuma?” “Hanya membuang waktu saja. Apalagi terhadap gadis semacam kamu.” “Kok aneh. Mengapa?” “Karena kamu terlihat sangat tegar dan mandiri. Gadis sepereti kamu tak akan pernah menyerah hanya oleh sebuah rayuan. Aku melihat, kamu seperti batu karang di tengah hempasan ombak. Ya, aku membayangkan begitu. Dan ketegaran itulah yang membuat aku jatuh hati padamu.” Kurasakan kedua mataku merebak. Entahlah. Menatap kebeningan matanya, kelembutan sikap dan tutur bahasanya, sesuatu yang hangat menjalar dalam relung hati. Tiga bulan bersama Andy membuatku jadi semakin tau bagaimana dia. Perlahan namun pasti bayangan Pang Jayadi kiaan kabur dari ingatanku meskipun setiap pagi aku selalu bisa memandangnya dari balik tumpukan buku-buku tebal di mejanya. Kusadari kemudian, kalau ternyataada seseorang yang datang dan mencintaiku apa adanya, mengapa pula aku harus mengejar-ngejar seseorang yang samasekali tak peduli kepadaku? “Mata gadis-gadis Asia pada umumnya membuat aku terpesona,” kata Andy memecahkan keheningan. “Seakan menyimpan misteri yang memikat bagi orang-orang asing sepertiku.” Kulipat kedua tanganku diatas meja, menatapnya dengan gemuruh dalam dada. Cemburukah aku dengan ucapannya? “Ceritakan,” kataku sedikit menahan kemarahan,”Berapa banyak gadis Asia yang telah kau pacari?” Andy teretawa lebar. “Kau pikir aku begitu?” “Habis, apalagi kalau bukan itu? Kebanyakan orang asing sepertimu sangat mudah memikat hati gadis-gadis Asia seperti aku.” “Seburuk itukah?” Kucoba melunakkan suasana dengan tersenyum tipis. Seharusnya aku tak perlu merasa buru-buru dicintai. Seharusnya! Sebab sejak dulu aku berpendapatbahwa orang-orang asing yang datang ke bumi pertiwi ini cepatsekali merasa jatuh cinta pada penduduk asli di tempat mana mereka ditugaskan. Boleh jadi hanya karena iseng atau kesepian. Dan apabila mereka kembali ke negeri asalnya dengan cepat mereka akan melupakan kisah cinta lokasinya di negeri asia seperti ini. Seperti aliran anak sungai yang mengalir deras ke hilir, cinta merekapun akan padaam bersama lenyapnya kami dari pandangan mata. Namum apakah Andy juga seperti itu? Ah! Rasanya tak percaya kalau diapun akan sama dengan laki-laki asing lainnya yang datang ke negeri antah berantah ini. Perasaanku jadi bergumul antara percaya dan tidak pada ketulusan har=ti mereka. Ini membuatku jadi terombang-ambing< Rindu dan bingung saling datang dan meerenggut menyeregap hati. Membuatku gamang. Melayang tanpa akhir. Kutarik nafas dalam-dalam dengan dada sesak. “Andy,” kataku pelan. “Aku kuatir kita ini masih terlalu pagi untuk bicara jauh mengenai hal-hal yang menuju kearah itu, yang menyimpang dari hubungan pertemanan kita, Kadang aku merasa kita ini belum pasti akan perasaan masing-masing. Aku juga bertanya-tanya, apakah perasaan yang tengah kamu rasakan itu Cuma perasaan persahabatan biasa?” “Bagitukah pendapatmu?” “Barangkali, Andy.” Kudengar hela nafasnya. Berat. “Dengar, Paramita. Aku tidak pernah bersungguh-sungguh seperti ini. Aku katakan ini sekadar kamu ketaui. Tidak percayapun, boleh. Namun aku akan tetap berusaha dan akan membuktikan kesungguhanku terhadap hubungan kita ini. Aku ingin memiliki seseorang, dan itu adalah kamu.” “Tapi...” “Sssst, sudahlah. Jangan bicaraapa-apa lagi.” “Aku hanya ingin tau lebih jelas tentang arti kata-kata itu.” “Tak perlu dijelaskan lagi.” senyumnya. Diraihnya tanganku dan digenggamnya erat. Senyumnya itu,... bahkan sampai matipun aku tak akan pernah bisa melupakannya. “Akan hilang keindahannya bila terlalu banyak penjelasan. Cava?” lanjutnya sambil tertawa. Kemudian dengan santai dia bangkit, berjalan ke kasir dan membayarsemuanya. Bayangan dirinya yang selalu memberi gambaran tentang optimisme yang tinggi seperti itulah yang tidak akan pernah kutemukan dalam diri laki-laki manapun di dunia. Bahkan sampai beberapa bulan kemudian saat terakhir perjalanan kami, aku mengantarkannya ke bandara Juanda, dia masih memperlihatkan ketegaran dan optimisme tentang hubungan kami. Setelah masa tugasnya selesai dia ingin menghabiskan masa cutinya dengan berkeliling Indonesia. “Aku ingin lebih mengenal tanah airmu, aku ingin lebih mencintai bukan hanya dirimu namun juga negerimu.” katanya sebelum memasuki gate 3 Bandara Juanda. ***** Hari-hari se;lanjutnya tanpa Andy kurasakan bahkan cinta itu semakin tumbuh di hatiku, Tanpa kehadirannya disisiku, tanpa menatap senyum dan kerjap bola matanya, aku jadi lebih sering disergap kesepian dan kerinduan yang tak bertepi. Mau tak mau aku harus mengakui betapa aku mencintainya. Cinta yang tumbuh perlahan demikian lembut dan dalam. Hingga pada suatu hari,........ Melalui interkom, Monsieur Ledoux memanggilku. Mbak Wied yang ikut mendengarpanggilan itu mengedipkan sebelah mata kepadaku. “Hati-hati,” ujarnya lucu. “..kamu pasti kena marah lagi.” Tetapi, ketika sudah berada di ruang direktur, jantungku serasa berhenti beredetak saat beliau menatapku tajam. Melihat aku tertegun di tengah bingkai pintu, Monsieur Ledoux mempersilakan aku duduk di hadapannya dan menyerahkan sepucuk surat yang sudah dalam keadaan terkoyak sampulnya. “Ini surat dari United States.” Katanya dalam bahasa Perancis tanpa prolog. Kubaca alamat surat di bagian depan sampul. “Tapi surat ini bukan untuk saya,” sahautku seraya mengembalikannya kepadaanya. “Memang bukan, Surat itu dari Madame William untuk saya. Beliau bercerita tentang puteranya yang bernama Andy. Diceritakannya bahwa Andy telah sampai di St Paul, Minneapolis. Mademoiselle Paramita, Anda tentu menegnal baik Andy William?” Detak jantungku berdetak tidak beraturan. Berpacu bagai kuda binal, berhenti, berpacu lagi, melompat hampir keluar dari rongga dada. “Ya, saya mengenalnay dengan baik.” Monsieur Ledoux menyandarkan punggung, kedua matanya meredup tiba-tiba. “Adayang harus saua sampaikan kepada Anda. Tentang Andy.” “Katakan saja, Monsieur.” “Meskipun berat bagi saya, saya akan menyampaikannya. Maaf.” Laki-laki berkacamata tebal dan berhidung besaritu terdiam lama sambil menundukkan kepala. Kemudian dia menambahkan cepat-cepat kalimatnya, sek=akan-akan ingin segera menyelesaikan sesuatu yang membuat sesak dadanya. “Teman Anda itu mengalami sebuah kecelakaan berat di tengah perjalanan dari Minneapolis ke St Paul. Kecelakaan itu terjadi hanya beberapa kilometer saja jaraknya dari tanah pertanian meereka.” Tanganku gemetar, Sekujur tubuhku menggeletar hebat. Betapa dahsyat berita itu menyambar kepalaku. Monsieur Ledoux menatapku dengan pandangan penuh simpati. Tapi sikapnya yang simpatik samasekali tidak mampu menghilangkan keterkejutan yang kualami. Tuhan, desisku tanpa suara. Berikan aku kekuatan menghadapi segala kepahitan yang bakal datang menghadang setiap langkahku. Kepasrahan memang menyakitkan. Tetapi apa dayaku selaik bersikap pasrah pada segala macam bentuk ujian yang Engkau berikan? Surat-surat maupun kartupos dan foto-foto Anda mereka temukan didalam kopornya, Sebetulnya jauh hari sebelum Andy pulang ke United States, ibunya sudah mengetaui hubungan kalian melalui telepon Andy dari Indonesia. Dan ibunya telah merestuinya. Sayangnya.....” Andy selamat, kan?” potongku tak sabar. Beberapa saat dia terdiam. Terlihat ragu. Namun kemudian dengan suara pelan dia menjawab, “Maaf Mademoiselle. Andy tewas seketika itu juga.” Suara penyampaian tentang kematian itu demikian santun, demikian pelan, namun kurasakan gelegarnya bagaikan samabaran halilintar. Memecahkan kepalaku. Memecahkan harapanku, meremukkan hatiku....ya Tuhan...! Mataku nanar menatap wajah direktur Pusat Kebudayaan Perancis di depanku. Nanar menatap dinding yang tiba-tiba kurasakan menyempit dan menghimpit raga. Wajah separuh baya berkacamata didepanku mengabur bersamaan dengan genangan airmata yang membanjir. Ingin kuteriakkan protes, ingin kumaki keadaan. Namun mul;ut ini terkunci rapat. Kering dan dahaga. Kuremas hati agar bisa ikhlas menerima semuanya. Kenyataan pahit yang terpapar di depan mata, menghadang jalan kehidupan dan membaurjan kesedihan menghapus kebahagiaan yang hanya selintasan lewat. Doa keselamatan yang selalu kupanjatkan setiap malam untuknya, ternyata tidak dikabulkan. Tidak ditanggapi semestinya. Lalu apa artinya semua ini? Tuhan telah mempertemukan aku dengan Andy, seseorang yang databng seakan dari langit yang berbeda, padahal kami memiliki langit yang sama birunya yang mana semua itu diceritakan oleh Andy melalui kartupos kartupos yang dia kirim dari Trunyan, Denpasar, Rinjani, Jogja, Bandung, Singkarak, Toba,........Tuhan pula yang membukakan pintu hatiku untuk menyambut kehadiran Andy, dan kini....Tuhan memanggilnya pulang. Mungkin tubuhku mulai merunduk dan nyaris jatuh dari kursi. Direktur berdiri dan memapahku pindah ke sofa besar. “Mademoiselle.....Anda tidak apa-apa?” Suara Monsieur Ledoux seakan bergaung dari dunia lain yang amat jauh. Begitu jauh dan asing. Kian lama kian kurasakan kesunyian menyergap di sekitarku. Wajah Monsieur Ledoux kian kabur. Pandangan mataku gelap seketika. ******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar