Kamis, 20 Oktober 2016

DONOROJO 4

Betapa kaget bapak, ketika ibu menceritakan peristiwa itu kepadanya
"Aneh sekali, " kata bapak. "Besok, pagi2 sekali bapak akan kesana. Ikut menyampaikan.keprihatinan kita atas kejadian itu. Bagaimana Sindung, sudah pulang?"
"Itulah yang kupikirkan. Sudah dua hari lhoh pak, dia pergi. Mudah2an ndak apa2."
"Bukankah dia pergi bersama teman2nya seperti biasanya?"
Sebelum.menjawab ibu terdiam beberapa saat.
"Maaf ya pak, aku baru tau bahwa ternyata Sindung kesana sendirian saja."
Bapak mengerutkan kening. Katanya, :
"Ibu tau? Ada beberapa jalur untuk pendakian. Kalau kita kurang memahami, bisa2 kita salah memilih jalur yang rawan begal."
"MashaaAllah, pak...."
"Itulah makanya, tidak mudah mendaki gunung Lawu. Tidak boleh sembarangan. "
"Terus piye iki, pak?"
"Biar besok bapak susul dia."
"Bapak tau dimana bisa menemukan Sindung?"
"Berdoalah, bu. Mudah2an sebelum gelap bapak sudah bertemu dengannya."

Maka pagi2, setelah mengunjungi Mangundirejo,  bapak bersiap siap ke Plaosan bersama salah seorang pembantunya, Triman.
"Ayo, ngancani aku Man. Ke gunung Lawu."
"Lhah lhah. Belum suro kok ndoro kakung sudah mau nyepi kesana?"
Bapak tertawa lebar.
" Ngawur! Sing arep nyepi ki sopo! Aku ajak kamu menyusul mas Sindung. Gelem po ra?"
"Oalaa ndoro, mana berani saya menolak. Monggo, saya sopiri. Kemanapun, saya sanggup."
"Ya sudah, sana. Siapkan mobilnya Man."
Tanpa banyak bertanya, Triman segera berlari lari kecil menyiapkan kendaraan. Bapak berharap, sebelum malam, Sindung sudah ditemukan. Nalurinya bicara, pastilah Sindung pergi ke Cemoro Sewu.
Sebagaimana pengetauan bapak selama ini kebanyakan orang2 ,pelaku spiritual lebih memilih jalur melalui  Candi Cetho karena beranggapan bahwa pintu masuk ke gunung Lawu arah depannya adalah dari atas Candi Cetho. Sedangkan sebagian orang meyakini bahwa Cemoro Sewu adalah pintu belakang.
Disebutkan, jika melewati jalur Candi Cetho orang akan.melewati berbagai lokasi yang masih disakralkan. Antara lain Candi Cetho dan Candi Kethek. Dari sana akhirnya pendaki akan memasuki wilayah yang dipercaya masyarakat setempat sebagai pintu masuk kerajaan makhluk ghaib yang diwujudkan dalam bentuk dua batang pohon cemara besar yang saling berdampingan selayaknya pintu gerbang yang dikenal dengan nama Cemoro Kembar. Konon, disitulah letak pintu masuk pasar setan di letrng gunung Lawu.
Secara misterius ditempat ini bisa saja secara tiba2 api muncul . Karena itulah, bapak sangat mengkhawatirkan mas mbarep. Sindung masih terlalu  muda, dan awam dalam hal menelusuri sudut2 gunung Lawu yang penuh misteri.

Bapak melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju puncak gunung Lawu yang diawali dari pintu gerbang Cemoro Sewu. Berdua dengan Triman, abdi setianya, bapak berjalan menelusuri  jalan setapak berbatu yang tertata dibawah keteduhan pohon cemara yang tumbuh di kanan kiri jalur pendakian.
Setelah melewati gerbang pendakian bapak memasuki wilayah dimana pepohonan pinus  tumbuh lebat, udara yang dingin dan sejuk, serta berbagai bongkahan tebing yang apik. Bapak bahkan mendapati suasana kabut tebal yang indah disertai kicau burung Lawu yang sangat merdu.
Indah sekali, pikir bapak. Tempat seperti inikah yang bisa menghapus semua kepedihan hati seseorang?
Agak kedalam lagi bapak dan Triman berjalan, ketika tiba2 Triman menunjuk kearah sesuatu."itu denmas Sindung!"
Benar.
Bapak melihat Sindung duduk bersandar ke batang pinus sambil memeluk tas kulit miliknya. Sepertinya tertidur. Atau kelelahan? Pingsan? Ya Allah!!
Bapak menghampirinya, mengguncang gincang agar terbangun.
"Saya menemukan buah ini bergulir dekat kaki denmas," kata Triman tiba2.
Bapak menengok.
"Buah apa."
"Jeruk."
Bapak menerima uluran buah dari tangan Triman. Melihat berkeliling seakan.mencari dari mana asal buah itu jatuh.
"Disini cuma ada pohon cemara, ndoro."
"Ya. Tidak ada tumbuh pohon jeruk. Lantas, darimana buah ini jatuh?"
"Dari dalam tas denmas, mungkin?"
Bapak mengalihkan tatapan.matanya ke wajah Sindung yang mulai menggeliat.
"Ndung....Sindung. Bangun ngger. Kau tidur atau pingsan?"
Perlahan Sindung membuka mata, dan begitu tau ada bapak didepannya, dia beringsut lebih tegak. Bapak tersenyum.lega ketika dengan wajah malu, Sindung mengulas senyum di bibirnya.
"Kau tidur atau pingsan?" bapak mengulang pertanyaannya.
"Saya mungkin tertidur,. Capek. Pak"
"Hmm. Terbukti kamu itu masih bayi ingusan. Begitu saja sudah capek. Kalah sama bapakmu. Nih. Kamu sampai tidak merasa jerukmu ngglundung keluar dari tas"
Sindung menerima jeruk dari tangan bapak, menatap heran, dari wajah bapak ke jeruk bergantian.
"Kenapa, kamu masih bingung?"
"Pak,... Saya kan ndak suka jeruk. Mana mungkin saya bawa2 jeruk dalam tas."
Lama bapak terdiam. Berpikir tentang keanehan itu.
"Mungkin,..." kata bapak, :"ada maksud atau pesan melalui jeruk itu. Makanlah. Suka atau tidak, makanlah. Kekuatanmu akan segera pulih."
Dengan ragu, Sindung mengupas dan mencicipnya. Biasanya Sindung akan menolak mentah2 mengkonsumsi buah itu, tetapi karena bapak yang memerintahkan. maka.....
"Bagaimana, enak?" Tanya bapak.
Sindung mengangguk. Ya, tak bisa dipungkiri. Jeruk itu manis sekali. Lembut dan dingin seperti baru saja keluar dari lemari es.
"Seger ya?"
Sindung tertawa. Buah itu tidak habis dimakannya, walau terasa sangat segar dan manis. Mendadak dia ingat pada Triman.yang duduk bersila didekatnya.
"Man, ini masih ada sisanya ...Kamu mau?"
Triman malu2.
"Sudah, terimalah Man."
Bapak kemudian menarik tangan Sindung untuk berdiri. Tapi rupanya Sindung masih ingin menyampaikan sesuatu pada bapak.
"Bapak,.... Bagaimana dengan pernikahan Tining?" tanyanya.
"Apa itu penting buatmu untuk mengetauinya?"
"Tadi saya sempat tertidur pulas."
"Ya, bapak tau. Kamu bermimpi?"
"Saya bermimpi Tining datang pada saya, cantik sekali,... Lalu..dia memberi saja jeruk manis. Jeruk, pak. Seperti yang tadi bapak berikan pada saya ."
"Allahu Akbar."
"Tining baik2 saja, kan pak? Dia bahagia kan?"
Cukup lama bapak terdiam. Bapak harus menenangkan gejolak batinnya sejenak, karena kalau dipaksa berbicara, bapak tak ingin suaranya terdengar bergetar. Tidak juga ingin.membalas tatap mata memohon didepannya. Mata bapak terasa panas. Pilek, tiba2. Tenggorokan kering. Oalah, ngger..... Bagaimana bapak harus ngomong tentang gadis idamanmu,  sekaligus teman bermainmu semasa kecil dulu?
"Bapak..... Apa yang terjadi dengan Tining?"
Bapak mengangkat wajah.
"Apa yang kau rasakan, nDung?"
"Saya merasa...ada yang hilang dari hati saya."
"Kemudian, apalagi?"
"Seakan.... Seperti kata bapak tadi, ada pesan yang ingin disampaikan."
Bapak menjentikkan jari,
"Pas seperti itu."
"Pas?"
"Memang ada yang harus bapak sampaikan. Biarlah bapak mewakili pesannya untukmu."
Sindung memandang bapak tanpa kedip. Jauh dilubuk hati, Sindung merasakan kesedihan yang amat dalam. Kesedihan, kekecewaan, rasa kehilangan, rasa dikhianati, berbaur jadi satu. Ingin ditepis jauh, namun justru ditempat sepi seperti ini, kenangan  bersama Tining seakan akan cakar yang mencengkeram batok kepalanya, siap meremukkan benaknya sekaligus.
"Dengar ngger. Menurut bapak, apa yang ada antara dirimu dan dia, total, sudah selesai."
"Kenapa bapak  bilang begitu? "
"Dia sudah menikah.  Kau sadar akan hal itu?"
"Saya hanya sekadar ingin tau pak, apakah..."
"Yakin, kau hanya ingin tau?"
"Ya pak. InshaaAllah."
Bapak menegakkan punggung.
" Bapak tau, kamu sudah merasa sebelumnya. Bahwa dengan pernikahan itu..."
Sindung menukas cepat. "Benarkah dia dikehendaki Ronggo?"
Bapak mengangguk.
"Benar."
Luruh bahu Sindung. Luruh semua harapannya bersama hempasan sebilah pedang yang menebas hati. Apalagi kini yang harus ditangisi? Bukankah semua seakan terpapar jelas di matanya?
"Sudah dimakamkan?"
"Kemarin,"
Sindung memejam. Terbayang kembali mimpinya barusan, bahwa dengan sangat jelas dilihatnya Tining datang dengan membawa  benerapa buah jeruk dalam pelukan, dan mengulurkan sebuah yang paling besar  dan ranum kepadanya sambil melepas senyumnya yang manis. Jadi inilah maksudnya. Tining ingin meninggalkan suatu kenangan dan cinta, mungkin, kepadanya. Sebuah cinta sejati, cinta yang tumbuh sejak masa kanak2 yang manis dan tulus. Kasih sayang yang tak tertandingi.
Bapak merengkuh bahunya dan.menenggelamkan  kepala Sindung dalam2 kedadanya.  Dirasakannya kemudian tubuh tinggi lampai itu bergetar. Tak terdengar isak,  hanya semacam desah halus menyebut asma Allah berkali kali dari mulut Sindung.
Disampingnya, Triman menghapus mata yang basah.
"Menangislah, biar lega dadamu." Bisik bapak ditelinganya. Lupa sudah akan pesannya dulu pada Sindung kecil bila anak itu menangis. Dulu, bapak selalu membentak,  :"Jangan nangis, anak laki2 pantang menangis!"
Sindung melepaskan diri dari pelukan bapak. Mendesah halus:
"Astaghfirullahal afziim...."
Lama sesudah itu, bapak berhasil mengajaknya berdiri, berjalan ke areal parkir yang lumayan.jauhnya untuk pulang.
(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar