Sabtu, 01 Oktober 2016

DONOROJO 2

Pagi hari di tahun 1933. Bisa dikatakan udara di Kalak Donorojo, amat cerah. Matahari pagi bersinar ramah. Lingkungan hijau membiaskan.ketenteraman dan kedamaian di hati. Menurut hitungan Jawa, hari ini amat baik untuk hajatan. Untuk itulah sejak tadi malam semua kegiatan perhelatan mulai nampak di rumah keluarga Mangundirejo.
Putri sulungnya akan melakukan ijab kabul pada pukul delapan pagi ini.
Perias pengantin bergegas masuk kamar menemui sang pengantin, Tining Respati.
"Piye, Ning? Sudah siap lahir batinmu, nduk?"
" Pangestunya, bu Dewo. Saya siap."
"Bagus. Alhamdulillah. Sini, kubetulkan sanggulmu."
Tining membiarkan tangan2 trampil bu Dewo. bekerja. Sambil membenahi bunga hiasan sanggul gelung, ibu Dewo meneruskan mengobrol dan sedikit memberikan wejangan.
"Jam berapa masmu Ronggo datang?" Akhirnya beliau bertanya.
"Rencananya pukul delapan, bu Dewo."
Perias menengok arloji ditangannya.
"Setengah jam lagi. Hmmm.mudah2an tepat waktu. Semua sudah dihitung njlimet, kalau terlambat iso ciloko."
"Ciloko bagaimana to bu."
"Yo wislah, ndak perlu was2. Kita berdoa saja."
Tining tersenyum. Ditatapnya cermin yang memantulkan wajah dan riasannya yang sangat cantik.
"Kamu cantik sekali, Ning. Belum pernah aku mendapat pengantin secantik ini dalam riasanku. Sebentar, kupanggilkan fotografernya dulu."
Diluar kamar beliau bertemu bu  Yudo, orangtua Sindung.
Mereka bersalaman, menanyakan.kabar masing2.
Percakapan mereka tiba2 terputus oleh suara petir yang dahsyat.
"Aduh, keras banget petirnya. Ada apa ini?"
Para tamu yang sudah berdatangan, berhamburan keluar. Langit yang tadinya biru bersih, mendadak gelap. Awan hitam datang selapis demi selapis. Angin yang berhembus tak.lagi hangat dan ramah. Namun sedikit menghempas. Daun2 gugur. Pintu dan.jendela terbanting, menutup keras. Orang2 mulai cemas. Ada yang berlari pulang, ada yang mencoba masuk.lebih dalam ke rumah  Mangundirejo.
Begitu terdengar suara gemuruh dari arah selatan ,  seseorang berteriak:
"Kalian dengar itu?  Suara gemuruh seperti.ombak..oh. Bukan....!!  itu bahkan seperti suara derap kaki kuda. Beratus ratus kuda seakan berlari berderap derap memasuki Donorojo. Ayo tutup semua pintu. Pukul kentongan! Itu lampor!"
"Lampor?"
"Ya. Itu lampor!"
"Pukul kentongan!!"
Orang mulai memukul kentongan, atau pantat panci, atau piring, atau apa saja asalkan menimbulkan bunyi yang hiruk pikuk. Sambil berteriak teriak mereka memukul kentongan bertalu talu:  "Lampor....lampor...!"
Suara gemuruh telapak kaki kuda kian dekat. Kini bahkan disertai turunnya hujan lebat, angin kencang, dan awan tebal yang menutup matahari.  Para ibu bergegas mengambil daun janur kuning, dan mengikatkannya pada pintu2 pagar rumah. Inilah yang pernah dipesan oleh Tining. Janur kuning!
Tining mendengar semua keributan itu. Bahkan dia melihat dari jendela kamar,  bagaimana ganasnya badai menguliti tenda di halaman.
Bu Dewo masuk dengan bibir pucat.
"Ada, apa?" Tining bertanya.
Bu Dewo menutup jendela, kemudian menyahut dengan suara gemetar:
"Udan bledek angin ribut!"
(Hujan badai yg disertai petir)
"Pertanda apa?"
"Nduk,.." kata bu Dewo. "Sekarang duduklah. Aku mau bertanya dan kau harus menjawabnya dengan jujur."
"Apa yang akan ibu tanyakan?"
"Sebenarnya dengan siapa kau akan  menikah?"
"Dengan mas Ronggo."
"Kau tau tidak, siapakah dia? Putra siapakah Ronggo itu?"
Ragu, Tining menggeleng.
"Kau tidak tau? Lantas siapa yang datang melamarmu tempo hari?"
Tining menunduk malu namun kedua bilah pipinya memerah, saat membalas tatapan bu Dewo.sepasang matanya berbinar.
"Mas Ronggo sendiri  yang datang memintaku."
"Oalaaah....nduk....! Sudah takdirmu diperistri Raden Ronggo. Maka tidak mengherankan bila saat ini kau dijemput oleh pengawal2nya. Sekarang, kuijinkan kau membuka.jendela kamarmu, berdirilah di ambang jendela. Tataplah langit, dan bersyukurlah atas semua kehendak Yang Maha Kuasa." Tanpa memahami apa yang dimaksud ibu perias pengantin, perlahan Tining berjalan.ke jendela. Membukanya lebar2. dan menatap langit kelam di luar sana.
Tak tahan melihatnya, ibu perias mendekap wajah dan.menangis.
Angin kencang menerobos masuk. Mengguncang semua perabotan seakan dilanda gempa. Tirai berkibar hingga ke langit2 kamar. Gemuruh kaki kuda yang berderap perlahan menjauh. Badaipun mulai reda. Langit tak lagi gelap. Angin diam seakan berubah menjadi timbreng. Suasana mendadak sepi. Nyenyet nggremet.
Ibu perias membuka mata, dan melihat Tining tergeletak di lantai.
"Astaghfirullahal adziim.... duh Gustiiiiii....."
Beliau berteriak  sekencang kencangnya, memanggil semua orang. Kepanikan segera mewarnai pagi. Ibu perias menengok  arloji di pergelangan tangannya. Jarum jam bergerak pasti.  Pas pukul delapan. Ya Allah......ini kekuasaanMu. Apapun  yang terjadi di alam ini adalah atas ijin dan kehendakMu juga.
Ibunda sang pengantin pingsan seketika. Seseorang membawa Tining ke dipan. Menepuk nepuk pipi dan memanggil manggil namanya.
"Raba nadinya,"
"Kosong."
"Kosong? Kosong bagaimana!"
"Sudah berhenti bapak. Sudah tidak  berdetak lagi. Tining sud ...sud ..."
"Sudah ndak ada?"
Tangis kerabatpun pecah.
"Innalilahi wa innailaihi rojiuuun..."
"Bagaimana bisa?"
"Panggil mbah Jimat!"
Dunia kecil itu mendadak seperti kiamat. Tangis. Gumam. Sesal. Semuanya berbaur bersama kemarahan  Mangundirejo yang tiba2 membuncah tanpa arah. Kalau saja tidak dihalang halangi  hampir saja dia memporakporandakan kamar pengantin dengan keris pusaka yang dihunusnya. Baru saja disadarinya, bahwa Ronggo yang selama ini selalu datang dengan senyum tampannya, adalah bukan.manusia biasa.
Mbah Jimat yang dikenal sebagai ahli tirakat, datang. Memeriksa jenazah Tining dengan cara memijit ujung ibu jari kaki dan membaca doa. Orangtua itu menghela nafas panjang.
"Maaf, mana orangtuanya?"
Mangundirejo mendekat.
Mbah Jimat berbisik lirih ditelinganya, :
"Jisim ini bukan anakmu, nakmas"
Mangundirejo menatap tak mengerti.
"Jisim ini bukan tubuh manusia seperti yang terlihat. Ini batang pisang."
Mangundirejo medekap dada kirinya yang dirasakannya mendadak nyeri luar biasa. Laki2separoh baya itu terhuyung. Namun dengan sigap mbah Jimat menahannya agar tidak jatuh. Diusapnya wajah Mangundirejo dengan telapak tangan dan diajaknya duduk di kursi.
"Kamu harus ikhlas. Ini semua sudah suratan. Kuatkan dirimu menerima semuanya ini, nakmas. Tanggungjawabmu bagi keluargamu masih dibutuhkan. Ketauilah, bagimu anakmu itu tidak mati. Dia pindah. Dari dunia kita ini ke dunia ghaib. Sewaktu waktu, dia akan.pulang menengokmu. Percayalah."
"Bagaimana itu bisa tetjadi, mbah?"
Mbah Jimat tersenyum..
"Anakmu dikehendaki putra ibu Ratu Kidul. Itu putra kesayangannya, putra yang diberi oleh kanjeng Panembahan Senopati saat beliau2 bertemu di watu gilang. Kau pernah mendengar itu kan? Maka, adalah suatu kehormatan bagimu apabila ternyata putrimu diperistri Raden Ronggo."
Kamar yang sedianya untuk pengantin, mendadak sepi. Semua orang sudah pergi diam2. Yang tersisa hanya aroma kembang melati dan kantil. Begitu harum memenuhi udara kamar.
Mangundirejo bersimpuh di kaki jenazah, menangis pilu.
Mbah Jimat menepuk nepuk bahunya yang terguncang guncang oleh isak tangis.
"Dia ini pembarepku, mbah. Anak kesayangan kami semua. Dia anak yang baik. Yang taat pada orangtua...." tangisnya tertahan tahan.
"Sesuatu yang sempurna milik kita memang lebih cepat diambil, nakmas. Sudahlah. Sebaiknya perlakukan jisim ini dengan semestinya. Lebih cepat lebih baik. Agar tidak semakin menimbulkan fitnah."
Mangundirejo mengangguk.
Maka pagi yang seharusnya indah, mendadak berubah kelabu. Betapa cepat segala desuatu berubah.  Adalah benar bahwa,kebahagiaan dan kesedihan bukanlah milik kita semata. Karena sudah ada yang lebih berhak mengatur dan memilikinya.
(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar