Jumat, 21 Oktober 2016

DONOROJO 5

Sore hari sesudah ashar, Suti mengambil sepedanya keluar dari pintu samping. Saat siap meluncur, yu Min menjulurkan.kepala dari jendela.
" Hayo, mau kemana kamu!"
"Aduh yu! Kaget aku!"
"Ke Klayar ? Hati2, jangan lewat maghrib!"
"Iyo yo, yu."
"Wis pamit ibu, durung?"
"Wis. Beres yu."
Mintorini ngedumel. Melihat Suti sok meremehkan etika keluarga, itu yang sering membuat Mintorini jengkel.
"Beres.. beres.... Selalu itu jawabnya. Hhhh!!"
Dia hanya bisa membiarkan Suti pergi dengan sepedanya, meluncur kencang sampai hilang dari pandangan.
Tanpa beban Suti memacu sepedanya ke arah selatan. Kemana lagi kalau bukan.ke pantai Klayar. Ditempat sunyi yang hanya dipenuhi suara ombak, adalah tempat dimana Suti sering  membangun fantasinya sendiri.
Pernah suatu malam dibulan Suro, Suti ikut bapak ke pantai. Yang dilakukan, menurut Suti, hanyalah duduk2 saja dipantai sambil menatap ombak. Samasekali tidak terbayang di benaknya bahwa bapak tengah melakukan suatu lelaku spiritual. Sepertinya bapak tengah menghitung debur ombak yang menempias ke pasir pantai. Pada suatu hitungan, Suti melihat bapak melemparkan sesuatu ke laut. Air laut yang tenang mengalun, tiba2 saja mengalun.lebih deras. Yang tadinya hanya mencapai tepi pantai, mendadak kini datang menempias hingga mencapai tempat duduk bapak. Namun tak sedikitpun bapak ingin bergeser dari tempat duduknya.  Celana panjang bapak basah hingga ke lutut. Bapak seakan tidak peduli. Suti  menengok ke wajah bapak. Tetapi wajah bapak yang beku membuatnya takut untuk bertanya. Suti kedinginan saat lidah ombak mulai membadahi gaunnya. Dia ingin surut ke belakang, namun tangan bapak memegang telapak rangannya lebih erat.
"Diam disitu," desis bapak. "Jangan bergerak."
"Pak..."
"Hush. Diam kata bapak ya diam. Jangan menoleh. Dibelakangmu ada ular."
Namun secara refleks, Suti menengok. Dan benar, seekor ular besar menjalar perlahan melewati belakang mereka.
Pias kulit wajah Suti. Namun tangan bapak telah memeluknya erat dan.menjaganya untuk tidak melompat dan lari dari tempat itu.
Ombak yang semakin besar datang bersamaan dengan berhembusnya angin kencang. Kini pakaian bapak dan Suti sudah basah kuyup. Suti merasakan dingin luar bisa. Giginya gemeletuk dan tubuh kecilnya gemetar.
"Lihat," kata bapak sambil menunjuk ke arah laut yang bergelora dengan isyarat gerakan dagu.
"Sudah kau lihat, ada apa di laut sana itu?"
Suti membelalakkan mata. Namun yang nampak hanya air laut yang membuncah ganas. Kekelaman langit tanpa bintang. Dan hempasan angin kencang.
"Sudah bisa kau lihat?"
"Ya."
"Apa yang nampak.olehmu?" Senyum bapak membias, seakan tau  kebingungan Suti.
"Gombang besar?" Jawab Suti ragu.
Bapak meletakkan ujung ibu jarinya ke kening Suti, dan menekannya perlahan.
"Sini, bapak bukakan indera ke enammu supaya kau bisa melihat lebih jelas apa yang bapak maksud."
Demi Tuhan Yang Maha Perkasa..... kini Suti bisa melihat dengan sangat jelas, seekor naga besar - atau ular?-  tengah menjalar diantara lidah-lidah ombak yang menjulur tinggi
Suatu pemandangan yang sangat menakjubkan dari alam yang samasekali tidak.pernah terjamah oleh pikiran Suti pada saat itu. Yang samasekali tidak pernah disadarinya bahwa bapak bisa melakukan itu semua, melihat dengan mata telanjang apa yang selama ini tak berbayang olehnya. Bapak memang luar biasa. Bagi Suti, bapak adalah segalanya.
"Kamu takut?" tanya bapak.
Suti menggeleng cepat.
"Yakin, kamu tidak takut?"
"Kan ada bapak."
"Kalau sendirian?"
Suti bersandar ke dada bapak.
"Suti ndak mungkin sendirian kesini malam2 , pak."
"Hahaha..... " bapak uertawa lebar. Memburai kepala Suti dengan gemas.
"Pinter anak bapak " ujarnya.
Kejadian  bersama bapak pada malam sasi suro itu, sungguh tidak akan pernah Suti lupakan sampai kapanpun.. .
Kini Suti seringkali mengajak beberapa temannya bersepeda ke pantai. Kendati ada pemandangan khusus bisa dilihatnya dari arah segara kidul, tak sekalipun dia menceritakannya pada teman2 bermainnya. Bahkan kepada yu Min pun tidak. Biarlah itu menjadi rahasianya bersama bapak.

Beberapa teman sudah ikut bergabung dengan sepeda masing2 . Seperti biasa, Sutilah juru komando diantara mereka. Sepefa dipacu sekencang-kencangnya dari arah timur ke barat. Baru berhenti bila sudah sampai di tebing tertinggi di sisi barat. Sepeda akan berhenti dengan sendirinya saat roda depan menumbuk batu karang. Tak lupa selalu diiringi pekikan  perang ala indian. Lalu beramai-ramai balik lagi ke timur. Sepeda meliuk liuk kadang sampai menyentuh laut yang tenang menemani. Tak ada takut samasekali. Kadang, ada yang iseng berteriak memanggil poleng.
Kegembiraan  seperti itulah yang bagi Suti tiada bandingannya. Hingga tiba-tiba salah seorang diantaranya jatuh. Kaki kirinya masuk ke jeruji roda. Teriakannya menyadarkan Suti bahwa hari sudah mulai gelap. Maghrib.
"Sutiii....! " teman2nya memanggil. Terkesiap Suti menghentikan sepeda, berputar balik menghampiri.
"Ambar jatuh. Kakinya luka!"
Suti melemparkan sepeda begitu saja. Mati aku pikirnya. Bagaimana kalau patah?
Kaki Ambar memang luka pada nagian mata kakinya. Pasti sakit sekali. Ambar mulai melelehkan airmata.
"Tenang, mBar. Tenang,"kata Suti.
"Aduh bagaimana ini, Sut?"
Teman2 nakal itu mulai gelisah.
"Ada yang bawa saputangan, ndak?"
Mereka semua menggeleng.
"Kita gendong aja Sut.,"
"Gendong gimana, dia lebih besar dari kita."
"Kita tandu."
"Tandu ko ngendi !"
"Masih bisa jalan, mBar?"
Ambar cuma meringis menahan sakit. Oh, dia sudah sangat kesakitan, pikir Suti. Mana mungkin dia sanggup jalan kaki atau bersepeda pulang ke rumah.
Ditengah kebingungan itu tiba2 ada yang lewat. Seorang pria muda dengan pakaian sangat rapi tersenyum menghampiri.
"Ada apa ini, adik2?"
Anak2 itu saling berpandangan tak ada yang berani menjawab.
Mereka hanya bergeser ke pinggir memberi ruang  agar pria itu bisa melihat luka Ambar.
Setelah memeriksa kaki Ambar, pria itu mengambil sehelai saputangan dari dalam saku celananya,  dan dengan tenang dia membalut luka Ambar dengan saputangannya. Lalu tersenyum.
Katanya,
"Sudah beres, kan?"
Anak2 bernafas lega.
"Terimakasih, pak," cetus Suti. Teman2nya juga ikut berterimakasih.
"Ah, jangan panggil pak. Panggil saja mas Wo. Nama saya Jiwo.Kalian siapa?"
"Saya Sutiarsih."
"Saya Dinuk."
"Ambar."
"Kalian tinggal dimana?"
"Donorojo."
"Hmm jauh ya? Baiknya saya antar kalian. Ada boncengannya, ndak? Bagus kalau ada. Ambar biar saya bonceng, yuk. Sekalian saya numpang salat di rumah kalian."
(Bersambung lagiii)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar