Hujan baru reda. Ada pelangi melengkung indah di ujung cakrawala. Merah muda hijau dan kuning, warna warna yang mengingatkan akan pelajaran di sekolah dasar tentang mejikuhibiniu. Gunadi meletakkan ransel ke lantai teras dan mulai mengetuk pintu. Setelah lewat lima tahun baru kali ini Gun melihatnya lagi. Tak bisa dibayangkan bagaimana wajah Melinda sekarang, sejak mereka putus hubungan lima tahun silam. Dulu gadis itu berambut panjang, sedikit ikal. Bermata cerlang dan menyorotkan rasa percaya diri yang mana menurut Gunadi terlalu berlebihan hingga sempat menimbulkan rasa jerih bagi setiap laki-laki yang memandangnya. Kini, bagaimana dia? Yang jelas, Gunadi mendengar kabar burung bahwa gadis itu belum juga mau menikah hingga saat ini. Apakah mungkin Amel – seperti itulah Gun memanggilnya- masih mencintainya? Atau memang sedang senang hidup sendiri meniti karir sebagai penulis kenamaan yang sering dipublikasikan media masa sebagai penulis kontroveadirsial yang sedang booming? Selalu menimbulkan kehebohan dan komentar miring pembacanya? Hebat? Pikir Gun. Tanpa suami, tanpa siapa-siapa dia bisa hidup mandiri dan berkecukupan seperti ini. Gunadi menghela nafas dalam sebelum kembali mengetuk pintu. Apa yang ditunggu Amel? Seorang raja kapalyang kaya raya? Atau seorang penguasa negeri? Kemudian kini di ruang tamu dalam temaram senja sehabis hujan. Amel meletakkan dua cangkir kopi dan kue-kue dalam toples-toples kecil nan manis, Kebetulan ada soesmaker kesukaan Gunadi. Amel me;lihat Gunadi keluardari kamar mandi sambil mengeringkan rambut dengan handuk yang disediakannya. Udara dingin dan kue yang disiapkan Amel membuat Gunadi teringat pada masa-masa kebersamaan mereka lima atau enam tahun yang lalu.
Gun duduk meraih cangkir kopi, tertawa senang menatap Amel.
“He, ternyata kau masih ingat kesukaanku Mel?”
“Tentu dong.” Sahut Amel sekenanya saja sambil tertawa lebar. Sepasang matanya berbinar. Gun melihat. Sungguh mati tak ada tanda-tanda kesepian disana.
“Kau masih ingat masa kita bersama dulu saat sama sama mengejar kunang-kunang di pematang sawah Haji Salim? “ Gun mencoba mengorek kenangan lama. “Kau juga mengejar bintang dan memintanya menularkan kecantikannya padamu, Hah. Mana bisa begitu.”
Amel tersenyum.
“Masa remaja.” Sahutnya. “Taunya cuma gula-gula dan es krim. Padahal dunia ini alangkah lengkap. Manis dan pahit si;ih berganti. Kadang berbaur jadi satu, tapi sungguh menyenangkan bahwa kita punya sesuatu untuk dikenang. Begitu, kan?”
“Aku juga ingat kau pernah jatuh di kuda,”
“Itu karena aku terpeleset ketika melompat turun!”
“Karena kau bego banget naik kuda.”
“Mana bisa !” Amel melotot.
Ah! Indahnya mata itu saat melotot, saat marah atau jengkel, saat emosinya keluar, gumpalam es dalam sorot mata itu sekarang lumer. Membasahi hati Gun, membuat ingin sekali mengecup dan membuatnya kembali cerlang seperti dulu,
“Kau buru-buru melompat dari kuda karena ngambek saat kukatakan hidungmu pesek,” Gun masih tetap menggodanya. Mencoba menggelitik kenangan lama.
“Sampai saat inipun aku masih tetap pesek.”
“Siapa bilang?”
“Aku.”
“Kau jauh lebih cantik sekarang,”
“Oh ya? Terimakasih kalau kau sadar,”
“Bahwa kau cantik?”
“Sejak dulu aku cantik, sayang kau buta.”
Uf! Gun tersedak. Segera Amel menyodorkan segelas air putih.
“Kau masih tetap ingat semuanya,” kata Gun. “Kopi, soesmaker, air putih......”
“Ge-er.”
Gun terbahak, namun tiba-tiba dia melontarkan satu pertanyaan yang menyodok.
“Kabarnya kau pacaran dengan boss-mu. Apa itu benar?”
Amel mencibir,
“Boss yang mana, maksudmu? Kau mendengarnya dari siapa?”
“Jadi benar?”
“Ngawur! Sekarang katakan, apa ada hubungannya dengan kedatanganmu kemari?”
Gun terdiam. Dicomotnya soesmaker dan djgigitnya dengan nikmat. Yakin kue itu bikinan sendiri. Kelezatannya tetap sama dengan berthun-tahun yang lalu.
“Soalnya,” lanjut Gun. “Aku pernah bertemu dengan beliau di Sorong. Kenapa pula kau tak ikut meliput berita disana bersamanya?”
Mel menyandarkan punggung. Sepasang matanya mendadak kelam.
“Itu urusanku,” jawab Amel.
“Memang itu urusanmu, tapi bagaimana dengan orang ketiga?”
“Orang ketiga?”
“Akhirnya ketauan kau pacaran dengan orang lain, kan?”
‘’Bukan urusanmu,” Amel mulai jengkel.
“”Kedengarannya aneh. “ Gun tertawa ringan, “Aku hanya ingin tau apa yang membuat kau tak juga menikah? Jangan terlalu banyak pilihan, kau akan terkejut saat menyadari watumu habis, Maaf Mel, aku masih menyayangimu dan tak ingin kau kecewa akan hidupmu nantinya,”
“Kok kau yang jadi bingung sih? Usil bener, Ada apa sebenarnya?”
Gun menghabiskan sisa kopinya. Lalu katanya lebih bersungguh-sungguh.
“Aku hanya khawatir kau hanyut dan tak mampu berhenti dari keasyikanmu sendiri.”
Amel menghela nafas panjang, Sadar bahwa Gun sebenarnya berniat baik. Kekhawatiran lelaki yang pernah menjadi dambaan itu membuatAmel berpikir, apakah mungkin dia masih menyimpan perasaan lebih dari sekadar sayang? Masihkan ada tempat di hatinya untuk Amel walau sekecil apapun itu? Ada getaran di hati Amel, namun segera diredamnya sendiri, dia belum tau apa maksud Gun datang setelah dirasakannya hatinya terlanjur gersang.
“Sebenarnya,” kata Amel perlahan, “ ...sulit mengatakan aku adalah pemilih.Sebagai perempuan, aku adalah perempuan yang memiliki pendapat-pendapat sendiri. Otakku ini otak yang tak mau berhenti berpikir. Menurutku, jarang ada lelaki yang suka pada perempuan yang mempunyai pendapat terlalu banyak dalam rumah tangganya. Bagi sebagian besarsuami seorang istri yang mempunyai pendapat sendiri berarti pembangkangan, Hal ini aku lihat jugapada keluarga-keluarga lain pada umumnya, Umpamanya saja, tetangga sebvelah, Dia menceritakan bagaimana suaminya suka menamparbila dia punya pendapat sendiri yang tak sama dengan pendaPat suami.”
Ah, Gun jadi merasa tak enak hati. Namun dibiarkannya Amel mengeluarkan seluruh isi hatinya,
“Adakalanya perempuan berpikir,” lanjut Amel. “Mungkin akan jauh lebih baik kalau kita hidup sendirian. Tak usah mengurus suami, tak perlu memasak, tak perlu bangun untuk menyediakan kopi. Pokoknya bebas. Bebas dari segala pekerjaan rumah tangga yang tak kunjung selesai.’
“Keliru kalau kau punya pendapat seperti itu,”
“Mungkin yang kubutuhkan lebih, tapi....”
“Kau membutuhkan kehangatan, ketenteraman hati, kelembutam....”
Senja makin gelap. Hujan tak juga mau reda, malam kian merambat datang, Gun mulai menyumpah-nyumpah sambil menatap hujan yangtetap tercurah dari langit, Rencananya dia ingin menemui Henggar, kekasih yang berbulan-bulan tidak bisa ditemuinya akibat berpisahnya kota tempat mereka bekerja. Dan akhir-akhir ini betapa sulit dihubungi. Lokasi pekerjaan yang berejauhan membuat hubungan jadi terhambat. Setiap kali ditelepon< Henggartak pernah menyambutnya, Makin hari Gun makin curiga, tak ada jalan lain, selain datang ke kotanya yang kebetulan sama dengan tempat tinggal Amel.
“Hujaan terus. Kapan sih mau berhenti?” Gun mulai mengomel.
“Kemarin-kemarin ini semua orang berdoa minta hujan,” kata Amel yang tengah duduk membaca koran sore. “Sekarang sudah hujan, orang pada menggerutu. Memang manusia itu maunya macam-macam, Kadang malah tak tau diri,”
“Jadi buntu laku sih Mel!”
“Memangnya kalau kena hujan, jadi lumer ya Gun? Iya Gun, lumer?”
“Bukannya lumer, tapi dengan cuaca seperti ini gairahku jadi turun ke titik nol. Termasuk gairah untuk bertemu Henggar!”
“Cepatlah berangkat kalau begitu. Pakai saja mobilku.”
“Aku panggil taxi sajalah!”
“sesukamulah Gun.”
Singkat katam akhirnya Gun saampai di rumah Henggar. Lama dia menunggu pintu dibukakan kendati berkali=kali jemarinya memencet bel dipintu, Sementara tempias hujan mulai membasahi ujung celananya,
Akhirnya daun pintu terkuak.
“Oh kau....”
Di pintu, Henggarmenatap kaget. Mundur beberapa langkah ketika Gun nekat menyeruduk masuk.
“Aku kehujanan, Kau kaget ya? Mana Mama?”
“Ke Jakarta.”
“Semua?”
“ya.”
Ladalah! Dasar nasib lagi mujur. Hujan-hujan begini Cuma berdua sama pacar. Bukan main! Rejeki nomplok namanya. Tangannya terjulur hendak memeluk. Namun kebahagiaan itu mendadak musnah ketika dikejutkan oleh munculnya seseorangdari dalam. Seorang lelaki muda yang gagah dan tampan!
“Ada tamu siapa?” lelaki itu bertanya sambil memeluk pinggang Henggar,
Ragu, Hengga rmenjawab.
“Kawan lamaku.”
Gun merasakan telinganya berdenging, Kawan? Kawan lama, katanya? Sejak kapan aku jadi kawan lama?
“Gunadi,” Gun menyebutkan nama ketika bersalaman.
“Wang,” sahut lelaki itu,
Telapak tangan Gun gemetardan mendadadk berkeringat. Saat itupun dia mengerti. Melihat tindak tanduk dan sikap penerimaan Henggar yang dingin dan hambar, mendengarbagaimana cara dia memperkenalkan dirinya pada lelaki bernama Wang itu, bagi Gun itu sudah merupakan isyarat bahwa dirinya sudah ditendang diam-diam. Pantas saja tak ada waktu baginya untuk sekedarmenerima telepon. Alasannya sibuk. Inilah rupanya kesibukan itu. Gun menatapnya dengan hati sakit. Dirasakannya kesunyian tiba-tiba membentang diantara mereka. Dan Gunadilah yang pertama memecahkan kesunyian itu.
“Sorry bung, saya ingin bicara empat mata dengan nona ini.”
“Oh, silakan,”
Lelaki itu menyahut dengan lagak bajingan intelek.
“Saya rasa tidak apa-apa. Antara kami tidak adarahasia lagi, Bukankah begitu ‘yang’?” Wang menambahkan.
Henggar menunduk. Wajahnya pucat, Namun apa yang kemudian dia ucapkan justru membuat kulit wajah Gun jadi lebih pucat.
“Apa yang akan kau sampaikan?” Tanya Henggar datar.
Laki-laki muda bernama Wabf=g itu memandang enteng kearahnya, Dada Gun gemuruh. Lalu terdengar suaranya. Nadanya menakutkan bagi telinganya sendiri.
“Dia ini siapa?”
“Kau sudah mendengar tadi, Namanya Wang,”
Api berkoba rmembakar kepala Gun,
“Pacar kamu?” sergahnya.
“Dia baru menamatkan sudinya di Jerman, Dia....”
“Aku tidak perduli dia baru menamatkan studi di Jerman atau di hutan, yang kutanyakan dia ini pacar kamu atau bukan!”
“...yyya..”
“Dan aku ingin tau, siapakah ini?” Gun menunjuk dadanya sendiri.
“Apa maksudmu?”
“Benarkah aku kawan lamamu?”
“Kenapa kau tanyakan itu?”
Gun mencibir pahit, Akhirnya dia memutuskan.
“Baiklah. Baiklah. Sandiwara yang tidak lucu ini memang harus diakhiri. Basa=basi inipun sudah tak berguna lagi,”
Semua terdiam untuk beberapa saat, kemudian Gun menatap wajah wang dengan tajam.
“Baiklah bung, cintai dia dengan baik-baik.Dan bila kemiudian kau menemukan kata-kata cinta di ponsel miliknya anggap saja itu dari seseorang yang iseng2 belajar menuliskan kata-kata cinta. Tak perlu dirisaukan, Tak perlu cemburu,”
Kemudian Gun keluar, Hujan yang turun tak lagi dia rasakan. Dadanya panas. Pijar, Semakin dirasakan semakin dibayangkan semakin membara. Alangkah liciknya betina itu. Sebagai laki-laki dirinya sudah membatasi diri sedemikian rupa demi kesucian cinta. Padahal dia hidup dikota besarsemacam Jakarta yang selalu bergolak, kota yang tak pernah tidur, yang dengan gampang akan membawa lelaki-lelaki muda yang kesepian padasuatu jalan dimana nilai-nilai kesetiaan akan hancur digilas roda kehidupannya, Gun memang seorang laki-laki normal. Tetapi dia tetap menghormati arti kesetiaan didalam hidup. Dia menilai gadis miliknya terlalu tinggi, Menganggapnya bagaikan sebutir permata yang harus dijaga baik-baik keindahan dan keutuhannya. Harus dihormati Dn disetiKndengN SEPENUH HATI.
Ternyata dialah yang berkhianat. Padahal ketika terjadi penundaan perkawinan karena Gun merasa belum siap secarafinansiil, tak bisa dihitung sedu sedannya, Dan penundaan itu belum lagi satu tahun dan cinta itu sudah mati. Betapa waktu telah mampu merenggutkan cintadari hati manusia,
Gun terus berjalan. Diguyur hujan. Rambutnya basah kuyup. Berkali-kali tangannya menempiaskan hjan dari wajah, pakaiannya sudah sejak tadi basah, apa pedulinya? Hujan telah menyiram hatinya yang luka hingga terasa benar pedihnya. Berkali-kali dimaki orangkarena jalannya terlalu ke tengah. Apa pedulinya? Ketabrak mobil? Apa pedulinya? Yang jelas dia hanya basah, basah, basah. Namun Gun kaget sekali ketika menyadaribahwa matanya juga basah,
Oh!Gun kemali menyipratkan air dari wajah, Tubuhnya yang tadi dia rasakan cukup kuat untuk mengadu tinju, kini pelan-pelan kehilangann tenaga, Ia berjalan dengan gontai bagaikan serdadu kalah perang, Ia tau kini semuanya telah selesai.
Gila! Gun mengumpat sendirin lelaki yang kebetulan berpapasan dengannya dan kebetulan menatapnya sekejap. Ia tak peduli, Sungguh ia baru adaperempuan yang gila saat melihat laki-laki yang dianggapnya sukses, Melihat gelar yang didapat dari luar negeri, matanya jadi ijo! Melihat mobil mengkilat, matanya jadi ijo!. Melihat duit bertumpuk, matanya jadi ijo! Payaaah,,,payah, Tetapi bagaimana dengan Amel? Tanpa dia tau apa sebabnya wajah Amel-lah yang kemudian membawa langkahnya pulang.
Melinda ternyatabelum tidur ketika Gun naik ke beranda, Dia masih masih asyik menyelesaikan tulisannya di depan komputer bahkan pintu depan tidak dikunci, maka dengan leluasa Gun masuk. Berharap ada pertanyaan atau komentaryang dilontarkan saat melihatair hujan menetes dari ujung celananya ke lantai,. Namun ternyata Amel diam saya, bahkan seakan tidak terganggu sama sekali melihat Gun basah kuyup mengotori lantai rumahnya.
Dengan perasaan hampa Gun berjalan ke arah ruang tengah, berdiri tepat di depan Amel yang hanya menatapnya sekilas.
“Sedap ya, berhujan hujan sama pacar.” komentarnya tetap asyik menulis,
Gun teretawa pahit. Mengambil handuk dari rak dan mulai mengeringkan rambut, Tanpa semangat dia duduk didepan televisi yang masih menyala.
“Mel,” katanya pelan.
Amel menoleh. Matanya mengerjap indah, namun senyap,
“Apa,” sahutnya karena lama Gun terdiam.
“Kau belum mengantuk?”
Amel menggeleng.
“Tolong, kau punya obat sakit kepala?”
Gun meremas-remas rambutnya. Amel bangkit meninggalkan kursinya dan ketika kembali dia menyodorkan aspirim dan segelas air putih kepada Gun.
“Trims.”
Amel masih berdiri mengawasinya selagi dia minum obat.
“Tidurlah. Kau terlihat letih,” katanya.
Hati Gun terasa semakin pedih. Untuk beberapa saat dipejamkannya mata. Berusaha keras menyembunyikan kepedihan yang membasahi mata.
“Apa perlu kupijit?” tanya Amel khawatir,
“Tidak. Tak usah.” Jawab Gun cepat. “Duduk sajalah disini, aku ingin mengobrol denganmu,”
Amel duduk disebelahnya. Menggodanya, : “Kau genit sih, pakai hujan-hujanan segala.”
Gun teretawa tanpa suara.
“Kalau sakit lebih baik cepat tidur, ganti baju dulu.”
“Hatiku yang sakit, Mel.”
“Hatimu?”
“Ya.”
“Kenapa dengan hatimu?”
“Sakit.”
Amel tertawa.
“Sakit hati obatnya bukan aspirin, tolol!”
“Kepalaku juga sakit.”
Sunyi sekejap. Lalu,:
“Eh Mel....”
“Kenapa dengan pacarmu, sakitkah?”
“Dia berkhianat.”
“Berkhianat?”
“Ya.”
Kembali sunyi. Hanya suara hujan yang kian gemuruh disertai guruh dan petir, Alampun seakan marah sama marahnya dengan hati paling dasar yang dirasakan Gunadi.
“Mel, kenapa sih perempuan selalu silau oleh derajad dan kekayaan lelaki sehingga nilai-nilai kesetiaan harus jatuh dan dicampakkan bagaikan sampah?”
Melinda tidak menyahut, dia bahkan berdiri untuk mematikan televisi.
“He, mau kemana?” Gun menahan lengannya.
“Tivi itu dimatikan saja. Tak ada acara yang bagus, dan kau perlu segera istirahat.”
“Tidak usah, duduk sajalah disini.”
Amel kembali duduk. Namun hanya duduk saja tanpa ekspresi,
“Mel, berapa kali sudah kau patah hati?”
“Sudahlah Gun tak perlu lagi kau ributkan. Saat ini kau sedang emosional. Tak perlu kita perbincangan soal cinta dan patah hati, terlalu cengeng bagi kita, susia ini kau masih saja bingung soal itu.”
‘Patah hati,...” Gun tertawa sumbang. “Baru sekali ini kurasakan betapa pedihnya hati yang dilukai. Kurasakan bagaimana pijarnya dibakar cemburu Apa yang harus kukatakan? Rasa-rasanya aku sudah tak ingin memulai lagi. Perempuan! He Mel. Pernahkah kau begitu benci kepada lelaki hingga menyumpahi mereka? Apakah kau juga menganggap lelaki seperti... seperti racun< ular biludak< atau setan belang? O tidak. Tidak mungkin. Matamu begitu bening. Senyummu tulus. Tidak sedikitpun nampak kebencian di dalamnya. Tidak dendam. Tidak juga sakit hati. Kau tidak seperti itu. Mereka itu perempuan matrek< gila harta, gila pangkat. Lebih-lebih bila mereka merasa dirinya cantik. Kau juga cantik< apakah kau....”
“Gun, kau ini apa-apaan sih? Bicarangalor ngidul makin nggak keruan saja arahnya.”
“Ayolah Mel. Untuk apa kau tutup-tutupi semuanya dengan kemunafikan semu seperti ini? Kenapa?”
Amel diam tak mengacuhkannya. Dilipatnya tangan< berssidekap menahan dongkol di hati, orang ini, pikirnya. Ngomong apa sih dia?
“Mel...”
Amel berdiri. Berjalan masuk kekamar.
“Mel.”
Langkahnya terhenti.
“Mel,...” suara Gun melunak. “kau tidak sedang menunggu raja kapal, kan Mel?”
Amel menatapnya tanpa kedip. Dibawah cahaya lampu kedua mata beningnya berkilau, bibirnya bergetar . Gun melihat genangan dimata beningnya kian menggumpal. Perlahan dia mendekat dan dihapusnya cairan bening di pipi Amel. Sesuatu yang pernah hilang kini mendadak kembali memenuhi rongga dadanya. Mengisinya penuh. Begitu nyaman, begitu indah dirasakan. Gun meraih dan mengecup keningnya lembut. Dan ketika isak itu meluapkan kesedihan dari bibir Melinda, Gun merengkuhnya lebih dalam. Inilah cintanya, inilah kelembutan, inilah kehangatan yang selama ini lepas dari hati dan hidupnya . Amel merasakan dekapan Gunadi kian kuat, seakan-akan takut kehilangan sesuatu yang begitu berharga.. kecupan Gunadi pada keningnya sangat lembut. Ada kemudian yang berbaur dalam hati mereka. Cinta, kesetiaan dan airmata.
**********