Jumat, 30 April 2010

TROWULAN (19)


SEBUAH APARTEMEN, CITRALAND.
Pamugaran berdiri di pintu. Tubuh jangkungnya membuat kepalanya hampir menyentuh bingkai pintu. Tangannya bersidekap. Bibirnya tersenyum tipis. Matanya mengawasi semua hgerak gerik Rayun saat berjalan mondar mandir dari sudut ruang ke sudut ruang lainnya.
“Mana lukisan yang akan diambil oleh orang Inggris itu?” tanya Rayun seperti tak sabar.
“Ada, di kamar.”
“Mengapa tidak kau hubungi saja ponselnya agar dia cepat datang dan mengambil lukisan itu?”
“Sebentar, Rayun. Kita tak perlu terburu-buru. Dia kan janji mau datang jam empat. Sekarang baru setengah tiga.”
“Kalau memang kita harus menunggu, mengapa tidak pulang dulu ke rumah? Aku merasa tidak berkepentingan dengan orang itu, lagian,..dari Tunjungan ke sini lebih jauh jaraknya ketimbang ke Sulawesi, kan?”
“Aku ingin kau melihat lukisan itu sebelum diambil mister Alexander.”
“Aku jadi curiga jangan-jangan…”
“Oke, oke. Kalau kau tidak percaya, kita lihat lukisan itu di kamar. Kita ambil dan kita siapkan di sini. Baru kuhubungi dia lewat hape.”
Mereka berjalan ke ruang tidur Pamugaran. Lelaki berkulit putih itu menunjukkan beberapa puluh lukisannya yang tersusun rapi di sudut kamar. Pamugaran memilah-milah sebentar, lalu katanya,:
“Nih, yang ini. Tolong kau pegang beberapa lukisan yang lain, biar aku mencabutnya keluar.”
Rayun mendekat, memegang beberapa lukisan yang diberdirikan dan disusun dengan rapi itu sebelum Pamugaran berusaha mencabut salah satu diantaranya, keluar. Namun sungguh di luar dugaan dan amat mengejutkan bagi Rayun, ketika tiba-tiba Pamugaran memeluknya dari belakang dan berusaha menariknya ke ranjang. Kekuatannya luar biasa, seakan-akan bukan kekuatan manusia biasa. Laki-laki itu menggeram, dan bola matanya terlihat lebih merah dari mata manusia biasa. Saat itu barangkali saat-saat yang paling ditunggu-tunggu oleh Pamugaran, yaitu saat dimana kekuatan gaib Naga Tatmala merasuki tubuhnya. Melalui badan wadagnya, siluman itu akan menghisap habis madu keperawanan gadis yang sengaja dipersembahkannya kepada siluman Naga Tatmala. Setelah itu, Rayun bisa saja menuntut untuk dinikahi karena sudah ada janin di perutnya, atau kalau tidak, maka biarlah gadis itu pergi, sementara itu Pamugaran akan semakin termashur. Lukisannya akan kian hidup dan semakin digandrungi orang. Melebihi karya pelukis paling besar di tanah air. Ini jalan pintas, Pamugaran tau itu. Kalau mau cepat, kenapa tidak boleh menempuh segala cara?
Rayun berteriak, berusaha melepaskan diri dari pelukan nan dahsyat itu. Tubuhnya meronta ke kiri ke kanan. Namun dengan kekuatannya yang luar biasa itu, Pamugaran berhasil menariknya ke ranjang, membantingnya, dan menindihnya dengan garang. Pamugaran bagaikan setan kelaparan. Dia meradang, merenggut, mengunyah, memamah.
Tanpa kenal menyerah, Rayun terus melawan. Mulutnya terus menjerit-jerit dan berharap ada orang yang mendengar jeritannya. Akhirnya dia bisa terlepas. Gadis itu berlari ke balkon, berteriak teriak minta tolong. Namun kembali Pamugaran merenggutnya masuk, membantingnya lebih keras, bahkan menampar dengan membabi buta. Pergumulan kian seru, yang satu ingin memaksakan kehendak, yang lain berusaha mempertahankan diri. Pergumulan kian seru. Berguling, merenggut, mencakar. Bahkan Rayun mulai menggigit apa saja yang bisa digigit. Teriakannya menyatu dengan teriakan Pamugaran yang kesakitan saat ibu jarinya serasa hampir putus terkena gigitan Rayun Wulan.
“Sudah, jangan melawan. Kau akan merasakan kesakitan yang luar biasa bila aku harus melakukannya dengan kekerasan!” seru Pamugaran menindih suara jeritan Rayun.
“Setan kamu! Sampai matipun kau tidak akan bisa menggagahiku, bajingan! Lepaskan, lepasss…!”
…………
“Di apartemen itu Pamugaran tinggal,” tuding Dyah begitu mereka sampai di depan sebuah apartemen berdinding marun. Aryo memarkir jipnya, mereka segera turun dan berlari-larian mencari lift, naik ke lantai lima, berjalan cepat melalui lorong-lorong, dan…
“Ini tempatnya,” ujar Dyah sambil memencet bel pintu.
Mereka menunggu dengan dada berdebar kencang. Terlebih ketika sayup-sayup terdengar suara gedubrakan dan teriakan-teriakan yang kurang jelas dari dalam.
Sebuah benda berat terantuk di pintu. Seperti sengaja dilemparkan seseorang dari dalam. Aryo menempelkan telinga ke daun pintu. Karena peredam dan daun pintu yang tebal, suara-suara di dalam itu terdengar sangat lemah, hampir tidak terdengar.
“Apa yang kau dengar?” bisik Dyah ketakutan.
Aryo menggeleng. Tidak tau, namun nalurinya mengatakan ada sesuatu yang sangat mengkhawatirkan di dalam. Seperti sebuah pertikaian, atau pertengkaran. Yang jelas, dirinya tidak ingin Rayun mengalami cedera atau menemui bahaya di tangan Pamugaran.
“Mas, …” Dyah menatap Aryo dengan tatapan ngeri. “Jangan-jangan…”
Aryo menggedor pintu kuat-kuat.
Suara gaduh itu kian seru, meskipun tetap lamat-lamat terdengar.
Aryo menggigit bibir. Dia maklum akan apa yang terjadi. Nalurinya memang tak pernah berbohong.
“Kau pergilah ke bawah. Panggil satpam di lobby, suruh mereka membawa kunci cadangan. Cepat! Cepat!!” seru Aryo kepada Dyah.
“Baik. Baik.”
Dyah Sugihan berlari ke lift, segera menghilang bersamaan dengan mengatubnya pintu lift.
Aryo tak bisa menunggu. Dia mundur beberapa langkah. Mengumpulkan tenaga dan mendobrak pintu dengan bahunya. Sekali. Dua kali. Tiga kali….dan, brakkk! Sungguh sebuah kekuatan yang tak terbayangkan. Daun pintu yang terbuat dari kayu pilihan itu jebol pada engselnya. Aryo ikut terhempas ke dalam. Jatuh terjungkal di lantai. Telinganya segera menangkap darimana kegaduhan itu bersumber. Dia segera menuju ke arah suara, yang ternyata adalah sebuah ruang tidur. Untunglah, pintunya tetap terbuka. Dengan mata nyalang Aryo melihat sebuah pergumulan seru yang sangat mengerikan di atas ranjang. Masing-masing pelakunya sudah nyaris tak berpakaian.
Darah Aryo menggelegak. Tak ingat apa-apa lagi. Kemarahannya seakan membakar seluruh urat darahnya. Telinganya berdenging, dan kepalan tangannya membatu. Dengan kepalan tangannya itulah dia memisahkan dua insan yang berlawanan kepentingan itu. Sebuah pukulan yang sangat telak di ulu hati, membuat Pamugaran ingin muntah. Secepat kilat, Aryo menarik bangun Rayun Wulan, menyelimutinya dengan kain seprei, dan mendorongnya keluar kamar.
Kini Pamugaran berhadapan dengan Aryo Wangking. Diusapnya wajah dengan punggung tangan, dan membalas tatapan mata rajawali di depannya dengan mata yang menyala-nyala.
“Kau lagi!” geramnya.
“Ya. Tak kusangka ternyata kau lebih jahat dari yang kukira,” balas Aryo.
Pamugaran kembali menggeram, suaranya layaknya suara serigala lapar. Tangannya melayangkan tinju ke muka Aryo, namun dengan manis lawannya berkelit dan bahkan menjegalnya dengan kaki. Gdubrakkk! Pamugaran jatuh terjungkal, bangun dengan terhuyung-huyung bagai orang mabuk.
“Kebanyakan minum kau, bung!” kata Aryo mengejek.
Kini sebuah pukulan dahsyat justru mampir ke wajah Pamugaran. Dia jatuh lagi ke lantai. Aryo menindihnya dengan lutut, menghantam, menampar, berkali-kali ke wajah ganteng pelukis berdarah Itali itu. Namun tak kenal menyerah, Pamugaran menarik baju Aryo dan ganti menindihnya. Pergumulan itu berhasil membuat seluruh barang yang ada bergulingan, botol-botol parfum, lampu duduk, dan lukisan yang tadinya berjajar rapi.
Rayun Wulan mendekap kain seprei dengan tangan gemetaran. Dilihatnya Pamugaran sudah berdiri. Di hadapannya, berdiri pula Aryo Wangking. Sikap mereka seakan sikap dua orang prajurit yang siap berperang. Wajah mereka mulai terlihat lebam-lebam. Bahkan darah mengucur dari lubang hidung Pamugaran. Aryopun berdarah pada ujung bibirnya yang robek. Walau tak separah Pamugaran, darah Aryo yang menetes itupun mampu jatuh memercik ke bajunya.
Dengan geram, Pamugaran melayangkan tinju ke ulu hati Aryo, namun lawannya kembali menepis dan balas melancarkan sebuah ‘swing’ tepat ke rahangnya. Kedua lelaki itu kembali saling hajar, saling pukul, melompat ke sana melompat ke sini, menendang, melibas, hingga tak cuma kamar tidur, namun seluruh ruang di apartemen Pamugaran menjadi benar-benar porak poranda. Meja kursi saling jungkir balik. Barang pecah belah hancur berantakan.
Pada saat itu, Dyah datang bersama dua orang satpam. Melihat Dyah datang, Rayun memeluknya erat. Kedua satpam itu tak bisa berbuat apa-apa. Mereka bahkan tak melerai, melainkan malah seperti mendapat sebuah tontonan perkelahian ala kungfu yang mengasyikkan.
Dyah Sugihan melongo saat menyaksikan, seakan yang ada didepannya bukanlah sebuah pergulatan biasa, melainkan pergulatan dua orang kesatria berpakaian aneh seperti pakaian pada jaman raja-raja. Diusapnya kelopak matanya berkali-kali, dan berpikir, mimpikah aku?
“Pak, cepat dilerai, Pak. Kok diam saja sih!” suara Rayun membangunkannya dari sebuah ketertegunan yang tak masuk akal.
Dua orang satpam itupun seakan-akan tersentak mendengar teguran itu. Mereka saling pandang seakan-akan saling bertanya: apa kau juga melihat keanehan itu, ya?
“Pakkk!” Rayun berteriak.
“Oh, ya ya.”
Mereka semua menyadari, bahwa dalam perkelahian itu Aryo Wangking dan Dewa Pamugaran sepertinya seimbang. Mereka sama-sama kuat, sama-sama lincah. Meloncat kesana kemari dengan ringan, seakan tak mengenal gravitasi.
Kemarahan yang terpancar dari masing-masing lawan seakan kemarahan yang mengandung dendam kesumat terhadap musuh lama. Mereka, baik Aryo Wangking dan Pamugaran saat itu sudah menyadari siapa lawan mereka itu sebenarnya. Aryo Wangking sudah melihat jelas bahwa di balik raga yang ada di depannya terdapat Mahapatih Khalayuda yang gila pada ketenaran, sedangkan Pamugaranpun menyadari siapa lawannya. Bukan sekadar Aryo Wangking, yang dikenalnya sebagai seorang arkeolog dari Trowulan, namun yang sebenarnya adalah titisan Mahapatih Hamengkubumi, putra Arya Wiraraja, yang harus ditumpasnya supaya tidak menjadi duri dalam daging.
Dua orang satpam itu memang berusaha memisahkan mereka yang sedang bertarung, namun mereka justru sering mendapat bonus tendangan atau pukulan yang nyasar. Mereka mengaduh, lalu mundur teratur.
Pamugaran menyambar sebilah pisau buah dari atas meja makan, menyabetkannya ke arah perut Aryo, Namun dengan gesit Aryo mengelak. Pisau itu berkali-kali disabetkan, menghujani Aryo Wangking yang tetap cekatan melompat ke kiri maupun ke kanan, bahkan kadang berjungkir balik dengan gerakan-gerakan manis yang terlihat sangat ringan.
Rayun menepuk punggung para satpam itu sekeras-kerasnya, dan mendorongnya ke tengah arena pertarungan. Sungguh dia merasa kesal melihat satpam-satpam yang terlihat bodoh itu.
Dua orang satpam itu akhirnya berhasil menarik mundur Pamugaran yang terlihat lebih kelelahan ketimbang Aryo Wangking. Mungkin karena faktor usia dan kebiasaan bertirakatlah yang membuat Aryo Wangking memiliki stamina yang lebih baik. Aryo Wangking masih kelihatan stabil, sementara Pamugaran sudah ngos-ngosan.
“Kurang ajar, bajingan tengik!” desis Aryo.
“Sudahlah, “ kata Rayun. “Kita pulang aja, yuk.”
“Pakaianmu…?” kata Dyah.
Rayun baru sadar, saat itu tubuhnya hanya dililit kain seprei. Namun Aryo tak kurang akal. Segera dia membuka almari dan mengambil sebuah kemeja milik Pamugaran.
“Pakai ini. Bawahnya dililit sprei nggak apa. Cepat, cepat!”
Rayun masuk ke kamar mandi, ditemani Dyah. Mereka kemudian bergegas meninggalkan tempat itu.
Pamugaran duduk di sofa, bersandar dengan nafas tersengal-sengal. Dia tak peduli lagi kepada semua orang yang meninggalkan apartemennya yang porak poranda itu. Rayun segera menarik tangan Aryo dan Dyah keluar dari tempat itu. Mereka menuju areal parkir dan melarikan kendaraan menjauhi apartemen Pamugaran. Dalam perjalanan dengan sangat rinci, Rayun menceritakan semuanya.
“Jadi semuanya itu sudah direncanakan sebelumnya,” ujar Dyah Sugihan.
“Tepat, seperti apa yang kuceritakan kepadamu tadi kan?” sahut Aryo.
“Tak disanagka, orang dengan wajah klimis seperti itu ternyata…”
“Biasanya sih, penjahat kelas kakap berwajah culun,” kata Ary tertawa. “Mending berteman dengan wajah sangar sepertiku inilah, hehehe…”
“Ck, maunya!”
“Sudahlah, jangan dibicarakan lagi, aku masih trauma,” ujar Rayun dengan suara tertahan-tahan.
“Ya, yang penting kau selamat.”
“Tapi, Mas,…apakah benar Naga Tatmala ikut nimbrung di dalam kejadian tadi?” tanya Dyah kepada Aryo.
“Maksud kamu apa?” Rayun bertanya pula, ingin tau.
Aryo Wangking tersenyum.
“Begini,” katanya. “Dalam kejadian tadi, tak ada campur tangan Naga Tatmala. Kalau saja dia itu ikut nimbrung di dalamnya, tak akan terjadi pergumulan seru seperti itu. Karena dengan kekuatan jemari saja yang ditekan pada pundak Rayun, maka Rayun sudah menyerah tanpa syarat. Semuanya akan berjalan mulus, tanpa huru-hara.”
“Jadi, maksud mas Aryo, tadi itu terjadi karena dorongan dari dalam diri Pamugaran sendiri to, Mas?”
“Ya iyalah. Itu namanya napsu. Napsu syahwatnya sendiri.”
“Ih! Kalian ini membicarakannya sepertinya tidak ada aku di sini deh!” sungut Rayun.
Dyah dan Aryo tertawa ngakak.
Tiba-tiba Aryo jadi teringat kepada Sumirah. Diakui atau tidak, perempuan itu pernah memberikan sebuah kehangatan pada saat dia kesakitan dan kesepian. Sumirah pernah bilang kepadanya tentang pandangannya yang sinis terhadap perilaku para pria yang pernah menidurinya.
Kata Sumirah kala itu,:
“Laki-laki. Kalau sedang ada maunya suka sekali menjelek-jelekkan isterinya. Mungkin karena lelaki itu sedang minta dikasihani, atau sedang akan membuatku jatuh cinta. Entah dengan alasan apapun. Tentu saja yang menguntungkan dirinya. Tapi bila sudah terjadi, pada akhirnya dia akan tetap kembali kepada isterinya. Jadi bukan barang baru. Itu lagu lama. Mungkin karena gengsi, atau mungkin karena kewajiban, atau karena ada hal lain lagi. Dan tinggallah aku menangisi diri. Aku menangisi keadaan yang seharusnya bisa kuhindari.”
“Sudah tau begitu, tapi kenapa yu Mirah masih tetap melakukannya?” tanya Aryo menanggapi kesinisannya.
“Kau lihat elang selalu makan anak ayam kalau berhasil menemukannya. Kalau elang punya watak yang sama, kenapa kau mengira kita manusia akan mengubah wataknya pula?”
Saat itu Aryo mengerutkan kening. Tak menyangka, Sumirah punya pemikiran seperti itu.
“Jadi sampeyan bermaksud bilang padaku, kalau sampeyan menjalani semua itu adalah merupakan salah satu dari watak sampeyan?”
“Kau tau, Ar. Bahwa aku bertemu dengan kakangmu, adalah di jalan yang tidak benar. Aku mencintainya. Dan kupikir dia juga mencintaiku. Tanpa syarat, kamipun menikah. Tapi kemudian aku menyesal. Kenapa? Karena ternyata aku telah salah pilih. Memilih orang yang kita cintai berarti memuaskan perasaan sendiri. Tanpa memikirkan akibatnya seandainya orang itu miskin, atau tidak bisa memberikan keturunan. Kemiskinan dan ketidakmampuan memberikan keturunan, semuanya itu ada pada diri kakangmu. Padahal selain kang Empul, saat itu ada seorang pria lain yang kaya raya dan punya jabatan di pemerintahan, ingin mengambilku sebagai isteri kedua. Sayangnya aku tidak mencintainya.”
“Sudah benar sampeyan memilih kang Empul. Hanya saja sampeyan tidak bisa meninggalkan kebiasaan lama, yakni berganti-ganti pasangan seperti dulu sebelum menikah dengan kang Empul. Itu yang membuat sampeyan tidak bahagia bersama kakang.”
Sumirah tersenyum sinis.
“Satu-satunya keuntunganku menikah dengan kakangmu cuma satu. Mengenalmu. Tidur denganmu. Memelukmu dan merasakan getaran tubuhmu yang seakan-akan mengalirkan kekuatan listrik beribu-ribu volt.”
…….
Ingatan tentang Sumirah buyar tatkala Rayun berseru gembira,:
“Alhamdulillah….kita sudah sampai di rumah dengan selamat! Terimakasih Tuhan, terimakasih Aryo !”
Aryo menghentikan kendaraan tepat di depan pintu gerbang rumah Rayun. Rayun dan Dyah turun. Kedua gadis itu menatap heran ke arah Aryo yang tetap duduk di belakang setir dengan mata menerawang jauh ke depan. Tubuhnya teronggok bagai karung beras di jok depan.
“Ar, kau mau turun atau tidak?” tanya Rayun perlahan.
“Atau mau terus mengantarkan aku pulang?” cetus Dyah digenit-genitkan.
Rayun menyodok perutnya. Aryo tergeragap, menoleh ke wajah-wajah cantik di samping jip.
“Begini saja,” kata Dyah Sugihan. “Kau antar aku pulang, di rumahku nanti kau bisa mandi, ganti baju, dan sholat. Baju masku masih banyak di lemari, dia pindah ke Jakarta cuma membawa satu travel-bag saja. Kau bisa memakainya. Bajumu penuh percikan darah, begitu. Setelah itu kita balik ke sini merayakan ulangtahun Rayun. Bagaimana, setuju tidak?”
“Itu baru pintar,” tawa Rayun seraya membenahi belitan kain seprei yang melorot.
“Menurut kamu, masmu itu tidak marah kalau bajunya kupinjam?”
“Ah, masku itu orangnya baik. Jadi kau tak usah kuatir dia setuju atau tidak. Lagian, baju selemari, dia pasti tidak tau kalau aku curi sepasang untukmu.”
Aryo tertawa.
“Dasar anak badung,” katanya lucu.
Dyah Sugihan tertawa. Pipinya yang kemerah-merahan kian berkilau karena keringat tatkala dia tertawa.
Dipandangnya Aryo dan Rayun bergantian, lalu diam-diam dalam hati dia berdoa, semoga kelak Tuhan akan mempertemukannya dengan seorang lelaki seperti Aryo Wangking sebagai jodohnya, lelaki yang tampil apa adanya, berkarakter, berpenampilan sederhana, dan gagah serta ganteng. Ih,…memang masih ada? Hehehe…
“Kok ketawa?” tanya Rayun tiba-tiba. Keningnya berkerut curiga.
“Hehehe…nggaaaak, nggak apa apa. Yuk mas, kita berangkat. Keburu kena semprot nih!”
“Hih, siapa yang mau nyemprot!”
“Loe!”
“Maunya!”
“Tidak diantar masuk?” Aryo menengahi.
“Nggak usah Mas, sudah gede kok, nanti dia malah jadi manja lagi.”
Dengan gemas Rayun mencubit Dyah, hingga temannya itu mengaduh-aduh. Namun tetap saja Aryo turun dari mobil dan mengantarkan Rayun sampai ke hadapan orangtuanya. Secepat itu pula dia melompat kembali ke atas jip dan memacunya ke rumah Dyah. Biarlah Rayun sendiri yanag akan menceritakan kejadian mengerikan itu kepada kedua orangtuanya. Sementara itu dalam perjalanan menuju ke rumahnya Dyah terus mengoceh dan terus mengoceh hingga mereka sampai di tujuan.

(Kisah selanjutnya, di episode berikutnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar