
CEMBURU.
Kunjungan ke ulangtahun Rayun Wulan bagi Aryo Wangkin merupakan awal dari segalanya. Kunjungan-kunjungan berikutnya makin lama makin memiliki ritme yang lebih. Benang merah mulai terjalin. Semuanya itu dirasakan Aryo bagai tonikum, yang ingin selalu direguknya hingga tuntas. Semangatnya menggebu. Gairah kerja kian lama kian meningkat. Teman-teman dekatnya seperti Rustam, dan Darji merasa ikut senang melihat betapa lelaki dermawan itu terlihat amat bahagia. Semua itu, mereka ketahui, adalah karena adanya Rayun Wulan yang datang menghiasi hari-hari Aryo Wangking.
Setiap kali berbincang dengan Rayun di Surabaya, Aryo seakan menemukan bagian dari dirinya yang hilang sekian ratus tahun yang lalu. Hidupnya dirasakannya kian utuh. Apapun itu namanya, Aryo tidak dapat menyangkal suara hatinya sendiri tatkala disadarinya bahwa cintanya tumbuh subur. Rayun sendiri tampaknya menerima semua perhatian dan cinta yang disodorkan Aryo kepadanya. Bahkan tatkala Aryo memberanikan diri mencium bibirnya, Rayun menyambutnya dengan gairah cinta yang seakan tak terbendung. Gadis itu telah menjatuhkan pilihannya. Dan rasanya, kedua orangtua Rayun juga merasa suka kepada pria muda itu.
Sejak saat itu, mereka berdua sering tampak bersama. Baik dalam kegiatan yang dilakoni Aryo, maupun sebaliknya. Bahkan pada peluncuran buku yang terbit belum lama ini, Aryo juga terlibat langsung dalam penyelenggaraannya. Sebagaimana kehadiran Rayun pada malam pameran lukisan karya Dewa Pamugaran di Sheraton tempo hari, malam peluncuran buku karya novelis cantik itupun tak luput juga mendapat perhatian khusus dari kalangan pers.
Sikap Aryo yang terlihat acuh tak acuh terhadap orang lain, serta mahalnya senyum di wajahnya, membuatnya tampak sangat berbeda dengan penampilan Dewa Pamugaran saat membuka pameran lukisannya. Selain gagah dan ‘gallant’, dia juga nampak seperti berhasil membuat Rayun jadi amat bergantung kepadanya. Bagaikan seorang ‘body guard’, Aryo selalu berdiri di belakang atau di sampingnya. Dengan tatap mata setajam rajawali dia mengawasi semua yang hadir satu persatu.
Penampilannya itu sudah barang tentu membuat fenomena tersendiri bagi kalangan pers. Jepretan lampu blitz berkali-kali menerpa wajahnya dan Rayun. Berbagai spekulasi muncul media massa dengan segala macam pampangan photo mereka, membuat Dewa Pamugaran jadi geram membacanya. Rasa penasaran dan marah membuat lelaki paruh baya itu bersumpah dalam hati akan membuat perhitungan tersendiri terhadap arkeolog dari Trowulan itu.
Jelas teringat dalam benaknya, bagaimana Aryo membuatnya tersudut dengan mengatakan maksud-maksud tertentu dalam dirinya saat menjalin hubungan akrab dengan Rayun Wulan. Seakan anak muda itu ingin mengatakan betapa brengsek dirinya, sudah berumur masih ingin daun muda!
Hari-hari berikutnya jadi lebih menyakitkan. Setelah kejadian yang menghebohkan di apartemannya itu, mendadak nama Pamugaran jadi tenggelam. Bahkan dalam beberapa surat kabar maupun tabloid, dirinya telah dianggap brutal dan tidak berakhlak. Bagaimana bisa, kata media cetak, seorang pelukis ternama mendadak harus babak belur karena percobaan perkosaan? Mereka para wartawan itu, menulis, bahwa perkosaan itu berdasarkan pemujaan terhadap setan. Untungnya ada seorang anak muda, arkeologis yang datang menggagalkannya. AW, inisial Aryo wangking, bahkan dipuji-puji bagaikan seorang pahlawan bermoral tinggi.
Kalangan pers jadi punya kesempatan membuat berita bombastis tentang peristiwa itu. Nama baik Dewa Pamugaran sebagai pelukis kondang dari Gianyar, jadi belepotan. Ketenarannya selama ini karena seringnya mengadakan pameran tunggal di hotel-hotel berbintang lima, mendadak jatuh ke comberan. Stempelnya: menjijikkan!
Sekarang, tau-tau, bagaikan sambaran petir di siang bolong, nama Aryo Wangking muncul dan seakan-akan ditabalkan sebagai calon suami sang novelis, korban perkosaan yang gagal. Aryo wangking seakan jadi tokoh panutan tempatnya bermuara.
Bah!
Ini semua sungguh keterlaluan. Dunia seakan jadi jungkir balik. Kelewatan! Kurang ajar! Sontoloyo kamu Aryo Brewok! Aaaaghhh…. Pamugaran berteriak sekuat suara. Dunianya bagaikan ambruk, kepalanya terbakar, meledak bagaikan bom atom. Koran yang dibacanya diremasnya jadi bulatan sebesar bola tenis. Lalu dilemparkannya jauh melewati pagar balkon. Seperti itulah keinginannya melemparkan Aryo Wangking, agar bisa remuk di lantai dasar!
……..
Di tempat lain, Niken Pratiwi juga membacanya. Dengan perasaan yang sama. Marah, penasaran dan ingin mencekik siapa saja yang mau dicekik. Sebetulnya Aryo wangking bukan orang asing baginya, karena selama bertahun-tahun sejak sama-sama lulus perkuliahan, mereka bekerja di kantor yang sama. Bahkan Niken merasa, mereka berpacaran. Ya, kalau mereka sudah sering jalan bersama, berciuman, saling memeluk, lalu tidur bersama…apa namanya kalau bukan berpacaran? Bahkan lebih, barangkali. Tidak saja berpacaran, tapi lebih, lebih, dan lebih. Kendati hanya sekali berhubungan, tetapi bukankah itu sudah bisa dikatakan kekasih? Memang, dirinya sudah tidak virgin lagi kala itu. Namun mereka menikmatinya tanpa banyak cing-cong. Aryo juga cuek saja, tidak bertanya kok begini, kok begitu. Take and give, dalam artian saling memuaskan.
Tapi kenapa tiba-tiba Aryo memberikan sikap kepada para wartawan bahwa dia sepertinya sudah bertunangan, atau bahwa dia adalah calon suami Rayun Wulan, gadis berwajah suci itu? Lantas, aku bagaimana? Aku ini, apanya? Memang sih, selama ini Aryo tidak pernah berkomitmen apapun kepadanya. Tidak pernah berkata, I love you, misalnya. Atau…kita nikah yuk! Padahal hubungan mereka sudah sedemikian akrab. Meskipun lelaki itu tak pernah bersikap mesra atau menunjukkan cinta kepadanya, bagi Niken tak masalah. Dia biasa saja. Cuek, malah! Sampai tiba-tiba dia membaca berita dalam Koran tentang percobaan perkosaan yang dilakukan seorang pelukis terkenal dari Gianyar, dan berita tentang peluncuran buku karya novelis dari Surabaya itu.
Niken meremas Koran di tangannya. Sepasang matanya berair tiba-tiba. Selama ini dirinya sangat percaya bahwa lelaki gagah itu memang telah diciptakan Tuhan untuk menjadi miliknya. Suara-suara sumbang mengenai hubungan antara Aryo dan Sumirah, yang selalu ditiupkan Sumirah tak pernah sekalipun membuatnya ragu akan keakraban yang terjalin antara dirinya dan Aryo. Memang sih, ada rasa cemburu dalam hati. Namun giliran melihat kenyataan, Niken sama sekali tidak takut Aryo bakal jatuh ke tangan Sumirah. Siapa yang tidak tau Sumirah? Semua orang di tanah Majapahit ini tau, betapa perempuan bertubuh sintal dan berdarah panas itu sering datang ke Siti Hinggil, ngobrol sejenak dengan para lelaki penghayat dari luar kota, lalu menghilang,…entah kemana. Tak seorangpun perduli, apakah dia dibawa ke hotel atau cuma bercengkerama di gelap-gelap di bawah rumpun bambu. Jelas, lelaki baik-baik mana yang mau dengan Sumirah? Dan salah satunya dari lelaki baik di pelataran Majapahit itu adalah Aryo Wangking! Satu hal yang bagi Niken tak habis pikir, bagaimana mungkin orang-orang seperti Aryo Wangking dan Aryo Empul mampu membiarkan Sumirah berbuat seperti itu di tengah para penghayat? Padahal hampir semua orang di sekitar tempat itu percaya betul bahwa Aryo Wangking adalah panutan, seorang yang amat dihormati, sebagai kunang-kunang yang memberikan penerangan di lorong-lorong panjang, bagaikan suluh yang menerbangkan mata, menggali hidup, dan mengajarkan cara berteman dengan alam jagad raya.
Ketika Sumirah tewas oleh racun serangga, orang menganggap kematiannya itu disebabkan karena sebuah pertengkaran hebat antara dirinya dengan suami, yang mengakibatkan Aryo Empul, suaminya itu, minggat. Bahkan Aryo Wangking juga ikut-ikutan minggat. Orang lantas bisa memahami kekalutan hati Sumirah. Yang kemudian membawanya pada satu keputusan: membunuh dirinya sendiri. Tak seorangpun tega untuk mempergunjingkan sebab musabab kematiannya, atau menghubung-hubungkannya dengan hal-hal lain yang tercela. Karena mereka semua masih tetap menghormati Aryo Wangking dan Aryo Empul sebagaimana mestinya.
Bahkan ketika semua Koran baik yang beroplah tinggi maupun yang krece, memberitakan perkelahian antara pelukis dari Gianyar dengan seorang arkeolog dari Trowulan karena sebuah percobaan pemerkosaan, warga setempat ‘sarujuk’ dengan tindakan Aryo Wangking. Mereka semua mendukungnya dan menganggap Aryo telah melakukan suatu tindakan yang sangat tepat dan sangat terpuji. Sebaliknya, pandangan masyarakat umum terhadap Dewa Pamugaran tiba-tiba jadi sinis.
Menurut Niken Pratiwi, persoalannya tidaklah sesederhana itu. Perkelahian dan kejadian yang amat sensasional itu pasti disebabkan oleh sebuah persaingan yang tidak lumrah. Bisa saja karena cinta segitiga. Atau apa. Saat itu memang, Niken belum bisa memastikan. Tetapi sekarang, semua pertanyaan itu seakan terjawab. Kini Dewa Pamugaran sudah tersingkir. Hubungan dengan novelis itu rusak serusak-rusaknya. Aryo Wangking muncul bagai pahlawan. Dialah pemenangnya. Dia telah memenangkan opini masyarakat, juga telah memenangkan simpati bahkan hati Rayun Wulan, gadis cantik kaya raya, putri tunggal seorang pengusaha otomotif di Surabaya.
Judul tulisan dalam Koran, menggugah perasaan Niken Pratiwi. Kenapa? Jawabnya mungkin hanya satu. Bagi Niken berita itu sangat menusuk perasaannya. Sebab di Koran secara tidak langsung diberitakan bahwa pria gagah, pendiam dan berpenampilan sederhana itu adalah calon suami Rayun Wulan. Laki-laki tampan dengan brewok dan kumis itu memang bukan siapa-siapa dibanding Pamugaran. Namun kali ini pria itu berhasil memikat hati putri Condro Hadikusumo, pengusaha sekaligus priyayi berdarah biru, yang mendadak booming selepas peluncuran novel ke limanya, di Gramedia. Semua itu bagaikan petir di siang bolong. Cahaya kunang-kunang yang kecil dan teduh kini mendadak jadi ikut memancar terang, melesat jauh bagai meteor. Kejadian itu mengingatkan Niken pada serat langendriyan tentang Damarwulan-Menakjinggo.
Niken Pratiwi mengamati photo yang terpampang di Koran. Sekarang terlihat jelas bagaimana wajah gadis itu. Dia memang cantik sekali. Niken menatapnya dengan iri dan cemburu. Kecantikan yang tiada tara terpancar dari wajah Rayun dalam photo di Koran itu. Bukan hanya cantik, namun juga menyiratkan bahwa dia juga terlihat sangat terawat sebagaimana takdirnya sebagai gadis kaya, dan bukan keturunan orang sembarangan. Diberitakan, dia masih keluarga berdarah biru, orangtuanya pengusaha sukses, anak tunggal lagi! Oh, betapa beruntungnya gadis itu. Apa, yang tidak dimilikinya? Dia pandai, cantik, tenar, berharta, dan sekarang… dia juga memiliki Aryo Wangking! Mengapa dia tega merebutnya dari tanganku padahal dia sudah memiliki segalanya? Seharusnya dia bersanding dengan orang semacam Pamugaran. Seharusnya! Tapi mengapa tidak jadi?
Sialan!
Kalau dulu harus bersaing dengan Sumirah, Niken tak pernah bingung seperti ini. Dia berhasil mempertahankannya. Namun kalau harus mempertahankannya dari pesona yang dipancarkan Rayun Wulan,…mampukah dirinya? Sanggupkah dia berhadapan dengan gadis lampai nan cantik seperti itu? Agh….rasanya Aryo sudah tak menginjak bumi lagi. Dia sudah berada jauh di atas, bersanding dengan bintang gemerlap di langit ke tujuh. Sementara dirinya tetap di sini, bagai itik jelek yang kebingungan mencari benih.
Niken melipat Koran dengan hati galau. Dibantingnya Koran tak bersalah itu di lantai dan diinjak-injaknya dengan gemas. Apapun, tekadnya, akan kulakukan agar Aryo tak menghilang di balik awan. Apapun!
(Marahnya masih ada di episode berikutnya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar