Jumat, 16 April 2010
TROWULAN (17)
MAJAPAHIT DALAM MEMORY.
Ketika pada tahun 1304 M. Prabu Kertarajasa Jayakatyangrati Ripujaya wafat, putra dari garwa paminggir, pangeran Jayanegara diangkat sebagai pengganti. Muncullah perselisihan antara kelompok bangsawan yang dipimpin Sang Mahapatih Khalayuda melawan kelompok pajabat yang berasal dari kalangan rakyat jelata yang dipimpin oleh Rakryan Mahapatih Hamengkubumi Nambi, Patih Jero Lembusora, dan Ranggalawe yang pada waktu itu bertanggungjawab atas wilayah mancanegara di Tuban.
Ketiga orang itu, yakni Nambi, Lembusora dan Ranggalawe, merasa tersinggung lantaran sering diejek berkelas rendah oleh kelompok Sang Mahapatih Khalayuda. Jelas perselisihan tersebut dipengaruhi oleh perbedaan kasta. Dan selain perbedaan kasta, juga disebabkan oleh perbedaan agama.
Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pada masa pemerintahan Prabu Jayakatyangrati Ripujaya beserta permaisurinya, Dyah Rajapatni dan kedua putrinya, Tribuwanatunggadewi dan Rajahdewi, adalah penganut agama Budha. Demikian pula para pejabat yang bukan keturunan bangsawan seperti Nambi, Lembusora, dan Ranggalawe. Dalam agama Budha memang tidak mengenal perbedaan kasta. Karena itu banyak di kalangan pejabat Negara yang bukan keturunan bangsawan, memeluk agama Budha.
Selain perbedaan kasta dan agama, masih ada factor lain yang menimbulkan perselihan mereka, yakni perihal keturunan ningrat. Dalam masyarakat feodal, soal garis kebangsawanan tidak dapat dipandang ringan. Tokoh yang berhak atas tahta seharusnya permaisuri Dyah Rajapatni, putri Prabu Kertanegara Mahaprabu Singhasari, yang gugur saat menerima serangan Jayakatwang, raja Gelang Gelang, dari Kediri. Maka ketika putra dara pethak, garwa paminggir, Jayanegara tiba-tiba menjadi pewaris tahta, orang-orang yang paling tidak rela adalah Nambi, Lembusora, dan Ranggalawe. Selain itu masih banyak yang masih menghormati Prabu Kertanegara. Apalagi golongan penganut agama Budha, karena sang Prabu Kertanegara, raja terakhir Singhasari itu lebih cenderung pada agama Budha, bahkan direstui menjadi Jina atau Dyani-Budha, yaitu orang yang telah sempurna samadinya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keberhasilan Jayanegara menduduki tahta Majapahit pada usianya yang ke limabelas, agaknya dicurigai atas desakan sang Mahapatih Khalayuda yang didukukng oleh para Darmaputra dari golongan agama Syiwa.
Tak urung, muncullah suatu pemberontakan.
Semuanya itu dipicu oleh keinginan Jayanegara untuk memperistri kerabatnya sendiri (saudara tiri satu ayah lain ibu), yaitu Bhre Kahuripan Tribuwanatunggadewi dan Bhre Daha Rajahdewi. Kedua putri itu tentu saja tidak bersedia. Hal itu bisa dipastikan akan adanya maksud-maksud tersembunyi Jayanegara untuk meningkatkan kemuliaan keturunannya. Karena sesungguhnya, dara pethak, ibunda dari Jayanegara bukanlah garis keturunan raja. Dara pethak adalah putri boyongan, semacam hadiah dari sebuah Negara yang berhasil dikalahkan Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Jayakatyangrati Ripujaya.
Pembangkang paling awal adalah Ranggalawe, dari Tuban. Pemberontakan Ranggalawe akhirnya bisa ditumpas oleh Mahesa Anabrang. Ranggalawe tewas. Tetapi kemudian Mahesa Anabrang dihabisi oleh Lembusora. Dalam pertempuran itu, seluruh prajurit Mahesa Anabrang gugur, termasuk Mahesa Anabrang sendiri. Lembusora dan pasukannya akhirnya menetapkan berkedudukan di Tuban. Namun tak lama kemudian diapun tewas oleh serangan prajurit Majapahit yang dipimpin langsung oleh Sang Mahapatih Khalayuda. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1313 M.
Kini tinggal Nambi yang menurut Jayanegara merupakan gangguan, karena pada saat itu Nambi masih tetap sebagai Rakryan Mahapatih Hamengkubumi, Senapati Pamungkas.
Sementara itu perasaan Nambi mulai tidak tenang. Hatinya gelisah. Sehingga dia memilih pulang ke Lumajang, menjenguk ayahanda angkatnya, Aryo Wiraraja, yang tengah sakit. Namun karena kelicikan Sang Mahapatih Khalayuda yang amat pandai menghasut raja, akhirnya Jayanegara sendiri berkenan memimpin pasukan melakukan serangan ke Lumajang.
Serangan itu demikian mendadak, tanpa membeerikan kesempatan kepada prajurit Lumajang untuk mempersiapkan diri. Prajurit Lumajang hampir tak percaya, bagaimana mungkin prajurit Majapahit menyerang dengan tiba-tiba tanpa alasan ke Lumajang, sementara Senapati alias Panglima Perangnya sendiri sedang berada di Lumajang? Berbondong-bondong para kawula dan sentana datang menghadap Rakryan Mahapatih Hamengkubumi diiringi tangis, melaporkan bahwa telah terjadi peperangan yang tidak seimbang. Banyak prajurit dan rakyat kecil tewas. Seluruh kadipaten telah terkepung wakul buaya mangap. Pesanggrahan-pesanggrahan dibumihanguskan. Apakah kesalahan mereka? Apa kesalahan Lumajang?
Raut muka Nambi seketika berubah merah padam. Kemarahannya sungguh tak terlukiskan. Dia sadar, Khalayuda sudah berhasil membuat fitnah, sehingga tanpa ampun lagi, Sang Prabu sendiri yang datang menyerang dengan pasukan besar laksana berperang dengan mancanegara yang akan ditaklukkan. Padahal Lumajang hanyalah sebuah kadipaten, bukan sebuah Negara besar!
Segera Nambi menghunus keris dan berteriak lantang:
“Kita lawan! Rawe-rawe rantas malang-malang putung! Tak ada jalan lain, kita pertahankan kehormatan kita hingga tetes darah penghabisan!”
Nambi terjun ke kancah peperangan. Mengamuk bagai banteng luka. Namun, apa gunanya? Prajurit Majapahit seakan-akan gelombang pasang yang datang menggempur, menyapu semua kekuatan kadipaten Lumajang. Seluruh kerabat, kawula cilik, sentana, putra putri kadipaten, semua ludes binasa tanpa sisa.
Sekujur tubuh Nambi basah berlumur darah. Luka yang disandangnya adalah luka yang arang kranjang. Rasanya tak ada sisa sedikitpun ditubuhnya yang tidak terluka oleh ujung tombak, keris, maupun ujung anak panah. Dirinya yang selama ini perkasa, dan menjadi orang kedua di Majapahit dalam era pemerintahan Sang Prabu Jayakatyangrati Ripujaya, akhirnya harus menyerah oleh olah pokal licik Mahapatih Khalayuda yang selama ini menyimpan rasa iridan ambisi terhadap pangkat dan jabatan Nambi, yakni sebagai Rakryan Mahapatih Hamengkubumi. Pangkat dan jabatan yang selama ini di impi-impikannya. Hingga nyawa terlepas dari raga, Nambi tak pernah tau secara pasti, kesalahan apa yang dilakukannya hingga peperangan itu terjadi.
Aryo Wangking tersentak. Terbangun dari tidur dan mimpi yang dirasakannya cukup aneh.
Tadi, berangkat dari rumah Sumirah, sebetulnya Aryo masih ingin tidur barang sesaat. Tetapi bukannya merasa bugar, begitu tersentak bangun Aryo justru merasakan tubuhnya begitu lelah, seakan-akan benar-benar ikut berperang seperti mimpinya barusan. Bagian uluhati juga terasa amat sakit, ngilu, bercampur pedih bagaikan ditusuk benda tajam. Ketika ditengoknya tepat di uluhati ditemukannya bercak darah. Walau cuma sedikit, namun dia yakin bahwa itu darah betulan. Tetapi darah siapa, dan darimana asalnya?
Aryo duduk bersandar ke tiang pendopo Siti Hinggil dimana saat itu dia berada. Diusapnya bercak di uluhatinya, dan diciumnya. Ya, itu memang darah. Bagaimana mungkin? Keyakinannya bahwa dia adalah keturunan sekaligus titisan Mpu Nambi, kian jelas. Orang-orang yang mengerti tentang bahasa karma mengatakan kepadanya bahwa dirinya adalah sebuah rebirth dari Mpu Nambi. Menurut Liman, ketua padepokan Bukit Budha Asyobya, rebirth punya hubungan erat dengan karma. Orang yang meninggal dalam keadaan belum bersih dari karma, akan dilahirkan kembali ke dunia untuk memperbaiki diri. Hal itu akan terus berulang-ulang hingga pada suatu saat, entah pada rebirth ke berapa, dia akan bersih dari karma dan tak akan ada force atau power untuk membuatnya kembali lagi ke dunia. Tingkat itu dinamakan tingkat Arahat.
Aryo Wangking memejamkan mata sambil menarik nafas dalam. Dia mencoba memutar memorynya kembali atas kejadian yang baru saja dilihatnya lewat mimpi.
Ya, semuanya jadi lebih jelas.
Ketika itu dia melihat, dirinya terjungkal dari kuda ke tanah, karena kuda yang dikendarainya roboh akibat seorang prajurit Majapahit menebas kedua kaki depan kuda miliknya. Lalu secara tiba-tiba seseorang datang menyerbu bagai topan ke arahnya. Menyerang tanpa basa-basi. Mengambil kesempatan selagi dia lengah. Orang itu mengayunkan sebilah keris panjang berluk tigabelas ke arah perutnya. Menusuk lurus ke uluhati, tembus hingga ke punggung. Nambi yang tak sempat berbenah setelah jatuh dari kuda, tak lagi sempat mengaduh. Secepat apapun dia berusaha menahan laki-laki itu untuk tidak terlalu dalam mdenghujamkan kerisnya, sungguh tak lagi berguna. Laki-laki itu berpakaian kerajaan, berkumis dan bermata sipit. Bibirnya menyeringai ke arahnya. Wajah itu begitu dekat ke wajahnya. Sehingga Nambi bisa merasakan panasnya sorot kebencian yang tersirat dalam manik-manik bola matanya.
Wajah dan mata itu…seperti…
Astaga!
Aryo membuka mata lebar-lebar dengan perasaan ngeri.
Baru kini disadarinya, bahwa wajah kesatria bermata sipit itu adalah wajah Dewa Pamugaran!
Aryo Wangking terhenyak. Keringat dingin menetes dari pori-porinya. Dalam sekejap leher dan punggungnya basah oleh keringat yang mengalir menganak sungai. Bahkan seakan membanjiri segenap jiwanya. Karma itu, pikir Aryo Wangking. Karma itu akan terus mengikuti Khalayuda, Rara Ireng, dan dirinya sendiri.
Pantas saja, pikirnya. Pantas saja wajah Pamugaran begitu familiar dalam ingatannya. Baru kini dia sadari, bahwa pertemuannya kembali dengan Khalayuda adalah untuk meluruskan perseteruannya yang dulu. Rasanya Aryo harus lebih bisa menangkap tipu muslihat Khalayuda yang terkenal licik dan pintar berstrategi itu kembali, di dunia ini.
Seseorang tiba-tiba berlari-lari kecil ke arahnya. Ternyata Sikan, juru kunci Siti Hinggil. Ada apa segelisah itu lelaki setengah baya itu datang? Tadi memang Aryo berniat ke Surabaya mengunjungi Rayun Wulan, sekedar melepas kangen dan sekaligus mengantarkan selendang penutup bahunya yang tertinggal di jip. Namun mendadak dia ingin singgah ke Siti Hinggil, terlelap sejenak di tempat itu. Apakah semuanya itu memang sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa, atau bagaimana?
“Mas!” suara Sikan membangunkannya dari alam lamunan.
“Cepat pulang Mas. Ada musibah di rumah Yu Mirah!” lanjutnya.
“Musibah? Musibah apa, pak Sikan?”
“Yu Mirah. Dia bunuh diri.”
“Astaghfirullahaladziiim. Kapan? Tadi pagi dia nggak apa-apa kok.”
“Barusan orang-orang menemukan jasadnya dengan mulut berbusa, di ruang tamu.”
“Jasad? Apa maksud sampeyan?”
“Maaf, orang-orang bilang dia…dia sudah…”
Aryo meloncat turun dari Siti Hinggil. Tergopoh-gopoh mereka menuju kendaraan di lahan parkir, dan meluncur cepat ke rumah Sumirah.
Rumah kecil bercat putih itu sudah penuh dengan manusia. Orang-orang ribut sendiri-sendiri. Aryo menyibak kerumunan itu dan menemukan rumah sudah berantakan. Tubuh Sumirah masih tergeletak di lantai, mulutnya berbusa, sepasang matanya seakan-akan nanar menatapnya, seolah bertanya, inikah yang kau kehendaki, membuat aku memilih mati dengan cara seperti ini karena kau tolak cintaku?
Aryo berjongkok di sebelahnya, memejamkan mata dengan dada empet. Ya Allah…betapa kecilnya arti manusia kalau begini jadinya…! “
“Pak Sikan, tolong susul kang Empul. Sekalian laporkan semua ini ke polisi. Katakan pada semua orang agar tidak mengutak-utik jasad Yu Mirah.”
“Ya, Mas.”
“Saya mau cari ambulans.”
“Baik, mas.”
Semuanya demikian kacau. Tetapi warga setempat dan Pak Sikan telah banyak membantu Aryo , kalau tidak, entahlah, Aryo tak tau harus berbuat apa. Terlebih nanti kalau harus melalui beberapa proses pemeriksaan polisi, visum et repertum, dan lain-lain. Aryo Empul sendiri baru datang pada saat pemakaman dilaksanakan. Kesimpulan polisi, kejadian itu benar-benar karena bunuh diri, tidak ada penganiayaan atau sejenisnya.
Aryo Wangking mendekati Aryo Empul tatkala suasananya sudah cukup tenang. Lelaki itu kelihatan sepuluh tahun lebih tua dari biasanya.
“Kau adalah orang terakhir yang bertemu dengannya,” kata Aryo Empul. “Apa yang dikatakannya kepadamu?”
“Maksud kakang, pesan atau wasiat?”
“Entah. Apapun itu namanya, aku hanya ingin tau apa yang membuat dia melakukan bunuh diri itu. Kau tau?”
“Tidak,” sahut Aryo tegas. “Dia tidak mengatakan apa-apa.”
“Itu tidak mungkin.”
“Kang, kalaupun dia berbicara panjang lebar tentang hal-hal yang membuatnya putus asa, atau apa, adakah gunanya untuk kakang ketaui?”
“Entahlah. Aku sendiri tidak tau.”
“Begini sajalah kang, sebaiknya kita introspeksi diri kita masing-masing. Lalu kita kuburkan kesedihan ini. Kita cukupkan sampai disini saja, tak perlu diperpanjang atau diungkit-ungkit lagi.”
Aryo Empul menghela nafas panjang. Sementara itu, Aryo Wangking mengeluh dalam hati yang paling dalam. Apakah pantas, pikirnya, semua penyebab kematian itu diungkapkan? Apakah ada gunanya untuk kang Empul? Biarlah dirinya sendiri saja yang tau, betapa marahnya Sumirah pada waktu itu, betapa sakit hatinya tatkala menyadari bahwa dirinya tak berarti apapun bagi lelaki yang didambakannya.
“Selama ini kakang tinggal dimana?” tanya Aryo Wangking memecah keheningan.
“Dimana saja. Bisa di gardu, bisa di masjid.”
“Sebenarnya apa yang terjadi? Apa benar, kakang telah menceraikan yu Mirah dan menikahi Anjasmara?”
“Siapa yang mengatakannya padamu?”
“Yu Mirah.”
Aryo Empul tertawa lirih.
“Kau punya rokok, Yok?” ujar Aryo Empul sebelum menjawab pertanyaan Aryo Wangking. Dia lalu mencabut sebatang rokok dan menyulutnya sekali.
“Dia bohong,” kata Aryo Empul setelah menghembuskan asap rokok dari hidung. Kedua matanya menerawang jauh.
“Aku tidak pernah menikahi Anjas. Ketika aku kembali setelah pertengkaran denganmu tempo hari, dia menolakku mentah-mentah setiap kali aku menginginkannya. Katanya, dia terlanjur jijik padaku. Dia mengusirku bagai mengusir binatang. Maka aku memilih untuk pergi dan tidak pernah kembali lagi. Aku ini, jelek-jelek begini lelaki yang punya harga diri. Sebagai laki-laki, apa yang akan kau lakukan ketika istrimu mengusirmu dan mengatakan bahwa dia telah jijik kepadamu? Aku bukanlah binatang melata yang bisa diperlakukan semau-maunya, betapapun bejatnya aku!” lanjut Aryo Empul.
“Jadi, apa maksud yu Mirah mengatakan bahwa kakang sudah menceraikannya?”
“Sebetulnya kau sudah tau jawabannya. Jangan mencoba menutup-nutupi keburukan Sumirah.”
“Maaf kang, dia sudah meninggal, tak baik membuka aib orang yang sudah …”
“Ah! Siapa yangv tidak kenal Sumirah?”
“Kang,…”
“Dengarkan saja, Yok. Supaya kau tau apa sebenarnya yang terjadi antara aku dan dia. Ini bukan menjelek-jelekkan almarhumah, bukan. Ini penjelasan buatmu. Kau mengerti?”
“Ya, ya.”
“Semua laki-laki di tanah kelahiran kita ini tau, siapa dia. Semua orang yang pernah melakukan penghayatan atau tirakatan di Siti Hinggil juga tau. Bahkan salah satu langganan di bengkel, pernah menjadi kekasih sesaatnya. Orang ini, orang Surabaya. Dia bilang sering membawa Sumirah menginap di hotel tak jauh dari sini. Selama ini aku selalu mencoba menulikan telinga dan membutakan mata. Aku ini malu, Yok! Malu punya istri kayak begitu. Orang-orang di bengkel sering membicarakannya. Mengolok-olok tanpa mereka sadari bahwa akulah suami sah dari perempuan yang mereka gunjingkan itu. Semua itu hampir membuatku gila. Dengan minum minuman keras aku berharap bisa melupakannya, tapi nyatanya tidak bisa. Kau sendiri pernah kan, mendengar selentingan tentang Sumirah?”
“Aku tidak tau. Sungguh!”
“Aku tak percaya.”
“Aku justru banyak mendengar berita tentang perselingkuhan kakang dengan Anjasmara.”
“Itu betul. Aku memang sengaja agar kesalahan kami jadi impas. Setidaknya bisa mengurangi sakit hatiku pada Sumirah. Hanya saja, mengapa dia memilih jalan pendek, membunuh dirinya dengan cara seperti itu? Aku jadi berpikir, apa mungkin dia cuma mau cari perhatian saja?”
“Ah!”
Aryo menunduk, Empul menggilas sisa rokok di dalam asbak.
“Sekarang, apa rencana kakang selanjutnya?”
‘aku berencana tetap akan mempertahankan rumah kita ini.”
“Ya, kang. Aku setuju.”
“Tapi aku tak mau tinggal disini. Aku akan mencari makan di Kediri saja. Disana ada teman yang menawariku bekerja sama membuka bengkel mobil. Aku berharap, kau mau tetap tinggal di rumah ini. Pakailah, sampai kau menikah nanti. Kalau tak suka, bisa kau sewakan saja.”
“Maaf, saya tak ingin tinggal disini dengan kenangan pahit yu Mirah.”
“Yang jelas, aku tak ingin menjualnya. Rumah ini adalah rumah pertama yang bisa aku beli dengan hasil keringatku sendiri, dan kuanggap sebagai bibit kawit perjalanan hidupku. Nanti, kalau aku sudah jompo, aku pasti balik ke rumah ini. Maka tolong, rawatlah rumah ini dengan baik tanpa prasangka-prasangka.”
“Tapi, kang…”
“Nggak pakai tapi tapian. Begitu saja. Besok aku akan berangkat ke Kediri. Jaga dirimu baik-baik, Yok. Jaga nama baikmu juga.”
Aryo Wangking tak bisa menolak lagi. Dia hanya mampu menundukkan wajah, mengiyakan saja keinginan Aryo Empul.
(Masih nyambung ke episode berikutnya…)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar