Jumat, 16 April 2010
TROWULAN (16)
Benar dugaan Aryo.
Pada keesokan harinya, beberapa harian memuat berita tentang pameran lukisan sekaligus pelelangan karya pelukis terkenal itu beserta photo-photonya sekalian. Jadi benar, lukisan yang dilelang adalah lukisan potret Rayun Wulan. Photo mereka berdua mendapat sorotan panjang yang pada intinya memberi satu kesimpulan bahwa wanita cantik itu adalah calon istri Dewa Pamugaran.
Aryo menatap photo pada halaman depan Koran dengan perasaan aneh. Wajah Pamugaran dalam photo itu seakan-akan mengingatkannya pada wajah seseorang. Siapa?
“Hmmm jadi itu orangnya,” tiba-tiba Sumirah sudah berdiri di belakang tempat duduk Aryo. Kedua lengannya bertumpu pada sandaran kursi dimana Aryo duduk.
Aryo tak menyahut. Koran itu dilipatnya dan diletakkannya di atas meja. Sumirah mengambilnya dan membaca berita itu.
“Wah, mereka itu tampak cocok sekali ya?” ujarnya separuh mengejek.
“Lebih baik sampeyan tidak usah berkomentar,” sahut Aryo Wangking seraya menyulut sebatang rokok.
“Kenapa tidak boleh, kau cemburu pada pelukis itu? Kau iri?”
Aryo menghembuskan asap rokok ke udara. Dia tidak merasa perlu untuk menjawab. Sepasang bola matanya menerawang, mengamati asap rokok yang melingkar-lingkar di udara.
“Bagaimanapun, aku lebih senang melihat kau tak jadi sama dia,” imbuh Sumirah masih dengan nada mengejek.
“Aku merasa lega tak jadi kehilangan kamu,’ katanya lagi seraya memeluk leher Aryo dari belakang.
Perlahan Aryo mengurainya dan memintanya untuk duduk di depannya. Dengan tersenyum-senyum, Sumirah menuruti keinginaannya. Kini mereka duduki saling berhadapan di ruang kecil rumah itu yang ditata mirip ruang tamu.
“Dengan begitu,” lanjut Sumirah. “Kau akan tetap tinggal disini bersamaku, kau tidak akan kemana-mana. Dan kau tidak akan bersama dengan siapa-ssiapa. Kau akan terus menemaniku. Aku tidak akan kehilangan kamu. Begitu, kan?”
Aryo tertawa kecil tanpa suara.
“Yu,” katanya. “Kalaupun aku menikah, sampeyan tetap tidak akan kehilangan aku. Kita ini kan bersaudara. Persaudaraan tak bisa dipisahkan oleh apapun juga.”
“Hmh. Dulu memang kau adalah saudara iparku. Tetapi sekarang, tanpa kang Empul, apa bisa kita ini dikatakan sebagai saudara ipar. Ya, sih. Paling juga mantan. Mantan saudara ipar. Setelah itu apa? Surat cerai yang diberikan kakangmu kepadaku membuat kita jadi bukan lagi saudara ipar. Kita ini orang lain, Yok! Kau, aku. Tidak ada pertalian darah di antara kita, karena aku tidak diberi keturunan oleh kakangmu. Jadi yah…, apa namanya itu?”
Aryo menelan ludah.
“Jadi kang Empul sudah resmi menceraikan sampeyan?”
“Ya iyalah! Aku juga tidak mau dibiarkan tanpa status. Enak saja. Dengan resmi bercerai, aku bisa menikah lagi kapan saja, dan dengan siapapun. Termasuk denganmu, kan?”
“Apa?”
Sumirah tertawa lebar melihat kekagetan Aryo.
“Kita ini orang lain, Yok! Aku sekarang bebas bagaikan burung yang lepas dari sangkar. Kau bisa menikahiku kapan saja. Kawin sirri juga tak masalah kok. Aku bersedia.”
“Sampeyan sudah mulai nggak waras,” kata Aryo getas.
“Apa ada yang salah dengan omonganku?”
“Pandangan sampeyan itu keliru.”
“Menurutku tidak. Bukankah kita pernah melakukannya?”
“Itu sebuah kesalahan paling besar yang pernah kubuat dalam hidupku, terhadap sampeyan. Dan aku janji, kejadian seperti itu tidak akan pernah terjadi lagi. Percayalah!”
“Aku tidak percaya. Sebaiknya nggak usah munafiklah! Main-main juga aku mau.”
“Apa kata sampeyan? Idiot!” Jengkel sekali Aryo dengan kebebalan Sumirah.
“Eh, jangan mengatai aku seperti itu kamu Yok! Tanyakan pada tetangga, mereka semua setuju saja kita menikah, atau apalah itu namanya. Jadi sudah jelas kan, kaulah calon suami bagiku!”
“Itu gossip murahan yang sengaja sampeyan sebarkan pada tetangga kita. Alah, sudahlah. Tak ada gunanya bicara terus sama sampeyan. Kalaupun aku menikah, aku akan menikahi perempuan lain, bukan sampeyan.”
“Begitu ya?”
“Ya.”
Aryo berdiri dengan kesal.
“Kamu pikir, kamu bisa merebutnya dari pelukis kesohor itu ya? Jangan mimpi kamu, Yok…!”
“Aku tidak pernah mimpi, Yu! Lihat saja nanti bagaimana.”
“Kamu tidak akan pernah menikah dengan siapapun kecuali dengan aku!”
“Kali ini sampeyan yang ngimpi.”
“Akan kubuktikan, kamu atau aku yang mati!”
Aryo berkacak pinggang. Menatap aneh wajah Sumirah. Senyum tipis tersungging di ujung bibirnya.
“Oh, begitu ya? Coba saja.” ujarnya meremehkan.
Sumirah tak mampu lagi berkata-kata. Wajahnya begitu pias menahan marah. Bibirnya terasa amat kering. Kelopak matanya memanas, hampir saja menggerung-gerung sangking tersinggung dan marah. Kebenciannya seakan menyatu dengan kerinduannya akan pelukan Aryo. Maka benarlah apa kata orang, bahwa perasaan cinta dan benci hanya dipisahkan oleh batas setipis selembar rambut manusia. Cinta yang dirasakannya kini bahkan seakan berbaur dengan napsu yang bergelora dalam hati dan benaknya. Kini mendadak gelora napsu itu membuncah serupa lahar gunung berapi. Panas. Membara dan berubah jadi destruktif.
Secepat kilat tangannya meraih gelas dari atas meja, dan siap untuk dilontarkan ke wajah Aryo. Melihat gelagat tak baik, Aryo segera bergegas. Disambarnya jaket dan topi laken dari gantungan di dinding. Tak lupa selendang penutup bahu Rayun yang semalam tertinggal di atas jip, disambarnya juga dari gantungan. Sungguh dia tak pernah menduga, Sumirah bakal kalap seperti itu.
Melihat selendang lebar itu, Sumirah makin naik pitam. Dicobanya merenggutnya dari tangan Aryo, namun dengan sigap Aryo malah mendorongnya hingga dirinya nyaris terjatuh.
“Itu milik siapa? Milik dia kan, milik dia kan?” jerit Sumirah dalam kemarahan yang bukan kepalang.
Aryo diam saja. Diambilnya kunci mobil dan berjalan keluar. Bagaikan singa luka, Sumirah merangsek maju, mencoba menariknya kembali ke dalam rumah.
“Kamu mau kemana! Jangan pergi, Aryo! Kamu tak boleh kemana-mana.”
“Sampeyan ini kenapa, Yu?”
“Selendang itu…!! Kau dekap selendang itu dan membayangkan itu adalah dia kan? Iya, kan?”
Airmata mulai mendesak keluar. Sumirah berteriak sambil menangis. Hatinya terasa ditusuk sembilu. Pedih. Perih. Matanya melotot seakan ingin melumat Aryo.
“Yu, sadar. Yu. Sadar!”
“Tidak. Kamu tidak boleh kemana-mana. Kamu…sialan. Kamu orang yang tidak tau membalas budi! Kamu tidak tau, bagaimana susahnya aku membayar sekolahmu, memberimu makanan yang bergizi agar kamu jadi pintar dan bisa masuk PMDK! Apa balasanmu, …apa?”
Sumirah meremas bagian depan kemeja Aryo. Meremas dengan amat kuat, seakan-akan ingin meluluh-lantakan tubuh pemiliknya.
“Apa maksud sampeyan,” suara Aryo jadi ikut kencang seakan-akan ingin menimpali kekencangan suara Sumirah yang mendadak disadari Aryo sudah menjadi histeris. Tangannya menahan remasan tangan Sumirah di dadanya.
“Yu Mirah, tenang. Jelaskan padaku apa artinya semua ini. Kalau sampeyan menyesal telah membeayai sekolahku dan memberi makan tiap hari perutku ini, jangan salah. Pada waktu itu Kang Empullah yang harus bertanggungjawab atas diri dan pendidikanku karena itu merupakan amanah dari almarhum orangtua kami. Kusadari, kalian tak cukup berlebihan sehingga merasa sangat berat menunaikan amanah itu, sebab itu sejak mulai kuliah aku mencoba untuk tidak merepotkan kalian. Kali ini aku minta maaf pada sampeyan telah menyulitkan kehidupan kalian selama ini.”
Sumirah melepaskan remasannya, menjilat bibirnya yang terasa kering. Dia bertolak pinggang membalas tatap mata Aryo yang setajam ujung panah.
“Ngomong terus,…ngomong terus…!”
“Ya, sekarang sebutkan berapa yang yu Mirah minta untuk membayar semua pengorbanan itu. Sebutkan. “
“Tanggungjawab, Aryo! Aku cuma minta kau bertanggungjawab atas perbuatanmu tempo hari di bilik kecilmu itu!”
“Apa? Ngoyo-woro! Sejak dulu gegayuhan sampeyan memang sulit dipahami. Barangkali itu sebabnya pertengkaran demi pertengkaran mewarnai perkawinan sampeyan. Sudahlah, aku tak sanggup lagi membela sampeyan Yu. Aku tahu, sebenarnya apa saja yang telah sampeyan lakukan pada malam-malam di Siti Hinggil bersama para penghayat dari kota itu. Orang-orang juga tau siapa sampeyan sebenarnya. Hanya saja mereka tak sampai hati bersikap memusuhi sampeyan. Di pelataran Majapahit ini semua orang tau siapa aku. Maka…”
“Sombong!” potong Sumirah.
“Bukan, aku tak bermaksud menyombongkan diri atau bersikap jubriyo. Tetapi kalau sampeyan bicara yang bukan-bukan mengenai aku, tak seorangpun akan mempercayai sampeyan.”
Tangis Sumirah masih terdengar. Cukup menyayat. Namun dengan sikap dingin seperti biasanya, Aryo berujar,:
“Aku pergi, Yu. Aku mau mengembalikan selendang ini ke rumah Rayun Wulan.”
“Biarkan aku ikut!”
“Untuk apa?”
“Akan kukatakan kepadanya agar menjauh darimu, akan kukatakan juga bahwa kita pernah…pada malam itu…”
“Bodoh! Bodoh kalau itu yang akan sampeyan lakukan. Dia bukan orang goblok. Dia orang berpendidikan. Sampeyan akan malu jika itu sampeyan lakukan. Tapi,…terserah sampeyan. Kalau itu yang akan Yu Mirah lakukan. Ini alamatnya. Sekarang biarkan aku pergi. Permisi.”
“Aryo…”
Aryo berjalan kepintu, membukanya, lalu keluar.
“Aryo…jangan pergi, Aryo…”
Sumirah merasakan tangannya gemetar. Tak kuasa lagi menahan kepergian dambaan hati yang melesat bagai kijang lepas. Lidahnya terasa makin kelu. Tak tau lagi harus berkata apa. Ketika pintu ditutup dari luar, lalu terdengar mesin mobil meraung kian jauh, Sumirah jatuh ke lantai, bersimpuh dan menangis sejadi-jadinya. Sampailah dia pada lereng kejenuhan sebuah pengharapan yang tak kunjung selesai. Harapan itu mendadak sirna dalam sekejap. Ada suara dari dalam dirinya, nekat mencemooh, akankah kiranya kering gamitan cinta yang mengatakan pasti dimana adanya?
Sepi di luar.
Sepi yang menekan dan mendesak. Sepi memagut tak kuasa melepas renggut.
Perlahan Sumirah merangkak ke dekat meja. Ditemukannya kaleng obat serangga di kaki meja seperti biasanya. Gemetar dibukanya tutupnya. Dengan mata basah dan kulit pipi sedingin es, ditenggaknya isi botol dalam sekali reguk. Pahit, manis, getir, menyatu dalam tenggorokannya. Seperti itulah kehidupannya selama ini, pahit, getir, namun jauh dari manis. Tak ada lagi yang akan menahannya di sini. Tak ada lagi. Semuanya sirna bagai embun di siang hari. Lenyap tanpa bekas.
(bersambung)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar