Jumat, 09 April 2010

TROWULAN (13)


Ternyata doa dan keinginan Rayun wulan terkabul.
Entah bagaimana, mendadak saja pada pagi itu tumbuh dalam hati Aryo Wangking keinginannya untuk pergi menemui Rayun Wulan. Dia akan nekad. Semalam-malaman dia berpikir keras, dan sampai pada satu kesimpulan bahwa tidak bisa tidak, dia harus berhasil memiliki gadis itu. Ancaman Naga Tatmala kembali terngiang di telinganya. Ini bukan berarti Aryo Wangking mau percaya begitu saja pada ancaman seekor naga siluman. Kalau tiba-tiba saja dia ingin memilikinya itu adalah semata-mata karena dorongan yang muncul dari lubuk hati yang paling dalam. Pendapat yang dia katakan pada Pamugaran tempo hari, tidak bisa memungkiri nalurinya sebagai seorang laki-laki. Dengan jujur dia katakan pada diri sendiri bahwa ada keinginan pada tubuhnya yang didorong oleh kebutuhan jasmaniah. Itu terbukti dengan semakin seringnya dia bermimpi tentang gadis itu. Apakah selama hidup dirinya hanya akan berpuas diri dengan mimpi-mimpi yang tak pernah menjadi kenyataan? Tentu saja tidak! Sudah sampai waktunya dirinya harus memiliki seseorang untuk melabuhkan segenap cinta dan hasrat nalurinya.
Sambil berdendang kecil, Aryo merapikan kumis dan jenggotnya. Semenjak kuliah, kumis dan jenggot tebal itu hampir tidak pernah lepas dari penampilannya. Barangkali itu yang menyebabkan teman-teman kuliahnya dulu lebih suka memanggilnya Aryo Brewok. Kini dengan hati berbunga-bunga, Aryo merapikannya, lebih tipis dari biasanya. Kini tampak wajahnya lebih terang. Brewoknya lebih tipis dan rapi. Sambil tersenyum, Aryo menatap puas penampilan wajahnya. Setengah mengagumi paras sendiri dia merasa bahwa dirinya tidak jelek jelek sekali. Kalau dibandingkan dengan Pamugaran, sepertinya dirinya lebih jantan, lebih manly. Pamugaran memang tampan,tetapi terlalu halus kulitnya.
Tiba-tiba Sumirah muncul begitu saja di ambang pintu.
Menyelinap masuk, dan menatapnya dengan pandangan heran.
“Tumben,” katanya. “Pagi-pagi sudah rapi, mau kemana sih?!”
Aryo membubuhkan cairan wangi ke dagu. Sumirah merebut botol itu, mengendus, dan membaca tulisan ‘After Save Lotion’ dengan wajah bodoh. Cairan apa ini, pikirnya. Wangi banget!
“Harum sekali kamu,” celetuknya curiga. “Biar kutebak. Kau sedang mau ke kondangan? Betul kan?”
Aryo Cuma tersenyum dikulum. Dia sedang tak ingin menanggapi kata-kata Sumirah. Kadang-kadang bermain tebak-tebakan adalah salah satu kebiasaan Sumirah kalau sedang ingin memancing pembicaraan agar lebih panjang atau supaya lebih bisa ngelantur kemana-mana. Kelihatannya memang itulah tujuannya. Terbukti, Sumirah kembali meneruskan permainannya.
“Atau…kau sedang mengincar seorang perempuan?”
Kali ini suaranya terdengar menyimpan cemburu.
Kini Sumirah bersandar ke bingkai pintu. Dilihatnya Aryo mengeluarkan sebuah kemeja warna biru pucat dari sebuah gantungan. Seingat Sumirah, kemeja itu adalah kemeja kesayangan Aryo, yang hanya akan dikeluarkan dari dalam lemari kalau pas ada sebuah acara penting. Selebihnya, pria macho itu lebih suka hanya mengenakan sebuah T-Shirt yang ditutup jaket kulit saja. Pria itu lebih percaya diri dengan penampilan sederhana, T-Shirt berkerah dan celana jins. Maka tak heran kalau pagi itu mendadak Sumirah mengernyitkan kening melihat Aryo berdandan lain daripada biasanya. Salahkah kalau dia jadi curiga?
Aryo mengait sepasang sepatu dari bawah kolong tempat tidur.
“Sepatu baru ya?!” celetuk Sumirah lagi tanpa mampu menahan rasa cemburunya.
“Ah, kebetulan yang lama sudah jebol.” Sahut Aryo sekenanya.
“Kau ini mau kemana sih?”
Aryo tetap sibuk dengan kaus kaki dan sepatunya.
“Ar! Kau mau kemana! Jawab dong!! Apa kau mau menghadiri sebuah hajatan?”
Acuh saja, tapi Aryo akhirnya mengangguk.
“Dimana?” kejar Sumirah tak sabar.
“Di Surabaya.”
“Akhirnya kau bisa bicara,” sindir Sumirah sinis. “Siapa yang punya hajat? Apa aku mengenalnya?”
Aryo berdiri. Dia telah selesai dengan sepatu barunya. Kini terlihat mulai bersiap-siap akan berangkat. Kedua tangannya bertolak pinggang, dan sepasang mata rajawalinya menatap keras paras Sumirah.
“Sampeyan tidak kenal. Maaf. Sekarang, biarkan aku pergi Yu.”
“Tunggu,…tunggu!”
“Apalagi?”
“…..”
“Oh ya, ini ada sedikit uang untuk belanja. Seratus, cukup?”
Sumirah menepis uang di tangan Aryo dengan gemas.
“Sialan kamu, Aryo!”
“Loh…”
“Aku tidak butuh ini, tauk!”
“Lantas, apa maunya sampeyan?”
“Kamu…! Ternyata kamu sama jahatnya dengan semua laki-laki di dunia ini.”
“Jujur saja, aku tidak mengerti yang sampeyan maksud.”
“…..”
“Ayolah Yu, cepatlah dikit. Aku tak ingin terlambat.”
“Gayamu! Apa sih yang sedang kau kejar? Pakai takut terlambat segala!”
“Terus terang, ada Yu.”
“Apa? Apa yang sedang kau kejar?”
“yang jelas, ada.”
“Sebuah proyek besar? Poyek harta karun?”
“Lebih dari harta karun.”
“Apa yang lebih dari harta karun,…apa?”
“Perempuan, Yu! Seorang gadis cantik.” Suara Aryo mulai naik satu oktaf.
“Apa kau bilang?” Sumirah melengking.
Sumirah memegang keningnya. Tiba-tiba saja kepalanya terasa mumet. Berputar tujuh keliling. Ya Allah! Begini hinakah aku hingga dua orang lelaki telah Kau beri kesempatan menolakku seperti ini? Kepalanya jadi lebih pening lagi tatkala dilihatnya Aryo malah menyungging sebuah senyuman sinis. Sumirah merasakan dadanya sesak. Darahnya seketika tumpat padat. Aryo Empul, …Aryo Wangking…sama saja! Sungguh, seharusnya Sumirah lebih tau mengapa dua orang itu menolaknya tanpa perasaan. Namun apakah tidak cukup mereka hanya bersikap lembut dan sedikit berbaik hati saja kepadanya, meskipun dirinya tidak seperti perempuan harapan mereka, yang berbudi dan bersih dari segala dosa dan kesalahan? Apakah hanya lelaki saja yang boleh berbuat dosa, sementara perempuan kesepian macam ini tidak boleh? Haruskah dia hidup bagaikan ranting kering yang suatu saat akan dipatahkan oleh kesombongan manusia yang tentunya tak lebih baik daripada dirinya?
“Maaf Yu, aku pergi dulu.”
Aryo keluar pintu. Sumirah terpana. Mendadak sekali dia jadi benci sekali melihat Aryo. Pertama kali dalam hidupnya, dia begitu ingin mencakarnya. Atau kalau bisa: membunuhnya sekalian!
“Aryo!” teriaknya begitu melihat Aryo Wangking melompat ke atas jip terbukanya.
Aryo menengok ke arahnya.
“Ya?”
“Siapa nama gadis itu?” dengan suara gemetar, Sumirah bertanya.
Aryo mengulas senyum di bibir.
“Namanya Rayun Wulan.”
Jadi benar dia,…pikir Sumirah dengan dada terasa pecah oleh kecemburuannya yang membuncah. Jadi benar kartu nama yang pernah dikoyak-koyaknya dulu itu adalah milik gadis yang sedang dikejar-kejar Aryo saat ini. Kenapa pada waktu itu Aryo berbohong kepadaanya dengan mengatakan bahwa mereka tidak punya hubungan apa-apa selain pertemanan?
Setan. Kurang ajar. Sumirah jadi uring-uringan sendiri. Ingin sekali dia tau bagaimana sih, rupa gadis itu? Dia juga ingin sekali bisa menyakiti Aryo Wangking dengan berbagai cara. Tiba-tiba dia merasakan jiwanya kering, yang tanggal bagai ranting ranting. Sumirah merasakan jiwanya mati. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar