Jumat, 16 April 2010

TROWULAN (15)


Malam itu memang ditakdirkan sebagai milik Dewa Pamugaran. Begitu memasuki Ruang Kahuripan, beberapa gadis cantik segera menyodorkan sebuah buku panduan yang dicetak dengan sangat elok. Pun kepada setiap tamu disarankan untuk mengisi buku tamu.
Aryo Wangking mengajak Dyah Sugihan masuk lebih ke dalam. Dalam ruang yang sangat megah dengan pendingin yang sangat adem, mata Aryo sibuk mencari-cari sebuah bayangan cantik yang diimpi-impikannya. Namun jangankan manusianya, bayang-bayangnya saja tidak ada, entah dimana dia sekarang. Aryo dan Dyah terus melangkah mengikuti arus para pengunjung yang lain, menyusur ruang demi ruang, sambil menikmati beberapa puluh karya lukis Dewa Pamugaran yang dipamerkan dengan cara digantung di dinding. Karpet tebal membuat langkah kaki teredam. Musik yang lembut mengiringi.
Dyah Sugihan membuka buku panduan. Mencocokkan lukisan di dinding dengan gambar di buku. Di buku itu dicantumkan semua judul lukisan maupun medium dari lukisan itu. Ada yang memakai cat minyak, ada yanag dengan tinta cina di atas kanvas, namun ada juga yang menggabungkan cat air dan pastel dalam kanvas. Sungguh pelukis yang berbakat. Semua karyanya mencitrakan segala sesuatu yang manis. Dalam buku panduan dikisahkan juga riwayat hidup si pelukis maupun karya-karyanya. Semuanya seakan-akan menyingkirkan segala sesuatu yang buruk. Pada prinsipnya, isi lukisan karya Dewa Pamugaran tersirat lewat pertemuan karakter obyek dengan mood dirinya ketika sedang menghadapi obyek. Atas hal itu, maka sejumlah karya potretnya merupakan amsal yang menarik.
Di dalam hati secara diam-diam Aryo mengakui kelebihan lelaki itu. Seandainya Rayun Wulan harus menjadi milik Pamugaran, barangkali akan cocok bagi mereka. Mereka itu sama-sama pelaku seni, sama-sama ahli di bidangnya, dan sama-sama punya nama. Sedangkan dirinya ini,…apa?
Akhirnya mereka sampai pada sebuah lukisan potret diri Rayun Wulan. Di tempat itu Aryo Wangking dan Dyah Sugihan berdiri cukup lama. Menatap lukisan berukuran raksasa itu dengan perasaan yang bercampur baur, antara kekaguman dan kegalauan yang sulit digambarkan. Mereka menghembuskan nafas dalam-dalam. Memang tak dipungkiri,lukisan itu sangat indah. Di situ digambarkan seorang gadis berwajah sangat mirip dengan Rayun Wulan, berbaring miring bertelekan lengan kanan, dan membiarkan seekor ular sanca berukuran sebesar paha, menjalar dari kaki hingga ke perut. Kepala ular itu berada persis di pusar si gadis yang terbuka lebar hingga ke dada. Gadis itu nyaris bugil, namun kesan porno tak nampak sama sekali. Malah terlihat sangat artistik.
Wajah gadis dalam lukisan itu adalah wajah Rayun Wulan. Kulit gadis dalam lukisan itupun kulit Rayun Wulan. Bibirnya yang manis berwarna merah jambu, mengulas sebuah senyuman misterius, dengan sedikit menengadahkan kepala, sepasang matanya jadi redup menatap kepada setiap orang yang mendatanginya. Tak jauh dari lukisan itu, persisnya tepat di ujung kanan bingkai, diletakkan sebuah meja marmer kecil dimana diatasnya ada dua batang lilin berwarna merah mengapit setangkai mawar merah dalam sebuah jambangan Kristal yang bernilai nominal sangat tinggi.
Dyah Sugihan terpaku di situ cukup lama. Aryo berdiri di belakangnya dengan perasaan gamang. Seakan berdiri di sebuah tanjung dimana gelombang besar sebuah samudera raya sedang marah di bawahnya. Mendadak saja ada yang terbelah dalam dadanya. Dan mendadak saja dia merasa tak bisa bernafas. Dadanya sesak. Pepat.
Diam-diam, Aryo Wangking menyingkir dari tempat itu, menyisih dari kerumunan orang-orang yang berdecak-decak mengagumi lukisan itu. Dia berjalan keluar dari ruang pamer. Berpikir, apa maksud dari meja dan lilin merah itu? Teringat dia akan janji Kanjeng Ratu Kidul dan kepada ancaman Naga Tatmala. Lalu muncul sebuah tanya dalam hati, masihkah mereka memegang janjinya?
Hingga saat coffe break, Aryo tetap tak ingin masuk lagi ke ruang pamer. Para pengunjung keluar dan menuju lobby untuk menikmati hidangan snack dan berbagai jenis minuman sambil terus menerus berceloteh mengomentari lukisan-lukisan karya Pamugaran. Terlebih lukisan tentang gadis dan ular itu.
Sebentar lagi acara lelang akana dimulai. Kabarnya lukisan besar itulah yang akan dilelang, dan hasil pelelangan itu akan disumbangkan, entah kemana. Aryo tak peduli pada itu semua. Namun dia sangat peduli tentang proses pelukisan itu sendiri. Dirinya merasakan kedua tungkainya jadi tegang, tak ingin beranjaak lagi ke dalam, hingga datanglah Dyah Sugihan mendekati.
Dengan gerakan dagu, Dyah menunjuk ke satu arah.
“Itu dia,” ujarnya berbisik.
Aryo memicing, menatap kea rah yang dimaksud Dyah.
“Ya, aku sudah melihatnya,” jawabnya dingin.
“Dia cantik, kan?”
“Dia memang cantik sekali malam ini.”
“Kau menyukainya?”
Aryo menghela nafas panjang sebelum balik bertanya.
“Kenapa kau tanyakan itu?”
“Kalau benar kau menyukainya, rebut dia dari pelukis itu.”
“Kau ini ngomong apa?”
“Entah kenapa, sejak dulu aku kurang menyukai pelukis itu. Kau sendiri, bagaimana?”
“Entahlah, aku hanya merasa ada yang aneh saja pada dirinya.”
“Kau benar. Aku juga merasakan perasaan yang sama. Sepertinya dalam dirinya ada kekuatan supranatural di balik semuanya ini. Lihat, orang mulai mngantre untuk memberikan selamat kepada mereka. Yuk, kita ikut memberikan salam.”
“Ayo.”
Dyah Sugihan segera menggamit lengan Aryo Wangkin. Sambil terus bergandengan tangan mereka mendatangi pasangan Rayun wulan dan Dewa Pamugaran. Mereka terlihat sibuk menerima ucapan selamat dari para tamu kehormatan dan wartawan. Aryo menyalami Rayun dan Pamugaran. Dia juga berkenan untuk berhenti sejenak mengobrol dengan pelukis ganteng separuh baya itu.
Sementara itu, pada kesempatan yang amat sempit itu, Rayun menarik Dyah ke samping, agak jauh dari mereka.
“Kalian datang bersama-sama?” tanya Rayun berbisik-bisik.
Dyah hanya mengangguk sambil tertawa.
“Dia datang menjemputmu tepat jam tujuh?”
“Ya, kenapa, kau cemburu?”
“Jangan bicara seperti itu, aku jadi nggak enak.”
Dyah tetap tertawa tanpa suara.
“Apa kau senang malam ini?” tanya Dyah.
“Jujur saja, aku tak begitu suka suasana seperti ini. Nanti kalau kalian pulang, aku ikut bersama kalian, ya?”
“Yang benar saja. Bukannya kau sedang menjadi primadona pada mala mini? Dan lukisan besar yang mau dilelang itu,…apa kau tidak merasa geli melihatnya? Lihat, tubuhmu nyaris telanjang, dan ular besar itu….iih!”
“Jangan bodoh! Itu hanya lukisan. Dia membuatnya juga berdasarkan imajinasi saja kok, weee. Selalu saja pikiranmu ke situ-situ juga!”
“Meski cuma imajinasi, orang yang melihatnya jadi membayang-bayangkan seperti itulah kau kalau lagi bugil.”
“Ih!”
“Iya, kalau aku jadi kau, amit-amit deh. Meski cuma imajinasi, nggak mau aku!”
“Itu sebabnya dia tidak memilihmu sebagai model, hehehe…”
“Coba lihat, gaunmu itu.” Kata Dyah serius tanpa mempedulikan tawa ejekan Rayun.
“Kenapa dengan gaunku, bagus kan?”
“Bagus sih bagus, tapi kenapa harus bersulamkan ular dengan benang emas seperti itu sih? Benarkah dugaanku, bahwa Pamugaran itu seorang penganut ilmu ular?”
“Ah, kau ini. Bicaramu itu semakin nggak karuan deh, Dyah!”
“Omong-omong,…apa benar kau serius sama dia?”
“Maksudmu,..Pamugaran?”
“Pamugaran, ya! Siapa lagi?”
“Stt, pelankan suaramu Dyah. Nanti dia mendengar.”
“Biar saja dia mendengar, itu akan lebih bagus kan? Biarkan dia tau bahwa kau sedang bimbang akan memilih siapa, dia atau Aryo!”
“Ya ampun, Dyah… kau ini!”
“Tau nggak, dia suka padamu, lho.”
“Pamugaran?”
“Aryo! Bukan Pamugaran!” suara Dyah lebih tinggi. Membuat Pamugaran dan Aryo menolehkan kepala ke arah mereka.
“Oh…” Rayun Wulan meutup mulut dengan telapak tangan.
“Pelankan suaramu,” bisiknya pada sahabatnya.
“Dalam keadaan emosi seperti ini suaraku susah disuruh pelan.”
“Hahaha,…kau ini. Bicaramu membingungkan sih. Melompat-lompat nggak karuan. Jadi, …apa katamu tadi? Aryo menyukaiku, begitu? Betul nih…?”
“Jangan meledek. Aku serius.”
“Jadi bener, tidak bohong?”
“Tadi sempat kulihat dia cemburu berat melihat lukisan dirimu itu.”
“Oh ya? Aduuuh, kau tidak sedang membuatku senang kan, Dyah?”
“Demi Tuhan, Rayun. Tidak pernah aku seserius ini pada orang!”
Namun pembicaraan itu terhenti ketika beberapa wartawan datang mendekati mereka. Tiba-tiba saja kamera mereka menyala,..blap blap! Sinar lampu blitz berkali-kali menyalak. Pamugaran mendekat, kemudian berdiri di sisi Rayun sambil tersenyum lebar kepada kerumunan wartawan. Kembali sinar lampu blitz menyalak. Blap blap. Maka bisa dipastikan besok pagi photo mereka itu sudah akan nampang di halaman depan Koran lokal dan beritanya menyebar, menulis tentang seorang gadis tenar sekaligus novelis terkenal dari Surabaya ternyata adalah kekasih seorang pelukis besar termasyur dari Gianyar, Bali. Kedua orang itu mendadak jadi seperti selebritis. Mereka berdua bahkan diboyong oleh para wartawan menjauhi Dyah Sugihan yang tinggal berdiri di tempatnya semula dengan tatapan mata keruh. Terlihat oleh Dyah, mereka berdua kemudian sibuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan para pemburu berita mengenai hubungan antara mereka.
Di kejauhan, Aryo Wangking bersidekap, menatap semua itu dengan bibir terkatup rapat. Berada dalam suasana seperti itu Aryo bahkan seakan ditelan kesunyian. Dirinya merasa sendirian di tengah riuh rendahnya pengunjung yang membaur dengan nyamuk-nyamuk pers yang bakal membawa nama Pamugaran kian mencuat seiring tampilnya Rayun Wulan di sisinya. Tampak olehnya sebentar sebentar Rayun Wulan melayangkan pandang ke arahnya. Sementara Aryo berdiri diam seakan patung bisu, bersandar ke dinding dan menatap aneh ke arahnya. Sebenarnya Aryo senang melihat tawa Rayun berkali-kali pecah seiring canda dan godaan para tamu, namun ada goresan pedih tatkala menyadari bahwa tawa itu bukanlah untuknya.
Ketika diumumkan bahwa acara lelang akan segera dibuka, para tamu masuk kembali ke ruang pamer. Disitu telah disiapkan beberapa deret kursi menghadap ke arah lukisan besar tentang “gadis cantik dan ular sanca’ yang sedianya akan dilelang. Saat itulah, tanpa diduga, Rayun Wulan malah keluar dan berjalan mendekati Aryo Wangking. Dia menegur Aryo dengan keramahan yang dirasakan Aryo begitu istimewa.
“Boleh mengobrol sedikit denganmu?” ujarnya.
Aryo Wangking tertegun sesaat.
“Aku baru saja akan pulang,” jawab Aryo.
“Kalau begitu aku juga akan pulang.”
“kau akan meninggalkan semua ini begitu saja?”
Rayun Wulan membalas tatapan mata Aryo Wangking. Kemudian memandang sekelilingnya. Tampak olehnya betapa mentereng ruangan itu. Mendadak saja dia merasa muak melihatnya.
“Terus terang, aku tidak suka acara ini. Tak dapat kujelaskan kepadamu betapa aku muak dengan ini semua.”
“Kalau begitu kita keluar saja dari tempat ini,” kata Aryo tersenyum.
“Ya. Kita cari Dyah ke dalam, lalu kita pulang.”
Aryo membantu Rayun membetulkan penutup bahunya yang jatuh. Tanpa disengaja matanya singgah ke leher belakang Rayun. Beberapa anak rambut yang sangat halus tumbuh dibawah sanggulnya yang berhiaskan permata mainan. Saat itu Aryo merasakan getar-getar aneh yang menjalar ke seluruh permukaan hatinya. Seketika rongga dadanya terasa hangat. Dia rasakan kembali perasaan yang sama dengan saat bersama Rara ireng, beratus-ratus tahun lalu yang sering muncul kembali lewat mimpi-mimpi malamnya.

(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar