Kamis, 29 April 2010
TROWULAN (18)
DI RUMAH RAYUN.
Hari itu adalah hari ulangtahun Rayun wulan yang ke duapuluh empat. Atas desakan Pamugaran, akhirnya Rayun Wulan setuju untuk merayakannya walau hanya dengan cara sederhana. Rencananya, pesta kecil itu akan diadakan di kebun belaqkang rumah Rayun. Yang diundang hanya keluarga dan teman dekat, salah satu diantaranya adalah Aryo Wangking.
Sebenarnya Pamugaran tak suka melihat Rayun mengundang juga lelaki bertubuh tinggi tegap itu, bukankah yang dimaksud oleh Pamugaran pesta itu adalah pestanya dan Rayun? Ada tersirat dalam benaknya, malam nanti dia akan melamar Rayun Wulan, dan mengumumkannya di depan semua kerabat dekat yang hadir. Tatkala Rayun yang belum tau tentang rencananya itu mengundanag juga Aryo Wangking, Pamugaran mengerutkan kening. Namun akhirnya dia setuju. Kalau dipikir-pikir, bukankah malam nanti adalah kesempatan untuk memenangkan cinta Rayun dan membuat hati Aryo jadi terkoyak? Ha ha! Pasti lelaki brewok itu akan gigit jari. Membayangkan saja, Pamugaran sudah ingin tertawa terbahak-bahak. Bagaimana ekspresi wajah Aryo nanti, pikir Pamugaran senang.
Semua yang direncanakan Pamugaran nampaknya sudah benar-benar siap. Masakan sudah dipesan. Taman belakang yang luas, juga sudah rapi. Bunga-bunga pajangan sudah datang. Lantas apalagi? Oh, cincin!
Ya, siang itu Pamugaran memang berencana mengajak Rayun ke toko mas terbesar di Surabaya. Dia akan membelikan Rayun sebuah cincin bermata berlian yang cantik. Dan itu, kata Pamugaran kemudian kepada Rayun, harus dipilih sendiri oleh Rayun.
“Untuk apa?” tanya Rayun dengan raut muka kurang senang.
Sambil tersenyum-senyum penuh arti, Pamugaran menyahut:
“Itu kuperuntukkan sebagai hadiah istimewa bagimu.”
“Ah, apa tidak terlalu berlebihan?”
“Apa yang berlebihan kalau itu untukmu? Lagipula aku tidak tahu seleramu, bentuk seperti apa yang kau suka. Selain itu, aku akan mengajakmu berbelanja semua kebutuhanmu.”
“Berbelanja…semua kebutuhan? Apa maksudmu, Pam?”
“Maksudku, siang ini aku ingin memanjakanmu. Sebagai wanita paling spesial, kau boleh meminta apa saja.”
“Apa saja boleh?” Rayun tertawa lucu.
“Ya, apa saja bioleh. Kau minta apa? Pakaian, tas, perhiasan, permata,…atau…”
“Bagaimana kalau bulan?” ejek Rayun dalam sisa tawa.
“Boleh, boleh. Bulan Januari, Pebruari, Maret…”
Pamugaran tertawa ngakak. Oh, rasanya dunia ini sudah tergenggam dalam telapak tangannya. Apalagi sikap kedua orangtua Rayun terlihat sama manisnya dengan senyum Rayun kala itu. Namun Pamugaran tidak tau, apa yang sebenarnya tersimpan di benak Rayun. Mungkin juga sama dengan Pamugaran, Rayunpun tidak tau apa yang tersembunyi dalam tawa lebar Pamugaran. Di sudut ruang yang lain, kedua mata orangtua Rayun juga ikut terbelalak. Mereka mulai mengira-kira, apa maksud Pamugaran membawa Rayun pergi jalan-jalan, dan membelanjakan uangnya hingga ludes hanya untuk barang-barang seperti itu? Tanpa itupun sebetulnya Rayun mampu membeli semua yang ditawarkan pamugaran. Rayun Wulan bukanlah tipe gadis yang suka menghambur-hamburkan uang begitu saja.
“Rasanya aneh, tidak masuk akal,” gumam Papa setelah mereka pergi.
“Apa yang tidak masuk akal?” tanya Mama sambil menghitung setumpuk piring di meja makan berukuran besar.
“Apa kau tidak melihat bagaimana ngototnya dia membeayai semua ini? Catering, bunga-bunga mahal, cincin berlian… Apa-apaan?”
Mama menyimpan senyuman di ujung bibir.
“Bukankah itu bagus?” ujarnya.
“Bagus bagaimana? Laki-laki seumur dia merayu anak kita yang usianya separuh umurnya, apa maksudnya? Apa kau tidak curiga dengan maksud-maksud lain yang disembunyikannya? Apakah kau mengijinkan bila tiba-tiba mereka minta dinikahkan?”
“Rasanya memang berlebihan,” gumam Mama pelan. “Menurutmu, apakah mereka sedang saling jatuh cinta?”
“Entahlah. Tetapi menurutku, laki-laki itu sedang punya kepentingan tertentu. Naluriku sebagai orangtua berharap semoga semua ini bukan hal yang buruk.”
Papa mengangkat bahu. Kelihatan sekali, orangtua itu merasa saangat risau dan khawatir.
“Aku merasakan ada yang tidak beres setiap kali kupergoki laki-laki itu menatap tajam anak kita. Dari cara dia memeluk pinggangnya, dari cara dia berbicara perlahan di telinga Rayun…ah!” ujarnya.
“Menurut penuturannya, dirinya sudah lama menduda. Betulkah begitu?”
“Jangan tanya padaku. Tanyakan itu kepadanya.”
“Cari tau tentang kebenarannya, Pa.”
“Kepada siapa harus kutanyakan?”
“Mmm… Barangkali kita bisa tanyakan itu semua kepada sahabatnya. Kepada Dyah Sugihan.”
“Barangkali kau benar, kita harus menanyakannya kepada Dyah. Coba kau telpon dia agar datang lebih cepat.”
Mama segera menuju meja telepon, sayangnya orang yang dituju sudah tak lagi berada di rumah. Orangtuanya mengatakan bahwa gadis itu sudaha pergi bersama seorang laki-laki, entah kemana.
Tiba-tiba Mama merasakan dadanya berdebar.
Ditengoknya jam dinding tak jauh dari mereka duduk.
“Pa, sudah berapa lama ya, mereka pergi?”
“Sekarang pukul berapa?” Papa mengangkat kacamata lebih tinggi, mengikuti pandang mata isterinya ke arah jam dinding.
“Sudah terlalu lama mereka pergi,” desis Papa.
Mama mendadak bagai diterpa kepanikan yang luar biasa. Pikiran-2 jelek mendadak muncul begitu saja tanpa kompromi. Sebentar lagi teman-teman dekat Rayun pasti akan datang, tetapi kemana anak itu pergi? Mengapa lama sekali? Sejak sebelum pukul sebelas, hingga sekarang, belum juga ada tanda-tanda mau pulang.
“Coba kau hubungi Rayun melalui ponselnya,” kata Papa memberi saran.
“Akan kucoba.”
Kedua orangtua itu berpandangan sejenak. Perasaan yang mereka rasakan sama, kuatir, cemas, berkecamuk dalam dada mereka.
DI TEMPAT LAIN.
Ternyata mereka cuma berputar-putar saja. Dari counter ke counter, dari toko mas ke toko mas yang lain. Mereka tak juga membeli sesuatu. Setiap kali Pamugaran menawarkan sesuatu, bisa dipastikan Rayun segera menolak dengan halus. Hingga akhirnya karena kelelahan, mereka singgah untuk makan siang. Saat itu jarum jam di pergelangan tangan Rayun menunjukkan pukul dua siang.
Pamugaran melihat ada suatu kegelisahan di raut wajah Rayun. Memang, saat itu selain sudah merasa jemu, Rayun juga merasa kepikiran akan persiapan di rumahnya.
“Sesudah ini kita pulang saja Pam, sudah sore,” katanya seakan tak sabar mengunggu hidangan datang.
“Mampir ke apartemenku sebentar, ya?”
“Untuk apa? Sudah sore begini.”
“Cuma sebentar.”
“Aku harus membantu Mama menyiapkan segalanya.”
Ada nada kesal dalam suara Rayun, namun Pamugaran sepertinya tidak peduli.
“Apa yang harus dipersiapkan lagi, sayang?”
“Apa saja, bisa piring, kursi, atau apalah gitu…!”
“Kan ada bibik, ada Ran supir, ada Sam jongos, apalagi? Semuanya kan sudah siap. Tinggal kau saja yang belum. Ke salon, misalnya. Atau cari baju yang lebih cocok lagi di butik…?”
“Salon, salon. Salon apaan?” Rayun tertawa miring.
“Apa kau tak ingin berdandan lebih cantik, dengan make-up yang sempurna, dengan rambut yang ditata apik, misalnya?”
“Walah, Pam…! Kau ini kayaknya semakin lama semakin mengada-ada deh! Aku tuh, tidak pernah bermake-up di salon. Kurasa aku sudah cukup cantik!”
“Hahaha, ya, aku percaya tanpa make-up pun kau cantik sekali. Tapi malam ini aku ingin kau tampak elegan, karena bagiku malam ini adalah malam yang sangat istimewa.”
“Oh, ya? Bagiku biasa saja. Hanya sebuah pesta ulangtahun.”
“Begini, mungkin kau belum ‘ngeh’ sebetulnya untuk apa kuadakan pesta semacam ini di rumahmu.”
“Maksud kamu, apa?”
“Malam ini aku akan melamarmu. Untuk itulah maka tak salah kalau aku sudah mempersiapkan ini,…”
Pamugaran merogoh saku celana, dan mengeluarkan sebuah kotak manis berwarna merah darah. Dibukanya kotak berlapis beledu itu dan ditunjukkannya kepada gadis di depannya Segera Rayun Wulan melihat betapa indah dan berkilaunya sepasang cincin emas putih bertahtakan berlian yang terpampang di depan matanya.
Dadanya terkesiap. Ditatapnya mata Pamugaran dengan raut wajah bodoh.
“Apa ini?” tanya Rayun.
“Sejak awal aku sudah bisa menebak, kau tidak akan mau memilih sendiri cincinmu, jadi yah…kupersiapkan saja sendiri. Kau setuju kalau malam ini kita bertunangan?”
Rayun menelan ludah sejenak.
“Kayaknya kau tak perlu lagi menanyakan itu kepadaku,” cetus Rayun menahan amarah.
“Maksudmu?”
“Ya, kau tau apa yang kumaksud. Kau…sudah menyiapkaan cincin, kau…memaksaku mengadakan pesta kebun di rumahku, dan…sekarang ini,…kau melamarku. Apalagi yang kauinginkan dariku? Pernahkah kau minta pendapatku sebelum melakukan semua ini? Sungguh, aku tidak pernah menyangka kau melakukan semua ini padaku. Kalau kau menginginkanku, tidak begini caranya, Pam. Kami punya tata cara, punya budaya, jadi kau tak bisa seenaknya melamarku tanpa persetujuan orangtuaku dong! Caramu ini…”
‘Ssst ssstt…Rayun, sudahlah. Kita tak perlu berdebat lagi.” Potong Pamugaran cepat.
Suara Rayun sudah semakin tinggi, dan agaknya sudah menarik perhatian orang-orang di sekitarnya.
“Memang. Kita sudah tak perlu lagi berdebat karena aku juga sudah menyiapkan sebuah jawaban untukmu.” Sahut Rayun sedikit ketus.
Pamugaran tertawa tanpa suara. Kotak beledu merah itu disimpannya lagi ke dalam saku.
“Kita pulang,” katanya.
Mereka turun dari lantai lima, menuju ke areal parkir. Saling membisu, dan berjalan saling berjauhan. Mobil sedan warna merah itu kemudian meluncur ke jalan raya, membawa hati Rayun yang dirasakannya pepat. Lama mereka hanya berdiam-diaman, hingga tiba-tiba Rayun menyadari bahwa mereka tidak menuju ke arah rumah, melainkan…
“Mau kemana kita?” tanya Rayun dingin.
“Citra Land, apartemenku.”
“Pam, jangan main-main denganku!”
“Tidak, siapa yang main-main. Aku serius loh.”
“Aku mau pulang.”
“Ya, sesudah singgah ke apartemenku. Ada orang dari Inggris ingin membeli lukisanku, aku lupa. Sorry, kita sebentar saja. Dia akan datang pukul empat sore ini untuk mengambilnya.”
Pamugaran memutar setir, menoleh ke arah gadis disampingnya, mengulum senyum saat melihat Rayun tampak begitu marah.
“Sebentar saja,” ujarnya, mengoper persnelling. Mobil melaju lebih kencang. Melesat bagaikan anak panah lepas dari busur.
“Apa itu bukan alasanmu saja?”
Pamugaran mengangkat dua jari tengah dan telunjuk di tangan kanan.
“Swear!” sahutnya bersumpah.
“Aku tak mau kau jahat padaku, demi Allah!”
Pamugaran menjawab dengan seulas senyum.
Mobil terus melaju cepat.
DI RUMAH DYAH SUGIHAN.
Aryo Wangking naik ke beranda dengan tergesa. Dyah yang membukakan pintu, menatapnya dengan heran. Bukankah sekarang baru pukul dua siang? Kenapa tiba-tiba Aryo sudah datang menjemputnya? Bukankah mereka diminta datang nanti pukul tujuh?
“Entahlah,” kata Aryo tatkala itu ditanyakan kepadanya, “Tiba-tiba saja aku gelisah sekali sejak siang.”
“Apakah menurut firasatmu, itu sebuah pertanda buruk?”
Mereka duduk di kursi teras.
“Aku hanya merasa kuatir terjadi apa-apa. Terhadap Rayun.”
“Maksud mas Aryo,,..”
‘Bisakah kita kesana sekarang?”
“Sekarang?”
“Ya sekarang. Kapan lagi?”
“Tapi kurasa dia tak ada di rumah. Tadi Rayun menelponku, dia bilang akan pergi ke mall bersama Pamugaran.”
Mendadak Aryo merasakan dadanya berdebar.
“Mall? Mall yang mana?”
“Entahlah.”
“Cobalah kau telpon rumahnya, siapa tau mereka bisa mengatakan krpada kita, rayon pergi kemana.”
“Baik, tunggu sebentar. Aku ambil ponselku.”
Dyah masuk ke dalam dan tak lama kemudian balik kembali sambil menenteng telepon genggam. Sambil duduk di samping Aryo, jemarinya memijit-mijit beberapa nomor, setelah tersambung dia berbicara sebentar dan menutupnya.
“Bagaimana?” tanya Aryo.
“Mereka berangkat dari rumah pukul sebelas, dan sampai saat ini belum pulang.”
“Kemana perginya, ya?”
“Akan kuhubungi ponselnya.”
“Ya, cepat lakukan.”
Lama mereka menunggu, sambungan itu tidak diangkat.
“Nggak bisa, Mas.”
Lama Aryo termenung. Mereka seakan tenggelam dalam alam pikiran masing-masing. Aryo bersandar, menyulut sebatang rokok dan mencoba berkonsentrasi dengan caranya sendiri.
“Sepertinya mereka sedang menuju kea rah barat,” kata Aryo tiba-tiba. Matanya memejam, menembus sesuatu yang samasekali jauh dari jangkauan orang biasa.
“Kira-kira, kemana?” tanya Dyah.
“Apakah kau tau, selama ini Pamugaran tinggal dimana?”
“Ya ampun! Kau benar Mas, kalau mereka kea rah barat, mungkin sedang ada di apartemen pamugaran. Aku pernah diajak ke tempatnya bersama-sama Rayun.”
“Dimana?”
“Citra Land.”
“Kau tau nomor telponnya?”
“Ada, ada di ponselku. Sebentar.”
Dyah memijit beberapa nomor lagi. Menunggu. Keningnya berkerut saat menatap Aryo.
“Bagaimana?” tanya Aryo.
“Nggak diangkat, Mas.”
Terbayang oleh Aryo ucapan Naga Tatmala yang mengancam. Terbayang juga seringai Khalayuda. Kecemasan-kecemasan datang membuat Aryo mengeluarkan keringat dingin dari seluruh pori-porinya. Firasat atau apalah itu namanya, sering datang menghantui malam-malamnya. Sering diabaikannya. Namun kini mendadak kembali berbuih dalam otaknya. Menyengat ingatannya. Menjungkirbalikkan memorinya.
Dengan tak sabar Aryo berdiri.
“Kita harus menyusulnya ke sana,” ujar Aryo dengan suara tertahan.
“Maksud mas Aryo, ke apartemen Pamugaran?”
“Ya.”
“Tapi, Mas. Bukankah teleponnya tadi tidak diangkat? Bukankah itu artinya apartemen itu lagi kosong?”
“Kalau kau percaya padaku, ikutlah denganku ke sana. Jangan sampai kita terlambat dan menyesal kemudian. Kau bilang, tau tempatnya, kan? Syukurlah kalau begitu. Ayo, kita berangkat. Kita buktikan bahwa Pamugaran itu bukan orang baik-baik.”
“Ya Allah, Mas! Semoga tidak terjadi apa-apa dengan Rayun, Mas…!”
“Maka cepatlah, Dyah!”
Dyah menyambar sandal dari anak tangga beranda, sekenanya saja. Tak perlu lagi mengganti pakaian, tak perlu lagi mengambil tas. Hanya membawa telepon genggam, dia berlari mengikuti langkah Aryo keluar rumah, dan naik dengan sigap ke atas jip.
Aryo mengendarai kendaraannya bagaikan dikejar setan. Dyah terguncang-guncang di dalamnya, bergoyang ke kiri, bergoyang ke kanan. Rasanya seperti naik gerobak yang ngebut di jalan berbatu. Sakit semua. Namun dia tak ingin mengeluh karena dilihatnya wajah Aryo sangat tegang.
“Hari ini termasuk hari naas bagi Rayun,” kata Aryo memecahkan keheningan diantara mereka.
“Aku baru ingat, bahwa hari ini adalah hari kelahirannya menurut hitungan Jawa, yang bertepatan dengan tanggal kelahiran menurut almanac inteernasional.”
“Maksud, Mas Aryo apa?”
“Ini hari Minggu Legi, sampai selewat ashar nanti hari ini termasuk hari ‘taliwangke’ bagi Rayun. Percaya nggak percaya, mudah-mudahan saja firasatku tidak terbukti.”
“Apa yang dikatakan oleh firasatmu, Mas?”
”Kau ingat saat melihat pameran lukisan tempo hari di Sheraton, dua bulan yang lalu?”
“Ya, aku ingat. Lukisan itu ditempatkan di sebuah ruangan tersendiri, didampingi sebuah meja pualam dengan dua lilin merah yang menyala dan setangkai mawar merah. Memang, kenapa, mas?”
“Tahukah kau, mengapa harus seperti itu? Semua itu karena sebuah ritual. Pamugaran telah memperlakukan lukisan itu sebagai alat untuk melakukan ritual untuk pencapaian sesuatu yang hanya dia yang tau.”
“Aku makin tidak mengerti, Mas.”
“Pasti, sudah pasti Pamugaran seorang pemuja ghoib.”
“Ha..??”
Tangan Aryo bergerak mengoper perselling dan memacu jip tuanya dengan lebih kencang.
“Apa yang dilakukannya itu, adalah semacam ritual ala Barat. Kalau di sini, orang kita menyebutnya ‘pelet’. Hebatnya lagi, ternyata dia mampu memadukan dua cara ritual ghoib itu dengan sempurna, yakni ritual ala Barat dan pemujaan terhadap Ratu Kidul.”
“Sebentar,” potong Dyah. “Aku jadi ingat, pernah suatu ketika Rayun bercerita padaku tentang seekor naga siluman yang dilihatnya di pantai Puger saat dia mengalami musibah perahu karam. Mas Aryo ada disana juga saat itu, kan?”
“Ya, akulah yang mngangkatnya naik ke kapal motor pada waktu itu.”
“Apakah yang dilihatnya itu bukan sebuah halusinasi?”
“Bukan. Itu nyata, bukan halusinasi atau apa.”
“Jadi benar, ada siluman bernama Naga Tatmala, di dunia serba modern ini, Mas?”
Aryo menahan senyum di bibir.
“Ya, mengapa tidak? Dunia macam apa yang kau katakana itu, Dyah? Modern, katamu? Dunia kita ini sangatlah lengkap. Kalau ada siluman bernama Naga Tatmala, itu karena atas ijin Allah. Kita tak mungkin mengingkarinya.”
“Kalau benar, bagaimana bentuknya?”
“Naga itu sangat besar. Kulitnya putih keperakan, berjenggot paanjang. Ada dua tanduk kecil di kepalanya, dan semacam gerigi majal di punggungnya. Yah,…kalau tak salah, seperti gambar-gambar komok itulah. Sangking besarnya naga ini, kau bisa jalan-jalan di atasnya. Menurut cerita, Naga Tatmala adalah putera Sang Hyang Anantaboga. Mereka ini, dalam keadaan biasa serupa dengan wujud manusia. Namun dalam keadaan ‘tiwikrama’ dia bisa berubah wujud menjadi ular naga besar. Sayang, suatu hari Naga Tatmala kepergok tengah berkasih-kasihan dengan Dewi Mumpuni, istri Bathara Yamadipati. Sang Hyang Anantaboga menangkapnya, dan menghukumnya, dengan menyumpahinya untuk tidak akan pernah ‘laku rabi’ selama beribu-ribu tahun. Dia akan merasakan jatuh cinta dan dicintai oleh makhluk perempuan, bila hu7kuman itu selesai. Dan kau tau? Menurutku, sekaranglah hukuman itu selesai.”
“Maksudmu, naga itu sudah bisa jatuh cinta lagi?”
“Mungkin.”
“Dan…dicintai makhluk perempuan?”
Aryo mengangkat bahu tanda tidak yakin atas semua firasatnya.
“Hmmm,…ternyata ada juga siluman yang badung, berselingkuh dengan istri dewa,” kata Dyah sambil tertawa.
Aryopun tertawa.
“Tapi, Mas. Apa betul Kanjeng Ratu Kidul itu jahat?”
“Kenyataannya menurut banyak orang beliau itu jahat, karena selalu minta korban. Tetapi sebetulnya tidak seperti itu. Beliau itu bukan jin atau siluman yang jahat.”
“Jadi bagaimana, dong.”
“Kalau dilihat dari musibah yang kebetulan terjadi di laut, orang lantas menilai bahwa itu adalah perbuatan Ratu Kidul. Lalu terjadilah dogma negatip. Barangkali saja musibah itu terjadi karena perilaku manusia yang suka berbuat huru-hara atau bertingkahlaku tak senonoh di wilayah kekuasaannya. Sebetulnya tidak ada larangan di wilayah kekuasannya itu, namun kan sudah semestinya kita mengucapkan ‘kulonuwun’ terlebih dulu sebelum menjamah wilayahnya, ya nggak? Kita saja kalau bertamu, harus permisi dulu kan?”
“Apa yang diinginkan Pamugaran dengan ritualnya itu?”
“Ketenaran, kekuasaan, cinta, dan masih banyak lagi. Dan semua itu tidak gratis. Pasti harus dibayar.”
“Membayar dengan korban orang lain? Kepada siapa?”
“Kepada Naga Tatmala. Persembahannya adalah Rayun Wulan. Persembahan itu dilakukannya tepat di hari naas ini, Minggu Manis, pas di hari ulangtahun Rayun. Begitulah. Dan yang dikorbankan adalah kehormatannya, persis seperti yang dilakukannya atas diri Ni Darni, perempuan Bali yang dinikahinya dulu. Lalu diceraikan setelah melahirkan seorang bayi berwajah naga.”
“Astaghfirullah ya Robbiii….Mengerikan betul!”
“Hari ini sebelum lewat waktu ashar, adalah hari yang dipilih Pamugaran dan Naga Tatmala. Pamugaran menyimpan tetesan darah orang Barat di tubuhnya, dan sebagai orang Barat dia percaya bahwa pintu penghubung antara dunia manusia dan dunia siluman akan terbuka saat senjakala tiba. Di saat itu matahari memasuki garis cakrawala. Terjadinya hanya sepersekian detik, tetapi mungkin saja bisa dimasuki oleh manusia ke dunia siluman, atau sebaliknya, dimasuki siluman ke dunia manusia. Namun bisa saja terjadi pergeseran dimensi secara tak sengaja yang bisa membawa makhluk di dua dunia itu saling melihat. Bagi kita, kita akan bilang kita ini sedang ditakuti siluman. Mungkin saja siluman atau jin yang bilang, sedang ditakuti manusia. Pamugaran memiliki darah campuran antara Barat dan Timur, maka dengan keahliannya dia berhasil menggabungkan dua cara yang membawanya mampu berhubungan dengan dunia siluman. Jujur saja, aku sangat mencemaskan Rayun.”
“Kita harus lebih cepat Mas, jangan sampai lewat waktu ashar.”
“Ini sudah paling cepat, kau pikir aku ngebut ini untuk apa?”
Jip tua itu kian cepat dan semakin cepat. Diam-diam Dyah merasa kuatir, jangan-jangan jip tua itu akan lepas satu demi satu bagiannya karena guncangan-guncangan yang semakin tak teratur. Kadang bahkan menerobos lampu merah, juga tak peduli dengan polisi yang lengah. Aryo seakan-akan sudah tak perduli lagi akan keselamtan mereka. Sementara itu, dengan menggigit bibir, Dyah hanya mampu memejamkan mata sambil berdoa agar mereka selamat sampai tujuan.
(Oh, masih nyambung lagi di episode berikutnya!)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar