Jumat, 09 April 2010

TROWULAN (14)


Rayun Wulan baru saja menyelesaikan bab terakhir novel terbarunya ketika sahabatnya, Dyah Sugihan datang. Gadis bertubuh subur itu berdiri petentang petenteng di beranda depan menunggu pintu dibukakan tuan rumah. Dengan cepat Rayun berlari membukakan pintu, menyambutnya dengan hangat. Kedatangan Dyah Sugihan selalu membuatnya senang. Sebab dengan sahabatnya itu, Rayun bisa bicara apa saja tanpa kuatir rahasianya bocor kemana-mana.
“Memangnya, aku periuk borot?” kata Dyah saat hal itu dikatakan Rayun kepadanya.
Bahkan seluruh perasaannya terhadap Pamugaran dan Aryo Wangking tak luput dari pembicaraan mereka. Tiga hari saja tidak bertemu dengan Dyah, Rayun rasanya kangen. Itu sebabnya, dengan riang, Rayun membukakan pintu lebar-lebar dan langsung memeluknya.
“Ada apa datang?” sindir Rayun sambil menyeretnya masuk.
Dyah Sugihan tersenyum sambil menyerangnya balik:
“Bdetul nih, sudah tak ingin aku datang?”
“Asem! Ayo masuk. Aku lagi sendirian, nih.”
“Mama kemana?”
“Ke Bandung.”
“Semua?”
“Iya. Mau minum apa? Jus, kopi, the, atau apa?”
“Restoran ‘kali. Pakai tanya mau minum apa?”
Rayun tertawa lebar. Dia meletakkan beberapa toples kue ke atas meja. Lalu berbalik ke belakang menyiapkan dua gelas air sirop.
“Selama tiga hari ini, kau kemana saja?” tanya Dyah Sugihan.
“Kau datang kesini?”
“Ya. Tapi Cuma bertemu dengan baying-bayangmu. Rumah ini kosong melulu. Lama-lama bisa berubah menjadi rumah hantu.”
“Ih, maunya!”
Mereka tertawa. Dyah mencomot sepotong kue keju dari dalam toples. Cepat-cepat Rayun menyorongkan sebuah piring kecil untuk menampung remah-remah kue sebelum jatuh ke lantai.
“Aku ke Balekambang,” sahut Rayun.
Mereka duduk dengan santai di ruang tamu. Masing-masing memeluk bantal kursi sambil menikmati alunan musik lembut dari taperecorder mungil yang sengaja dibawa Rayun dari kamar tidurnya.
“Dimana itu?” tanya Dyah.
“Di sebelah Selatan kota Malang. Apa kau belum pernah kesana?”
“Uh, dengan siapa? Tak ada seorangpun yang mengajakku kesana.”
Rayun tergelak melihat mulut temannya jadi manyun.
“Ohhh ya, lupa. Kau belum punya pacar, ya?” godanya sambil terus terbahak-bahak.
“Nggak lucu! Kau sendiri, bagaimana? Apa kau perginya dengan Pamugaran?”
“Dengan siapa lagi kalau bukan dengan dia?”
“Mmmm….seneng dong!”
“Ya,..gitu deh! Tapi tau nggak, disana aku bertemu dengan siapa?”
“Mana aku tau?”
“Dengan Aryo Wangking!”
“Shiit! Seru dong!”
“Seru, bagaimana! Orang aku kesananya sama Pam?”
“Lantas?”
“Ya,..aku Cuma pandang-pandangan saja dengan dia. Kau tau, kedua matanya menatapku dengan tajam..O, Gusti,… rasanya badanku ini tersengat listrik ribuan volt!”
“Bisa mati dong loe, kena strum.”
“Ih. Kasih komentar yang bagus dong, gimana gitu.”
Dyah tersenyum saja. Diambilnya lagi sepotong kue dan menggigitnya pelan-pelan sambil matanya merem melek. Rayun menunggu dengan pandangan aneh ke arahnya.
“He! Kasih komentar dong, masa diam saja?”
“Bener nih, aku boleh kasih komentar?”
“Kenapa tidak. Bukannya aku sudah bilang, menurutmu bagaimana?”
“Kalau kau minta pendapatku, aku pasti akan ngomong kalau si Pamugaran itu memang terlalu tua untukmu. Sori, jangan tersinggung.”
Rayun tertawa kecil.
Melihat Rayun tidak marah, Dyah Sugihan melanjutkan,:
“Kecuali kalau kau punya pertimbangan lain. Penampilan, misalnya. Atau ketenaran, barangkali?”
“Umurnya baru limapuluh dua. Menurutku tidak terlalu tua, kok.”
“Tidak terlalau tua, katamu? Hehehe,…Jangan bilang kalau kau tak memikirkan hubungan seks kalian di masa sepuluh tahun mendatang, dimana saat kau sedang gila-gilanya, dia sudah …ppfft…!!”
Rayun Wulan tertawa ngakak.
“Pikiranmu selalu kesitu-situ juga, Dyah! Hahaha…”
“Eh, jujur. Seks merupakan salah satu factor terpenting penunjang keutuhan rumahtangga loh! Coba, kalau saja dia tidak bisa ngapa-ngapain, apa kau tidak cuma menghitung nyamuk saja setiap malam? Makanya, kalau aku boleh kasih saran, pilih selagi kau bisa. Ambil Aryo Wangking sebelum semuanya teerlambat!”
“Maumu!”
Sepasang mata Rayun berkedap-kedip.
“Tapi memang kau benar,” kata Rayun. “Aku sedang berada dalam kebimbangan.”
“Nah, lho!”
“Ya. Beberapa hari belakangan ini, sejak kami bertemu di Balekambang itu, diriku selalu dihantui mimpi tentang dia. Bahkan pada saat Pamugaran menciumku, bayangannya selalu datang menyelinap di antara kami. Dan kalau sudah seperti itu, napsuku jadi drop ke titik nol. Aku jadi tak ingin meneruskannya.”
“Jadi menurutmu, apa arti dari semua itu?”
“Entahlah.”
“Gimana kau ini, Rayun! Aku jadi benci sekali melihat kebimbanganmu seperti itu!”
“Aku ingin…”
“Sttt! Kedengarannya ada orang datang,…” sela Dyah Sugihan cepat.
Beberapa detik mereka saling berpandangan dan berusaha menajamkan telinga. Benar saja, terdengar suara gerendel pagar dibuka. Ya, pasti ada yang datang. Dyah berdiri dan mengintip keluar jendela melalui celah-celah tirai.
Rayun ikut berdiri dan bersembunyi di balik punggung Dyah.
“Siapa..?” bisik Rayun. “Apakah dia Pamugaran?”
“Bukan,” sahut Dyah berbisik-bisik. “Orang ini membawa jip terbuka. Waduh, gagah sekali dia dengan topi koboinya itu. Ck..ck..ck.”
Rayun terkesiap.
Dia jadi ikut mengintip. Dilihatnya tamu itu, yang tak lain adalah Aryo wangking, tengah mengatupkan pintu pagar kembali. Kemudian dengan tegap berjalan ke arah teras rumah.
“Itu dia Aryo Wangking,” desis Rayun.
“Apa katamu?” Dyah menoleh cepat ke arah Rayun dengan wajah kaget.
“Itu Aryo Wangking, bodoh!”
“Jadi…itu dia orangnya?”
“Hmmm..mmm..”
Dyah menatap wajah Rayun lama. Otaknya berputar, membandingkan penampilan Pamugaran dan Aryo Wangking. Betapa jauh berbeda. Bagaikan langit dan bumi. Kalau saja dirinya yang harus memilih, pasti seleranya akan segera jatuh pada lelaki bertopi koboi di teras depan itu. Namun dirinya bukanlah Rayun. Rayunlah yang dihadapkan pada dua pilihan itu. Dan Dyah Sugihan sangat paham, Rayun bukanlah dirinya yang selalu pandai memilih.
Dyah kembali mengintip. Sepertinya pria bertopi koboi itu ragu-ragu untuk mengetuk pintu.
“Kalau kau lebih memilih Pamugaran, aku tidak menolak kok untuk yang satu ini, hehehe…” Dyah terkekeh.
“Enak saja!”
“Jadi…kau mau juga sama dia?”
“Ssstt…!”
Pintu depan mulai diketuk.
“Ra, buka pintunya!” kata Dyah mendelik.
Rayun beranjak ke pintu, dan memutar kunci. Begitu daun pintu terkuak, dirinya segera menatap sepasang mata yang dikatakannya mengalirkan tenaga listrik ribuan volt itu. Bibir lelaki itu tersenyum tipis. Masih tetap dengan topi warna gelap, namun kali ini dia nampak lebih rapi dan lebih keren dari biasanya. Diam-diam Rayun membenarkan suara hatinya yang paling dalam, bahwa lelaki itu memang gagah.
“Apa kabar, rayon,” sapa Aryo Wangking.
“Oh, baik,…baik.” Sahut Rayun terbata-bata.
“Kaget ya?”
“Iyyya,…wah, tadi sempat kusangka siapa…”
“Kaupikir, siapa?”
Rayun hanya tertawa seraya mempersilakan tamunya masuk.
“Kupikir, seorang pangeran yang datang, habis, keren sekali sih.”
Aryo tertawa tertahan tahan. Membuat dua gadis didepannya jadi terpana melihat tawa yang ditahan-tahan seperti itu. Seperti ingin mengurai busa yang memuai, Rayun ingin sekali bisa jatuh ke dalam pelukannya.
Dyah mencubit pinggangnya, menyadarkan Rayun bahwa disitu masih ada Dyah Sugihan yang ingin diperkenalkan.
“Oh ya, kenalkan. Ini temanku,” kata Rayun seperti bangun dari mimpi. “Namanya Dyah Sugihan. Dyah, kenalkan, dia Aryo Wangking.”
Dyah Sugihan menyodorkan tangan, Aryo menyambutnya dalam sebuah genggaman yang kuat. Mereka saling memperkenalkan diri, lalu duduki bersama dan berbasa-basi. Obrolan yang hangat segera memenuhi segenap sudut ruang. Hingga suatu saat Aryo bertanya tentang kabar Pamugaran.
Dyah mengerutkan kening. Dia mulai menebak, jawaban seperti apa yang akan dikatakan Rayun untuk pertanyaan Aryo Wangking.
“Dia baik-baik saja,” jawab Rayun.
“Kapan berpameran?”
“Dia memang tengah mempersiapkannya. Akhir-akhir ini kelihatannya mulai ngebut melukis. Rencananya akan berpameran tunggal di Sheraton.”
“Bagus. Dia memang pelukis handal. Apa obyek utamanya kali ini?”
“Judul pamerannya kali ini, ‘Wajah Wajah’.”
“Wah, kalau tebakanku benar, pasti kebanyakan berupa lukisan potret. Iya?”
Rayun meringis, membenarkan tebakan itu.
Dengan tak sabar, Dyah menyela cepat,:
“Kebanyakan Rayun yang jadi modelnya.”
Aryo memicingkan mata.
“Oh ya?” cetusnya.
Rayun menyodok perut Dyah dengan siku.
“Ah, tidak banyak,” ujarnya buru-buru. “Malah lebih dominan wajah-wajah pria Bali dan laut. Seperti yang diambilnya di Balekambang itu. Bagus semuanya. Sangat natural.”
Tolol! Pikir Dyah. Secara tidak langsung kau malah memuji karya-karya Pamugaran, Ra!
Aryo cuma tersenyum. Mencoba meredam api cemburu yang mendadak membakar segenap rongga dadanya.
“Boleh merokok?” tanyanya sambil membuka bungkus baru.
“Oh, silakan.”
Cepat-cepat Rayun menyodorkan asbak.
“Sebenarnya aku ingin sekali bisa ikut hadir pada pembukaan pameran itu,” kata Aryo seraya menyulut rokok dengan geretan.
Rayun terus menerus menatapnya sambil menelan ludah. Dia menikmati bagaimana indahnya gaya lelaki itu saat menyelipkan sebatang rokok di bibir, dan menyulutnya dengan mata terpejam. Rayun tidak pernah tau, bagaimana pedihnya sayatan kecemburuan itu dalam hati Aryo hingga mampu membuat matanya berair. Dengan memejam, Aryo berharap kedua gadis di depannya tidak melihat betapa mendadak saja dia jadi demikian cengeng.
“Pameran itu akan dibuka hari Sabtu depan,” kata Rayun begitu Aryo mengangkat wajahnya kembali.
“Tolong dikabari, aku akan datang.”
“Pasti akan dikabari. Ada undangannya, nanti.”
“Kita datang sama-sama?”
Rayun terdiam, mendegut ludah. Dyah segera menolongnya.
“Kalau nggak keberatan, mas Aryo datang bersama aku saja, Bagaimana, bisa?”
Aryo menoleh ke arahnya, menatap kosong, seakan baru sadar bahwa masih ada manusia lain di ruangan itu. Sebelah alis matanya terangkat naik, mengguratkan senyum penuh pemahaman atas ucapan Dyah Sugihan. Taulah Aryo, bawa Rayun pasti akan datang ke pembukaan pameran tunggal itu bersama sang maestro.
“Tentu bisa, tapi bagaimana?”
“Ini alamatku, mas Aryo menjemputku pukul tujuh malam. Oke?”
Aryo menerima kartu nama mungil milik Dyah Sugihan, dan menyimpannya di saku.
“Baiklah. Rayun sendiri bagaimana?” tanyanya berbasa-basi.
“Ah, Rayun berangkat lebih pagi bersama sang maestro. Betul kan, Ra?”
“Oh, ya. Ya.”
“Dia akan mendampingi Dewa Pamugaran, sebagai mascot, katanya.” ujar Dyah lagi making getas.
Aryo merasakan dadanya sesak.
Dia segera bersandar. Kini dirinya sudah hampir tidak tahan lagi. Baik, pikirnya geram. Kini sudah tercacar semua di wajahku. Jangan diteruskan lagi ceritamu itu, nanti darahku jadi beku. Mengaum di telingaku.
Brengsek kaau, Pamugaran! Brengsek!
Sambil mematikan rokok di dalam asbak, Aryo bertanya pada Dyah.
“Jadi kujemput kau pukul tujuh, Sabtu depan?”
“Oke! Aku tunggu mas Aryo.”
Aryo Wangking kemudian berpamitan, Dia bangkit dari duduknya, menyelipkan bungkus rokok dan geretan kedalam genggaman tangan, kemudian berjalan keluar. Dan begitu mereka cuma tinggal beerdua saja, Rayun terlihat marah.
“Loh, kok kau marah?” tanya Dyah kalem.
“Seharusnya kau tidak usah menceritakan kepadanya tentang pameran lukisan yang melibatkanku sebagai mascot itu,” cetus Rayun hampir menangis.
“Kenapa?”
“Dia pasti tidak menyukainya. Dia pasti tak ingin bertemu lagi denganku karena mengira aku sudah amat serius dengan Pamugaran.”
“Kau pikir begitu?”
Rayun mengusap matanya yang sebak.
“Menurut aku, dia tidak seperti itu,” kata Dyah Sugihan. “Aku justru yakin, sama seperti kau, dia juga selalu diganggu mimpi.”
“Maksudmu apa?”
“Aku yakin, dia juga menyimpan perasaan yang sama denganmu.”
“Kau yakin?”
“Yakin seyakin-yakinnya. Apa kau tidak melihat ekspresi wajahnya saat kukatakan bahwa kau adalah mascot dalam pameran itu? Aku bahkan melihatnya dengan sangat jelas, perubahan wajah dan kegeraman dari sorot matanya. Menurutku, dia bukan sejenis laki-laki yang gampang menyerah. Taruhan, dia akan datang dan akan terus datang untuk merebutmu dari tangan Pamugaran”.
“Jangan terlalu memberikan harapan padaku, Dyah.”
“Seharusnya kau berbesar hati. Itu memang kenyataan kok. Aku tidak ingin hanya memberikan angin surga padamu. Aku bahkan yakin bahwa sebenarnya kau lebih suka kepadanya ketimbang kepada pelukis tenar itu. Ayo, jangan membohongi diri sendiri, Rayun. Apa yang kukatakan ini, benar kan?”
“Entahlah, aku bingung jadinya.”
“Dasar! Ayolah Rayun,…keluarlah dari inferiority feelings yang berlebihan itu. Ini dunia nyata, nona. Kendati kau seorang penulis jangan seperti pujangga melankolis yang selalu melukiskan segala kehidupan ini harus selalu ideal, selalu harmonis. Sebagai manusia kau berhak memilih yang terbaik, dan kau boleh melakukannya kapan saja. “
“Kalau aku memilih Aryo wangking,..?”
“Itu bagus.”
“Tetapi Pamugaran sangat baik kepadaku, dia tidak pernah berbuat kesalahan. Apakah aku tidak menjadi orang yang kejam dan tidak tau membalas budi seandainya meninggalkannya tanpa alasan, begitu saja, padahal…”
“Rayuuun, Rayun!” Dyah menghembuskan nafas keras-keras. “Kenapa sih, kau selalu saja takut melakukan kesalahan yang belum tentu salah? Ayolah, hiduplah dengan sikap tegar dan realistis. Yang akan kau bangun itu adalah hidupmu sendiri, kebahagiaanmu!”
Rayun menyandarkan kepala ke sandaran sofa. Sepasanag matanya menerawang jauh.
“Sebenarnya,” lanjut Dyah. “…dalam hidup ini tak ada yang terlalu berat atau terlalu keras untuk dihadapi, Rayun. Tapi usahakan kau tidak melakukan sesuatu yang bagimu berakibat tidak menyenangkan bagi masa depanmu.”
Rayun Wulan mengalihkan pandang matanya kea rah Dyah Sugihan. Dirinya hanyaa tak ingin melukai perasaan orang-orang yang dekat dengannya, seperti Pamugaran maupun Dyah Sugihan. Kebimbangannya muncul saat menatap kedua mata Dyah sahabatnya. Namun tali kerinduan pada Aryo demikian kuat. Benar kata Dyah Sugihan, bahwa dirinya harus segera memilih sebelum semuanya terlanjur dalam dan rancu. Sepertinya penampilan dan gaya hidup sederhana yang dimiliki Aryo lebih dia suka daripada kehidupan glamor seperti yang dihayati Pamugaran selama ini. Tetapi bagaimana dengan perasaan Pamugaran apabila dia tiba-tiba mengalihkan hatinya kepada Aryo Wangking?
Ah,…!
Rayun Wulan memejam.
Dyah Sugihan menghirup gelas siropnya perlahan, membiarkan gadis peragu di depannya berpikir dan terus beerpikir, sampai hari kiamat!

(Bersambung).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar