Jumat, 29 Januari 2010
BADAI PASTI REDA (1)
Pagi yang cerah.
Intan memainkan jemarinya di atas tuts piano dengan lincah. Beberapa lagu anak-anak yang ceria mengalun riang membuat suasana pagi semakin hangat. Andre, putra sulungnya duduk mengangguk-anggukan kepala di sisi Intan, Terkadang bibir mungilnya melantunkan lirik lagu yang dimainkannya.
Intan tersenyum sambil terus memainkan lagi beberapa lagu hingga selesai.
“Kau suka lagu-lagu itu?” tanyanya pada Andre.
Andre tertawa lebar. Dinikmatinya kecupan Intan sambil memejam.
“Nanti kalau kamu sudah besar, harus pinter ya?” ujar Intan lagi. “Harus lebih pinter main piano ketimbang Mama. Kamu mengerti?”
“Ya, Mama. Tapi Andre ingin jadi seorang seperti Papa.”
Intan menutup piano dan membimbing anaknya ke sofa tak jauh dari situ.
“Boleh,” sahutnya. “Kamu boleh menjadi apa saja. Seorang bisnismen seperti Papa, atau mau menjadi seniman seperti Mama. Tetapi kamu harus tetap mengerti Bach atau Tsaikowsky. Kamu tau? Musik klasik akan membuat perasaanmu lebih lembut dan tidak kasat.”
Andre hanya bisa menatapnya tanpa kedip. Tentu saja anak kecil berusia empat tahun itu tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan ibunya. Adiknya, Irin, baru dua bulan, masih bobo di ranjang ayunannya.
Intan punya mimpi besar bagi anak-anaknya. Apabila suatu saat mereka beranjak dewasa, dia ingin anak-anak itu akan membuatnya bangga. Bila Irin sudah besar, akan diajarkannya menggambar dengan benar, agar kelak bisa menjadi seorang arsitek ternama.
Semua itu dulu pernah menjadi mimpinya. Sayang, Tuhan terlalu cepat mengirimkan Abi untuk menjadi jodohnya. Mereka menikah cukup dini. Akhirnya seperti inilah dirinya. Cuma bisa berharap mimpi-mimpi indahnya bakal terwujud dalam kehidupan malaikat-malaikat kecilnya, Andre dan Irin.
Sebagai seorang Insinyur Sipil, Abi cukup sibuk. Pekerjaannya menyita hamper seluruh waktunya, sehingga kadang-kadang tak ada lagi waktunya untuk sekedar bercengkerama bersama istri dan anak-anak. Kian lama, rutinitas menjebaknya dalam sebuah kejenuhan yang sulit diurai. Perkembangan anak-anak tak sempat lagi diperhatikan, Pikiran dan waktunya habis untuk urusan pekerjaan, proyek-proyek, pertemuan-pertemuan dengan para relasi bisnis maupun para pejabat penting. Terkadang Intan dibayangi perasaan takut dan kuatir melihat betapa gigih Abi dalam usahanya mengembangkan perusahaannya. Dia takut apabila suatu ketika Abi gagal di tengah jalan. Spekulasinya terlalu tinggi.
Bagaimana jika gagal? Akankah dia mampu menerima kenyataan buruk yang tidak sesuai dengan keinginan dan impiannya?
Namun dengan sikap optimis, Abi selalu bilang,:
“Kalau gagal, itu resiko. Dalam sebuah pertarungan, kita cuma punya dua alternatif. Berhasil, atau gagal. Itu saja.”
Namun kesibukan Abi ternyata membuat kakaknya, Meta, bertanya-tanya.
“Ini hari Minggu,” kata Meta suatu ketika. “Kemana suamimu?”
“Biasa, di proyek.” sahut Intan acuh tak acuh.
“Apa dia tidak pernah bisa meluangkan waktunya sehari saja buat anak-anak?”
“Ah biasalah dia begitu.”
“Sepanjang minggu begitu? Tidak ada hari libur sama sekali?”
Intan tertawa ringan. Tak ada sedikitpun gambaran gusar di matanya yang selalu jernih bagai air telaga.
“Jangan lupa, Met. Suamiku itu seorang bisnismen yang sedang naik daun. Jangan lupa itu. Dia lagi semangat-semangatnya. Kupikir tak ada salahnya , semua itu kan untuk anak-anak juga.”
“Kamu yakin, itu hanya untuk anak-anak, dan bukan…untuk yang lain-lain?”
“Maksud kamu apa? Aku yakin sekali kok. Memangnya, kenapa?”
Intan tertawa melihat kakaknya mengernyitkan kening. Meta beringsut lebih dekat .
“Dengar,” ujarnya serius. “Bahwa setiap orang sibuk, itu sudah jelas. Bahwa semua orang punya kesibukan, kita percaya betul. Tapi jika seseorang begitu sibuk tanpa menoleh kea rah lain,… itu sih, over acting.”
Intan tidak memberikan reaksi atas ucapan Meta. Bibirnya malah tersenyum manis. Sikap adem ayemnya itu malahan membuat Meta kian geregetan.
“Kitalah yang menentukan waktu kita, artinya kita jugalah yang harus pandai mengatur waktu kita sendiri,” kata Meta lebih bersemangat.
“Sekali-sekali kalau hari Minggu kamu ikut, kenapa sih?” tambahnya.
Intan tertawa lebar.
“Ikut? Mengurus urusannya? Aduh, Met. Jangan deh! Mana aku tahan jadi obat nyamuk sementara dia kongkow kongkow dengan relasi-relasinya?”
Meta memandang adiknya dengan heran.
“Apa salahnya?” kata Meta. “Tak apalah kalau sekali-sekali kita jadi obat nyamuk demi suami. Paling tidak ada gunanya juga kan?”
Dan ketika kemudian setiap malam minggu hampir dapat dipastikan Abi tidak pulang hingga Senin pagi, Meta jadi semakin sibuk memprovokasi adiknya.
“Semalam aku bermimpi,” kata Meta pada Intan melalui ponselnya.
“Oh ya? Mimpi apa? Di gigit ular? Hati-hati, sedang ada yang naksir kamu itu…”
Meta tidak mengindahkan ejekan Intan. Dia malah terlihat lebih serius.
“Aku bermimpi ada maling tengah berusaha masuk kekamarmu dengan cara menggali dinding. Herannya, dinding itu kulihat berlapis-lapis hingga aku terbangun, maling itu tidak berhasil masuk kekamarmu. Kamu tau apa artinya?”
“Apa?” tanya Intan sambil menahan gelak.
“Apa ya?” Meta malah terdengar bingung.
Intan tertawa tergelak-gelak.
“Mimpi-mimpi sendiri, kok malah bingung-bingung sendiri,” kata Intan ditengah tawa. “Sudahlah, Met. Mimpi itu kata orang hanya bunganya tidur. Sudah ah, aku masih sibuk nih!”
“Tapi, Tan! Ini rasaku bukan mimpi biasa. Kamu musti hati-hati lho.”
“Hati-hati bagaimana?!”
“Bisa saja mimpiku itu petunjuk dari Tuhan, bahwa ada sesuatu yang tengah mengincarmu.”
“Aduuuh Meta! Hentikan omong kosongmu itu.”
“Pokoknya aku ingin kamu lebih berhati-hati menjaga dirimu dan keluargamu. Kamu mau kan? Demi Mama, Tan! Demi Andre dan Irin!”
“Oke, oke. Kamu tenang saja, Met. Aku akan menjaga keluargaku baik-baik.”
“Nah, gitu dong. Kamu sedang apa sih?”
“Aku sedang bikin sup. Kenapa?”
“Ya sudah, selamat memasak deh.”
“Oke. Bye.”
“Bye.”
Intan mematikan ponselnya dan kembali dengan kesibukannya mengurus anak-anak, sementara Monik masih termangu-mangu di rumahnya dengan perasaan gundah. Ada sesuatu, batinnya. Ada sesuatu bakal terjadi. Tetapi apa?
Bagi Meta, Intan terlalu cuek akan kesibukan Abi. Malahan bisa dibilang seakan-akan Intan tidak peduli lagi pada semua kegiatan suaminya di luar sana. Ada apa sebenarnya? Seakan-akan Intan telah kehilangan kepekaannya. Setiap kali Abi pergi, dia tidak pernah lagi bertanya tentang tujuan dan keperluannya meninggalkan rumah. Bahkan tidak pernah beertanya kapan suaminya akan pulang. Intan malahan membantu memasukkan baju-baju Abi ke dalam koper, kalau suaminya itu meminta ijin keluar kota. Dia juga menyertakan after save lotion , bulgari, dan Brylcrem, kedalamnya. Meta selalu bilang kepada Reza adik bungsunya, bahwa sekarang ini Intan sudah seperti robot.
“Menurutmu, kita harus bagaimana?” tanya Reza. “Itu suaminya, dia berhak berbuat apa saja pada Intan asalkan tidak melewati norma-norma yang ada.”
“Yang jelas, kita tidaqk boleh tinggal diam seperti ini.”
“Dia pilihan Intan. Kamu ingat bagaimana mereka menikah dulu? Intan sudah nekat, apalagi Abi. Mama sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Apalagi kita. Jadi,..yah!”
Monik terdiam mendengar ucapan Reza.
Dia masih ingat semuanya. Ketika itu Mama sempat mendapat serangan jantung ketika Intan ngotot ingin menikahi Abi. Bukannya Mama membenci Abi, atau tidak menyetujui hubingan mereka, tetapi saat itu Abi memangbenar-benar belum mapan. Intan akan me3nderita bila harus menikah sedini itu. Padahal ketika Mama me3nawarkan bantuan financial, Abi menolaknya mentah-mentah. Sekarang dia memang telah berhasil menjadi seorang usahawan muda. Uangnya sudah cukup menghidupi keluarganya dengan sangat layak. Namun justru Meta dengan mata jelinya bisa melihat, betapa Intan mulai kehilangan keceriaannya. Rona mata Intan kian redup dari hari ke hari. Pasti dia kesepian selalu ditinggal-tinggal Abi selama berhari-hari. Mungkin hanya keimanan yang kuat mampu membuat Intan tetap sabar menghadapi betapa kian lama Abi kian acuh tak acuh kepadanya. Bagi Meta Intan serupa la
Lautan yang biru tenang,setia dan lapang hati.
Kadang Meta bahkan tidak percaya adiknya itu manusia biasa. Dia begitu tulus bagaikan malaikat. Seakan-akan tanpa dosa. Memang sih, kadang-kadang apabila anak itu sudah merasa jengkel pada sesuatu, bicaranya menjadi sinis dan mampu memerahkan telinga orang lain. Tetapi pada umunya dia baik, saangat baik bahkan.
Bukan hanya Mama atau Meta yang jadi tidak sabar melihat ketenangan Intan menghadapi perilaku Abi yang jadi berubah belakangan ini, tetapi Tommy teman baik Abi sendiri, dan Reza, juga menjadi geregetan.
Pernah pada suatu hari Tommy mencoba menggelitik Intan dengan pertanyaannya,
“Mas Abi kemana, Mbak? Week end begini kok nggak ada di rumah?”
Intan Cuma mengangkat bahu.
“Mana aku tau?” sahutnya enteng.
“Apa mas Abi nggak bilang dia mau kemana?”
“Aku lupa menanyakan dia mau kemana, kenapa Tom? Kalau kamu ada perlu, tinggalkan saja pesan nanti kusampaikan pada mas Abi.”
Ya ampun!
Tommy menggaruk kepala yang tidak gatal. Bagaimana sih, mbak Intan ini? Dia ini manusia apa bukan? Masa samasekali tidak tau kemana suaminya berada pada saat week end seperti ini? Tidak tau, atau tidak mau tau?
“Mbak,” kata Tommy pada akhirnya, “Mbok ya jangan terlalu percaya sama suami. Laki-laki pada umumnya tentu punya kenakalan-kenakalan. Entah itu kenakalan kecil aau besar. Namanya juga kenakalan, kalau dibiarkan bisa berubah menjadi bom waktu. Apa mbak Intan tidak pernah merasa kuatir, atau menyimpan dugaan kalau mas Abi…”
“Itu kan normal,Tommy. Namanya juga laki-laki. Kamu juga kan laki-laki.” Senyum Intan.
“Justru karena aku laki-laki, maka…”
“Dia suamiku. Aku percaya padanya.”
“Oh.”
Tommy terdiam. Topik sudah ditutup. Selesai! Tak ada lagi pembicaraan tentang Abi, atau dedemit manapun juga yang mungkin sedang terlibat perselingkuhan atau kelalaian mengurus anak dan istri.
Ya, itulah Intan dalam pandangan Tommy. Kendati sebenarnya ada juga perasaan curiga dalam hati Intan atas keterbatasan Abi sebagai laki-laki, perempuan itu tidak ingin membiarkan dirinya teracuni oleh prasangka-prasangka. Tanpa perlu diketahui banyak orang, Intan sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak akan pernah menanyakan pada Abi kemana saja kakinya melangkah, Sebagai mansuia biasa, sebenarnya Intan juga punya naluri. Namun perasaan gelisah yang ada ditekannya dalam-dalam. Apa yang membuatnya mengambil ketetapan hati seperti itu sebetulnya berawal dari peristiwa dua tahun yang lalu.
Malam itu sudah lewat jamu dua. Intan tidak bisa tidur. Gelisah dan resah menunggu Abi pulang dari proyek. Pikiran buruk kian merajai hati tatkala hingga jam berdentang tiga kali menjelah subuh, Abi belum juga kelihatan. Jangan-jangan terjadi sesuatu atas keselamatannya, pikir Intan. Perempuan itu akhirnya menghubungi rumah Mama.
“Kamu sudah mencoba menghubungi ponselnya?” tanya Mama.
“Sudah, Ma. Tapi hapenya nggak aktif. Saya kuatir ada apa-apa di jalan.”
“Mama akan ke rumahmu. Nanti biar Reza yang akan mencarinya.”
“Ya Ma, cepat ya Ma…”
Seperempat jam kemudian Mama dan Reza sudah sampai di rumah Intan.
“Sekarang, bagaimana maumu?” tanya Reza.
“Coba kamu cari di rumah sakit, Za,” kata Mama. Siapa tau dia mengalami kecelakaan.”
Namun baru beberapa menit setelah Reza berangkat, Abi pulang. Lelaki itu terlihat tanang-tenang saja, dan seakan-akan tidak melihat rona mata Intan yang merah karena menahan tangis dan kantuk. Dia bahkan menyapa Mama mertua dengan riang.
“Oh, Mama. Kapan dating Ma? Mama menginap disini?”
Mungkin karena terlalu tegang semalaman mengkhawatirkan keselamatan suaminya, Intan kontan meledak melihat Abi tenang-tenang saja, bahkan samasekali tidak peduli pedanya. Apalagi minta maaf atas keterlambatannya sampai di rumah.
“Kau ini bagaimana sih!” katanya ketus. “ Mama tuh kesini lantaran akumenelponnya!”
“Oh ya? Memang, kenapa?”
“Kamu! Kenapa kamu pulang telat. Mana telpon kamu nggak bisa dihubungi, lagi!”
“kok kamu jadi sewot, sih!”
“Aku bukan saja sewot, tau! Aku begitu kuatir atas keselamatan kamu. Kupikir kamu sudah terbaring sana di rumah sakit dengan luka di seluruh tubuh kamu. Aku takut, Abi, aku takut terjadi apa-apa atas diri kamu!”
Abi tertawa mengejek sambil duduk dengan santai di sofa. Dibukanya kedua lengannya ke samping lebar-lebar.
“Aku baik-baik saja.” Katanya. “Kamu tenang saja, aku tidak pergi melacur!”
“Astaghfirullah, Abi!” bentak Mama. Sungguh Mama tidak mengira menantunya jadi kasar seperti itu.
Kedua mata Intan menyipit menatap sinis wajah Abi.
“Camkan dalam otak kamu,” desis Intan. ”Sedikitpun tak ada dalam pikiranku kamu pulang telat karena urusan prostitusi. Aku justru mengira kamu ,mengalami kecelakaan saja. Tetapi kini, setelah kamu mengatakan kemungkinan itu kepadaku, untuk selanjutnya, aku justru menyimpan dugaan itu dalam pikiranku. Mulai saat ini, aku tidak akan pernah mengkhawatirkan kamu lagi. Kamu mau pergi kemana, aku tidak perduli lagi. Semuanya terserah kamu. Mau melacur atau tidak. Jangan harap aku akan mencarimu!”
Kulit wajah Abi pucat seketika. Dalam hatinya yang paling dalam, lelaki itu menyesal. Namun apa gunanya? Dia sangat tau watak Intan. Perempuan itu bisa menjadi selembut kapas, namun bila sudah dilukai, dia akan berubah sekeras batu karang.
Mama memeluk Intan, dan merasakan sekujur tubuh Intan gemetar hebat. Namun Mama hanya diam. Tak ada akeinginannya untuk ikut mendamprat menantu. Dia cukup arif bahwa masalah mereka harus mereka sendiri yanag menyelesaikannya.
Ketika Intan berjalan terhuyng menuju kamar tidurnya, mama tak hendak menahan. Barangkali tidur atau sekedar terlentang di kamar tidur, Intan bisa sedikit m,enemukan ketenangannya kembali. Kebetulan Reza sudah datang. Maka mama segera mengajaknya pulang. Ketika Reza ingin berpamitan ke kamar, Mama buru-buru mencegahnya.
“Dia sudah tidur,” kata Mama pendek.
Sejak malam itulah Intan selalu berusaha menyibukkan diri dengan mengasuh anak-anaknya. Dia akan menyuapi bila mereka minta makan, akaan menghiburnya bila mere3ka rewel, dan menyanyikannya di saat mereka mau tidur. Dia mengerjakan semua urusan rumahatangga sendirian, meskipun seandainya dia mempekerjakan lima orang pembantupun, Abi akan sanggup menggaji mereka. Dengan demikian seluruh waktunya habis. Tak perlu lagi memikirkan Abi, maupun mengkhawatirkannya.
Kejadian itu sudaha beberapa tahun lewat. Namun rupanya Intan sudah terlanjur cuek, hingga pada suatu hari terjadi sesuatu pada pekerjaan Abi. Salah satu proyek jembatan yang sedang ditangani perusahaan milik Abi mendadak bermasalah. Ada missing di dalamnya. Beberapa pengeluaran yang cukup besar teernyata tidaka bisa dipertanggungjawabkan. Mau tak mau terjadi ketegangan . Sementara itu proyek harus terus berjalan. Suasana intern sendiri jadi kisruh. Dari seluruh karyawan, mungkin Cuma Tommy yang tau kemana saja arah uang proyek mengalir. Dia juga paham betul mengapa Abi harus menjual mobil mewah dan sebuah rumah di kawasan elite miliknya. Apabila dikatakan telah terjadi penyimpangan, mungkin itu ada benarnya. Sedikit demi sedikit Tommy mengadakan pendekatan pada Abi, sabahat sejak di perguruan tinggi sekaligus boss di pekerjaan. Berkali-kali dia mengingatkan Abi agar segera membenahi langkah yang keliru.
“Apa maksudmu?” tanya Abi.
“Kau harus memotong biang keladinya. Sudahi hubungan rahasiamu dengan Hapsari, kalau kau tak mau
kita gulung tikar. Anak-anak lapangan sudah mulai gelisah.”
(Bersambung)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar