Minggu, 24 Januari 2010
RUMAH PENINGGALAN PAPA
Untuk sejenak aku ingin melepas semua kepenatan setelah berbenah. Membenahi rumah peninggalan papa yang kemudian kubeli kembali dari tangan oom Piet, rasanya membuat perasaanku terasa aneh. Bagai sebuah mujijat, Tuhan sudah memberiku kesempatan menunaikan wasiat Mama sesaat sebelum beliau meninggalkan kami untuk selama-lamanya.
Kini rumah ini sudah menjadi milik kami kembali: milikku, milik Yus dan Nina. Kami bertiga telah berusaha keras untuk merebutnya kembali demi keinginan Mama. Entah, aku sendiri tak tau darimana uang sebesar hamper satu setengah milyar itu terkumpul, pada kenyataannya rumah dengan nilai sebesar itu kini sudah menjadi milik kami.
Kini aku tak ingin memikirkannya lagi. Kuambil tempat duduk di sofa paling empuk, dan menselunjurkan kedua tungkaiku agar perasaanku lebih nyaman. Dengan mata setengah terkatup, kuamati seluruh ruang tamu sambil membayangkan kembali wajah Mama setahun yang lalu saat berbaring sakit di ruang perawatan kelas VVIP rumah sakit Adi Husada.
“Usahakanlah membeli rumah itu kembali, Nanda,”kata Mama. “Karena di rumah itulah kalian dibesarkan. Di rumah itu pula Mama pernah merenda hari-hari yang manis bersama Papa kalian. Kami membangun rumah itu sedikit demi sedikit. Seluruh batu yang kami susun, kami sertai tete3san cinta kasih. Mama akan sangat bersyukur kalau salah seorang diantara kalian dapat menempati rumah itu kembali, demi Mama.”
Saat itu hatiku bagai disayat-sayat. Tidakkah Mama merasakan kekacauan ekonomi tengah melanda keluarga kami? Hampir seluruh uang simpanan kami telah menyusut drastic akhir-akhir ini. Bahkan harta lain yang kami miliki, satu demi satu harus kami lepaskan untuk keperluan pengobatan Mama. Kanker otak yang diderita Mama membuat kami betul-betul dilanda krisis, lahir maupun batin. Rasanya seluruh kebahagiaan kami ludes tak bersisa saat Dokter Darmadi mengatakan bahwa tak ada lagi harapan bagi Mama. Usianya tak lebih hanya tinggal tiga bulan!
Namun dengan gigih, kami tetap berusaha memperpanjang usia Mama, paling tidak setahun lagi. Sebagian demi sebagian simpanan kami berupa tanah atau apa saja, kami lepas. Semuanya untuk pengobatan Mama, baik itu beaya rumah sakit, tabib, maupun sinshe. Tapi agaknya usaha kami yang tak kenal putus asa harus menyerah kepada kehendak Tuhan. Tuhan telah berkenan menjemput Mama untuk kembali kepadaNya pada saat embun turun di awal bulan Oktober setahun yang lalu, tepat pada hari ulangtahun Mama yang ke enampuluh.
Kini Mama telah pergi. Jenasahnya telah lama kami makamkan. Suara beliau tak lagi pernah terdengar diantara celoteh cucu-cucunya seperti dulu. Namun pesan Mama untuk kembali membeli rumah itu seakan-akan bergema terus dalam jiwaku. Mengejar dari waktu ke waktu. Sungguh aku tak mengerti, apa maksud Mama berpesan seperti itu. Apakah karena romantisme yang mendadak muncul ke permukaan pada saat menjelang kepergiannya? Padahal, sulit dibayangkan. Membeli rumah besar itu dari tangan oom Piet, sementara kami tak lagi memiliki apa-apa. Jangan lagi uang tunai sebesar itu.
Beberapa hari sebelum Mama meninggal, aku sempat berjalan-jalan melihat-lihat rumah itu dari luar. Mobil kuhentikan persis di depan pagar besi yang tinggi itu dan mengamatinya dengan sejuta kegalauan dalam hati. Rumah dengan arsitektur Belanda itu kini telah banyak mengalami perubahan. Kini yang Nampak di depan mataku adalah sebuah rumah yang tegak berdiri dengan angkuh menantang langit, megah dan mewah. Berapa kira-kira harganya? Pikirku gamang. Tak bias kubayangkan, dengan apa kami bias membelinya kembali?
Tigapuluh tahun yang lampau , di halaman depan itulah aku pernah bermain petak umpet bersama adik-adikku, Yus dan Nina. Kadang-kadang kami bermain bola atau congklak di beranda belakang yang memiliki halaman cukup luas untuk Yus, satu-satunya anak laki-laki, bermain bola dengan Papa. Sementara itu Mama merenda atau menyulam di dekat kami, anak-anak perempuannya sambil sesekali melontarkan canda yang sering membuat kami tertawa. Kini, bias kupastikan, bagian belakang rumah itu sudah kehilangan halaman milik Yus, atau tanaman bougenville milik kami. Tak ada lagi kolam ikan di depan ruang makan yang luas dan sejuk. Juga kamar tidur orangtua pasti juga sudah berubah. Ah. Semua kenangan itu sudah tak ada lagi disana. Lantas mengapa Mama bersikukuh agar kami mengambilnya kembali?
Sebetulnya kalau mau jujur, bukan perubahan-perubahan bentuk bangunan itu yang membuatku berat hati. Tetapi pertimbangan keuangan kamilah yang membuat kami semua merasa amat berat. Ya, darimana kami mendapatkan uang untuk merebut kenangan itu kembali. Sudah pasti harganya sekarang sangat mahal, terlalu mahal bahkan untuk kami. Suamiku Cuma seorang kontraktor yang sedang sepi, Yus? Ah tanpa bermaksud mengecilkan, nyatanya kehidupan mereka masih lebih banyak ditunjang istrinya yang mengelola salon kecantikan. Bagaimana dengan Nina? Dia seorang dosen sebuah universitas swasta terbesar di Surabaya. Tetapi kebutuhannya juga tidak sedikit. Dia masih perlu therapi canggih guna mengikuti kemauan suaminya: program punya anak! Nah lho, bagaimana dong?
Di depan Mama yang sedang mengalami masa kritis, kuberanikan diri untuk mengutarakan pada Mama bahwa rumah itu sudah bukan rumah kami yang dulu. Rumah itu sudah berubah total. Namun dengan tersenyum Mama mencoba meyakinkanku bahwa samasekali tidak ada perubahan yang cukup berarti dalam tata ruangnya.
“Bagaimana Mama tahu bahwa rumah itu masih tetap sama dengan yang dulu?” tanyaku mencoba mengelak.
“Mama tahu dari gambar denah perbaikannya,” jawab Mama. “Dulu, sebelum oom Piet mengup-grade rumah itu, dia dating pada Mama dan minta persetujuan Mama atas perbaikan beberapa ruang di dalamnya. Perubahan itu paling banyak Cuma bagian tampak luarnya saja, sementara ruang-ruangnya tidak banyak berubah. Percayalah.”
“Jadi Mama sudah tahu dan mengijinkan oom Piet…?”
“Nanda,…rumah itu toh sudah jadi miliknya. Apapun yang akan dia lakukan atas rumah itu kan terserah dia. Mama tak bias mencegah. Sudah bagus dia minta pendapat Mama. Tetapi Mama masih sempat berpesan kepadanya agar tidak terlalu banyak mengadakan perubahan, sebab saat itu dalam hati, Mama yakin suatu saat kita akan mengambilnya kembali.”
“Bagaimana dengan halaman belakang?” tanyaku lagi.
“Untuk halaman belakang memang dia minta ijin dibangun beberapa kamar. Anaknya kan banyak. Mertuanyapun ikut dalam rumah itu. Maka aku menyetujuinya.”
Aku mangangguk mendengar penuturan Mama. Namun ada sedikit kekecewaan merambati hati mengingat betapa halaman belakang kesayangan kami nitu kini sudah tak ada lagi. Kolam ikan, jajaran tanaman mawar dan bougenville…ah semuanya pasti sudah tak ada lagi. Padahal betapa sangat berartinya itu semua bagi kami. Kenangan indah masa kanak-kanak terukir di sana. Saat-saat yang penuh canda dan tawa!
“Mama ingin kami membelinya kembali?” tanya Yus ketika itu.
“Ya,” sahut Mama “Mama ingin sekali kalian berada lagi di sana. Kalian mau, kan?”
Baik Yus maupun diriku dan Nina Cuma tersenyum Masing-masing dalam pikirannya sendiri-sendiri. Kuharap Mama tidak terlalu tahu apa yang sedang berkutat di benak kami.
“Yus?” Mama menoleh ke arah Yus yang berdiri disisi ranjang.
“Aku?” Yus tertawa kecil tanpa suara. Aku tau hampir saja dia mengatakan:…tapi dari mana saya punya uang Mama? …kalau saja aku tidak cepat-cepat menginjak kakinya. Yus meringis menahan sakit, tapi itu ditafsirkan setuju oleh Mama. Mama kemudian mengalihkan pandaqngannya ke arahku. Entah kenapa, aku merasakan jantungku berdebar menyadari betapa Mama selalu menganggapku bias bertanggungjawab atas adik-adikku.
“Barangkali kau?” Tanya Mama “Suamimu sudah datang dari Pekanbaru?” tambah beliau sambil mengambil tanganku dan digenggamnya erat-erat.
Aku menggeleng.
“Belum Mama, kenapa Mama menyanyakannya?” sahutku. “Mas Tanto baru akan pulang beberapa hari menjelang tahun baru.”
“Mama sudah kangen padanya,” desah Mama. “Suamimu itu enak diajak berunding. Setiap masalah yang bagi kita rumit, rasanya dengan mudah akan dapat diuraikannya. Telponlah dia, suruh cepat pulang.”
“Ya Mama. Nanti aku akan menelponnya.”
Kudengar Mama menghempaskan nafas lega. Kedua kelopak matanya mengatup perlahan dengan letih. Kubenahi selimutnya sebelum keluar kamar.
(bersambung besok)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar