
Ternyata sampai Mama meninggal, tak satupun dari kami berhasil mengumpulkan uang untuk membeli kembali rumah Papa. Beberapa kali aku sudah berusaha menemui oom Piet di rumah itu. Orangtua itu bersedia menjualnya asalkan sudah ada kecocokan harga. Saat itu oom Piet menawarkan harga satu setengah milyar. Ketika aku menawar satu milyar, oom Piet tertawa terbahak-bahak.
“Harga yang kuminta itu sudah murah, Non!” ujarnya.
Kebiasaannya memanggilku ‘Non’ tak pernah bisa hilang kendati aku sekarang sudah berubah status dari seorang gadis remaja bernama Ananda menjadi istri Sutanto yang otomatis seharusnya sudah bukan ‘Non’ lagi, melainkan ‘nyonya’. Tetapi pada kenyataannya oom Piet masih tetap memanggilku ‘Non’ seperti tigapuluh tahun yang lalu, saat kami bertemu pertama kali.
Kala itu aku masih memakai seragam TK, Yusniar mengenakan celana monyet, sementara Nina masih duduk di kereta dorong. Oom Piet datang kerumah kami membawa dua batang coklat Silver Queen. Satu diberikannya padaku, satunya lagi diberikan pada Yus.
“Apa kabar, nona kecil?” sapa oom Piet ramah kepadaku. Telapak tangannya yang besar diulurkannya padaku, dan segera telapak tanganku tenggelam dalam telapak tangannya. Dia tertawa senang melihatku membalas senyumannya dengan senyum manisku.
“Oom punya dua batang coklat, satu untukmu dan satu lagi untuk adikmu. Siapa nama adikmu?”
Kuseret Yusniar lebih kedepan.
“Namanya Yus,” jawabku.
“Yus? Hanya Yus saja?”
“Yusniar!” Lantang suara Yus menyela. Oom Piet tertawa lebar sembari memburai-burai rambut Yus yang tebal dan ikal. Mata Yus mengerjap senang.
Ya, sejak pertemuan itu kami selalu akrab satu sama lain. Aku sangat akrab dengan Sheila putri sulungnya karena kebetulan kami sebaya, dan Yus berteman akrab dengan Raymond. Kabarnya kini Sheila sudah bersuami dan tinggal di daerah elite di Jakarta, sementara Raymond menekuni profesinya sebagai dokter bedah kosmetika di luar negeri. Adik-adik Raymond yang lain, Johnny, Han dan Andre masih kecil-kecil kala itu sehingga aku tak sempat mengenali mereka secara dekat. Kabarnya lagi, mereka ini tengah menjalani disiplin ilmu di sebuah universitas di Australia. Baik aku, Yus, maupun Nina tidak begitu dekat dengan mereka dimungkinkan karena perbedaan usia kami dan mereka terlalu jauh.
Tawar menawar antara kami dan oom Piet terus berlangsung walaupun Mama sudah tiada. Mas Tanto yang sedang bekerja di Pekanbaru, tidak begitu peduli. Urusan rumah sudah diserahkannya padaku. Istri Yus pun demikian. Sementara Nina cuek saja. Yang sibuk mungkin Cuma aku dan Yus, yang barangkali paling banyak menyimpan kenangan di rumah itu.
Sementara aku melakukan negosiasi dengan oom Piet, mas Tanto berusaha keras memenangkan tendernya di proyek Pertamina dan Caltex. Hasilnya akan lumayan seandainya dia memenangkannya. Kata mas Tanto, siapa tahu, uangnya bisa untuk menunaikan amanah Mama merebut kembali kenangan indah kamu di rumah itu. Sebagian lagi dari hasil penjualan aset kami berupa tanah dan rumah. Kami memang harus habis-habisan memperjuangkan proyek istimewa ini. Akhirnya uang itu berhasil kami kumpulkan. Apa boleh buat, pikirku. Inilah batas maksimal yang biasa kami lakukan. Mudah-mudahan oom Piet mau berbaik hati dan menurunkan harga rumah itu yang semula satu setengah milyar menjadi satu koma tiga milyar. Wow, memang masih jauh menurut ukuran bisnis, kalau itu bisa dibilang bisnis dagang. Tapi apa mau dikata. Nafasku betul-betul sudah habis!
Ketika kuberanikan diri menemui oom Piet dan mengutarakan bagaimana susahnya kami memikul amanah dengan dana pas-pasan seperti itu, oom Piet hanya bias menggeleng-gelengkan kepalanya yang botak. Lama dia terdiam seakan-akan berpikir keras untuk menentukan sikap.
“Baiklah,” akhirnya oom Piet berkata. “Untuk kenekatanmu, Non, biarlah rumah ini kubeerikan kepadamu. Berapa uangmu sekarang?”
“Satu koma tiga,” sahutku gemetar sambil menahan nafas.
“Apa?”
Oom Piet menatapku tanpa kedip. Melihat dia terbelalak seperti itu, jantungku serasa berhenti berdetak. Aku begitu takut oom Piet bakal menolaknya mentah-mentah. Lama kemudian barulah dia menghela nafas dan menyandarkan tubuh tuanya ke belakang. Dilepaskannya kacamata, dan menatapku redup, lama sekali.
“Kau tau?” ujarnya perlahan. “Sebenarnya aku sudah sangat mencintai rumah ini, dan bermaksud akan menempatinya sampai akhir hayatku nanti. Tapi, sungguh. Aku juga tak ingin Mama kamu kecewa di alam sana apabila kalian gagal menepati wasiatnya. Wasiat orangtua itu keramat. Sampai matipun kalian harus melaksanakannya. Kau mengerti?”
“Ya Oom.”
“Bagus. Itu tandanya kalian anak yang berbakti.”
“Jadi bagaimana dengan penawaran saya, Oom?”
Dia menepuk bahuku lembut. Bibirnya tersenyum tipis. Kulihat ada kesedihan dalam mata tua itu. Oh, maafkan saya Oom, saya hanya ingin bisa mengabulkan keinginan Mama pada saat-saat terakhirnya,…
“Jangan kuatir,” sahutnya. “Aku setuju dengan harga yang kau tawarkan itu.”
“Oom…!” tanpa sadar aku terlonjak. Hampir bersorak gembira. Oh, tidak. Aku memang sudah bbersorak. Bukan itu saja, aku bahkan sudah memeluknya erat-erat. Airmataku meleleh membasahi pipi.
“Terimakasih, Oom. Terimakasih…Terimakasih Tuhan…” bisikku di telinganya.
Lelaki tua sebaya Mama itu mendekapku dalam dadanya yang tak lagi bidang seperti dulu. Diciumnya rambutku lembut. Tatkala aku menatapnya, hati ini mendadak trenyuh saat kulihat kilau bening di matanya. Lapisan bening itu menggumpal dan saling berdesakan untuk turun beergulir di pipinya yang keriput.
“Anak-anak Oom juga telah setuju, bukan?” tanyaku sambil membersit hidung. Mencoba menempias keharuan yang menyeruak diantara kami.
“Jangan dipikirkanmereka. Anak-anak Oom taunya hanya bersenang-senang saja. Tanpa mengindahkan perasaan sepi yang terkadang meremas hati tua ini. Kurasa, Mama kamu lebih bahagia ketimbang Oom. Mungkin kamu tidak tau, selama sisa hidupnya, Mama kamu banyak bercerita kepadaku tentang anak-anak yang telah keluar pintu. Kami sering minum the bersama di rumah ini setelah saling menelepon. Mungkin, dialah satu-satunya sahabat baikku diusia yang telah senja ini. Kamu sungguh mencintainya, kan?”
Tergagap aku mengangguk. Samasekalai diluar dugaan, ternyata Mama sangat dekat dengan oom Piet. Namun demi Tuhan, aku tak ingin berpikir terlalu jauh mengikuti dugaanku selebihnya. Biarlah semua itu menjadi kenangan dan rahasia mereka berdua.
“Pasti, Oom. Sudah pasti kami sangat mencintai dan menghormati Mama sebagaimana menghormati Papa dan Oom Piet sendiri, bagi kami, Oom Piet bukan orang luar lagi. Oom sudah saya anggap sebagai orangtua sendiri,” sahutku panjang lebar.
Oom Piet membelai rambutku sambil tersenyum samar.
“Syukurlah, dia benar-benar seorang ibu yang berbahagia telah memiliki anak-anak seperti kalian. Dan kebahagiaan itu telah direguknya sampai tuntas di masa tuanya. Kendati begitu nlama dia menjanda, kesepian seperti yang selama ini menyiksaku tidak pernah dia rasakan, karena ada kalian, anak-anak yang berbakti kepadanya.”
Oom Piet kemudian beranjak ke kamar dan bersiap-siap akan menemui Notaris langganannya.
“Sekarang?” tanyaku kaget.
“Kapan lagi kalau bukan sekarang? Mau tahun depan? Hehehe,…” Oom Piet tertawa lucu. Keceriaannya kembali seperti dulu. Aku tersenyum lega. Senang rasanya melihat wajahnya kembali terang seperti saat aku bertemu dengannya tigapuluh tahun yang lampau.
(bersambung besok)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar