Sabtu, 30 Januari 2010

BADAI PASTI REDA (2)


Abi tersenyum dingin.
“Itu urusanku, Tom, “katanya. “Lebih baik kau benahi saja tugasmu.”
Sampai disitu Tommy tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia hanya mampu menatap sahabatnya dengan perasaan tak berdaya.
Lama setelah kejadian itu Tommy semakin bisa merasakan perubahan sikap yang diberikan Abi kepadanya. Sikap sahabatnya itu kian hari kian dingin dan hampir dapat dipastikan, tidak lagi pernah menegurnya kalau tidak penting sekali. Hingga akhirnya meledaklah pertengkaran diantara mereka berdua. Tidak di kantor, melainkan di lokasi, didepan para pekerja kasar. Di tempat itu secara terang-terangan Abi mencela Tommy hanya karena kesalahan kecil yang tidak prinsip. Tommy merasakan bahwa itu sudah sangat keterlaluan. Rasanya bagai ditampar. Kepalanya serasa pecah. Gelap. Habis sudah herga dirinya. Bukan kali ini saja sebenarnya, namun barangkali kali inilah yang terhebat. Kemarahan Abi hampir tidak masuk akal. Hanya karena persoalan kecil, dia begitu meradang. Ada kesan, seakan-akan Abi mengumumkan pada seluruh pekerja lapangan bahwa Tommy tidak becus menjadi rekan kerjanya di lapangan.
Tommy cuma bisa mengatubkan bibir kuat-kuat agar tak terjadi perang mulut yang tak cukup etis. Namun dalam hati, Tommy merasa bahwa inilah titik akhir kebersamaan merka berdua. Apalagi yang mesti kupertahankan disini? pikirnya. Maka dengan perasaan campur aduk, Tommy memilih pergi dari tempat itu. Ditinggalkannya Abi, dan kemudian memacu kendaraannya ke jalan raya. Beberapa pekerja dan mandor menahannya dengan mencoba melerai kemarahannya. Namun keputusan Tommy sudah mantap. Ibarat sebuah perkawinan, mereka kini bercerai. Keesokan harinya, Tommy meletakkan beberapa map dan gulungan blue print ke atas meja kerja Abi.
“Saya mengajukan resign.” Ujarnya pendek.
Abi mengangkat wajahnya, menatap dingin wajah Tommy. Lelaki di depannya membalas tatapan itu dengan tak kalah dingin. Tak terelakkan lagi. Bom yang selama ini mereka pendam, sudah meledakkan hubungan persahabatan mereka yang sudah terjalin sejak bertahun-tahun lamanya hanya karena ada seorang wanita yang coba dipeertahankan Abi.
“Apa maksudmu,” sahut Abi.
“Saya mengundurkan diri.”
“Kenapa. Kamu tersinggung dengan kejadian kemarin? Setiap kali kamu tersinggung, kamu selalu menggunakan kata ‘saya’.”
“Bukan, bukan karena tersinggung. Saya hanya menyadari bahwa ternyata saya kurang qualified untuk tetap menjadi karyawan teknik lapangan. Saya serahkan semua berkas ini untuk ‘bapak’ berikan kepada orang lain yang sekiranya ‘bapak’ anggap lebih mampu. Maafkan kesalahan saya yang lalu-lalu. Saya mengundurkan diri dengan sukarela tanpa dipaksa oleh apapun. Dengan kesadaran penuh, dan…”
“Cukup! Tidak usah bertele-tele,” potong Abi cepat.
“Saudara Tommy,” lanjutnya, “pernyataan itu nanti bisa ditulis melalui proses selanjutnya. Berkas-berkas ini saya terima, terimakasih. Dan pengunduran diri Anda saya terima.”
Tommy merasakan ada kepedihan menggores dalam hati. Jadi hanya begitu saja, pikirnya. Ya, hanya begitu saja, maka semuanya segera berlalu.
Tommy mengulurkan tangan dan disambut Abi dengan sebuah jabat tangan yang menje3pit keras.
“Terimakasih,” kata Tommy. “Selamat siang, dan…sukses!”
‘Siang, dan sukses!”
Sejenak mereka saling bertukar pandang. Kemudian Tommy berbalik daqn keluar dari direksi keet, melangkah panjang ke tempat parker. Masuk ke mobilnya dan menstarternya dengan perasaan kosong. Tak dipedulikannya pandang mata keheranan dari para mandor lapangan ke arahnya.
Maka sejak saat itu, Cuma Agus dan Dono yang tinggal menggantikannya di lapangan hingga datang orang baru menduduki posisi Tommy.

Suara piano menggema di ruang keluarga rumah Intan. Gemuruh bagai suara air terjun, meronta dalam lengkingan, kemudian mendadak diam. Sepi merenggut semua nada yang tadi sempat menyuarakan kemarahan dan kekecewaan yang mendera hati Intan. Sejenak ruang besar itu disekap lengang.
Intan duduk mematung di depan piano. Matanya nanap memandang ke depan. Menerobos kisi jendela yang terbuka lebar melihat kearah hijau daun kacapiring yang sedang berbunga lebat. Putih dan menebarkan semerbak harumnya kemana-mana.
Betapa ingin Intan menjerit dan menangis meraung-raung. Tapia pa gunanya? Seluruh isi dadanya seakan remuk, rapuh. Bayangan yang menakutkan kembali melela di pelupuk mata.
Dua hari yang lalu secara tak sengaja dia menmukan sepucuk surat bersampul merah di laci meja tulis suaminya. Hampir saja terlewatkan. Namun warna merah amplop itu membuat Intan kembali dana memungutnya dari dalam laci.
“Dari siapa?” pikir Intan.
Rasa ingin tau membuat Intan membuka amplop instimewa itu. Istimewa, karena setau Intan, surat-surat yang ada dalam laci itu selalu surat-surat berlogo nama perusahaan yang isinya kebanyakan penawaran tender. Amplop-amplop semacam itu biasanya berukuran besar dan panjang. Namun yang satu ini amat menarik perhatian, karena amplop itu terlalu manis untuk dikatakan bahwa surat itu surat formil. Ada kegenitan tergambar dari warna sampulnya.
Perlahan Intan menariknya dari laci, membuka dan membacanya.
Hapsari!
Nama itu membuat jantungnya mendadak berdebar keras.
Siapa Hapsari?
Intan menutup amplop itu kembali. Dia duduk dengan lemas di sofa dekat piano, tak jauh dari meja tulis Abi. Membuka dan membaca surat orang lain yang bukan untuknya, meski itu surat untuk suami sendiri, menurut etika sangatlah tidak sopan. Intan tau betul tentang etika itu. Tetapi kali ini kasusnya jadi lain. Karena dalam surat itu, si penulis yang membubuhkan tanda tangan di bagian bawah surat, menanyakan tentang rencana perkawinannya dengan Abi, suaminya. Tandatangan itu disertai nama terang. Dan nama terang itu adalah Hapsari. Kalimat demi kalimat yang ada di dalam surat itu sungguh menggugah peerasaan orang yang dituju. Namun bagi Intan, kalimat-kalimat itu bagai sembilu yang mengiris ulu hatinya dengan sayatan-sayatan yang memedihkan. Kendati sudah lama Intan tak lagi ingin perduli dengan keberadaan Abi, namun surat itu seakan membangunkannya kembali dari tidur lelapnya.
Ternyata beginilah kelakuan Abi. Dia memang tidak melacur, tetapi lebih baik melacur daripada harus melibatkan emosi dan merencanakan sebuah perkawinan macam ini. Apa maksudnya mempermainkan perkawinan kami? Pikir Intan. Apa maunya?
Maka pada keesokannya, surat itu dilemparkannya ke muka Abi, saat lelaki itu sedang menghitung rencana tender sebuah pabrik, di meja tulis.
Beberapa saat darah Abi seakan beku ketika amplop berwarna mencolok itu jatuh di depannya. Wajahnya pias. Namun dengan ketenangan yang sangat mengagumkan bagi Intan, lelaki itu hanya bergerak sedikit untuk menyingkirkan amplop surat itu ke pinggir.
Intan menatap tak percaya atas ketenangan Abi.
“Siapa dia?” tanya Intan.
Abi membisu. Dia duduk mematung, tanpa kuasa membalas tatap tajam Intan.
“Pacar kamu?” tanya Intan lagi.
Gemuruh dadanya, namun Intan masih bisa menahan diri. Kebisuan Abi ditafsirkannya sebagai jawaban atas pertanyaannya, bahwa benar, perempuan itu adalah kekasih Abi. Kebisuan Abi lebih dari seribu kata-kata pengakuan yang mungkin hanya merupakan untaian kebohongan baru yang lebih menyakitkan. Tidak, Intan tidak menginginkan jawaban apa-apa lagi. Perempuan berusia duapuluh lima tahun itu seakan disentakkan tiba-tiba dari tidurnya. Ada sesuatu yanga mendadak hilang dari dada yang selama ini sarat dengan impian manis bagi masa depan yang terbentang luas. Terbayang wajah anak-anaknya yang lucu dan ceria. Akankah mereka kehilangan ayahnya? Intan merasakan panas di sudut mata. Baginya, semuanya kini terasa beku. Dingin pada seluruh hatinya. Dingin pada seluruh tubuhnya. Perasaan itu mengalir dari dada ke ujung raga. Mertambat membekukan hati.
Ternyata itulah yang kau lakukan atas kesetiaan yang selama ini kupersembahkan kepadamu. Ternyata itulah balasan dari seluruh cinta yang kuberikan seutuhnya bagimu. Perempuan itu pasti cantik, bukan? Dilihat dari tulisannya yang apik runcing runcing ke atas, dan juga ditilik dari namanya yang indah: Hapsari. Ya, nama yang indah.
Intan mengeluh dalam hati. Kata orang, perempuan cantik selamanya menimbulkan pesona. Sebab itu kita tak bisa menyalahkan bila suatu waktu suami-suami kita lupa pada arah arus yang sebenarnya hanya karena perempuan cantik.
Kemarahan dan kekecewaan dicurahkannya pada tekanan tuts piano. Gema suara hati ditumpahkannya sebagai gemuruh amukan ombak dalam permainan pianonya. Menderu. Menghempas. Naik dan turun. Kadang berhenti tiba-tiba, untuk kemudian dilanjutkan dalam hentakan bagai deru air terjun yang mampu menghancurkan padas-padas. Seakan Intan ingin meluluh lantakkan beban berat yang mengganjal hatinya. Karena ada rasa sakit dalam rongga dadanya. Rasa sedih bercampur sakit hati. Cemburu membuat batas menjadi kabur, mana mencintai mana membenci.
Dada Intan semakin sesak tatkala menyadari bahwa suaminya pasti sudah tidur bersama perempuan lain. Hatinya menjerit, sakit bagai disayat-sayat. Tiba-tiba saja dia meerasa bahwa suaminya seakan-akan tidak punya masalah apa-apa. Tenang saja. Santai saja. Sementara dirinya sedang pilu. Perasaan sepi jadi seakan membuntuti seperti setan yang menerobos kemana saja dia suka.
“Aku tak akan berkata apa-apa,” bisiknya pada diri sendiri. “Mungkin saja kau akan pergi sampai ke ujung dunia. Aku tak akan berkata apa-apa. Meski sebenarnya aku tak suka. Sebuah pengkhianatan telah terjadi di rumah kita, Abi. Sementara aku tidak berdaya untuk mencegahnya. Aku tau, aku tidak bisa menahanmu seandainya kau mencintai perempuanmu itu, sebab cinta mempunyai sayap yang sanggup merobohkan jeruji-jeruji penjara manapun juga.”

Intan menyelesaiakan sentuhan terakhir pada pianonya, kemudian menutupnya. Dengan gontai dia masuk ke kamar anak-anak. Melihat Irin yang sedang lelap di ranjangnya. Anak sekecil Irin memang paling suka tertidur pada waktu pagi hari, tapi biasanya dia akan tetap bangun pada malam hari dimana orang dewasa terlelap. Disentuhnya pipi montok irin dengan pung jemari. Betapa lembut kulitmu, sayang. Dilihatnya juga Andre yang tengah bermain dengan panser dan tank, tak jauh dari ranjang Irin. Kalian tidak tau, bukan? pikir Intan seperti melamun. Kalian tidak tau ayah kalian telah mencintai orang lain selagi Irin masih ada dalam perut Mama dan baru saja Mama tahu tentang hal itu? Apakah kalian sanggup kehilangan Papa karena Mama tak sudi dimadu? Tapi jangan takut, sayang. Mama akan tetap mengijinkan Papa membawa kalian sekali-sekali supaya kalian tidak merasa kehilangan. Namun kalau kemudian hari ada Papa baru, kalian harus tetap tinggal bersama Mama. Sebab Papa juga akan memiliki anak-anak kecil lain yang didapatkannya dari perempuannya. Mungkin bahkan lebih lucu dari kalian. Siapa tau, seperti dalam dongeng, isteri Papa lalu jadi judes pada kalian dan akan menggoreng kalian dalam sebuah kuali besar!
Setetes air jatuh ke tangannya.
Intan memandangnya dengan heran. Menangiskah aku? Selama dua hari dua malam, tak setitikpun airmata membasahi pipiku. Lalu, kenapa hari ini aku musti menangisinya?
Intan kemudian duduk di depan meja rias, mencoba menghapus matanya yang basah dana menutupnya dengan olesan make up. Dia tetap ingin kedua matanya cerlang tanpa kabut kesedihan. Dicobanya teersenyum manis. Ya, Intan tak ingin kelihatan muram betapapun kesedihan itu mendera batinnya.
Apakah aku telah kalah? pikirnya lagi seraya menatap wajah di cermin. Kalau benar aku harus kalah, apa yang harus kulakukan? Yang jelas, aku tak ingin mereka melihat kekalahanku. Dengan cara apa mereka menyingkirkanku? Perceraian, pembunuhan, atau apa? Ih, serem banget kalau mereka harus menghabisiku, sebab aku tak akan menahan Abi untuk tetap berada disisiku. Kalau perempuan itu mengambilnya, dan Abi menginginkan dirinya menjadi suaminya, ya silakan saja.
Intan masih tetap duduk mematung di depan cermin meja rias. Berada dalam kemar sesepi itu, dia merasa bagai ditelan kesunyian yang pekat. Intan merasa sendirian saja di dunia dan jerit yang menggelegak dalam jiwa lebih menyerupai sebuah rintihan pilu. Rintihan yang tak terucap melalui kata-kata.
Sesungguhnya bagi Intan, Abi adalah sebuah jelmaan damba. Adalaah sosok lelaki yang dapat membeerikan rasa aman dan rasa terlindung. Rasa dimana dirinya bisa bergantung dan menyandarkan harapan. Tetapi kini,…ya Tuhan. Intan mengeluh dalam-dalam. Ya Tuhan, kubutuhkan sesuatu yang bisa melemparkanku dari alam mimpi itu!
Suara ketukan di pintu membuatnya menoleh terkejut. Sesaat kemudiaan muncul wajah tua mbok Minah, pembantu Mama yang kebetulan dipinjamkan untuknya, mengatakan bahwa ‘den’ Tommy telah datang.
“Suruh duduk di ruang depan, mBok. Sebentar lagi aku keluar. Dan tolong bikinkan es markiza, ya?”
Pelayan tua itu mengangguk kemudian menutup kembali daun pintu kamar tanpa suara. Mbok Minah selalu sopan dan tidak berisik. Itu sebabnya Mama mempercayai mBok Minah untuk ikut dengaan Intan belakangan ini.
Sekali lagi Intan meneliti make up di wajahnya. Cukup sempurna, meski masih ada sedikit kabut menggantung di mata, namun penampilannya masih cukup baik. Tak ada lagi sembab yang berlebihan, dan kulit wajahnya masih tetap licin dan berkilau seperti biasanya.
Perlahan dia bangkit dari duduknya, dan melangkah lambat-lambat ke ruang depan. Tommy berdiri tatkala melihat dia datang. Bibir kerasnya terkatup, tanpa dapat mengucapkan kata-kata walau hanya sekedar kata ‘halo’ pada Intan. Dilihatnya perempuan itu tersenyum tipis.
“Silakan duduk, Tom,” sapa Intan dengan suaranya yang lembut.
Mereka duduk berhadapan dalam kebisuan. Beberapa detik berlalu tanpa ada yang berkeinginan membuka percakapan. Mereka sudah sama-sama menyadari bahwa kemelut yang sedang dihadapi, nyaris sama.
“Kemarin Anita datang ke rumahku. Mbak yang menyuruhnya?” tanya Tommy kemudian.
“Ya, aku yang memintanya untuk menyuruhmu kesini. Kau tidak sedang sibuk kan?”
“Sibuk?” Tommy tertawa. “Aku sekarang pengangguran, Mbak.”
“Sorry. Karena mas Abi, kau jadi kehilangan pekerjaan. Belum ada tanda-tanda mendapat pekerjaan baru?”
“Sekarang ini sulit mencari pekerjaan yang cocok.”
“Kalau mas Abi memintamu kembali, bagaimana? Kau mau?”
Tommy menunduk, tersenyum getir. Sulit memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Rasa-rasanya sakit hatinya belum lagi hilang.
“Kalau aku yang memintamu?” desak Intan lagi.
Tommy tetap menundukkan wajah ke lantai.
Intan menghempaskan nafas panjang.
“Jadi kau masih belum bisa memaafkannya,” ujarnya pelan.
Tommy mengangkat wajah, menatap Intan dengan perasaan bersalah.
“Kondisinya tidak seperti itu,” sahut Tommy cepat. “Bukan masalah maaf memaafkan. Barangkali justru akulah yang paling bersalah. Tapi terus terang, kali ini aku memang tidak sependapat dengannya. Kalau kupaksakan, pasti akan semakin buruk keadaannya. Aku minta maaf.”
“Aku tau maksudmu, Tom. Kau amat menyayangi keluarga kami. Biarkan aku yang minta maaf kepadamu atas nama suamiku.”
“Masalahnya soal harga diri. Tak ada yang berubah antara kalian dan aku. Tetapi untuk kembali bekerja bersama-sama mas Abi, belum terpikir olehku. Biarkan dulu seperti ini. Mungkin nanti, entah kapan, kami akan rujuk kembali. Sekali lagi, maaf.”
Intan mengangguk. Dia cukup mengerti. Harga diri, ya, barangkali cuma itu yang masih kita miliki di kehidupan kita saat ini, dan kalau itu terinjak lumat, apalagi yang kita miliki? Kalau aku memaafkan Abi, apakah itu berarti aku bakal kehilangan harga diri? Pusing, Intan benar-benar pusing.
“Tom…”
Tommy membalas tatap mata Intan.
“Tom, aku sudah tau masalah Hapsari. Aku menemukan surat perempuan itu di laci.”
Tommy tersentak kaget.
“Sungguh kusesalkan, bahwa akulah orang terakhir yang mengetaui hal ini. Kenapa kau tidak mengatakannya sejak awal? Kau tidak perlu mengelak, aku tau kau sudah mengetauinya sejak lama sebab kaulah satu-satunya orang terdekat suamiku. Katakan padaku tentang perempuan itu. Meski terlambat, paling tidak aku tau apa kelebihannya dan apa kekuranganku sehingga mas Abi tega berbuat seperti itu kepada kami.”
Tommy menelan ludah. Sejuta perasaan bersalah kini membelit hatinya. Sebenarnya bukannya tidak mau tau, tetapi sudah berkali-kali Tommy mengingatkaan Abi tentang hubungan terlarang mereka yang bakal berakibat fatal seandainya Intan menangkap basah hubungan itu. Berkali-kali pula Tommy mengingatkan agar Abi meninggalkan saja Hapsari sebelum perempuan itu menggulung dunia dalam tangannya dan lebih baik kembali saja pada arah arus yang sebenarnya. Tetapi apabila seseorang sedang dilanda asmara, masih maukah dia mendengarkan nasihat orang lain? Nalurinya sudah mengatakan jauh hari sebelumnya bahwa akan terjadi sesuatu pada rumah tangga sahabatnya itu kalau hubungan gelap itu masih diteruskan. Semuanya itu hanya akan membuat Intan sengsara dan tercampak.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar