Jumat, 22 Januari 2010

SELEMBAR DAUN DI UJUNG MUSIM


Rumahku memang tidak terlalu besar karena selama ini aku tinggal sendirian semenjak suamiki, Hardono pergi dengan perempuan lain meninggalkanku. Walau begitu, aku tidak pernah lagi memikirkannya semenjak Hans datang mewarnai hari-hariku beberapa bulan belakangan ini. Keluarga besarku, seperti ibu, adikku Monik maupun abangku Rudy tidak pernah tahu tentang hal itu, sampai suatu hari…
Sengaja aku duduk di sudut tersembunyi mengamati tingkah laku orang-orang yang berlalu lalang disekitarku. Sesekali kulihat ibu masih juga membersit hidung dan menghapus airmata yang tak kunjung kering dengan saputangan. Sementara itu, beberapa orang masih suka bergunjing dan mempertanyakan kejadian yang baru saja kami lewati. Namaku disebut-sebut dengan suara yang teramat pelan agar tak sampai ke telinga ibu. Heran, kenapa mereka tidak mendatangiku saja dan bertanya langsung kepadaku? Tidakkah mereka melihat aku duduk disini menunggu tegur sapa mereka, meski cuma sepatah kata saja?
Kusaksikan kemudian, Monik masuk ke kamarku. Dilipatnya seprei dan selimut yang penuh bercak di sana sini, kemudian dijatuhkannya di lantai. Kugelengkan kepala dan bergumam sendirian, Nik…Nik, kenapa lama betul kau menangis? Apa sih yang kau sedihkan, toh aku masih disini. Kuikuti dia ke kamar. Wajahnya pucat tanpa lipstick, matanya sembab sisa tangis semalaman.
Kini giliran meja rias yang ia rapikan. Seluruh alat kecantikanku dimasukkannya ke dalam sebuah kaleng bekas biscuit, kemudian disisihkannya ke sudut. Aku duduk ditepi ranjang menatapnya dengan sedih. Biasanya, dulu, dia selalu mengadukan semua masalah dan kekecewaannya padaku. Kini kenapa dia diam saja sedangkan ada aku disini?
Kuraih sisir yang masih tertinggal di atas meja, tapi…ampun! Ada apa dengan tanganku ini? Sungguh aku tak kuasa menggenggam sisir itu hingga jatuh ke lantai. Kudengar Monik menjerit. Jeritannya membuat banyak orang menerobos masuk dan bertanya-tanya, ada apa, kau melihat sesuatu?
“Ada apa Monik?” Tanya ibu dengan suara tertekan. Wajah ibu terlihat lelah sepertinya kurang tidur sejak semalam.
“Sisir itu…sisir itu tiba-tiba saja jatuh.”
Untuk beberapa saat ibu terdiam. Mereka hanya berpandangan seakan-akan saling bertanya akan sesuatu yang cuma mereka saja yang tahu.
“Ah,” desah ibu, “Barangkali secara tak sengaja kau menjatuhkannya ke lantai.”
“Tidak, sungguh aku tidak pernah menyentuhnya. Sisir itu tiba-tiba saja jatuh dan itu membuatku kaget.”
Ibu menghela nafas, dan kulihat bibirnya berkomat kamit memanjatkan doa.
“Sudahlah,” katanya, “Biarkan saja. Mungkin Sisi memang sedang ingin memakainya.”
“Ibu! Ucapan ibu hanya menakutkan kami saja.”
Monik kian bergegas membereskan kamar. Tak kusadari, aku jadi tertawa geli8 menyaksikan dia begitu ketakutan mendengar ucapan ibu tadi. Memang kenapa kalau aku sedang ingin memakainya, Nik?
Kau terlihat takut benar seakan mau bertemu hantu saja! Kataku. Tapi Monik samasekali tidak menghiraukanku, atau memang dia betul-betul sudah tidak mendengarkan pertanyaanku? Sudah benar-benar tulikah adikku yang cantik ini?
Satu demi satu mereka keluar dari kamar meninggalkan Monik meneruskan pekerjaannya membereskan barang-barangku. Lama ia tertegun saat akan mengangkat sebuah pigora besar dimana wajah Hans tertawa lebar disitu. Jemari Monik membelai permukaan kaca bingkai dengan sangat hati-hati seakan takut sentuhan itu akan mencederainya. Kudekati dia dan kubisikkan di telinganya,
“Dia gagah, kan?” ujarku tersenyum. “Lihatlah tatapan matanya. Bukankah mengingatkan akan jernihnya sebuah telaga yang menyimpan sejuta misteri di dalamnya? Kau tahu? Aku mencintainya, Nik, amat sangat. Kendati kita tahu, dia tak lagi bebas. Dia sudah menjadi milik Ning, sahabatmu. Ah, bagiku itu tak penting. Yang terpenting, dia telah memompakan semangat hidupku kembali setelah kuketahui Hardono mengkhianati perkawinan kami. Meninggalkan derita dan kepedihan yang sangat, tak perduli akan tanggungjawab dan sumpah sacral sebuah pernikahan.”
Kudengar Monik tersedu pelan, amat pelan dan tertahan-tahan.
“Banyak hal,” kataku lagi, “dalam diri Hans yang menyenangkan diriku. Kutemukan banyak hal yang tak dimiliki Hardono. Cara dia tersenyum, cara dia teertawa dan berbicara,…tanpa kusadari, sebuah awal hubungan telah terjadi. Entah kenapa, aku kemudian merasakan gairah baru menggebu dalam jiwaku. Aku tak tahu persis bagaimana asal mulanya, tetapi hubungan yang akrab telah terjalin antara aku dan dia. Katakan padaku, apakah salah aku mencintai dia sementara Hardono sendiri pergi dan tak pernah kembali?”
Aku menoleh kearah Monik duduk lesu di depan meja rias. Kedua tangannya masih juga memegangi pigora yang membingkai wajah Hans yang tak lepas-lepas dipandanginya dengan kedua mata basah oleh airmata. Anak manis, bisikku dalam hati, mengapa tangismu tak kunjung selesai?
“Menurutmu, apakah cinta itu, Nik? Cinta,…” kataku, “…merupakan kebutuhan setiap manusia normal, boleh dimiliki siapapun. Tanpa cinta, tanpa kasih saying, kita akan sulit memahami keberadaan seseorang di tengah kita. Mengenai hubungan kami, aku merasa bahwa dia adalah sosok idola yang menimbulkan semangatku. Dia merupakan gambaran pribadi yang penuh semangat hidup, penuh cita-cita. Optimis, namun tanpa basa basi dalam menerima kodratnya. Dia yang penuh rasa syukur terhadap Tuhan, mengajarkan padaku akan arti kehidupan yang sebenarnya.”
Monik masih tetap diam membisu dalam ketidakmengertian akan kata-kata yang kuucapkan. Jangankan mengerti, mendengarkan saja belum tentu. Kudengar hela nafasnya. Aaah,…! Sesalku. Mengapa masih saja kau tatap foto itu, Nik? Ayo, letakkan saja pigora itu ditempatnya semula dan berbaringlah di dekatku
“Ternyata,” lanjutku sambil bersila di atas kasur, “…dia menerimaku apa adanya, sepertihalnya aku menerimanya apa adanya. Kami merasa sama-sama gelisah bila tak punya kesempatan untuk bertemu. Beberapa hari tak jumpa, rasanya kangen. Bagiku ini adalah awal petualangan yang menggairahkan. Gairah itu menggebu. Rasa rindu kian hari kian menyala. Keinginan untuk bertemu yang terus memburu merupakan daya tarik yang amat memikat. Hingga tiba-tiba tanpa kami sadari, kami sudah lebih jauh melangkah. Aku tak tahu, apakah ini merupakan sebuah pengkhianatan seperti apa yang dilakukan Hardono terhadap perkawinan kami? Tapi,…ah. Rasanya kau masih terlalu muda untuk tahu apa itu perselingkuhan. Sebentar lagi kau lulus Universitas, apa kau sudah punya kekasih? Ingat Nik, carilah pemuda yang tidak saja bependidikan tinggi, tapi juga beriman dan bertaqwa. Jangan cari yang seperti Hardono, ya?”
Monik meletakkan pigora itu ke tempatnya semula. Di dekat foto itu ada diletakkan orang cawan berisi bunga rampai. Baunya, uf! Tetapi yah, sudahlah. Orang-orang maunya begitu sih.
“Terkadang muncul perasaan egoku,” kataku sambil tertawa kecil. “Aku toh sudah tahu bahwa dia sudah beristri. Tapi kenapa juga setiap kali kami batal bertemu, aku selalu ngambek. Kau bias lihat semua yang kurasakan dalam buku harianku, itu, ada di laci paling bawah meja rias. Namun ada beberapa halaman yang sengaja kumusnahkan karena aku sudah terlalu malu untuk membiarkan orang lain membacanya. Ambillah, dan bacalah keras-keras, agar aku bias ikut mendengarkannya.”
Monika membuka laci paling bawah dan menemukan sebagian kecil sisa buku harianku yang masih belum sempat kumusnahkan. Seperti saranku, Monik mulai membaca dengan gumam yang sedikit keras.
5 juni ‘87
Hal-hal semacam ini kadang kurang mendapat perhatian orang-orang pintar yang mengaku punya kelebihan otak. Bagiku pribadi, selain punya otak seseorang yang masih ingin disebut manusia haruslah memiliki rasa dan harga diri. Sebab itulah yang membedakan kita dari binatang.
Rasa, itu penting. Bagaimana jadinya orang pintar yang kehilangan rasa? Rasa di dalam hati, dan otak di dalam benak kita haruslah berjalan selaras. Tapi ini cuma pendapatku pribadi. Terserah orang mau bilang apa. Rasa-rasanya aku tak perlu harus peduli.
Monik berhenti membaca sejenak untuk menghapus air mata yang bergulir di pipinya. Aku tersenyum menatap langit-langit kamar. Yang kaubaca itu, kataku, cuma tinggal sebagian, Sebagian besar lainnya telah jadi santapan api dapur.
Monik kembali membaca, kali ini terputus putus karena desakan dada yang dirasakannya menyesak.

7 juni ‘87
Setelah lama aku menunggu dering telepon yang tak juga berdering, akhirnya kau menelponku juga untuk membatalkan rencana pertemuan kita dikarenkana harus menjemput Ning yang dating dari Bandung. Kau tahu, apa yang kurasakan saat itu? Atau tahu, tapi tak berdaya melakukan sesuatu untuk sekedar menghiburku? Ternyata aku kalah. Kalah karena status yang tak jelas. Kekalahanku karena harus terus menunggu dan menunggu sisa waktumu bersama Ning, membuatku mengambil satu keputusan drastis. Sambil mengatubkan bibirku yang gemetaran, kuambil secarik kertas, lalu kutulis: Maaf mas Hans, rasanya aku sudah teramat lelah. Untuk itu, tolong, jangan temui aku lagi hari ini dan seterusnya! Lalu kusuruh seseorang mengantarkannya ke rumahmu. Sungguh aku tak peduli lagi apakah surat itu akan diterima Ning atau kau sendiri. Tetapi tahu tahu kau menelepon dan dengan suara bariton yang kaumiliki, kau bilang, bahwa kau masih menyimpan dua butir peluru.
“Untuk apa peluru-peluru itu?” tanyaku tak mengerti.
“Untuk diri mas Hans sendiri. Suratmu itu memang akan menimbulkan akibat yang fatal bagi mas Hans,” jawabmu lugas.
“Fatal bagaimana maksudmu?”
“ Itu urusan mas Hans, kecuali kalau kita bisa bertemu besok pagi. Kutunggu di tempat biasa.” Lalu hubungan telepon kauhentikan.
Untuk beberapa saat aku tak bias bilang apa-apa. Apa boleh buat, pikirku. Kau selalu mampu berbuat apa saja.
8 juni ‘87
Apapun acaranya, siang ini akan sangat menjengkelkan bila ditulis. Tak ada yang istimea selain kau ajak aku dank au perkenalkan pada Modesta, gadis asal Papua yang minta tolong agar kau bantu agar bias masuk jadi anggota polri sepertimu. Syukurlah dia masih mau bersikap manis padaku kendati aku tahu dia cukup mengenal Ning dengan baik.
19 juni’87
Saat saat terakhir seperti ini sebaiknya kita nikmati detik demi detik. Karena besok kau sudah tak ada lagi disini. Entah di Jakarta, entah di Padang. Yang penting bagiku waktu yang tinggal sekejaran detik lonceng ini ingin kulewati dengan berdiam diri saja, mengamati setiap lekuk wajahmu, dagu, bibir, dan matamu. Kudengar dan kuhisap setiap desah nafasmu. Semua itu akan aku pateri dalam relung jiwaku.
“Jangan cengeng ya,” katamu dengan lingkar mata memerah, “nanti mas Hans jadi ikut cengeng.”
Aku tertawa mendengarnya.
Cengeng, katamu? Oh, tidak. Mungkin aku pernah menangis tatkala merasa bakal kehilangan kau untuk selamanya. Tapi hari ini aku seakan telah kehilangan kecengenganku. Sebab aku telah merasa puas melakukan pelayanan. Semuanya tuntas kuberikan padamu, mulai dari uluran smpati, hingga airmata. Untuk itu aku merasa cukup kuat menabahkan hat pada saat-saat sepert in. Atau bias juga karena berpegang pada ucapanmu tempo hari bahwa kau akan tetap konsisten dengan segala ucapan, janji dan tindakanmu.
Kau juga pernah mengatakan: “Bila nanti kita bias saling memiliki, teerimalah mas Hans apa adanya dengan plus minusnya. Dan anggaplah semua ini sebagai karunia Tuhan semata.”
Monik membalik-balik beberapa halaman yang robek atau hangus.
Kupandangi sekitarku dengan kesedihan yang sarat. Sementara itu gerimis di luar sudah berubah jadi hujan yang cukup deras. Desember selalu sama dengan musim hujan. Anehnya, kenapa aku tak juga merasa sejuk berada dalam kamar berjendela besar besar yang terbuka lebar lebar seperti ini?
Mau tak mau saat-saat sepi seperti ini menimbulkan kumparan ingatan kembali beerpusing antara saatu tempat ke tempat lain dimana kami pernah bersama-sama. Ke suatu tempat yang sangat akrab dengan aroma lumut dan pinus. Suatu tempat dimana kami saling ngobrol dan bercerita tentang makna dan misteri sebuah kehidupan. Dimana dia ajarkan tentang kebijakan Tuhan yang selama ini belum kumengerti. Kesunyian seperti ini otomatis menyeret lamunanku untuk ingat pada kebersamaan kami. Bayang-bayang ittu terus bersemayam disini, di benak, di pelupuk mata, di lengkung langit hati.
Kutekan dada kuat-kuat. Gemuruh dalam dada ini nyaris tak teratasi. Bagai gila rasanya saat mencoba menahan semua gejolak ini agar tetap rata dan licin bagai permukaan kaca. Biarlah hening, biarlah bening, tanpa gemuruh badai yang menghempas dinding-dinding hati.
Kudengar Monik kembali membaca. Hanya saja kali ini halaman itu kehilangan separuh bagiannya. Entah pada tanggal berapa aku menulisnya.
Masih panjang hari yang harus kita titi sebelum Tuhan mempertemukan kita kembali. Masih berapa lamakah itu? Jawabannya Cuma ada pada Tuhan. Semoga hari hari dan waktu yang berjalan bagai keong ini lebih banyak mengajarkan tentang ketabahan dan kesabaran bagiku. Toh masih tersisa waktu dalam hidup kita untuk bertemu dan menyatu, bukan saja badani namun jiwa kita juga akan menyatu. Agar tak ada lagi jarak. Tubuhku tidur dalam pelukanmu. Ketelanjangan kita tak boleh mengingkari kenyataan itu.
Monik memejamkan mata. Sebuah anak sungai mengalir deras dipipinya. Ia menghaapusnya dengan diam-diam. Ditahannya isak tangis sekuat tenaga, ditelannya air matanya lambat-lambat.
Monik, senyumku,betapa ingin kubelai rambutmu. Betapa ingin kuusap matamu dalam kecupku. Tapi tubuhmu terlalu panas bagiku. Aku akan meleleh bila kupaksakan diriku memelukmu. Ingin aku seddikit lebih lama disini, menikmati hujan bersamamu, menikmati dinding kamar rumah hadiah bapak saat kunikahi Hardono, tapi…
“Kau ingat jam jam dimana kita biasa bersama-sama?” Monik melanjutkan membaca dengan suara terngau.
Dalam hubungan interlokal dengan suara riang kau menyapaku. Katamu waktu itu,: Tahu? Mas Hans masih ingat semuanya. Ingat pada matamu, ingat pada senyummu, ingat pada tetes keringatmu. Pokoknya ingat semuanya! Kemeja yang kutinggalkan dulu sudah kaubawa ke binatu, sayang?
Aku tertawa mendengar keceriaan dalam suaramu, mas. Kemeja yang kau maksud itu memang seharusnya sudah sejak lama masuk ke binatu. Namun itu tak kulakukan. Kemeja justru masih ada tergantung di hanger dalam kamar tidurku agar setiap saat bias kupandang dan kuhirup aroma tubuhmu yang tertinggal disana. Pada lengannya ada sisa bercak merah minuman Fanta. Kau ingat saat gelas berisi sofdrink itu menumpahi kemejamu? Ada bekas lipstick di kelepak nya, hingga kau begitu takut membawanya pulang ke rumah kalian.
Suara sandal yang diseret membuat Monik cepat-cepat menghapus airmata dan menunda bacaannya. Ditengah bingkai pintu, abangku, Rudy, berdiri tegar menatap aneh kea rah Monik. Dia mendekat dan duduk bersila di sisi Monik, lalu katanya,
“Untuk apa kau membacanya? Bikin sedih saja.”
Monik menyandarkan kepalanya ke bahu Rudy dan bicara gagap,
“Kasihan dia, kasihan dia…”
Rudy memeluknya erat. Kurasakan sudut mataku memanas. Mereka ini adalah orang-orang yang teramat kucintai. Kami bertiga selalu rukun dan saling mengasihi. Tapi kasihku pada Hans memang sudah tak bisa dibendung. Aku sudah terlanjur mencintainya, amat sangat. Dan Cuma itulah yang bias kulakukan, mencintai Hans dengan seluruh jiwaku.
Kini Rudy yang membacanya dengan suara pelan. Suaranya melantun membelah malam yang kian larut.
14 nopember ‘87
Bumi berselimut hitam. Begitupun pasir di pantai kotamu, hangus menjelaga. Laut terasa tinggal usapan pedih. Ketika rindu ditelan rahang cakrawala, telapak hilang jejak, anganpun hilang pijak. Mungkinkah sebentar lagi nadi berhenti berdetak? Setelah menyayat sisa bayangmu yang memudar, kucampakkan di kaki bukit hatimu. Asekeping demi sekeping tinggal puncaknya. Karena meratapi rentangan jarak.
Rudy tersenyum tipis. Entah darimana dia belajar menulis puisi ini? Katanya. Namun kemudian dia meneruskan lagi bacaannya.
19 Nopember ‘87
Surat dari Adiyaksa, sahabatku, yang tinggal sekota denganmu. Sengaja kukabari dia bahwa kau, orang yang paling kucintai, pindah dinas kekaotanya. Surat sahabatku itu cukup simpatik. Kalimatnya yang sederhana, lugas, penuh arti yang kemudiana mampu mencakup hamper semua pendapatnya tentang kita. Meski ada keheranan dia mengenai hubungan tak jelas yang kita jalani in, pada hakekatnya dia mendukung. Pada akhir suratnya itu dia menulis,: Oke, jika dia muncul dalam beberapa hari ini ke rumahku, tentu kau akan segera kukabari. Pokoknya beres deh!
Selain surat Adiyaksa, aku juga menerima beberapa lagi surat dari teman-temanku. Semua itu aku balas pada hari ini juga. Kau tak marah kan, kalau aku sengaja melakukannya hanya untuk sedikit berpaling dari segerobak rindu tak terbendung ini?
Kadang aku ingin melepaskan diri dari belenggu rindu yang menyiksa ini, sebab sejak kau berangkat ke Padang tumbuh kelengangan dalam jiwaku. Ibu mengatakan, apabila perasaan sepi dan kosong merajai hati, kita harus mengisinya dengan doa. Doa, ya doa. Rasanya aku tak pernah lepas dari doa sejak mengenalmu secara akrab. Kesinisanku pada hidup dan kejujuran mulai mencair, dan mulai bias mengucap syukur dalam setiap doa yang kupanjatkan.
Tuhan sudah mau sedikit bersikap ramah kepadaku dengan cara menurunkan engkau ke tengah-tengah perjalanan hidupku. Tak berani aku membayangkan apa yang akan terjadi seandainya Tuhan memisahkan kita buat selamanya. Ikhlaskah aku apabila itu harus terjadi?
22 Nopember ‘87
Dalam percakapan interlokal kau berkata berulang-ulang, “Ikhlas ya sayang, ikhlas, ikhlas, ikhlas.”
Aku tak mengerti apa maksudmu berkata seperti itu berulang-ulang. Padahal sebenarnya ingin kukabarkan kepadamu bahwa apa yang telah kautitipkan padaku tempo hari, telah tumbuh dalam rahimku. Aku akan dan selalu mencintainya, dan berjanji akan memeliharanya baik-baik. Tetapi untuk sementara ini aku tak merasa harus terburu-buru. Ada yang lebih penting ingin kutanyakan yaitu tentang perkataan ikhlas yang kau maksud.
“Kita harus ikhlas, karena mungkin mas Hans akan lama di Padang,” jawabmu tatkala aku mendesakmu.
Sebenarnya, keikhlasan itu sudah sejak lama kucoba mengaturnya dalam benakku, kuamalkan, dan selalu itu yang kuminta pada Tuhan dalam setiap doaku. Namun aku sendiri tak begitu yakin, akan berhasilkah aku menjadi seseorang yang ikhlas lahir batin, dalam arti yang sebenar-benarnya, menerima kodradku seperti ini? Aku tidak tahu, sungguh, aku tidak tahu. Bahkan pada saat-saat sendiri dalam sepiku, aku suka menyudutkan diri sendiri. Ikhlaskah aku bila sepanjang waktu harus jatuh dalam situasi dan kondisi ketidakberdayaan seperti ini? Ikhlaskah aku bila harus terus menerus berkorban demi cinta dan meneriakkan slogan kepengecutan manusia yang mengatakan bahwa cinta tidak selamanya harus saling memiliki?
Tidak, tidak.
Samasekali itu tidak mungkin.
Cinta itu egois. Dan terutama. Aku bukan termasuk golongan mereka yang menyerah sebelum bertanding. Tetapi kalaupun aku harus kalah, aku akan membuat kemenangan Ning kemenangan yang tidak mudah. Dan aku baru akan menerima kekalahan itu dengan suatu kepuasan yang takkan terbayangkan oleh siapapun, tidak juga Ning. Memang, resiko kearah itu sejak lama kusadari. Sebab pernah kudengar orang berpendapat, seorang suami yang berselingkuh pada akhirnya akan kembali kepada istri, cinta pertamanya. Maka kalau suatu saat seorang suami kembali kepada istrinya dan pergi meninggalkan kekasihnya, sebenarnya itu bukan barang baru. Itu lagu lama. Terus terang, kalau itu terjadi, rasa-rasanya keikhlasanku jadi kabur, dan carut marut. Keikhlasanku itu akan jadi serupa darah yang tenggelam dalam nanah.
Kaupikir, apakah aku akan jadi pendendam karena merasa dipermainkan? Tuhan Maha Tahu, apa yang bakal terjadi dalam diriku nanti. Yang jelas, penilaianku terhadap laki-laki jadi semakin lengkap. Barangkali yang tersisa dalam diriku hanya penyesalan, mengapa aku terlalu cepat memutuskan untuk menerima laki-laki yang sedang lapar.
Kini aku cuma berupaya agar pikiran-pikiran jelek dan prasangka-prasangka buruk itu dijauhkan dari benakku yang selalu berpasir. Aku akan selalu berusaha meyakinkan diri maupun hatiku sendiri, dan mencoba untuk terus menerus berbisik tentang konsistensi dirimu seperti yang kaujanjikan.
23 Nopember ‘87.
Hari ini adalah hari kesekian puluh setelah terakhir kali kita bertemu. Masih terlalu singkat bila dibandingkan dengan rentang waktu yang mesti kita songsong. Tapi alangkah lama bagiku rasanya berpisah. Kadang terbetik dalam benak, adakah kau masih menyimpan rindu untukku?
Hidup kita memang seperti tidur. Yang selalu bingung di setiap mimpi karena tak kenal rumah sendiri. Dari gelap menyusur gelap. Tapi memang seperti itulah hidup yang sesungguhnya. Tidurpun laksana tak sempurna jika tiada mimpi memenjarakan kita. Seperti bintik-bintik api dalam kelam, bunga-bunga sepi bertebaran menggemintang. Kemerlip dalam senyap malam. Bintik-bintik itu, mas Hans, akan tetap bertahan disini, dalam hati. Tuhan, tetaplah beri aku kekuatan.
30 Nopember ‘87
Aku sudah sampai pada lereng kejenuhan sebuah penantian yang tak kunjung selesai. Benarkah pada saat lalu aku Cuma bermimpi.
Rudy menghela nafas panjang. Kepalanya jatuh tertunduk dalam dalam hingga ke dagu. Jemarinya meremas rambut ikalnya. Diletakkannya lembaran-lembaran sisa buku harian itu ke lantai. Rasanya dia sudah tak ingin lagi melanjutkan membaca sebagian sisa yang lain.
Hujan di luar mulai reda, meskipun butir-butir hujan masih tetap rapat bagaikan jarum-jarum halus yang berbaris turun dari langit. Hujan setetes-setetes menempias melalui jendela yang terbuka, masuk ke kamar. Dingin menggigilkan. Dinding kamar ini serasa kian kelabu di mataku.
Ya, memang. Hari-hari berikutnya tak lagi sempat kutulis. Namun kejadian berikutnya membayang jelas di pelupuk mataku. Tak kuduga, malam itu Hans datang dalam pakaian dinas yang menurutku sungguh keren. Dadanya yang tegap dan bahu yang tidak luruh, membuatnya mempesona sehingga pernah suatu saat, dulu, dia merasa jadi polisi paling ganteng di Indonesia.
Kebahagiaanku serasa tumpah saat dia merentangkan lengan lebar-lebar dan membiarkanku tenggelam dalam dekapnya. Gema yang masih tersisa pada pagar kembang tak wangi ketika kalut mengetuk, mendadak sirna dalam sekejap. Kebersamaan kami malam itu alangkah tulus.
“Tumben,” kataku tersenyum. “Tak biasanya kau dating dalam pakaian kebesaran seperti ini. Lagian kenapa tahu-tahu ada disini, desersi heh? Lari dari kantor? Rasanya bentang jarak y6ang pernah kita bayangkan itu tak cukup jauh dan mudah terjangkau oleh tangan-tangan kerinduan kita, ya Mas? Nyata mudah saja kan, pesawat banyak.” Candaku sambil bermanja-manja.
“Aku kangen,” katanya. Dikecupnya aku lembut. “Aku kangen ingin melihat anakmu tumbuh di perutmu,” lanjutnya. Wajahnya tak sedikitpun terlihat tengah bercanda. Dia keliatan serius kali ini. Keceriaan humor maupun tertawa ngakak segarnya, sejak tadi tak terlihat.
Aku masih mencoba bergurau.
“Anakku saja? He! Ini anakmu juga, tahu!”
“Ya, anakmu adalah anakku juga. Anak kita. Puas?” Dia tersenum manis. Tipis saja. Dan itu terasa aneh buatku. Tangannya membelai rambut poniku, menyibakkannya dan mengecup kedua mat dan keningku lama sekali. Kemudian dikecupnya bibirku lembut. Ah, Hans. Betapa cintanya aku padamu.
“Aku ingin kita seperti ini, bersama untuk selamanya,” katanya.
“Aku tahu,” jawabku.
“Kita tak akan berpisah lagi.”
“Tak akan.”
Mendadak aku ingat akan Ning. Kutatap kedua matanya tajam.
“Bagaimana dengan Ning? Dia…dia sudah tahu? Sudah setuju kalian bercerai?”
Beberapa lama dia tidak menyahut. Kedua matanya menerawang ke langit-langit kamar.
“Sis,” katanya. “Semua sudah kukatana pada Ning. Dia tidak pernah ikhlas melepaskanku untuk dimiliki orang lain.”
Leherku serasa tercekik.
“Begitu?” desisku. Suaraku menggaung di udara. Sungguh aku jadi tak kenal lagi suaraku.
“Jadi…maksudku…dia…?!”
“Ya.”
“Mas, seharusnya kalian punya anak, idealnya kan begitu.” Kataku terbata-bata.
“Memang seharusnya begitu.”
“Mengapa kalian tak juga punya anak?”
Hans berpaling ke arahku.
“Mana aku tahu,” jawabnya kecut. “Yang aku tahu, Ning tak mau karirnya terganggu hanya karena perut yang gendut.”
“Oh.”
Dihelanya sehempas nafas.
“Sis, aku tak punya alasan kuat buat menceraikan Ning. Beberapa waktu belakangan ini, aku sudah mencoba mengadakan konsultasi dengan beberapa orang atasanku, nyatanya alas an yang kuajukan tidak mendapat ijin untuk sebuah perceraian.”
Segores torehan panjang melukai hatiku. Kukatupkan kelopak mat. Memejam dengan dada perih. Mengapa mendadak tumbuh dalam hatiku sebuah tuduhan bahwa Tuhan tak juga mau bersikap ramah kepadaku?
“Kita harus selalu bersama-sama,” katanya tiba-tiba memecah kesunyian.
“Oya? Tolong katakan, dengan cara bagaimana?”
Tangannya bergerak ke bawah bantal, dan …astaga! Dia menggenggam sepucuk pistol!
“Dengan ini,” desisnya. “Kau. Aku. Dan anak kita.”
“Kau sudah gila, mas Hans.” Kataku gemetar.
“Kau takut?”
Takut?
Takutkah aku bila semua ini dia lakukan demi kebersamaan kami setelah semuanya buntu? Tidak. Rasa takut itu sudah lama sirna. Namun bagaimanapun aku masih tak menginginkan sebuah cerita tragis mewarnai kehidupanku yang singkat ini.
“Tidakkah ada jalan lain?” tanyaku.
“Tidak ada. Kecuali aku keluar dari dinas. Tapi aku yakin, kita tak akan menginginkan hal seperti itu.”
“Kenapa tidak?”
“Tanpa pekerjaan, tanpa masa depaan yang berarti, aku tak akan berani memintamu untuk jadi istriku. Kalau kita nekad, setiap warga yang keluar dari dinas, sulit mendapat pekerjaan dimanapun tempatnya, kecuali berwiraswasta. Sisi, aku tahu, aku tak punya keahlian lain yang bisa diandalkan untuk memberimu kehidupan yang baik, aku tak sanggup jadi gelandangan dalam arti, hidup pas-pasan. Dan aku tak ingin anak kita jadi anak seorang mantan perwira yang menggelandang.”
Aku terisak.
Inikah akhir dari segala mimpiku? Bagai sekuntum duri yang hidup abadi dalam hati. Bagai pelangi dalam mimpi. Bagai ancaman dalam harapan. Bagai tuba dalam asmara!
Ibarat kata, hari-hari ini merupakan perjalanan terakhir bagi kami. Ibarat cuci mulut sehabis makan, sekarang adalah merupakan hidangan terakhir di meja makan. Sesudah itu kita akan berdiri, mengelap mulut, dan pergi sambil meninggalkan bekas di meja makan. Perabotan yang kotor akan dengan mudah dicuci para pelayan sampai hilang jejaknya. Dan tak seorangpun bias mengingat kembali siapakah gerangan orang yang menggunakan piring itu di meja makan. Itulah kehidupan, kita dating dan pergi begitu saja.
Hans membuka jendela lebar-lebar. Udara malam menerobos masuk. Mengguncang gordin dan menyibak semua duka nestapa yang tinggal keraknya. Kurasakan bibirnya menyentuh bibirku lembut. Ada yang kemudian berbaur dalam hati. Airmatanya dan airmataku. Hans menyentuhkan bibirnya ke perutku yang kini mulai berbeda dari hari-hari kemarin. Dalam perut itu ada sepotong hati, segumpal darah dan roh suci. Akankah dia juga ikhlaqs melepaskan semuanya seperti ibu dan ayahnya? Siapa namamu, bocah? Sayang kami tak sempat lagi memberimu nama yang bagus. Sayang sekali.
“Sisi,” bisiknya lembut di telinga. “Kau ikhlas?”
Aku mengangguk dan memejam lebih rapat.
“Ya, aku ikhlas.”
“Syukurlah.”
Lalu ketika benda dingin itu menempel di pelipis, aku lupa segala. Yang kusaksikan kemudian hanyalah percikan darah dimana-mana. Di pelipisku, di pelipis Hans. Di selimut, di sarung bantal, dimana-mana.
Malam yang dingin itu telah dipecahkan oleh dua letusan peluru yang tumpah dari moncong pistol dinas milik Hans, satu-satunya manusia yang menaklukkan aku dengan segenggam cinta tak masuk akal. Lalu sepi. Saat itu aku masih sempat teringat pada sebuah sajak milik salah seorang sahabatku. Dia menulis:
“Perempuan adalah selembar daun di ujung musim, yang merenggutnya dengan sayat-sayat kecil.”
(By indrawati Poerbo Basuki, Surabaya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar