Rabu, 27 Januari 2010

RUMAH PENINGGALAN PAPA (3)


“Setelah dari Notaris, kita ke Bank. Kita lakukan transaksi di Bank. Setelah iut aku akan segera berkemas ke Jakarta menemui Sheila.”
“Apakah anak-anak tidak perlu diberitau kalau harini terjadi transaksi antara kita, Oom?”
Oom Piet tersenyum hambar.
“Untuk apa?” dia balik bertanya.
“Tapi saya tidak bermaksud secepat ini kita…”
“Sudahlah, ayo! Kita berangkat sebelum pikiranku berubah.”
Begitulah. Apa yang kuinginkan akhirnya terlaksana dengan cara yang begitu mudah, namun aneh. Kemudian ketika kutanyakan pada adik-adikku, Yus maupun Nina ternyata menolak untuk tinggal di rumah itu. Kata Yus, dia lebih suka tinggal di rumahnya yang sekarang karena salon isterinya sudah memiliki banyak pelanggan, sayang kalau harus ditinggalkan. Sementara Nina lebih suka ikut dengan suaminya di rumah dinas suaminya. Maka kelak, apabila Oom Piet sudah menyerahkan kunci rumah kepadaku, tinggallah aku bersama dua orang pembantu dan dua anakku yang masih kecil di rumah itu. Sementara mas Tanto ternyata berhasil memenangkan tender di Rumbai.
Hari pertama aku datang ke rumah mewah di jalan Kutei itu, Cuma Johnny putra ketiga oom Piet yang menemuiku untuk menyerahkan kunci rumah.
“Oom Piet kemana?” tanyaku ketika itu kepadanya.
“Papa sibuk,” jawabnya dingin. “Dia hanya titip salam untuk nyonya.”
Suaranya yang dingin dan begitu formil seakan-akan menghantam dadaku. Nyonya, katanya. Huh! Alangkah lain perangainya dengan perangai Sheila atau Raymond yang kukenal amat ramah dan sopan santun. Aku menahan diri untuk tidak bertanya lebih lanjut. Sambil tersenyum paksa, aku hanya bisa berucap:
“Trims, John. Salamku juga untuk Papa kamu, ya.”
Dia mengangguk. Kemudian buru-buru meninggalkanku di teras rumah. Kupandangi debu yang mengepul di belakang mobilnya saat dia meninggalkanku pergi.
Kini dua minggu sudah aku tinggal di Kutei 37, rumah peninggalan Papa yang sempat lepas dari tangan kami beberapa tahun yang lalu. Seperti kata Mama, ternyata tata ruang di rumah itu memang tidak banyak berubah. Hanya pada halaman belakang yang dulu luas dan penuh hamparan rumput menghijau, kini sudah digantikan oleh bangunan tambahan berlantai dua yang terlihat lebih besar daripada rumah induk. Bangunan itu berupa sederet kamar tidur dan sebuah ruang perpustakaan pribadi. Juga gudang dan ruang pembantu. Menurut perasaanku, bangunan itu sangat mengganggu bagi penglihatanku, karena terlihat kaku dan dingin. Dinding yang tinggi dan pintu-pintu yang menurutku terlalu kokoh lebih meyerupai penjara dari pada tempat tinggal.
Beberapa kamar di rumah induk berukuran besar, enam kali lima meter. Mungkin kamar-kamar itu bisa kusiapkan untuk Yus dan Nina apabila suatu waktu nanti mereka menginap disini. Ini toh rumah mereka juga.
Puff. Lelahnya aku hari-hari belakangan ini. Punggungku terasa pegal dan ngilu. Kalau saja ada mas Tanto disini, tentu aku sudah memintanya untuk sekedar melemaskan otot-ototku yang kaku dengan jemarinya yang kuat.
Lamunanku buyar saat kudengar bel pintu berdentang dua kali. Inem, pembantu, datang membukakan pintu dan bilang kalau ada ‘Tuan’ Piet di depan.
Aku beranjak ke depan dan mempersilakan oom Piet masuk.
Beliau tersenyum sambil memilih duduk di sofa paling empuk di sudut ruang, dekat piano.
“Senang tinggal disini?” tanya oom Piet pertama-tama.
Aku tertawa sambil menyajikan minuman dingin dan kue.
“Yah beginilah Oom,” sahutku. “Oom sendiri, bagaimana? Senang tinggal di rumah Sheila?”
Oom Piet mengangkat bahu sedikit. Wajahnya muram. Baru kusadari betapa lusuhnya oom Piet sekarang. Wajahnya terlihat sepuluh tahun lebih tua dibanding dua atau tiga minggu yang lalu. Dan kedua mata tuanya seakan menyimpan kesedihan yang sangat dalam. Ada apa gerangan dengan beliau?
“Sama saja, di rumah Sheila atau disini. Aku tetap saja sendirian,” katanya tawar.
“Oom ingin tinggal disini bersama kami?” kataku manis.
“Aku?”
Oom Piet tertawa terkekeh. Aneh, aku seperti mendengar tangis di antara kekeh itu.
“Mana mungkin, Non.” Katanya setengah bertanya.
“Kenapa tidak? Oom sudah saya anggap sebagai orangtua sendiri. Kalau Oom masih senang tinggal disini, tinggallah bersama saya. Saya bakan merawat Oom seperti merawat orangtua saya sendiri, dan Oom bisa memilih untuk tinggal di kamar tidur yang mana, yang menjadi faforit Oom.”
Mata tua itu menatapku lembut. Selapis demi selapis selaput bening memenuhi rongga matanya. Dihapusnya dengan telapak tangan, kemudian katanya,:
“Sebenarnya kedatanganku ini hanya akan minta sesuatu padamu.”
“Apa itu, Oom?”
“Aku ingin kamu mencarikan tempat yang layak bagiku. Bukan disini, tetapi di suatu tempat yang pantas buat orang tua seperti aku.”
Aku terkejut mendengar ucapannya. Segera aku beranjak dan duduk bersimpuh di depan kakinya. Kuletakkan tanganku di lututnya, kucoba mencari jawaban yang kubutuhkan lewat bola mata tuanya yang kian meredup.
“Apa kata Oom? Apakah Oom tidak suka tinggal bersama Sheila? Atau bersama Raymon, di luar negeri?”
“Tidak mungkin aku tinggal bersama mereka.”
“Kenapa?”
“Jangan tanya kenapa. Sekedar kamu tau saja, waktu itu sekembali kita pergi ke Bank, ketiga anakku bertengkar hebat.”
“Johnny, Han dan Andre?”
“Ya. Tiba-tiba saja mereka berubah jadi serigala-serigala jahat. Aku sendiri terlalu tua untuk melerai kemarahan mereka. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain pasrah. Kalau saja ada Raymond pastilah dia bisa mencarikan jalan keluar yang baik bagi adik-adiknya. Tetapi,..Raymond tidak mungkin datang kemari hanya untuk itu. Anak-anakku semuanya itu sudah sibuk masing-masing dengan keluarga mereka. Sungguh, aku tidak tau harus bagaimana.”
“Sehebat itukah mereka bertengkar? Apa masalahnya?”
“Harta, Non. Harta telah membutakan mereka.”
“Maafkan saya, Oom. Saya merasa punya andil cukup besar dalam pertikaian mereka.”
“Tidak. Jangan merasa bersalah. Bukan sekali ini saja mereka bertindak seperti itu. Dulu mereka juga berbuat hal yang keji terhadap mertua perempuanku. Masalahnya sama: harta!”
“Apa yang telah mereka lakukan terhadap Oma?”
“Pokoknya mengerikan.”
Mataku memanas. Hatiku bagai diremas. Ya Tuhan, apakah semua ini karena kesalahanku? Egoku? Entah bagaimana, mendadak aku tak bisa lagi menahan airmataku. Hanya saja itu kulakukan diam-diam tanpa suara, karena kulihat Oom Piet sendiri juga menangkupkan telapak tangan di wajahnya. Aku tau, beliau juga tengah berusaha untuk tidak sesenggukan di depanku.
“Sekali lagi, maafkan saya. Saya mau berbuat apa saja untuk merukunkan mereka kembali. Biarlah rumah ini saya kembalikan kepada Oom, asalkan…”
“Tidak, jangan!” potong oom Piet.
“Saya rasa Cuma itu satu-satunya jalan agar mereka..”
“Percuma,” sekali lagi oom Piet memotong kalimatku.
“Lantas apa yang bisa saya lakukan untuk keluarga Oom?”
“Carikan aku tempat tinggal.”
“Maksud Oom, rumah tinggal?”
“Non, tolong. Ijinkan aku menggali lantai bawah di salah satu ruang bangunan belakang.”
Demi Tuhan.
Aku kian tak mengerti saja omongan oom Piet. Kutatap dirinya lebih seksama. Oom kesayanganku ini tak lagi terlihat rapi seperti biasanya. Tubuh tuanya hanya dibalut kemeja lusuh. Rambutnya tidak tersisir dengan rapi. Samasekali tidak nampak bahwa beliau adalah seorang pengusaha sukses sekelas Budi Sampoerna.
“Kamu mau kan, membantuku membongkar lantai di kamar belakang?” desaknya.
“Untuk apa?”
“Nanti kamu akan tau.”
Kuhela nafas dalam-dalam. Aneh betul orang tua ini. Bagaimanapun, aku masih tetap menghormatinya sebagai salah seorang sahabat Mama. Maka dengan berat hati, aku mengangguk.
“Baiklah, oom. Hanya saja, tukang-tukang saya sudah tak lagi disini. Mungkin cuma saya, Inem dan Samsuri, jongos saya itu, yang bisa membantu Oom mengerjakannya.” Kataku.
Oom Piet terlihat lega.
“Kapan kita mau melakukannya?” tanyaku kemudian.
“Sekarang.”
“Sekarang? Sekarang, oom? Bagaimana bisa…”
“Kalian melihat saja. Aku yang akan mengerjakannya. Kalau kamu belum membuangnya aku ingat, di gudang ada linggis.”
“Oom…” aku mencoba memprotes. Namun dengan gagah perkasa, oom Piet sudah melangkah ke belakang. Beliau masuk ke gudang, dan keluar lagi dengan cepat seraya menenteng sebatang linggis besar.
Dua orang pepmbantu kupanggil dan kusuruh membantu. Berempat kami membongkar ubin satu demi satu. Hingga sore, barulah ujung linggis itu menyentuh sesuatu. Samsuri dengan giat membongkar semen dan pasir di sekitar benda keras itu.
“Ada peti, Bu,” katanya bersemangat. “Apa harta karun, ya, isinya.”
“Hush! Sudah, teruskan. Dan angkat peti itu ke atas.”
“Baik, Bu. Siap!”
Oom Piet permisi ke toilet. Sementara itu kami terus beerusaha keras mengangkat peti panjang yang terbuat dari kayu kelas satu itu, keatas. Dan setelah terangkat, Samsuri membukanya. Peti itu ternyata tidak dipaku atau digembok. Jadi mudah saja Samsuri membuka tutupnya.
Namun, astaga!
“Bau apa ini, busuk sekali,” teriak Inem sambil menutup hidung rapat-rapat dengan telapak tangan.
Aku sendiri sduah tidak ketulungan lagi rasanya. Mual, pusing, dan …Ketika aku menjenguk ke dalam peti itu…
Aku, Inem dan Samsuri menjerit tertahan. Sekujur tubuhku serasa diguyur air es berliter-liter.
“Astaghfirullahaladziiim.”
Dua orang pembantuku mengucapkan istighfar berkali-kali sambil mundur menjauhi peti panjang itu. Ternyata dalam peti itu terbujur dua jenasah. Yang satu malah masih dalam keadaan membusuk. Itu yang membuat seluruh ruangan jadi meruapkan bau yang sangat busuk. Sementara yang satu lagi sudah menjadi tengkorak. Aku yakin itu adalah jenasah Oma dan Oom Piet!
Aku berlari ke meja telpon daan mencoba menghubungi nomor telepon Polisi terdekat, sebelum kemudian benar-benar pingsan.
Malam ini, mas Tanto datang dari Rumbai. Bersama Yus dan Nina, kami berempat berkumpul di ruang tamu. Lampu Kristal yang masih belum sempat kuganti dengan yang lebih sederhana, menggantung di langit-langit ruangan dengan angkuh. Beberapa guci asli dari China, kenangan dari oom Piet, dingin berjajar di dekat rak hias.
Aku tak tau dan tak peduli, apa kata mas Tanto, Yus maupun Nina. Yang jelas aku menyuarakan kata hatiku yang mungkin takkan pernah bisa mereka pahami.
Rumah ini tidak akan aku jual, sampai kapanpun. Apapun yang telah terjadi di rumah ini,bagiku merupakan sebuah rentetan perjuangan antara Oom Piet dan Mama. Bahwa mereka berdua begitu mencintai rumah ini dengan segala kelebihan dan kekurangannya, sampai ajal mereka menjemput, akan sulit dimengerti oleh mas Tanto, Yus maupun Nina.

Akupun!
Akupun akan mencintai rumah ini sampai ajalku menjemput nanti. Setelah aku tiada, maka tak ada lagi keinginanku memaksa mereka mempertahankannya. Bahkan ruangan dimana kutemukan mayat Oom Piet akan kujadikan ruang kerjaku, dimana disitu nanti akan semakin banyak kutemukan inspirasi bagi tulisan-tulisanku berikutnya. Semoga.

(By Indrawati Basuki)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar